24 Maret, 2008

PEMBELAJARAN BAHASA DAERAH DALAM KERANGKA PEMAHAMAN LINTAS BUDAYA MASYARAKAT MULTIKULTURAL: STRATEGI PREVENTIF TERHADAP KONDISI DISHARMONI DAN MANAJEMEN PASCAKONFLIK DI KALIMANTAN TENGAH
Oleh : Anthony Nyahu
Pendahuluan
Indonesia yang terbentang dari Sabang sampai Merauke, dari Aceh hingga Papua diperkaya oleh beratus suku, bahasa dan budaya. Oleh karena itu, Indonesia hadir dengan selumbung kekayaan bahasa dan budaya. Summer Institute of Linguistics (2001) dalam The Languages of Indonesia menyebutkan bahwa paling sedikit terdapat 726 bahasa-bahasa di Indonesia. Belum lagi dialek-dialek dan subdialek yang jumlahnya mencapai ribuan pada masyarakat tutur yang dianggap minor di berbagai kepulauan baik besar maupun kecil. Kondisi bahasa dan budaya yang berbeda demikian tidak jarang menimbulkan friksi-friksi yang berkepanjangan bahkan secara faktual berbuah pada kondisi disharmoni/konflik antarmasyarakat tutur yang berbeda secara budaya. Namun perbedaan itu hendaknya tercipta sebagai sarana pengayaan pemahaman bermasyarakat dan berbangsa di bawah satu pemahaman yang lebih luas dalam sebuah wawasan nasional, yakni Wawasan Nusantara. Masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang serbamulti: multibahasa, multiagama dan multietnis dengan menggunakan satu bahasa nasional yaitu bahasa Indonesia telah merekatkan semua kalangan dan menerima semua perbedaan kebahasaan dan kebudayaan daerah sebagai kekayaan kebudayaan nasional. Jaminan negara terhadap bahasa seperti telah terjabarkan dalam Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945, Pasal 32 Ayat (1) dan (2), yang mendudukkan posisi bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional dan bahasa resmi negara. Dengan status demikian, nasionalisasi bahasa Indonesia semakin kukuh sebagai lambang jatidiri bangsa. Kecenderungan tersebut memosisikan bahasa Indonesia menjadi bahasa yang mempunyai kedudukan lebih tinggi dibanding bahasa-bahasa daerah. Hal ini akan berpengaruh dengan terhimpitnya nya ruang tutur (speech space) bagi bahasa-bahasa daerah, terutama pada ruang tutur bahasa daerah yang selama ini telah terjadi kedwibahasaan, diglosia, dan keanekabahasaan (periksa Suryanyahu, Katingan Pos Minggu II/juni 2003). Krauss (1992) dalam Mahsun (2004) mengelompokkan bahasa ke dalam tiga kelompok berdasarkan gejala umum yang terjadi pada bahasa-bahasa di dunia ,seperti jumlah penutur, prestise sosiokultural, dan dukungan pemerintah terhadap pemakaiannya, yakni: a). kelompok bahasa yang tidak lagi dikuasai dan digunakan oleh anak-anak dari penutur suatu bahasa; b). kelompok bahasa yang dalam satu/dua generasi tidak lagi dikuasai dan dipelajari oleh ketururunan penutur suatu bahasa; dan c). kelompok bahasa yang termasuk kategori aman yang masing-masing disebut moribund, endangered dan safe. Padahal di lain pihak, bahasa daerah memegang peran penting bagi perbendaharaan kosa kata bahasa Indonesia. Upaya untuk mengangkat budaya (baca: bahasa) daerah ke dalam kosa kata bahasa nasional diharapkan sebagai langkah nyata pemeliharaan bahasa-bahasa daerah, di samping itu dari sanalah kita berpijak bahwa keberagaman tercipta sebagai kekayaan bukan sebaliknya. Salah satu keputusan yang bersifat politis yang dihasilkan Seminar Politik Bahasa tahun 2000 adalah ditentukan fungsi bahasa daerah sebagai: (a) lambang kebanggaan daerah, (b) lambang identitas daerah, (c) alat perhubungan di dalam keluarga dan masyarakat daerah, (d) sarana pendukung budaya daerah dan bahasa Indonesia, (e) pendukung sastra daerah dan sastra Indonesia. Selain itu, dalam hubungannya dengan bahasa Indonesia, bahasa daerah berfungsi sebagai: (a) pendukung bahasa nasional, (b) bahasa pengantar di sekolah dasar di daerah tertentu pada tingkat permulaan untuk memperlancar pengajaran bahasa Indonesia dan mata pelajaran lain, dan (c) sumber kebahasaan untuk memperkaya bahasa Indonesia, serta (d) dalam keadaan tertentu dapat berfungsi sebagai pelengkap bahasa Inonesia di dalam penyelenggaraan pemerintahan pada tingkat daerah (Alwi dan Dendy Soegono (2000) dalam Mahsun (2004)). Berpijak dari pernyataan di atas, bahasa daerah cenderung diperhatikan setelah pembinaan terhadap bahasa Indonesia semakin massif. Dalam konsep tersebut, bahasa daerah tetap dipertahankan oleh penuturnya pada tataran komunikasi antarmasyarakat daerah dan di dalam keluarga, sebagai pemerkaya khazanah bahasa Indonesia. Hal ini semakin diperjelas dengan adanya otonomi daerah, yang di dalamnya tertuang wewenang dan kreativitas para pemimpin daerah untuk membuat politik bahasa dan perencanaan bahasa daerah di masing-masing daerah. Sehingga bahasa daerah wajib mendapatkan perlakuan yang sama dibanding kebijakan yang lain. Selama ini tidak disadari adalah kurangnya pemberdayaan bahasa daerah sesuai fungsinya, terutama pembuatan materi bahan pembelajaran bahasa daerah yang cenderung memaksakan bahasa mayor dengan mematikan bahasa minor karena bukan lingua franca, sebagai contoh bahasa Dayak Ngaju yang ‘dipaksa’ untuk diajarkan pada wilayah tutur yang berbeda. Tentu kenyataan ini tak dapat dibiarkan karena secara tidak langsung telah terjadi ‘pembunuhan bahasa’ (linguicide) terhadap bahasa minor. Bahasa minor dipertahankan hanya sampai pada tataran komunitas tutur yang lebih kecil, bahkan ada kecenderungan untuk tidak lagi bangga menggunakannya dan menurunkannya kepada generasi sesudahnya. Gejala ini muncul sebagai akibat dari kuatnya pengaruh bahasa mayor yang mempunyai prestise tinggi. Hal lain yang tak kalah pentingnya adalah kecenderungan bahasa Indonesia bergeser dari fungsinya sebagai bahasa resmi dan bahasa nasional serta bahasa pengantar dalam dunia pendidikan menjadi bahasa yang juga dipakai dalam wilayah tutur rumah tangga dan pergaulan (periksa Suryanyahu, “Sikap Bahasa dan Pilihan Bahasa Penutur Jati Bahasa Dayak Ngaju di Kota Palangka Raya, laporan penelitian pada Balai Bahasa Provinsi Kalimantan Tengah, 2005). Dari hasil penelitian tersebut ditemukan bahwa sikap bahasa masyarakat penutur jati bahasa Dayak Ngaju cenderung negatif dan tidak lagi memandang bahasa ibunya sebagai sebuah lambang identitas dan kebanggaan. Berperannya upaya alih kode dengan menggunakan bahasa bahasa lain, misalnya bahasa Banjar dan campur kode terhadap bahasa ibu justru akan semakin mengancam rusaknya tatanan bahasa ibu. Tak jarang proses campur kode itu terjadi karena di dalam bahasa Dayak Ngaju sendiri tidak ditemukan padanan katanya maupun tidak mengenal tingkatan/unda usuk bahasa, seperti pada bahasa Jawa dan Banjar. Namun biasanya dalam tindak tutur masyarakat Dayak Ngaju yang sangat egaliter, penyebutan predikat teknonimis dipandang sebagai salah satu ragam bahasa halus, misalnya pemanggilan teknonimik terhadap seseorang yang yang telah berkeluarga yang tidak lagi memanggil sebutan namanya tetapi nama anak tertua sebagai contoh: orang lebih Bapa Enon dibandingkan Cilik Riwut, Indu Lamiang, atau gelar lain dari keturunan yang lebih muda (anak/cucu) kepada orang tua dari ayah/ibu, misalnya Bue Janggut, Tambi Bitak, kepada saudara dari ayah/ibu, misalnya Mama Bakas, Mina Benteng, dll. Hal ini terjadi berdasarkan budaya turun-temurun yang menganggap bahwa pemanggilan nama seseorang yang dianggap lebih tua selain tidak sopan juga akan berakibat kualat. Dengan demikian, pembelajaran bahasa Dayak Ngaju tidak saja secara linguistis mempelajari komponen fonem ‘mahalau, lah’, sebagai [m,a,h,a,l,a,u l,a,h] sebagai kata ‘lewat, ya’ atau ‘permisi, mau lewat’ tetapi ungkapan tersebut disertai dengan membungkukan badan adalah manifestasi etika bahasa tubuh apabila melewati orang yang lebih tua. Pembelajaran unsur etika dalam pembelajaran bahasa daerah inilah yang sangat penting bagi pendidikan usia dini, terutama bagi generasi sekarang yang telah korosif oleh pengaruh budaya dari luar. Pembelajaran Bahasa sebagai Esensi Pembelajaran Budaya Pembelajaran bahasa adalah pembelajaran budaya, etika,dan moralitas. Membangkitkan kembali pembelajaran indoktrinatif tentang moralitas, etika, dan filosofi kearifan lokal melalui bahasa daerah, adalah komponen penting yang tak dapat dilepaskan dari pendidikan kognitif dan pedagogis. Konsep ini telah tertuang dalam esensi pembangunan manusia seutuhnya, yaitu pembangunan mental dan spiritual manusia Indonesia yang Pancasilais. Melalui bahasa daerah, pemahaman budaya daerah diharapkan akan berbanding lurus. Mahsun (2004) mengemukakan bahwa adanya kesepadanan adaptasi linguistik dan adaptasi sosial pada masyarakat tutur yang berbeda bahasa (Proposal Riset Unggulan bagi Kemanusiaan dan Kemasyarakatan VI). Inilah salah satu strategi bagaimana peran bahasa yang berbeda-beda pada wilayah tutur yang berdekatan dapat berterima oleh masyarakat tutur pada wilayah masing-masing. Dengan demikian, apabila dikontrastifkan dengan pengalaman faktual yang dialami Kalimantan Tengah terhadap saudara-saudara kita dari wilayah yang sama sekali berbeda bahasa dan budaya. Tentu saja ini bukan dalam rangka penyeragaman budaya, namun esensi yang ingin didapatkan adalah terciptanya pemahaman budaya yang holistik, filosofis, dan apresiatif pada masing-masing pihak. Konteks demikian menempatkan perbedaan sebagai keanekaragaman yang memperkaya wawasan nasional kita, bukan hanya dari kaca mata budaya kita sendiri. Sentimentalitas etnis dan individu harus dihindari dalam kerangka pemahaman ini. Artinya, kita menempatkan diri sebagai manusia secara universal, yang harus adaptif dengan situasi dan kondisi lingkungan sosial dengan harapan mampu diterima secara sosial dan budaya. Hal ini dilakukan bukan dalam pendekatan indoktrinatif, namun lebih sebagai pendekatan persuasif dengan mengedepankan kebersamaan secara utuh dan timbal balik. Kesalahan dalam memaknai budaya di Kalimantan Tengah pra dan pascakonflik etnis tahun 2001 telah mengakibatkan kerugian yang sangat besar. Dampak yang dirasakan tidak saja secara ekonomis, tetapi lebih secara psikologis. Ditambah lagi dengan asumsi dan spekulasi pandangan luar negeri tentang Kalimantan Tengah. Hal ini tidak dapat terus dibiarkan agar kasus tersebut diposisikan pada tempat yang proporsional. Sebagai pemicu (trigger) adalah masalah budaya, yang selama ini tidak dapat diadaptasi dan dipahami dengan baik. Pemahaman dalam memaknai budaya (daerah) tidak serta merta diiringi dengan pemahaman terhadap bahasa (daerah). Bagaimana mempelajari budaya lokal apabila tidak diiringi dengan infrastruktur bahasa lokal yang mapan dan adaptif? Filosofi di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung hanya akan menjadi slogan yang selalu digaung-gaungkan dan sia-sia tanpa adanya pemahaman budaya yang komprehensif dan apresiatif. Segencar apapun sosialisasi yang dilakukan apabila masih terjebak pada paradigma lama dalam manajemen konflik, niscaya akan menjadi api dalam sekam dan bom waktu. Apalagi penanganan startegi konflik yang parsial tidak akan serta merta menyelesaikannya menjadi kebijakan politis yang abadi. Kita, sebagai bangsa yang berlandaskan Pancasila, akan mengedepankan permusyarawatan. Sebagai manusia, siapapun berhak untuk tinggal dan menempati suatu wilayah yang dipersyaratkan dengan kondisi dan adaptasi sosial dan budaya lokal. Adaptasi sosial-budaya akan sia-sia tanpa adaptasi linguistik. Penutup Rekonsiliasi konflik tanpa pemahaman timbal balik (mutual understanding) tidak akan menghasilkan solusi yang baik dan akseptabel. Untuk melakukan rekondisi dan rehabilitasi pemahaman tentang budaya yang komprehensif dibutuhkan: 1. Pemahaman budaya daerah lebih memprioritaskan pembelajaran bahasa daerah sebagai sarana untuk belajar moralitas, filosofis, dan akseptabilitas sosial; 2. Pengajaran bahasa daerah membutuhkan infrasruktur bahasa (daerah) standar yang mapan (yang diseminarkan dan dilokakaryakan pada daerah masing-masing), bahan ajar yang sesuai GBPP, analisis kebutuhan dan kondisi daerah (yang dilokakaryakan dan diseminarkan) beserta kuantitas dan kualitas tenaga kependidikan untuk itu pada tingkat pendidikan formal (TK, SD) dan sektor nonformal; 3. Kebijakan bahasa (language policy) dari pemimpin daerah khususnya Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah terhadap bahasa-bahasa yang ada di wilayahnya dengan mempertimbangkan fungsi dan kedudukan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional; 4. Memperlakukan komponen bahasa sebagai bagian dari budaya daerah dijadikan sebagai komoditas budaya yang juga sama pentingnya dengan komoditas lain; 5. Melakukan kaji ulang terhadap manajemen pascakonflik; 6. Melakukan rehabilitasi internasional dan reposisi terhadap pandangan tentang kredibilitas budaya Dayak di mata dunia guna menarik minat investasi luar negeri, penelitian tentang budaya, dan pengembangan sumberdaya manusianya; 7. Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah harus melakukan kaji ulang terhadap analisis kebutuhan yang sesuai dengan kondisi daerah utamanya tentang analsis GBPP dan bahan ajar muatan lokal yang sesuai di daerah dengan mengelola perbedaan sebagai realitas budaya yang memperkaya kebudayaan nasiona (seperti yang telah dilakukan di Provinsi Nusa Tenggara Barat) serta sebagai fasilitator bagi penyediaan infrastruktur mapannya bahasa daerah; termasuk di dalamnya pembinaan terhadap bahasa-bahasa daerah yang hampir punah; 8. Menghidupkan kembali filosofis kearifan lokal, karakteristik dan jatidiri daerah sebagai lambang kebanggaan daerah dan nasional dalam memperkaya khazanah keindonesiaan. 9. Pemetaan bahasa dan sastra daerah, yang di dalamnya dapat juga berupa peta sosial budaya, ekonomi, politik dan pemerataan hasil-hasil pembangunan yang telah, sedang, dan akan dilakukan Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah; 10. Pemetaan sosial budaya, ekonomi, dan pembangunan dapat menjadi jendela dunia dan sarana promosi daerah dalam era globalisasi dan perdagangan bebas, serta peningkatan sumberdaya manusia Dayak dalam pergaulan baik nasional maupun internasional.

REKONSTRUKSI POSITIVISME BUDAYA DAYAK DAN BAHASA DAYAK NGAJU DI TENGAH PERGAULAN MASYARAKAT ANEKABAHASA

Oleh : Anthony Nyahu
Tulisan ini diketengahkan sebagai manifestasi dari realitas dan upaya untuk membangkitkan kembali perspektif dan apresiasi positif terhadap budaya dan bahasa Ngaju di Kalimantan Tengah. Konsep-konsep budaya atau kebudayaan yang selama ni memberikan kontribusi positif bagi pengembangan budaya lokal dalam ranah kesepahaman pemikiran masyarakat telah mendudukkan budaya Dayak ( Ngaju) mampu bersesuai dengan kondisi zaman dan peradaban kini sehingga dapat tetap bertahan. Fokus yang akan diketengahkan dalam tulisan ini meliputi dua aspek penting sebagai luaran (output) dari esensi kebudayaan, yaitu bahasa dan religi yang berproses dari hasil pikiran akal budi manusia Suku Dayak. Kebudayaan, sering disinonimkan dengan kultur, yang diambil dari bahasa Latin ‘cultura’ atau ‘culture’ dalam bahasa Inggris, atau dalam bahasa Prancis disebut sebagai ‘la culture’ dan salahsatu artinya adalah “ensemble des aspects intelectueles d’une civilisation” (serangkaian bidang intelektual sebuah peradaban) , bermakna secara umum sebagai hasil kegiatan intelektual manusia, suatu konsep mencakup berbagai komponen yang digunakan oleh manusia untuk memenuhi kebutuhan dan kepentingan hidupnya sehari-hari (Purwasito, 2003:95). Dalam perspektif Barat kebudayaan dipandang dalam perspektif di mana referens yang menjadi fokus adalah intelektual yang mencakup realitas nonfisik meliputi: kognitif, afektif, dan psikomotorik. Sedangkan dalam perspektif Timur kebudayaan dipandang sebagai ‘buddhayah’, yang dipandang sebagai akal budi manusia dalam mengasosiasikan ‘intelektual’ dan pelibatan beberapa aspek yang sama, yaitu pelibatan pancaindera manusia, baik dalam kegiatan pikiran manusia (kognitif), perasaan (afektif), maupun perilaku (psikomotorik). Purwasito (2003) mnedefinisikan bahwa kebudayaan (kultur) sebagai hasil penciptaan , perasaan, dan prakarsa manusia berupa karya yang bersifat fisik dan nonfisik. Taylor (1871) dalam Purwasito (2003:96) mempostulatkan bahwa kebudayaan (kultur) adalah keseluruhan hal yang kompleks termasuk pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, adat-istiadat, dan kemampuan serta kebiasaan yang lain yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat. Mead, seorang antropolog Amerika dalam Purwasito (2003) menyebut bahwa kultur sebagai perilaku pembelajaran masyarakat atau subkelompok. Kegiatan tersebut berlangsung ketika manusia, sebagai subjek sentral dalam kebudayaan mendayagunakan akal budinya (daya, cipta, rasa, dan karsa) untuk mengolah alam dan mengatur lingkungan hidupnya dengan menghasilkan: (1) benda-benda berwujud (cultural materials); seperti: alat-alat kerja, alat-alat pertanian, alat-alat rumah tangga, alat-alat komunikasi, alat-alat perang, dan lain-lain, (2) benda-benda yang tak berwujud (cultural immaterials); seperti bahasa, tradisi, kebiasaan, adat, nilai moral, etika, gagasan-gagasan, religi, kesenian, kepercayaan, sistem kekerabatan, dan harapan-harapan hidup. Hasil budaya imateril inilah lahir dari upaya mengolah pikiran (manusia) melahirkan filsafat dan ilmu pengetahuan yang berupa teori-teori. Konsep pemikiran tentang kebudayaan (kultur) dipandang sebagai konsep yang global, di mana keseluruhan proses yang berlangsung dalam esensi makna kebudayaan melibatkan berbagai aspek yang dihadapi manusia berkenaan dengan lingkungan masyarakatnya. Ia dapat saja berupa kedua jenis hasil kebudayaan di atas (berwujud dan tak berwujud), yang dapat dipelajari, dipertukarkan, ditransformasikan, dari generasi ke generasi pada suatu masa yang tidak dapat ditentukan. Hal yang perlu diimgat adalah kebudayaan tidak serta merta hadir dan dipaksa untuk direkayasa, namun diperoleh melalui rangkaian proses dan waktu yang lama dan perpetual. Hal ini sejalan dengan konsep pemikiran Liliweri (2002) bahwa pengertian kebudayaan dalam arti luas adalah perilaku yang tertanam, ia merupakan totalitas dari sesuatu yang dipelajari manusia, akumulasi dari pengalaman yang dialihkan secara sosial (disosialisasikan)….dalam bentuk perilaku melalui pembelajaran sosial (social learning). Unsur-unsur dalam Kebudayaan Koentjaraningrat (1990) sepakat dengan mengangkat unsur-unsur kebudayaan seperti yang diajukan Kluckhohn (1953) dalam Universal Catagories of Culture,bahwa ada tujuh unsur kebudayaan yang universal, meliputi (1) bahasa; (2) sistem pengetahuan; (3) organisasi sosial; (4) sistem peralatan hidup dan teknologi; (5) sistem mata pencarian hidup; (6) sistem religi; dan (7) kesenian. Dari ketujuh unsur tersebut, di sini unsur (1) bahasa akan lebih mendapatkan perhatian dengan tanpa mengurangi pentingnya unsur-unsur lainnya. Dasar pemikiran ini dengan alasan bahwa bahasa memegang peranan yang strategis dalam proses sosialisasi dan transformasi kebudayaan, baik melalui konteks komunikasi maupun pemahaman lintas budaya (intercultural understanding). Dua konteks di atas merupakan landasan berpikir tentang pemahaman kajian budaya (cultural studies), yang salahsatunya mengkaji tentang komunikasi multikultural yang multidisipliner, misalnya etnografi komunikasi. Komunikasi multikultural lebih menekankan kepada manusia sebagai subjek utama, kebudayaan sebagai sumber pengetahuan (referensi), masyarakat sebagai bangunan dan wahana berkomunikasi (lihat Purwasito, 2003:104). Dalam hal ini, komunikasi multikultural (anekabudaya) wajib secara bebas meminjam teori, metodologi, dan pendekatan dari displin ilmu-ilmu sosial dan cabang ilmu humaniora, mengingat dalam kajian komunikasi anekabudaya bersinggungan secara langsung dengan ilmu tentang: (1) manusia; (2) bahasa; (3) kebudayaan; (4) masyarakat; dan (5) komunikasi. Bahasa Dayak Ngaju Sebagai Kebudayaan Suku Dayak di Kalimantan Tengah Masyarakat budaya di Kalimantan Tengah, seperti halnya masyarakat-masyarakat lain di Nusantara, sangat kaya akan ragam budaya, salahsatunya bahasa. Poerwadi (1993) dalam Elbaar (1995) mengklasifikasi sebanyak tiga puluh bahasa dan dua puluh dialek (?) tersebar di Kalimantan Tengah. Satu hal yang menjadi perhatian penting adalah bahasa Ngaju. Bahasa Ngaju telah mampu menjadi bahasa pengantar (lingua franca) dan bahasa pemersatu antarsuku di Kalimantan Tengah, tidak terlepas dari kekuatan bahasa Ngaju menembus lintasetnis dan geografis. Bahasa Ngaju juga telah distandardisasi dan memiliki jumlah penutur mayoritas. Di samping itu, bahasa Ngaju memiliki kedudukan dan fungsi yang amat penting dalam sejarah perkembangan Suku Dayak di Kalimantan Tengah. Ia dipakai oleh para cendekia dan sebagai bahasa pengantar dalam kegiatan keagamaan (dalam kebaktian di gereja-gereja) dengan telah diterjemahkannya Alkitab yang berbahasa Indonesia ke dalam Surat Barasih dalam bahasa Ngaju. Menurut analisis leksikostatistik Poerwadi (1993), jumlah penutur Ngaju di Kalimantan Tengah kira-kira mencapai 800.000 orang, diikuti bahasa Maanyan 125.000 penutur, dan Lamandau sebanyak 50.000 penutur. Sisanya meliputi seuluh bahasa kecil-kecil. Bahasa Ngaju telah memegang peranan yang sangat penting dalam tindak komunikasi di Kalimantan Tengah. Diakui atau tidak, sebagai bahasa mayoritas penduduk Kalimantan Tengah, bahasa Ngaju mengalami stabilitas pemakaian yang konstan berdasarkan pemertahanan dan jumlah penuturnya yang mencapai lebih dari setengah jumlah penduduk Kalimantan Tengah (lihat Elbaar, 1995). Berpijak dari realitas demikian, sebagai ‘pemlik’ bahasa Ngaju, kita tidak harus serta-merta terbuai dengan situasi stabilitas bahasa Ngaju dalam beberapa dekade ini.Gejala-gejala ketidakstabilan akan selalu muncul, persaingan bahkan pergeseran bahasa Ngaju masa kini dan akan datang. Gejala-gejala yang dihadapi bahasa Ngaju dan penutur Ngaju adalah kecenderungan munculnya bahasa-bahasa baru yang ikut bersaing dan mengambilalih sebagian peran dari bahasa Ngaju. Bahasa-bahasa tersebut adalah bahasa Banjar yang dalam beberapa tahun belakangan ini eskalasi pemakaiannya semakin meluas (lihat Suryanyahu, “Refleksi Situasi Kebahasaan di Katingan: antara Pergeseran dan Kepunahan Bahasa, Katingan Pos, minggu I/Juni 2003). Bahasa Banjar selain dipakai sebagai bahasa pengantar bagi transaksi niaga juga digunakan oleh sebagian remaja perkotaan utnuk berkomunkasi dalam situasi informal, alih-alih bahasa Ngaju. Apabila situasi ini dibiarkan tanpa upaya yang lebih optimal, lambat-laun peran dan fungsi bahasa Ngaju yang selama ini dipakai dalam ranah tak resmi akan bergeser. Bahasa yang berikutnya potensial menggeser peran bahasa Ngaju adalah bahasa Indonesia. Namun tidaklah cukup beralasan, karena eskalasi pemakaiannya hanya merambah ranah rendah dan informal saja. Selama ini pula tidak terjadi ketimpangan pembagian peran dan distribusi fungsi antarkeduanya. Bahasa Ngaju menguasai peran pada ranah rendah (R) dan bahasa Indonesia pada fungsi dan peran tinggi (T). Keduanya telah mengalalami siatuasi diglosik yang seimbang (win-win situation) dan apabila situasinya ada ketimpangan (win-lose situation), maka yang akan terjadi adalah bergeser dan bahkan punahnya salahsatu bahasa. Upaya pemertahanan bahasa Ngaju dalam beberapa ranah dan fungsi telah dilakukan, di antaranya dengan pembelajaran bahasa Ngaju di sekolah-sekolah, dipakainya bahasa Ngaju sebagai pengantar keagamaan, dan pemasyarakatan bahasa Ngaju melalui media massa baik cetak maupun elektronik. Tentu saja dengan tidak menanggalkan peran dan fungsi bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional dan bahasa persatuan. Upaya-upaya tersebut haruslah terus digalakkan, mengingat belum adanya strategi, politik, pemertahanan, dan kebijakan bahasa di Kalimantan Tengah. Di samping itu, hal yang tak kalah pentingnya adalah peningkatan apresiasi dan sikap positif masyarakat penutur Ngaju sendiri, yang justru akan memanjangkan ‘umur’ bahasa Ngaju sehingga dapat diwariskan inter dan antargenerasi. Religi Kaharingan dalam Kebudayaan Suku Dayak di Kalimantan Tengah Kaharingan merupakan sebuah sistem religi, falsafah, dan pandangan hidup (way of life) yang menjadi pegangan moral (moral guidance) tertua bagi Suku Dayak di Kalimantan Tengah. Ia mengandung nilai-nilai, perangkat norma-norma luhur tentang pandangan Suku Dayak tentang hidup dan kehidupan, yang terejawantah dalam hubungan dwiarkis: vertikal dan horisontal. Hubungan yang bersifat vertikal, yaitu hubungan antara manusia dengan Tuhannya—dalam hal ini Ranying Hatalla Langit—dan hubugan horisontal, meliputi hubungan interpersonal (antarmanusia, antarindividu) dalam masyarakat. Kaharingan tidak dipandang dalam perspektif sempit dalam makna budaya, tetapi lebih diasosiasikan dan tidak sebagai animisme dan dinamisme, namun lebih kepada monotheisme dan monolitik yang absolut. Dalam konsep pemikiran ini, Kaharingan tidak dipandang sekadar sebagai sebuah aliran kepercayaan, tetapi lebih dilihat secara objektif dan jujur sebagai suatu agama (terlepas dari jumlah pemeluk dan sistem religiustasnya). Semua prasyarat yang mengondisikan Kaharingan menjadi sebuah agama telah terpenuhi, di antaranya sistem nilai dan norma, kitab suci, dan tatanan pelaksanaan religiusitasnya, serta yang tak kalah pentingnya adalah adanya pengakuan kepada Tuhan yang Esa. Persoalan yang akan diketengahkan di sini adalah, terjadinya kesalahkonsepsian (miskonsepsi) dan kesalahpahaman (misunderstanding) tentang Kaharingan dan budaya (baca: Dayak) secara umum oleh sebagian orang yang tidak terlalu memahami Kaharingan sebagai sebuah religi dan budaya. Mempelajari budaya (Dayak) tidak harus serta-merta secara otomatis dan praktis berarti mempelajari (memeluk) Kaharingan. Padahal tidak demikian halnya, budaya adalah budaya—sebagai luaran kebudayaan—dan religi adalah religi, yang tidak dapat dipertukarkan. Harus dapat dipisahkan antara Kaharingan sebagai agama dan budaya sebagai budaya. Budaya lebih dipandang secara universal, sebagai hasil dari daya, cipta, dan karsa manusia. Apa yang telah menjadi hasil kebudayaan—daya, cipta, dan karsa—manusia suku Dayak merupakan aset yang bernilai tinggi, dengan terlebih dulu melepaskan atribut Kaharingan sebagai agama.Hal yang tidak dapat dipungkiri adalah bahwa dalam ritualitas Kaharingan dipandang sebagai tatanan dan sistem religiusitas. Berbeda ketika adat-istiadat, pranata sosial, dan tradisi sebagai hasil kebudayaan atau kesenian. Dua hal ini yang dipandang sering mengalami miskonsepsi dan kerancuan. Mari berpkir secara analitis-sintetik, bahwa budaya harus dicermati secara parsial menuju komprehensif dan Kaharingan sebagai mazhab religiusitas, meskipun keduanya memiliki korelasi dan koherensi yang sulit untuk dipisahkan. Misalnya, kajian tentang bahasa Sangen (Sangiang) adalah murni merupakan kajian bahasa, terlepas dari unsur-unsur lain. Perkara bahasa Sangen digunakan sebagai pengantar ritualitas itu soal lain. Sehingga, pada gilirannya Kaharingan tidak selalu menjadi eksklusif tetapi inklusif dan dapat dipahami oleh semua orang meskipun bukan pemeluk Kaharingan. Atau mari memandang budaya Dayak sebagai sebagai budaya yang dimiliki secara kolektif oleh semua masyarakat suku Dayak di Kalimantan Tengah, terlepas apakah dia pemeluk Kaharingan atau bukan. Kebudayaan Dayak adalah kebudayaan mlik bersama, maka tanggung jawabnya pun secara kolektif, bukan disampirkan kepada segelintir orang Dayak pemeluk Kaharingan saja. Budaya dimiliki secara kolektif, agama dimiliki oleh penganutnya, begitu juga bahasa, kesenian, dan lain-lain.

‘KEMERDEKAAN’ ORANG DAYAK (NGAJU) DAN PENCARIAN IDENTITAS BUDAYA YANG HILANG

Tulisan ini juga dimuat di Harian Kalteng Pos oleh: Anthony Nyahu*)
Tulisan ini diketengahkan didasari atas keprihatinan yang mendalam terhadap situasi degradatif budaya dan moralitas Dayak (Ngaju) sebagai kesatuan etnisitas dan salah satu identitas kolektivitas budaya di Indonesia. Dalam konteks budaya yang lebih luas, budaya termanifestasi sebagai citra perilaku normatif yang adaptif searah kemajuan zaman dengan tanpa kehilangan identitas sebagai karakteristik budaya bangsa. Dalam proses tersebut, budaya Indonesia pun berada di sebuah persimpangan. Seperti apakah wujud dari sebuah budaya Indonesia? Padahal, budaya Indonesia yang dikenal beragam tidak serta merta harus menonjolkan keseragaman. Karena beragamnya suku dan budaya itulah, Indonesia menjadi sebuah kesatuan nasional dengan semua esensi yang terkandung di dalamnya, termasuk keberagaman budaya dan yang tak kalah penting, persoalan bahasa sebagai manifestasi budaya manusia. Artikel ini diharapkan mendudukkan kembali persoalan ’kemerdekaan’ budaya Dayak (Ngaju) selama ini dipandang telah kehilangan identitasnya, terutama persoalan bahasa daerah yang semakin termarjinalisasi di tengah himpitan budaya luar dan penetrasi arus globalisasi. Persoalan kebudayaan menjadi topik sentral pada Seminar yang dilaksanakan di Jakarta, beberapa waktu lalu dengan tajuk ”Meletakkan Posisi Kebudayaan dalam Proses Menjadi Indonesia” yang diselenggarakan oleh Lingkar Budaya bekerja sama dengan Harian Kompas. Banyak pihak menilai kegamangan dan pesimistis tentang keterancaman budaya nasional. Terlepas dari institusi yang diperdebatkan untuk mengurusi kebudayaan, ada satu esensi yang dianggap sangat krusial menjadi isu prioritas pada seminar tersebut adalah bagaimana budaya Indonesia mencari bentuknya, atau ber-reinkarnasi menjadi budaya baru yang globalistis, hedonis, dan cenderung konsumtif. Indikator kemapanan, life style dan perilaku hedonistis lainnya dipandang sebagai suatu bentuk budaya baru yang menjadikan manusia Indonesia lebih ’Indonesia’. Dimensi perilaku yang realitasnya muncul dalam keseharian adalah berbentuk dalam sebuah bahasa (Ninuk Pambudy ” dalam Kompas, 31 Juli 2006 hal. 38). Belum kelar permasalahan budaya dan bentuk normatif serta cara pandang konkret terhadap kebudayaan di Indonesia, kita terus dihadapkan dengan carut-marutnya persoalan bahasa Indonesia dan bahasa-bahasa daerah di Indonesia, salah satunya bahasa (Dayak) Ngaju. Politik bahasa nasional menggariskan tiga hal penting tentang bagaimana peran bahasa daerah, bahasa nasional dan bahasa asing di Indonesia (lihat Sugono dalam Mahsun, 2004). Peran bahasa daerah sebagai pemerkaya bahasa nasional dan sarana komunikasi masyarakat daerah, bahasa nasional sebagai ciri dan identitas budaya nasional serta bahasa resmi negara, serta bahasa asing sebagai sarana komunikasi antarbangsa dalam pergaulan internasional. Kewenangan penyelenggara negara dalam hal kebudayaan dan bahasa daerah diurus lebih gencar oleh Pemerintah Provinsi masing-masing bekerja sama dengan Pemerintah Pusat sesuai dengan tugas dan tanggung jawab negara melindungi dan memajukan budaya dan bahasa nasional dan daerah. Dalam konteks kebudayaan secara khusus di Kalimantan Tengah, esensi kebudayaan cenderung dipandang dari segi material, padahal setidaknya ada tiga dimensi dalam kebudayaan, yakni dimensi ide, dimensi material dan dimensi perilaku menurut Ninuk Pambudy. Dimensi material cenderung menyempitkan makna budaya secara umum, terlihat pada bidang seni dan bentuk-bentuk peninggalan masa lalu, seperti karya arsitektur, prasasti dan bangunan candi. Sedangkan dimensi ide menyangkut nilai-nilai kehidupan, tujuan-tujuan, dan cita-cita yang cenderung utopis dan dikemukakan sebagai suatu arahan untuk bergerak maju. Sudut pandang yang sempit terhadap kebudayaan dari dimensi material cenderung meninggalkan dimensi lain yang tak kalah penting, yakni dimensi perilaku. Eksistensi budaya dilihat sebagai unsur komoditas telah menyepelekan dimensi perilaku dan dimensi ide yang tumbuh dan selalu dinamis dalam kehidupan sosio-kultural. Dalam beberapa dekade perhatian budaya di Kalimantan Tengah masih terjebak dalam paradigma lama, yaitu bagaimana dimensi budaya meninggalkan dimensi ide dan perilaku (baca: bahasa). Kebudayaan sebagai objek komoditas yang berujung pada feedback untuk menuai investasi dan pendapatan daerah tetapi melupakan bagaimana dimensi ide sebagai subjek yang harus tetap dikembangkan berdasarkan perilaku dari pelaku dan pemilik kebudayaan itu sendiri. Persoalan nation and character building atau pembangunan watak dan bangsa menjadi isu sentral yang seolah tak pernah kering dalam membangun dimensi kebudayaan, terutama kebudayaan Dayak di Kalimantan Tengah. Dalam hubungannya dengan bahasa sebagai dimensi perilaku dalam kebudayaan, oloh itah sebagai ungkapan aksioma pemilik kebudayaan (di Kalimantan Tengah) telah mengalami degradasi yang signifikan. Perilaku berbahasa masyarakat Kalimantan Tengah (baca: oloh Ngaju), justru secara epistemologis telah kehilangan identitas. Perilaku tersebut telah menggeser jati diri dan identitas orang Ngaju yang tidak lagi memiliki kebanggaan akan bahasanya (language pride) yang bermuara pada ketidaksetiaan berbahasa (language inloyalty) (periksa Suryanyahu, 2005, ”Situasi Kebahasaan Penutur Jati Bahasa Ngaju di Kota Palangka Raya”, laporan penelitian pada Balai Bahasa Provinsi Kalimantan Tengah) dan ”Situasi Kebahasaan di Kabupaten Katingan: Antara Pergeseran (Language Shift) dan Prakondisi Kepunahan Bahasa ”, Katingan Pos, Minggu I/Juni 2003). Oloh Ngaju cenderung lebih bangga dengan identitas lain (baca: bahasa lain) yang menuntut cara pandang sosial baru dengan menanggalkan identitasnya. Cara pandang sosial baru yang dianggap lebih bergengsi inilah yang kemudian mengaburkan identitasnya. Fauzi dalam Banjarmasin Pos, Juni 2004 mengetengahkan bahwa persoalan kebanggaan berbahasa terkait dengan terminologi Ngaju sebagai alasan utama, karena terikat dengan wilayah geografis dan identik dengan cara pandang yang ’terbelakang/udik’. Padahal dalam realitasnya, oloh Ngaju- suka atau tidak- menjadi orang-orang yang unggul di dalam berbagai bidang bagi sumbangsih pembangunan Kalimantan Tengah dengan tidak mengurangi peran suku-suku lain tentunya, itulah kenyataan yang harus diterima sebagai kekayaan dan identitas Kalimantan Tengah, khususnya budaya Dayak. Bayangkan ketika tamu dari luar Kalimantan Tengah bertanya-tanya, apa ciri khas daerah ini? Kita selalu merujuk preferensi kepada sebuah dimensi material dari sebuah budaya. Dimensi ide, meskipun abstraktif dan dimensi perilaku (bahasa) menjadi terlupakan. Jarang kita temui bahasa daerah sebagai ciri khas dan identitas budaya menempati tempat yang layak dan semestinya di provinsi berjuluk Tambun Bungai ini. Khalayak luar pun jadi bertanya-tanya tanpa meninggalkan impresi yang mendalam tentang Kalimantan Tengah, kecuali tarian, patung dan dimensi material lainnya. Politik bahasa daerah di Kalimantan Tengah menjadi prioritas yang kesekian dibanding infrastruktur politik lainnya. Bandingkan dengan di Jogjakarta, dengan kebanggaan budaya lokalnya, terutama bahasa. Nama-nama tempat dan jalan menempati urutan kedua tentunya setelah bahasa Indonesia agar mudah dipahami oleh orang luar, selanjutnya bahasa asing menjadi urutan ketiga dalam ruang publik, atau lebih jauh Jepang dengan kebanggaan terhadap bahasa dan budayanya. Melalui bahasa sebagai gerbang pengenalan budaya secara umum, pemahaman lintas budaya akan semakin tinggi dan pemahaman terhadap ke-bhinneka-an pun semakin diperkaya. Mau tidak mau, suka tidak suka, oloh itah harus digugah dengan politik bahasa dan penyadaran publik (public awareness) terhadap kebanggaan berbahasanya, yang bermuara pada kebanggaan budaya dengan strategi perencanaan dan politik bahasa (language planning and language policy) yang mengedepankan pembangunan dimensi ide dan dimensi perilaku dari kebudayaan. Esensi tersebut meliputi pembangunan karakter dan moralitas manusia Dayak yang lebih beradat, bermartabat, dan intelek pada pergaulan nasional dan internasional. Pembangunan moralitas dan karakter manusia Dayak sejak dini dalam pergaulan, pendidikan, dan sosial, konkretnya, misalnya berupa pendidikan muatan lokal bahasa Ngaju pada pendidikan 9 tahun yang mencakup pendidikan moral dan filosofi luhur bagi peserta didik. Belum lagi persoalan eksistensi hukum adat yang semakin rapuh karena tidak berjalan seiring dengan hukum publik, sehingga orang mudah saja untuk melecehkan budaya lain. Petuah-petuah dan filosifi usang yang dianggap tidak relevan dengan perkembangan zaman, padahal itulah warisan budaya leluhur yang ampuh menjdadi moral guidance dalam menghadapi penetrasi budaya luar dan globalisasi. Indonesia telah merdeka selama 62 tahun namun ’kemerdekaan’ itu belum mutlak dimiliki dan dirasakan oleh orang Dayak (Ngaju). Tendensi oloh Ngaju lebih bangga dengan identitas budaya (bahasa) lain merupakan indikator bahwa orang Dayak (Ngaju) belum merdeka dan belum siap bangga untuk menjadi diri sendiri. Mengapa harus menjadi orang lain, bukankah bahasa menunjukkan bangsa? Kalau memang harus berbeda, kenapa tidak? Dari perjalanan dan pemahaman lintas budaya, kita seharusnya semakin sadar dan bangga bahwa bahasa dan budaya kita adalah kekayaan yang kita miliki dan tidak ada DUA-nya di dunia. Bukankah perbedaan adalah kekayaan yang menjadikan Indonesia itu ada? Itulah kita--dengan segala kekurangan dan kelebihan sebagai manusia-- mengapa harus secara artifisial bangga menjadi orang lain dengan segala perilaku budayanya? Hingga detik ini pun, orang Dayak (Ngaju) masih ragu-ragu dan malu-malu kucing untuk berteriak merdeka ”JITE LAH AKU, OLOH NGAJU! BUHEN KUAM??” yang artinya ” ITULAH AKU, ORANG (DAYAK) NGAJU. MEMANG KENAPA?? MERDEKA!!!

BUDAYA KECOLONGAN DAN KECOLONGAN BUDAYA: REFLEKSI DAN PENYEGARAN KEMBALI PEMIKIRAN SUKU DAYAK (NGAJU)

Oleh: Anthony Nyahu*)
Tulisan ini dihadirkan dengan maksud untuk tidak saling menyalahkan dan mencari kambing hitam atas beberapa situasi ‘kecolongan’ yang telah terjadi pada berbagai aspek terhadap keberadaan Suku dayak secara umum.Tulisan ini semata-mata untuk sekedar pencerahan (enlightment,reintrospeksi,) dan penyegaran kembali pemikiran Oloh Itah.
Menarik sekali tulisan Sdr. Rony Teguh pada kolom opini Kalteg Pos (5/3/05) yang telah mengetengahkan persoalan ‘kecolongan’ beberapa benda purbakala ritus Suku Dayak. Saya sebagai oloh itah tergelitik untuk ikut sekedar urun rembug. ‘Kecolongan’ demi ‘kecolongan’ telah, sedang, dan akan tejadi—yang kita tahu dan terjadi di depan pelupuk mata kita—seolah-olah tidak kita sadari atau memang berpura-pura untuk tidak kita sadari. Kita seolah hanya bisa meratapi terhadap ‘sesuatu’ yang hilang tanpa ada upaya kolektif –atau setidaknya mengembangkan kembali solidaritas etnis—untuk berupaya melakukan tindakan preventif agar tidak terulang. Kita dihadapkan dengan suatu paradigma baru, di mana kadar kedar kebanggaan kita ‘nasion’ atau ‘etnis’ dan budaya sendiri telah mengalami degradasi. Tidak mustahil gejala dari paradigma ini akan mengalami eskalasi yang tak terbendung di masa yang akan datang. Oloh Itah akan semakin rapuh dalam mengahadapi berbagai situasi yang terjadi secara invatif. Dalam kondisi seperti itu, kita mudah sekali disusupi, diprovokasi, dan ‘diperbodoh’akibat rendahnya ikatan persatuan dan kesatuan sesama suku. Seolah kita terlalu sibuk untuk memperhatikan dan peduli dengan berbagai ‘kecolongan’ tersebut dan menjadi hal yang ‘biasa’. Bahkan secara hiperbolik, pakaian di badanpun bisa ‘kecolongan’. Suku Dayak (Ngaju) telah mengalami begitu banyak kehilangan. Budaya dan kearifan tradisional telah terkontaminasi. Kita selalu dihadapkan dengan persoalan yang sama: pasrah dan apatis terhadap keadaan. Padahal tidak sedikit Oloh Itah yang telah menjadi tokoh nasional, cendekiawan dan berpengaruh yang dapat bersuara lantang atas situasi yang membelit sekarang ini.Akankah harus menunggu figur seperti Tjilik Riwut-Tjilik Riwut baru untuk mengatasi keadaan di Bumi Tambun Bungai ini? Tokoh yang dinanti-nantikan masyarakat Suku Dayak—seperti dalam kultur Jawa: ‘satrio piningit’—itu masih sumir (absurd). Tolong tanyakan kasus kecolongan di atas, siapakah yang paling merasa kehilangan? Tentu kita jumpai beragam jawaban pembenaran dan saling lepas tangan, terkecuali bagi yang masih merasa bahwa Dayak adalah sukunya dan leluhurnya ada di Bumi Tambun Bungai ini. Saling lepas tangan bukanlah suatu solusi, namun yang terpenting adalah bagaimana mengurut benang yang sudah mulai kusut ini. Kita tidak membutuhkan justifikasi atas ketidakberwenangannya kita tetapi hal yang harus dicermati adalah faktor penyebab dan institusi yang menangani hal tersebut dan dituntut pertanggungjawabannya di depan publik, terutama Suku Dayak secara umum. ’Kecolongan’ kita tidak hanya semat-mata dalam bentuk fisik. Beberapa HAKI (meminjam istilah Sdr. Rony) kita tidak pernah dipatenkan untuk mendapatkan sertifikasi secara kolektif. Lebih-lebih lagi, tidak adanya regulasi untuk tidak mengomersilkannya untuk kepentingan pribadi atau golongan dengan alasan apapun. Kalau dirunut, kehilangan kita telah banyak dalam senarai ingatan kita. Kita telah kehilangan kekuasaan sebagai pemangku wilayah adat (kaleka dan pukung-pahewan), kehilangan integritas kita sebagai masyarakat yang arif terhadap alam (illegal logging , PETI, dll.), kehilangan aset budaya (seperti yang baru saja kita alami), dan menurut asumsi penulis, lambat-laun kita akan kehilangan identitas –misalnya, bahasa (Basa Ngaju) yang semakin terdesak oleh bahasa Banjar. Para generasi muda kita lebih suka dan bangga menggunakan bahasa dan identitas lain yang bukan identitasnya (bdk. Suryanyahu dalam Katingan Pos, Minggu I/ Mei 2003).Akankah kita—sekali lagi—meratapi semuanya? Tidak menutup kemungkinan untuk masa yang akan datang kita belajar budaya dan filsafat Dayak di Leiden untuk menggali identitas yang hilang. Kita seolah dininabobokkan oleh euforia dan konstelasi politik, ekonomi, dan hiruk-pikuknya deru pembangunan. Kita seolah memosisikan diri sebagai penontan, pasif, dan menjadi generasi yang apatis. Kita tidak harus menjadi tokoh apabila kita ingin menggulirkan perubahan demi kemaslahatan Suku Dayak. Kita tidak harus serta merta menjadi nomor satu apabila kapabilitas kita secara jujur kita akui menjadi nomor sepuluh. Kita tidak harus menjadi panglima apabila keterampilan kita hanya sebatas ‘upas’. Yang terpengting adalah bagaimana cara kita ikut memeberikan kontribusi positif dengan tidak saling menyalahkan. Kita dibanggakan dengan beragam labelisasi dari pihak lain. Lalu muncul ‘pangkalima’, dan ’pangeran’, yang tidak jelas indikatornya untuk maksud apa. Labelisasi yang tidak dikenal oleh para orang tua kita bahkan para leluhur kita. Secara implikasional, labelisasi semacam itu justru mengaburkan identitas kita sendiri dengan lebih bangga menggunakan identitas yang lain. Pemakaian gelar tamanggung juga tidak jelas pemerolehannya baik secara genetika maupun pengaruh dan kewibawaannya. Secara moralitas kita dicerca. Stigmatisasi demi stigmatisasi kita tuai. Kita justru menepuk dada dengan ‘kemenangan’, dan jargon panji-panji perang: “kita telah menegakkan entitas etnis”. Untuk hal ini –kalau posisi kita terpojok dan terpaksa—kita bahu-membahu di baris depan. Baru bertindak kalau sudah melewati ambang batas. Mengapa tidak kita aplikasikan untuk bahu-membahu membangun Bumi tambun Bungai ini? Kita terjebak dalam lubang yang kita gali sendiri. Analogi tengelamnya perahu karena masing-masing tidak ada yang mau mengalah hanya karena derajat dan pangkat dan masih lekat dengan konsep pemikiran yang (sebagian) masih primordial. Agaknya kita perlu brainstorming dan brainwashing sebagai solusinya guna menyegarkan kembali pemikiran dan filsafat Suku Dayak yang hakiki. Untuk itu diperlukan lokakarya, seminar, bahkan kongres Masyarakat Dayak yang lebih menyentuh berbagai aspek kepentingan Suku Dayak menyangkut budaya dan sistem nilai yang dikandungnya, dengan melepaskan berbagai konflik kepentingan baik politik dan agama. Satu hal yang layak menjadi perhatian kita adalah perlu dilakukan pembenahan sikap secara kolektif,menyangkut aspek kognitif untuk dapat mengakui secara jujur ketidakmampuan dan siap dikritik apabila salah agar hadir pemikiran dan konsep berpikir yang logis dan bertanggungjawab dalam horizon baru. Ketidakmampuan kita tidak serta merta harus maksa arep dan membenarkan kesalahan tetapi lebih memacu kita untuk memperbaiki diri dan terus belajar. Kontribusi moral dan sumbangsih pemikiran yang segar sangat dibutuhkan demi Suku Dayak yang ideal di masa depan. Semua tergantung dari apa yang telah, sedang, dan akan kita lakukan. Terkait dengan kenyataan berbagai persoalan Suku Dayak seperti dipaparkan Sdr. Rony, bahwa ada institusi yang salahkonsep (miskonsepsi) terhadap budaya (baca: Kaharingan) tentunya harus ada klarifikasi yang bersifat institusional dan mendasar dari berbagai elemen yang ‘merasa’ cakap dalam hal tersebut. Tidak sedikit ‘pakar’ budaya Dayak yang kita punya, bahkan para tokoh intelektual yang pernah mengecap pendidikan dalam dan luar negeri. Kita beri dulu kesempatan kepada mereka untuk memberikan kontribusi pemikirannya demi kemaslahatan dan keberlangsungan hidup Suku Dayak yang lebih bermartabat. Akhirnya, dengan segala kerendahan hati penulis mengajak semua elemen yang masih ‘memiliki’ Dayak dan sebagai sukunya untuk urun rembug, berdiskusi, dan pumpung hapakat. Sumbangsih ide dan pemikiran Anda sangat dibutuhkan. Dari berbagai kegiatan tersebut dapat diletakkan dasar dan kerangka berpikir yang benar-benar segar dalam konsep Suku Dayak yang ideal di masa depan. Semuanya tersampir di pundak kita, mau ke mana dan jadi apa Suku Dayak kelak. Semoga!