25 Oktober, 2008

KEBUDAYAAN DAYAK DAN MOMENTUM 80 TAHUN SUMPAH PEMUDA: APA YANG MASIH TERSISA?

Anthony Nyahu
Kebudayaan Dayak di Kalimantan merupakan salah satu kekayaan kebudayaan nasional. Kebudayaan yang telah turun temurun diwariskan oleh nenek moyang suku Dayak telah membentuk kepribadian dan karakteristik kebudayaan Dayak yang dikenal sekarang ini. Namun, seberapakah nilai-nilai kebanggaan atas warisan kebudayaan itu bagi generasi masa kini? Tidak ditemukan suatu parameter akan hal itu, namun yang jelas sejak suku bangsa ini ada dan masa-masa kelam pasang surutnya peristiwa dalam sejarah—seperti tertuang dalam Tetek Tatum (riwayat manusia suku Dayak (Ngaju)) hingga terjajah oleh kolonialis dan masa global ini, suku Dayak dikenal sebagai suku yang pandai mewarisi kebudayaannya—terutama yang bersifat lisan (oral tradition). Riwayat tentang kepahlawanan (dalam Sansana Bandar), riwayat epos Tambun Bungai, dan tentang filosofi kemanusiaan, dan kearifan tradisionalnya terhadap alam,serta ketuhanan seperti Kaharingan mengetengahkan suatu fokus pemikiran bahwa suku Dayak adalah suku yang pandai mengartikulasi semua noktah peristiwa dalam suatu konstelasi dan episode kehidupan yang amat memukau. Pandangan inilah yang semakin mempertegas karakteristik dan etos masyarakat suku ini dalam memandang hidup dan menjalani kehidupannya. Filosofi kehidupan suku Dayak yang sangat akrab dengan alamnya, tatanan sosiokultural yang melekat padanya, sampai sifat terbuka mendudukkan suku ini sebagai suatu kesatuan yang inklusif dan mampu berdampingan hidup secara egaliter dalam kelompok komunal yang lebih luas. Filosofi itu tergambar dalam kehidupan komunal di dalam huma betang (rumah panjang yang dihuni oleh puluhan keluarga) yang diilustrasikan sebagai cermin kebhinekaan. Hal ini sejalan dengan kehidupan berbangsa dan bernegara dalam konteks yang lebih luas. Namun, terlepas dari semua puja-puji tentang kepahlawanan manusia suku Dayak, kekayaan budaya dan kearifan tradisionalnya, muncullah berbagai pertanyaan yang selalu menggelitik menuntut jawab: apakah semuanya masih eksis dan bertahan dengan situasi suku Dayak di masa kini? Apakah kita telah terjebak dalam buaian-buaian lullaby narsistik yang berlebihan sehingga lupa untuk mengilhami makna kebudayaan itu? Sementara, bagaimana manifestasi dari nilai-nilai kepahlawanan para leluhur itu disikapi generasi masa kini, atau masihkah filosofi huma betang yang amat dijujung tinggi itu menjadi bagian keseharian Oloh Dayak (orang Dayak) di masa kini yang tercerai berai (mulus di luar, retak di dalam) dengan konstelasi zaman yang serba individualistik dan hedonistis ini? *********** Saya jadi teringat dengan cerita orang tua dahulu ketika saya masih kecil bahwa ada tiga orang petinggi yang menumpang sebuah perahu. Ada tamanggung, damang, dan dambung. Di tengah perjalanan, perahu mengalami kebocoran di dasarnya, lalu tidak ada yang mau menambal atau menimba air agar keluar dari perahu itu karena masing-masing merasa gengsi (maklum, sama-sama pejabat), akhirnya perahu tersebut tenggelam dan mereka masing-masing menyelamatkan diri berenang ke tepian. Sungguh, cerita itu masih terekam dengan baik di otak saya hingga kini, sampai saya mengamati dan menganalisis sendiri dalam hidup dan keseharian di tengah masyarakat suku ini,—setidaknya untuk saya yang dilahirkan dan dibesarkan di kampung di era 70-an dan bagian dari Oloh Dayak. Cerita tersebut selalu terngiang dan seolah terpampang pada papan-papan tulis di sekolah dan menyisakan berbagai penafsiran bagi saya. Betapa tidak, suku Dayak telah sangat lama membuat perbedaan status sosial: utus gantung (keturunan bangsawan; petinggi) dan utus randah/utus jipen (keturunan budak belian dan termasuk di dalamnya utus hantuen/manusia jadi-jadian yang dapat menghisap darah secara magis). Perbedaan tersebut menyisakan dua hal yang masih akrab dan bergelut dengan situasi Dayak masa kini. Pertama, berkaitan dengan cerita tadi, Oloh Dayak/orang Dayak yang kebetulan dilahirkan dengan strata sosial tinggi bertahan dengan gengsi status quo-nya, sehingga lebih baik sama-sama tenggelam dan SDM (selamatkan diri masing-masing) daripada dipandang rendah oleh koleganya yang lain; kedua, dalam konteks demikian mengapa filosofi huma betang, habaring hurung, handep hapakat kok tidak diterapkan? Atas nama perbedaan yang ada dan sudah ada tersebut mengapa tidak dipandang sebagai sebuah kekayaan/potensi untuk bersama-sama melakukan perubahan demi kepentingan dan kemajuan bersama? Lalu, apa hubungan filosofi, kearifan tradisional, dan kepahlawanan dan etos suku Dayak sebagai anak alam dengan cerita di atas dengan kebudayaan Dayak pada masa kini? Orang lain, sebagai outer group dari suku Dayak pantas bertanya-tanya. Apa yang terjadi dengan pergeseran kebudayaan dan pola pikir masyarakat suku Dayak di tengah hiruk-pikuk modernisasi di zaman yang serba canggih (sophisticated) ini? Adakah peran yang harus dimainkan untuk mencoba mereposisi pemikiran (mindset) Oloh Dayak atau generasi masa kini terhadap pola-pola yang bergeser itu? Inikah dampak dan impak dari sebuah kata ajaib yang bernama modernisasi? Apakah modernisasi itu harus meluluhlantakkan sendi-sendi budaya sehingga ia bebas lepas untuk bergeser dan menyaru menjadi budaya lain? Apakah modernisasi menuntut manusia Dayak menjadi individualistik dan hedonistis serta oprtunistis (SDM—selamatkan diri masing-masing)? Inikah refleksi dari etos generasi Tambun Bungai yang terkenal mamut menteng (gagah berani) itu?Karena alasan ekonomi kah gejala ini muncul? Mungkin masih banyak lagi pertanyaan apakah lainnya. Dalam perspektif sosiologis, suku Dayak terbagi menjadi tiga bagian berkaitan dengan pewarisan budaya yang dimilikinya. Bagian pertama, kelompok masyarakat suku Dayak yang bermukim di pedalaman, di kampung-kampung yang mungkin masih tersisa kemurnian kebudayaannya adalah bagian masyarakat yang bertahan dengan pola budaya tolong-menolong, solider, dan loyal dengan ikatan komunalnya. Bagian ini masih mewarisi budaya leluhur dan menganggap bahwa kebudayaan merupakan bagian dari pembangunan kemanusiaan (human development). Bagian ini sudah terserap modernisasi tetapi masih kuat bertahan dengan kearifan tradisionalnya ; bagian kedua adalah bagian tengah yakni bagian masyarakat yang sedang-sedang saja, artinya masih tetap bertahan dengan sebagian dari kebudayaannya namun juga sudah mulai menyerap unsur-unsur modernisasi (tidak mundur tetapi tidak juga maju; jalan di tempat), bagian ini merupakan bagian yang cenderung ambil posisi aman saja; ndak usah macam-macam; cenderung pasrah dan acuh terhadap pewarisan budayanya kepada generasi setelahnya. Bagi mereka, budaya adalah budaya, ia akan mengalami seleksi alamiah, tidak ada kewajiban yang mengharuskan untuk mewariskannya; dan bagian ketiga adalah bagian dari pucuk piramida, kaum elite dan intelektual dan berwawasan luas, menguasai teknologi dan ilmu pengetahuan namun hampir sama dengan bagian kedua, yakni mewariskan budaya menjadi bagian yang tidak terlalu penting dan harus di masa kini yang serba canggih. Hanya saja yang membedakannya adalah cara pandang dan keprihatinan mereka dalam melihat eksistensi kebudayaan dan kehidupan di masa yang akan datang. Dalam konstelasi demikian, maka peranan kaum elite dan intelektual merupakan garda depan yang harus menjadi motor penggerak masyarakat bagian tengah untuk tetap mempertahankan kebudayaan dan mereposisi perubahan pola pikir manusia suku Dayak. Kaum inilah (yang didominasi oleh kaum muda yang progresif) yang menjadi pewaris kebudayaan, sehingga maju-mundurnya kebudayaan di masa depan berada di tangan mereka. Perubahan pola pikir tidak harus serta merta menanggalkan kebudayaan, karena kebudayaan merupakan penapis/filter bagi kebudayaan lain yang tidak sesuai dengan kepribadian manusia Dayak. Jika tidak, maka yang terjadi adalah secara eskalatif muncullah gerakan eskapisme terhadap budaya sendiri: lebih bangga dengan kebudayaan lain--kebudayaan baru sebagai pengabur identitas lama—untuk dan atas nama sebuah identitas modern. Berkaitan dengan itu pula, 80 tahun setelah Sumpah Pemuda, yang dikumandangkan dan dimotori oleh kaum muda Indonesia, telah tercatat dalam tinta emas sejarah. Peranan kaum muda dalam peristiwa bersejarah Kebangkitan Nasional 1908, Sumpah Pemuda 1928, Proklamasi Kemerdekaan RI 1945, Orde Baru 1966, dan Reformasi 1998, mengingatkan kita akan peran mereka dalam maju-mundurnya perjalanan kebangsaan. Namun, mampukah kita sebagai bagian dari kaum muda Dayak menjadikan semua itu sebagai ‘kebangkitan’ soliditas dan solidaritas, serta pola pikir dan perspektif yang benar-benar baru (yang tidak terjebak dalam romantisisme etnosentris berlebihan) untuk bergandeng tangan bersama-sama berjuang mengembalikan filosofi huma betang, habaring hurung, handep hapakat kepada tempatnya untuk membebaskan suku Dayak dari kebodohan, kemiskinan, dan pemarjinalan? Apabila tidak sekarang,kapan lagi? Kalau bukan kita Oloh Dayak,lalu siapa lagi? Lalu, apalagi yang tersisa dari kebudayaan Dayak di masa depan? Mungkin perlu adanya sumpah pemuda-sumpah pemuda Dayak, yang lepas dari vested interest agar ada ikatan yang lebih solid untuk ikut membangun Tanah Dayak? Yang di dalamnya melebur ke dalam satu kesatuan yang utuh tanpa melihat perbedaan utus gantung/utus randah, oloh Kahayan, oloh Kapuas, oloh Katingan, oloh Maanyan, dan oloh-oloh lainnya, menjadi satu payung bernama Oloh Dayak Kalteng? Sanggupkah kita mengumpulkan kembali bilah-bilah lidi yang tercerai-berai ini ke dalam satu ikatan sapu lidi dan dapat menjadi satu kekuatan untuk melakukan perubahan? Sesungguhnya, kita hanya pandai membuat rencana (planner), tetapi mungkin harus belajar keras untuk memulainya, melaksanakannya (kata seorang teman yang studi di Belanda) dan membina dari apa yang telah kita lakukan. Kita harus belajar banyak untuk menjadi eksekutor, menjadi pelaksana atas apa yang telah kita rencanakan dan mengevaluasinya.Tetapi benarkah kita juga semakin pandai meratapi, menyalahkan dan memasrahkan diri atas takdir yang menimpa kita? Akankah kebudayaan Dayak seperti halnya kebudayaan Indian di Amerika yang lambat-laun akan punah? Atau mungkin kita selama ini terlalu narsis, mungkin benar, mungkin juga keliru. Hanya waktu yang akan menjawabnya…Semoga!