22 Desember, 2008

MANDAU SUKU DAYAK KALIMANTAN: PUSAKA SEJUTA MISTERI

Anthony Nyahu
Tidak banyak yang tahu tentang mandau, selain sebagai senjata tradisional Suku Dayak di Kalimantan, Indonesia. Di dalam kehidupan Orang Dayak, mandau bukan saja sebagai sebuah senjata dari besi semata, namun ia diyakini memiliki aura sebagai pendamping yang disebut panekang hambaruan (pemberi motivasi dan semangat; spirit). Mandau merupakan senjata utama dari sekitar puluhan jenis senjata tradisional Suku Dayak yang mematikan. Menurut Tjilik Riwut (Kalimantan Membangun: Alam dan Kebudayaan,1993:309), nama asli mandau dalam Bahasa Sangen (Dayak Kuno) adalah Mandau Apang Birang Bitang Ayun Kayau yang artinya kurang lebih secara etimologis adalah “senjata yang dipakai kaum lelaki yang dipunyai oleh kaum kayau/para pemenggal kepala”(-pen) di zaman dulu. Sebuah mandau tidak digunakan secara sembarangan mengingat fungsionalitasnya dalam setiap upacara adat merupakan salah satu prasyarat. Ia tidak digunakan dalam kehidupan sehari-hari seperti alat untuk memotong kayu, menebas semak dan lain-lain.Sebagai gantinya,biasanya Suku Dayak mengunakan parang biasa yang bentuknya mirip dengan mandau yang disebut Pisau Ambang. Karena kedudukannya yang tinggi dibandingkan dengan senjata-senjata tradisional suku Dayak lainnya, ia juga tidak dipakai untuk meneror orang, atau mengancam orang lain. Konon, apabila sebilah mandau telah ditarik dari kumpang/sarung-nya, ia akan menuntut darah, dan itu mutlak dipenuhi. Dalam proses pembuatannya, mata mandau diambil dari batu besi dari gunung yang berusia puluhan abad yang dikenal dengan sanaman mantikei. Konon menurut cerita turun-temurun, ada dua tempat di Kalimantan Tengah di mana besi tersebut dapat ditemukan, yang pertama di Wilayah Kecamatan Sanaman Mantikei, Kabupaten Katingan; dan kedua, di daerah Montallat, Kabupaten Barito Utara. Besi dari kedua tempat tersebut dikenal pula sebagai besi yang beracun sehingga apabila melukai kulit akan berujung kepada kematian. Melalui proses panjang, sebuah mandau ditempa dan dilengkapi dengan gagang yang terbuat dari tanduk rusa dan diberi ornamen bulu burung atau rambut manusia serta aneka ukiran yang mengandung unsur pelemahan semangat atau penunduk musuh yang dalam Bahasa Dayak Ngaju disebut parunduk. Begitu pula pada bagian sarungnya, selain dilengkapi tali pengikat dari anyaman rotan pilihan, biasanya diikatkan juga dengan aneka benda fetis yang disebut penyang sangkalemo. Perlengkapan lain yang kecil namun tak kalah penting adalah langgei kuai atau sejenis pisau kecil yang bertangkai sepanjang kurang lebih 20—30cm mengikuti panjang mata mandau. Langgei ini memegang fungsi sebagai senjata cadangan dalam keadaan darurat. Ia memerankan fungsi lebih ‘akrab’, di mana secara fungsionalitas boleh digunakan untuk keperluan yang berkaitan dengan hal-hal biasa (bukan dalam konteks sakral). Pada masa lalu, peran sebuah mandau menjadi sangat vital. Mandau merupakan simbol dari sebuah kekuasaan. Kekuasaan tersebut terkait erat dengan mitologi Dayak bahwa semakin banyak kepala musuh yang dipenggal, maka akan semakin tinggi status sosial seseorang yang disebut sebangai mamut menteng. Seseorang yang mamut menteng dapat secara aklamasi menjadi seorang pemimpin. Hal ini bukan tanpa dasar mengingat kegigihannya dalam membela komunitas sukunya agar selamat dari berbagai serangan yang memunahkan. Namanya juga masih zaman primitif, kegiatan hasang-maasang (saling teror) dan kayau-mangayau(saling bunuh dengan penggal kepala) adalah sebuah pertarungan mempertahankan entitas dan eksistensi. Kesemuanya tidak dilakukan tanpa dasar, melainkan karena persoalan politik kekuasaan dan pertahanan eksistensi dan jatidiri yang terancam. Seseorang yang sudah cukup ilmu barulah turun ke kancah pertarungan ini dan persoalannya pun bukan persoalan yang ringan, sehingga jalan damai mungkin sudah tidak mendapat kata sepakat lagi. Ada banyak aturan dalam hal peperangan,diantaranya tidak melibatkan anak-anak menjadi korban begitu juga dengan para ibu. Kesemuanya dilakukan secara jantan; satu lawan satu, atau perang terbuka secara massal. Dalam kamus peperangan Suku Dayak kuno, tidak ditemui istilah keroyokan atau membunuh dalam keadaan terjepit. Apabila korban sudah menyerah, maka ia akan ditawan sebagai budak/jipen yang akan mengabdi pada pihak yang menang selama hayatnya, kecuali ditebus atau dibeli/ditukar dengan barang berharga berupa guci yang disebut balanga atau benda berharga lainnya. Berkaitan dengan fungsi utama sebagai senjata perang di masa lalu, mandau warisan leluhur diyakini suku Dayak sebagai penjelmaan diri sang empunya. Artinya, ia dapat menjelma secara fisik di tengah-tengah peperangan atau sebaliknya, tidak kasat mata (nonvisual) sehingga dikenal dengan “mandau terbang”. Ia bisa dikontrol oleh yang empunya untuk melakukan serangan balasan, jadi hanya bersifat reaktif atas sesuatu yang terjadi. Ia tidak bersifat aktif dan agresif. Bagi masyarakat suku Dayak, mandau menyisakan sejuta misteri yang tak terpecahkan hingga kini. Konon di masa lalu sebuah mandau seolah memiliki aura,seolah sesuatu yang dapat dipelihara, disuruh atau tunduk atas kekuasaan pemiliknya. Ia seolah dapat menjadi ‘kawan’ yang sangat patuh dan sangat jarang mencelakai ‘tuannya’. Hal ini mungkin secara asumtif berkait erat dengan patei-ongoh atau kiprahnya di masa lalu, sehingga semuanya diyakini sebagai “budak yang harus tunduk atas perintah tuannya” atau “kawan setia yang tahu membalas budi”. Mandau juga dapat menjadi sarana pengobatan, misalnya air cucian asahannya dapat mengobati semacam alergi gatal-gatal yang disebut “kalalah” atau “kicas-kihal” (sejenis tulah/kutukan). Dalam konteks kekinian, mandau telah menjadi sebuah pusaka tradisional yang cukup langka. Kelangkaan tersebut sangat disayangkan dikarenakan oleh ketiadaan pandai besi yang menurunkan ilmunya kepada generasi setelahnya. Para pemilik mandau warisan leluhur juga dianggap kian berkurang. Sebagian sudah tidak dirawat lagi dan sebagian lain telah berpindah kepemilikannya kepada orang asing dengan berbagai alasan. Salah satunya adalah alasan ekonomi. Biasanya yang memiliki dan merawat benda-benda tradisional adalah para tetuha adat atau para basir berkaitan dengan kepemimpinannya pada setiap upacara-upacara adat. Di samping itu, komponen material sebagai bahan utamanya juga sangat sulit ditemukan. Alhasil, kalaupun dibuat tiruan/replikanya,mandau masa kini sudah menggunakan besi-besi (atau baja) yang kurang ampuh dan aura kedigdayaannya pun dianggap tidak terlalu istimewa. ‘Mandau-mandau’ tersebut hampir setara dengan pisau ambang (parang laki) dan dijual dengan bebas di toko-toko cinderamata di pinggir-pinggir jalan.

20 Desember, 2008

REVITALISASI KEKUASAAN DAMANG DI TANAH DAYAK: UPAYA PENEGAKAN KEMBALI HEGEMONI ATAS RUANG BUDAYA DAN RUANG HIDUP SUKU DAYAK

Anthony Nyahu
Damang. Demang. Damung. Dambung. Kata arkais ini kembali menguat manakala para pengkaji tentang Dayak baik dari dalam maupun luar Dayak kembali merekonstruksi jejak-jejak kearifan lokal suku ini. Bagi masyarakat Dayak, damang merupakan ‘kekuasaan kebudayaan’ atau ‘penguasa kebudayaan’ ketika ruang hidup budaya (cultural sphere) Dayak masih belum terkontaminasi oleh budaya luar. Damang merupakan ‘penguasa’ yang bukan penguasa. Artinya, meskipun secara legal-formal bukan sebagai pemangku jabatan publik, ia menjadi sosok ‘penguasa komunitarian’ dan sangat diperhitungkan pada masa-masa keemasan menaungi masyarakat Dayak. Konon, pada masa lalu, sebagai pengambil kebijakan kolektif (pengambilan keputusan berdasarkan pakat adat/sidang adat yang beranggotakan para tetuha kampung), ia merupakan manifestasi dari sebuah kekuasaan komunitarian atas sebuah ideologi. Ideologi Dayak yang mengedepankan asas musyawarah untuk mencapai mufakat,dan ternyata setali tiga uang dengan sila keempat Pancasila yang kita kenal lewat pendidikan moral di sekolah-sekolah. Sebagai pucuk dari kekuasaan komunitarian itu, damang tidak saja memegang otoritas atas ‘kekuasaan kolektif’ namun lebih sebagai pemegang otoritas kebudayaan dan seorang penjaga perdamaian (peace keeper) yang dipandang sebagai pembawa pesan-pesan keadilan dalam tatanan perikehidupan sosio-kultural masyarakat Dayak. Dengan kekuatan atau power yang serba tak terbatas dan tak kelihatan itulah, peran damang di masa lalu menjadi sangat disegani dan dihormati. Hal ini seolah menjadi rintangan tersendiri bagi entitas lain di luar Dayak yang ingin menancapkan kuku kekuasaannya di Tanah Dayak. Para damang seolah menjadi ‘target operasi’ bagi para penakluk Dayak, baik dari Barat maupun di nusantara. Manakala, ruang hidup kebudayaan Dayak semakin sempit, mereka kemudian sengaja dilemahkan dan dimarjinalisasi oleh kekuasaan masa lalu dan kekuasaan pemodal di masa kini, demi mewujudkan berbagai mimpi: mimpi menguasai tanah dan menghancurkan kebudayaan. Peran mereka yang semakin dilemahkan tersebut menempatkan mereka kepada sebuah situasi yang terpojok: menyerah kepada kekuasaan legal-formal dan cenderung dijadikan sebagai ‘pion’ kekuasaan. Mereka menyerah kepada ketidakberdayaan atas hegemoni yang bernama kekuasaan. Sebagai pemegang otoritas kebudayaan Dayak, peran damang dalam kehidupan masyarakat Dayak masa lalu menjadi sangat vital. Selain sebagai seorang penjaga perdamaian, ia dituntut sebagai hakim yang adil yang melaksanakan aplikasi hukum adat secara murni dan konsekwen. Lalu, kekuasaan hukum positif pun mulai diperkenalkan oleh Belanda dan mereka mulai menyerap KUHP sebagai hukum positif. Hukum adatpun sebagian mulai perlahan tergantikan. Padahal kedua produk hukum tersebut dapat berjalan beriringan, bahkan peran para penegak hukum dapat teringankan karena penyelesaian perkara pidana/perdata ternyata dapat terselesaikan secara adat melalui singer/denda adat atau palas bunu/upacara perdamaian kedua pihak atas kasus pembunuhan. Kini, bergerak dari situasi yang kian menghimpit akibat hilangnya posesivitas masyarakat adat Dayak atas tanah dan hutannya (pukung-pahewan/hutan lindung, bahu-lakau/belukar cadangan) dan hegemoni kapitalis/pemilik modal yang berjubah investasi, peran para damang menjadi kembali dipentingkan. Peran mereka secara strategis diupayakan sebagai serangan balik (counter attack) untuk menjawab situasi keterhimpitan itu. Para damang sebagai pemegang otoritas publik dan budaya itu mendesak untuk direposisi agar konstelasi kebudayaan Dayak tidak tercerabut. Hal yang mengkhawatirkan juga ternyata selama ini mereka tidak terkaderisasi dengan baik, secara otodidak maupun formal. Tidak ada pendidikan khusus bagi para generasi damang masa depan (the next damang) sama seperti aset kebudayaan Dayak lainnya. Lalu, pertanyaan pun muncul: siapakah yang akan meneruskan pembawaan kearifan leluhur atas kebudayaan Dayak jika mereka sudah tidak ada lagi? Kondisi mereka yang sudah uzur sekarang membuat kita tersentak; siapkah kader yang akan menggantikan mereka, atau jabatan damang hanya akan mengisi buku-buku sejarah tentang kebudayaan Dayak di masa lalu? Ironis,memang. Para alumni sekolah hukum seolah tidak tertarik untuk menjadi damang, padahal mereka sudah dibekali dengan pengetahuan akan hukum adat Dayak. Mungkin didasari oleh berbagai alasan ketidakpastian. Ketidakpastian statusnya dalam kekuasaan formal dan yang pasti ketidakpastian penghasilannya. Namun itu bukan alasan yang signifikan bila kita mau mendedikasikan semuanya demi sebuah entitas yang bernama kebudayaan Dayak. Sebagai ruang budaya yang otonom, semestinya kebudayaan Dayak harus dikuatkan melalui infrastruktur penegakan kebudayaan itu sendiri. Tak terkecuali peran para damang menuntut untuk dilakukan revitalisasi dan reposisi. Sebagai ujung tombak penegakan entitas sebuah kebudayaan, peran mereka sangat strategis. Strategis karena pada pundak merekalah terkikis atau eksisnya sebuah kebudayaan Dayak masa kini maupun masa depan. Peran mereka juga semestinya direposisi sebagai tulang punggung kekuatan pemerintah lokal dan jelas status hierarki kepemimpinannya dalam kekuasaan formal pemerintah atas Tanah Dayak. Kepemilikan atas tanah adat yang menjadi wilayah kekuasaannya setidaknya apabila tidak dikembalikan, minimal diberikan ruang hidup kebudayaan masyarakat dan diatur secara sosial-ekonomi dalam ranah lokal untuk melestarikan hutan dan kekayaan kearifan tradisioanal yang terstigmatisasi selama ini. Sebagai salah satu komponen penegak kekuatan hukum adat dalam ruang budaya Dayak, ada baiknya para damang menempati tempat khusus dan layak, misalnya sebagai staf ahli para perancang pembangunan/penguasa di tingkat provinsi dan kabupaten/kota di Kalimantan Tengah; atau dilembagakan kembali sebagai penguasa hukum publik (termasuk hukum adat) dan mendapatkan penghasilan yang layak (minimal sama dengan jumlah penghasilan para legislator di DPRD) di tingkat lokal di Tanah Dayak Dengan demikian, mereka dapat menjadi sumber rujukan dan pertimbangan terhadap pembangunan masyarakat Dayak secara sosial,ekonomi, politik dan budaya, sehingga tidak terbentur dengan berbagai kepentingan yang sifatnya sesaat dan keuntungan politik saja. Atau paling tidak, untuk dan atas nama ‘penguasa’ kebudayaan Dayak, mereka harus mempunyai taring yang tajam untuk mengusir kepentingan kapitalis yang telah, sedang, dan akan meluluhlantakkan kebudayaan Dayak. Begitu pula ekspansi korporasi perkebunan komoditi yang tidak tidak akan pernah menyejahterakan masyarakat Dayak di Tanah Dayak yang subur dan memberi penghidupan selama ini!

MANUSIA SUKU DAYAK MASA DEPAN: LANDLESS ATAU STRANGERS IN PARADISE?

Anthony Nyahu
Manusia Suku Dayak memang telah sejak lama sebagai manusia landless, di samping juga banyak less-less yang lain. Issu tentang landless padahal sejak jauh hari dikumandangkan dan diwanti-wanti oleh seorang pahlawan kharismatik Dayak, Tjilik Riwut dengan jargon: Ela Sampai Tempun Petak Manana Sare, Tempun Kajang Babisa Puat, Tempun Uyah Batawah Belai (Jangan sampai yang punya tanah berladang di pinggiran, yang punya atap justru kebasahan,dan yang punya garam justru hambar rasa). Jargon tersebut ternyata baik secara fisik maupun nonfisik, telah terbukti terjadi dalam kehidupan dan kebudayaan suku Dayak. Justru pemarjinalan yang terjadi menempatkan suku Dayak menjadi asing di tanahnya sendiri, menjadi penonton atas pembabatan hutan secara massif. Sementara, selama ini mereka dikekang dan dibatasi dalam mengusahakan hutan untuk kehidupan, misalnya untuk kebutuhan pangan. Mereka justru menjadi kambing hitam atas perusakan dan pembabatan hutan, dianggap sebagai peladang berpindah, pembalak dan seterusnya. Padahal, kearifan tradisionalnya tidak pernah diekspos ke permukaan,betapa mereka sangat arif dalam menjaga keseimbangan ekologis, yang menjadi sendi perikehidupan dan tulang punggung sosial-ekonomi suku Dayak. Imperialisme jilid baru bersampul investasi telah menjadi akar dari peluluhlantakan kebudayaan suku ini. Betapa tidak, pembalakan hutan secara besar-besaran untuk dan atas nama investasi dan slogan politik membuat akar budaya porak-poranda, kebudayaan baru dicekoki kepada masyarakat dengan mengenalkan tanaman komoditi yang seumur-umur tidak terdapat dalam kosa kata agraris mereka. Mereka sangat tahu dan paham bahwa ada beberapa komoditi tanaman tertentu yang sangat tidak bersahabat dengan ekologi, juga ekosistem yang ada. Mereka sangat tahu dan paham bahwa komoditi yang merusak itu tidak akan membuat mereka lepas dari kerangkeng yang bernama kemiskinan. Tapi apa daya, semua memang sudah telanjur, sudah tidak ada pilihan lain selain mencoba mengakrabi dan perubahan dengan teater modernisasi telah ditayangkan. Kita dengan terkesima menjadi penonoton dan para sutradara tersenyum puas sambil mengencangkan ikat pundi-pundi bersiap keluar dari pintu belakang! Runtuhnya akar sendi budaya dan moralitas diindikasi dengan merebaknya peredaran narkoba dan obat terlarang yang menghujam generasi putus sekolah, angka pengangguran laten yang meningkat, terkikisnya kedigdayaan hukum adat dan pelecehan atasnya, serta pergaulan bebas urban yang mulai merangsek hingga pedalaman, hingga berbagai persoalan lain yang kronis. Kita harus secara obyektif menilai diri dan kedirian suku ini. Issu tentang landless, bukan hal yang baru, terlebih dari kacamata hukum, dan terutama hukum lingkungan. Terbukti, dengan tidak terakomodirnya hukum agraria yang mengakui secara legal kepemilikan publik atas wilayah-wilayah adat, misalnya pukung-pahewan, sebagai kawasan cagar budaya adat yang dipelihara sejak zaman leluhur suku Dayak mendiami pulau Kalimantan. Hukum agraria yang notabene sebagai warisan dari Hindia Belanda sampai kini masih belum memihak kepada kepentingan masyarakat suku Dayak secara umum. Hal ini merupakan rumpang-rumpang kosong yang sengaja dipelihara oleh pemerintah (untuk dan atas nama negara) untuk berbagai kepentingan, termasuk kepentingan yang berkaitan erat dengan investasi dan hegemoni domestik dan asing atas kekayaan alam Kalimantan. Pembatasan kepemilikan tanah adat merupakan langkah yang membatasi ruang hidup (life sphere) masyarakat suku Dayak untuk mengolah dan mengusahakan tanahnya demi kepentingan hidup dan kehidupan baik untuk kepentingan sesamanya dan kebudayaannya di masa kini maupun masa datang. Tidaklah mengherankan, jika dalam setiap kasus yang berkaitan dengan persoalan tanah, akan menimbulkan kerawanan sosial yang sangat rentan. Hal ini tidak saja berlaku di pulau ini, tetapi hampir di seluruh wilayah Indonesia. Masyarakat selaku pemilik tanah, secara de facto tidak akan pernah sejahtera dari tanah yang diusahakannya sendiri. Dengan alasan lahan tak terurus dan alasan-alasan lainnya, maka investasi--dalam baju apapun--dengan leluasa melenggang masuk dengan terlebih dulu lewat pintu ini-itu. Dengan demikian, harapan untuk menyejahterakan masyarakat di sekitar investasi tersebut dapat terwujud. Namun, apa lacur, harapan hanya tinggal harapan kosong. Data dapat diperoleh di Walhi, seberapa sejahteranya angka masyarakat yang berada di kawasan ini? Semua memang akan berpulang kepada dua sisi mata uang: untung-rugi, positif-negatif, kuasa-tidak berkuasa, kaya-miskin, baik-buruk, benar-salah, dan sejuta yin-yang lainnya. Masyarakat suku Dayak tetaplah masyarakat suku Dayak yang lebih banyak miskin dan termarjinalkan, selalu jadi penonton. Toh, kalaupun dilibatkan, itupun masih dikebiri: dan hampir tidak ada yang mau jadi kuli, pekerja kasar, atau antek perusahaan untuk menundukkan warganya agar mau welcome atas hegemoni kekuasaan pemodal. Untuk kasus Gunung Mas, buat saya tidaklah terlalu mengejutkan kalaupun mereka bakalan landless. Nasib mereka hampir setipe-sejenis-sebanding dengan penderitaan yang dialami warga lainnya di kabupaten-kabupaten lain di Kalteng. Bagi saya, setelah landless, less-less apalagi yang akan menjadi 'kekayaan' yang dimiliki suku ini. Homeless, assetless, powerless, voiceless, dan mungkin sejuta less-less lainnya, selain ngeles aja. Dalam hal ini, masyarakat selalu menjadi korban, menjadi victims dari semua yang bernama kekuasaan. Sedangkan semua pihak tidak mau menjadi yang dipersalahkan, yang bertanggung jawab. Sesungguhnya, siapa dan apa yang salah? Salah pemerintah dengan kebijakannya, salah masyarakat yang tetap status quo, atau salah pemodal? Atau salah sistem yang ada di negara ini? Salah-benar, saya pikir bukanlah solusi. Solusi yang urgent adalah menata kembali pemikiran,kebijakan, penguatan masayarakat suku ini dalam menghadapi tantangan ke depan yang semakin menghimpit dan memarjinalkan. Atau mungkin itu juga bukan sebuah solusi bagi sebagian besar warga masyarakat kita yang sudah terhimpit. Terhimpit dengan situasi ekonomi, dengan kemiskinan yang semakin akrab dan mendera, atau terhimpit dengan kebijakan yang tidak memihak. Maka, secara naluriah muncul secara massif, masyarakat mematok tanah-tanah kosong berhektar-hektar lalu mengklaimnya kepada investor demi kepentingan sesaat atau menyambung hidup(?) atau juga munculnya eskalatif sosiologis--daripada kita toh juga tidak mendapatkan apa-apa, lebih baik tidak memiliki apa-apa lagi? Di samping memang tuntutan-tuntutan lain dalam pola kehidupan dan pemikiran suku Dayak yang telah sebagian mulai tergeser. Rekan-rekan bisa membayangkan--dari jauh, tentu saja, bukan mengalami--apa yang sesungguhnya mereka miliki selama ini? Hasil berkebun saja berupa rotan, masih dianggap bukan hasil bumi tetapi hasil hutan (bukan hasil budidaya) dengan harga yang dapat ditukar 25kg beras saja per kuintalnya, bahkan kurang. Mampukah mereka sejahtera? Boro-boro, untuk makan saja kurang! (lihat Katingan), belum sektor ekonomi lainnya. Berladang untuk kebutuhan pangan sehari-hari (bukan bisnis seperti di Jawa), dianggap pembabatan hutan dan semakin dilarang, mencari kayu untuk peralatan rumah saja di samping susah, juga ndak boleh. Lalu mau apa? Sementara harga komoditas hidup lainnya semakin melangit di awan. Lalu mau usaha apa? Menambang emas, dianggap PETI dan dirazia sewaktu-waktu. Lalu mau jadi apa masyarakat suku ini? Mau gigit jari saja? Jadi, kembali lagi ke persoalan Gumas. Dalam pandangan saya selaku bagian dari suku ini, sesungguhnya ada sesuatu yang salah, sesuatu yang ndak beres dengan Kalimantan ini, terutama Kalteng masa kini. Bukan, bukan saya mengagitasi untuk melakukan sesuatu atau apapun, tapi kita sebagai bagian dari suku Dayak harus melakukan langkah dan langkah itu dimulai dari hal-hal kecil untuk mencapai langkah yang besar. Keprihatinan saja ndak cukup, mas, mbak! Atau kalau tidak ada langkah kecil ada baiknya ilmu eskapisme dijalankan: lari sejauh-jauhnya dari kenyataan! dan menjadi kilau tanding (maaf) asu mangang kalingee! Jangan pernah mau menjadi bagian dari suku ini (yang sangat tidak diinginkan dan disetujui oleh rekan-rekan yang sudah punya nama di rantau orang!). Siapa, apa, dan bagaimana persoalan yang dihadapi suku Dayak merupakan persoalan yang holistik, komprehensif, dan cenderung kompleks. Jadi, semoga saja persoalan ini dapat ditindaklanjuti (bahasa politiknya) dan dikaji mana kepentingan prioritas yang harus ditangani. Jangan sampai masyarakat suku ini menjadi pengembara dan asing di tanah yang didiaminya sendiri atau stranger in paradise. Selama ini yang terjadi dan akan terus terjadi adalah uluh kuman lauke, arep inenga uluh tulange! Karakteristik masyarakat suku yang keleh uluh bara sama arep karena alasan ekonomis harus segera ditinjau ulang, daripada sama arep kemee, keleh uluh sasinde merupakan langkah eskapistik yang muncul sebagai akibat dari hegemoni atas kekuasaan yang dihadapi dengan ketidakkuasaan. Setidaknya, dalam hemat saya, kita sebagai bagian dari suku ini harus membeli lebih banyak cermin agar kita semakin tahu betapa banyak luka di sekujur tubuh kita, atau bila perlu belilah lup/kaca pembesar agar lebih detil kita amati. Betapa kita sesungguhnya luka, dan luka itu tetap menjadi buhit yang kita garuk maka akan muncul sensasi-sensasi lain (enjoyment of pain) sebagai bagian dari keakraban kita dengan penyakit yang bernama penderitaan, kebodohan , dan kemiskinan yang selama ini mengakrabi kita (atau kami) saban hari! Kiranya persoalan ini, mungkin hanya sebagian kecil dari warga suku ini yang merasa prihatin atau miris, atau langkah-langkah kongkrit pressure lainnya, dengan tidak mengurangi peran tiap orang, tentunya. Tapi bagaimana dengan saudara-saudara kita yang menjadi korban? Di sana, nun jauh di jantung pedalaman sana, masih setia dengan ritualnya sehari-hari: mengusahakan sesuatu apapun demi sesuap nasi! jauh dari mimpi-mimpi tentang pembebasan dari kebodohan, kemiskinan, dan penderitaan; jauh dari bayang-bayang kesejahteraan yang utopis, jauh dari riuh gemuruh teknologi (bahkan saat e-mail ini ditulis mungkin saja mereka masih akrab dan bersenda gurau dengan ketiga kata kunci di atas; masih sibuk dengan apa dan bagaimana cara menyambung hidupnya!). So, kita solah mengahadapi kebakaran, padahal dapur di sana nun jauh di pedalaman masih berusaha ngebul agar tetap hidup esok pagi, kebakaran ide, dan tentu saja mungkin sebagian dari kita--yang lelaki tentu saja--kebakaran janggut! Ah, mungkin pelik, rumit atau apapun namanya. Tapi, memang itulah realita yang harus dihadapi jika mau dan berniat suku ini tetap eksis dan punya power agar tidak selalu diperkaya dengan sejuta less lainnya! Semoga!

11 Desember, 2008

Sungai Bagi Orang Dayak di Kalimantan Tengah: Suatu Awal dari Titik Tolak Transformasi Nilai-nilai dan Kebudayaan
Anthony Nyahu
Sungai, sungai dan sungai. Kata ini akan selalu muncul manakala masyarakat dari luar Kalimantan baru pertama kali masuk ke Pulau ini, selain hutan, hutan dan hutan. Bagi masyarakat urban—dan masyarakat budaya lain di Indonesia—yang telah lama bermukim di pulau dengan sarana transportasi darat yang memadai, tentu menjadi sesuatu yang tidak terlalu menarik. Tetapi bagi masyarakat penghuni Pulau Kalimantan, makna sungai menjadi sangat penting dalam setiap jengkal kehidupan mereka. Sungai tidak saja menjadi sebuah sarana transportasi yang sangat vital, namun lebih sebagai sarana transformasi sebuah proses kehidupan bernama kebudayaan. Oleh sebab itu, keakraban orang Dayak secara ekologis dengan sungai menjadi bagian penting dalam catatan sejarah pasang-surutnya transformasi sebuah kebudayaan dari hal-hal lama ke hal-hal yang baru. Di Kalimantan Tengah, misalnya paling tidak terdapat sebelas alur sungai besar, di luar anak-anak sungai yang menghubungkan satu kampung dengan lainnya. Maka dapat dibayangkan, betapa sungai menjadi bagian yang amat penting bagi kelangsungan kehidupan, transportasi, interaksi sosial melalui bahasa, kehidupan ekonomi, dan tranformasi budaya. Sungai dalam setiap perikehidupan orang Dayak di Kalimantan menjadi sebuah sarana yang patut dijaga dan dirawat, mengingat fungsionalitasnya yang tinggi bagi kelangsungan kehidupan mereka. Hal ini mungkin agak berbeda dengan di pulau-pulau lain di Indonesia, umpamanya di Jawa yang sarana perhubungan daratnya sangat memadai (jalur perhubungan darat dimulai sejak zaman Belanda) dan sungai tidak mengemban fungsi yang sama seperti di Kalimantan. Sungai, bagi masyarakat urban di kota-kota besar telah berubah fungsi menjadi tempat sampah raksasa yang menampung semua sampah, sumpah dan limbah. Bagai mana tidak, sampah dan limbah yang meluap ketika musim hujan tiba, lalu menimbulkan sumpah dan serapah manakala banjir datang menyapu pemukiman di sepanjang bantarannya. Itulah referen sungai secara geografis sebagai sebuah keadaan kerupabumian dalam kekayaan Nusantara yang bagi sebagian masyarakat memiliki persepsi dan pemaknaan yang berbeda-beda. Namun, akan diutarakan di sini bagaimana sungai selain mengemban fungsi ekologisnya, juga mengemban misi sebagai sarana transformasi nilai dan kebudayaan bagi orang Dayak sejak beribu tahun lamanya. Penduduk Kalimantan Tengah yang terdiri dari 14 kabupaten dan 1 kota mayoritas bermukim di sepanjang pinggiran sebelas aliran sungai (bdk. www.kalteng.go.id). Hanya sekitar 20% dari total populasi yang bermukim di wilayah daratan (tanpa akses sungai, hanya akses jalan darat). Dengan demikian, 20% tersebut dapat dipastikan sebagai sebuah daerah permukiman baru sebagai hasil modifikasi pembangunan yang dapat berupa mobilisasi dan transmigrasi. Selebihnya merupakan daerah-daerah tua yang mempunyai kesejarahan yang hampir sama. Mayoritas populasi penduduk tersebut melakukan aktivitas hidup dan berkehidupannya di sungai, mulai dari aktivitas mandi, cuci dan kakus (MCK) serta air untuk memasak dan air minum. Terkecuali sejak 32 tahun lalu, intensitas fungsi sungai mulai tereduksi, di mana sarana perhubungan darat sudah mulai menembus jalur perhubungan antarkabupaten.
Dalam kerangka penyebaran kebudayaan berabad silam, sungai menjadi saksi mati sejarah, andai ia ketika dilalui dapat tergores dalam sebuah prasasti. Beribu, bahkan berjuta kali dilewati oleh para penjelajah, penjarah dan penjajah untuk melakukan misi imperialisme. Hal ini ditandai dengan masuknya Kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha dan Kerajaan-kerajaan Islam di Kalimantan hingga masuknya pendudukan Jepang (lihat Riwut:1993) dan misionari dalam rangka transformasi sebagai sebuah kebudayaan baru (kebudayaan Barat) yang dipandang maju. Lalu, muncullah goncangan budaya orang-orang Dayak. Sebagian menerima dan tidak sedikit pula yang antipati melakukan perlawanan dan migrasi ke tempat baru ke wilayah sungai lainnya atau menembus anak-anak sungai yang dirasa cukup aman. Melalui media sungai sebagai pusat kebudayaan itulah, awal dari transformasi nilai-nilai kehidupan terjadi. Silih-berganti. Yang lama tergantikan oleh hal-hal baru. Yang lama dipandang sebagai kebudayaan usang dalam kacamata paham dan dogma baru. Yang lama dipandang sebagai kebudayaan lama yang harus dibuang jauh-jauh, dari kebiadaban menuju keberadaban (lihat Kusni, 1994; Ugang 1983). Padahal sejak lama orang Dayak telah mempunyai kebudayaan sendiri yang eksis; muncul dan ada entah dipengaruhi dari mana dan hadir dalam keseharian kehidupan mereka. Orang Dayak menyebutnya Agama Helo atau Kaharingan yang mengatur hubungan triarkhi-ekotheologis: hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan antarsesama manusia dan hubungan manusia dengan alam. Segala sesuatu dalam perikehidupan manusia berdampak kepada keseimbangan alam (ekologi) yang diatur oleh Sang Pencipta, jadi ketika manusia melakukan suatu kesalahan terhadap alam yang dapat menimbulkan ketidakseimbangan makrokosmos, maka akan ada sebuah peringatan (warning) yang ditimbulkannya. Hal tersebut dapat saja tidak secara langsung berdampak nyata namun sebagian berwujud abstrak dalam setiap perikehidupan orang Dayak. Ia dapat berupa gagal panen dan wabah penyakit menular atau hal-hal lain yang menghambat kehidupan sosio-ekonomi masyarakat. Untuk mengatasi hal-hal demikian, biasanya dilakukan upacara-upacara pencucian dan penyucian; pencucian dari kesalahan diri manusia atas kelancangannya terhadap memperlakukan alam dan penyucian kesakralan alam sebagai ciptaan Tuhan dalam sebuah ekuiliblrium makrokosmos. Kesemuanya merupakan upaya pemulihan hubungan triarkhi-ekotheologis yang diyakini sebagai sebuah keseimbangan ideal dan selaras. Maka, tidak mengherankan jika secara ekolinguistik perbendaharaan kosa kata yang berkaitan dengan alam, orang Dayak sangat menguasai, hal ini dapat dilihat dari penamaan berbagai jenis flora dan fauna, keadaan alam, musim dan lingkungan (rupabumi dan meteorologi/geofisika), dan karya sastra. Terdapat banyak karya sastra lisan yang dipandang sebagai mahakarya atau masterpece bagi orang Dayak, misalnya Sansana Bandar yang mengisahkan seorang tokoh epik bernama Bandar, tidak sedikit menggunakan kata sungai dan musim; kosa kata dalam upacara pencucian diri, permohonan dan doa, misalnya dalam tampung-tawar medianya adalah beras, daun pandan, dan air. Demikian juga halnya dengan upacara tawur-manawur. Kecerdasan linguistika nenek moyang orang Dayak juga terwujud dalam proses penciptaan karya sastra, misalnya karungut (sejenis pantun yang dilagukan) dengan bait-bait aaaa-bbbb-aaaa-bbbb, yang runtun dan terpapar dengan indah. Sedemekian bermaknanya air sebagai sumber kehidupan dan penghidupan baik sosio-ekonomi maupun ssosio-kultural, membuat sungai menjadi bagian yang tak terpisahkan dari sendi kehidupan orang Dayak. Air dalam kehidupan orang Dayak dan pandangan Kaharingan merupakan sebuah esensi kehidupan atau disebut danum Kaharingan belum (air sebagai esensi yang menghidupkan dan penghidupan). Dengan demikian, nenek moyang orang Dayak sudah mengenal berbagai disiplin pengetahuan (mungkin--secara asumtif) jauh sebelum pengetahuan itu menjadi ilmu/ilmiah dan ditemukan oleh para ilmuan asing, utamanya pengetahuan tentang alam atau sekarang dikenal dengan biologi, geografi, geofisika dan metafisika, serta ilmu pengetahuan lainnya.
Namun, sayang seribu sayang, nilai fungsionalitas sebuah sungai di Kalimantan menjadi amat berkurang dewasa ini. Angin perubahan yang datang menerpa tiba-tiba dengan pusaran modernisasi dan teknologi menjadikan sungai hanya sebagai jalur kedua moda transportasi, tergantikan oleh jalur transportasi darat yang lebih efisien dan efektif. Fungsionalitas sungai jarang lagi digunakan sebagai sarana interaksi sosial (secara asumsi termasuk awal penyebaran bahasa-bahasa di Kalimantan Tengah), sarana transformasi budaya dan kehidupan sosio-ekonomi orang Dayak masa kini. Di samping itu, sungai secara ekologis telah meradang sebuah penyakit, terutama daerah hulu yang telah ditanami komoditas tanaman yang tidak bersahabat. Konon, apabila hujan air tanah bekas pemupukan dan pestisida/insektisida mengalir menuju sungai-sungai kecil di sekitarnya lalu menuju sungai yang agak besar dan seterusnya, sehingga tidak mampu lagi menjadi sumber penghidupan orang Dayak (berkurangnya populasi ikan dan biotik sungai bagi nelayan/peternakan, irigasi/pertanian). Sungai telah pula diracuni dengan air raksa akibat penambangan yang tidak terkendali. Sungai telah mulai menunjukkan kebenciannya dengan mengirim banjir setiap tahun dengan ketinggian debit air yang di luar normal atau mulai dikenalnya kosa kata perubahan iklim baru seperti banjir bandang, yang seumur-umur dalam beberapa dekade muncul hanya satu kali, dewasa ini bisa datang dua kali dalam setahun. Belum lagi persoalan pendangkalan yang tiap tahun muncul dan musim kemarau sebagai dampak perubahan iklim global, menjadikan sungai di masa-masa datang semakin parah baik fungsionalitasnya maupun vitalitas ‘hidup’nya. Berkaitan dengan persoalan tersebut, dalam rangka mengais kembali harta karun sebagai bagian dari kekayaan dan kearifan lokal nusantara, ada baiknya sungai mulai direvitalisasi. Sungai direposisi fungsinya sebagai sarana interaksi sosio-ekonomi dan ekowisata yang dapat menambah devisa dan pendapatan daerah selain sarana transportasi seiring kemajuan zaman. Melalui sungai pula dapat dijadikan sebagai proyek perintis (pilot project) dalam rangka penelitian tentang sosio-kutural, terutama pemetaan kembali bahasa-bahasa dan dialek-dialek serta pemetaan sastra di Kalimantan Tengah (11 daerah aliran sungai di Kalteng memiliki anekabahasa). Selanjutnya dapat pula dipetakan secara sosio-ekonomi dan politik daerah-daerah yang menjadi kantong-kantong kemiskinan, terutama di pedalaman agar dapat ditangani oleh Pemerintah Daerah setempat. Hal lain yang tak kalah pentingnya adalah para pembuat kebjakan baik di tingkat pusat maupun di daerah dapat dengan gratis berwisata susur-sungai ke pedalaman agar tahu dan merasakan betapa sungai benar-benar menjadi urat nadi transportasi, sarana interaksi sosial dan perekonomian serta kebersahajaan orang Dayak di Kalimantan Tengah tidak hanya dari buku atau koran saja. Masih biadab atau beradabkah orang Dayak? Dari sungailah Anda akan menemukan jawaban atas semuanya!