17 Mei, 2009

MASIHKAH ADA KECERDASAN LINGUISTIK ORANG DAYAK NGAJU DALAM BERBAHASA?

Anthony Nyahu*
“...metoh toh ikei lagi kuman. En ketun hekau nahu narai?”
Itulah kalimat pendek sebagai penutup dialog yang membuat saya terperangah. Dialog yang dilakukan oleh seorang ibu parobaya dengan salah satu anggota keluarganya dalam telepon genggam. Hal itu terjadi di suatu rumah makan lesehan. Sengaja tidak saya muat dialog pembukaan yang awalnya cukup simpatik. Jika sedang minum, mungkin saya akan tersedak-sedak kaget diberondong oleh aneka pertanyaan menohok. Beginikah cara komunikasi seorang tua dengan keluarganya di telepon genggam? Inikah ‘kekerasan bahasa’ seorang tua di tengah para cucu dan anak-menantunya—yang bersama-sama dengannya? Sengaja pula saya tebalkan kata nahu pada kalimat di atas, yang merupakan tuturan colloquial untuk kata manahu. Mengapa saya sebut ‘kekerasan bahasa’ untuk sekadar menggantinya dengan ‘kekasaran berbahasa’? Saya yakin orang Dayak Ngaju atau Oloh Ngaju yang baik tentu tidak akan menggunakan bahasa-nya tidak sesuai pada tempat dan situasinya. Rupanya tidak berlaku kepada sang ibu itu ketika berdialog dengan ‘keluarganya’. Pun itu dilakukan di tempat umum, di tengah-tengah para anak-cucu-menantu dan orang lain yang mungkin sebahasa dengannya. Kata kerja nahu atau manahu bermakna ‘memberi makan/memberi sesajen kepada makhluk halus’. Kelas kata nominanya menjadi panahu, sedangkan kegiatan/tindakan yang melingkupi makna verba nahu atau manahu dilakukan pada sebuah tempat sakral berupa rumah-rumahan kecil bertiang yang disebut patahu, karamat, atau tempat menaruh sesajen pada anyaman bambu yang disebut ancak. Untuk menyimbolkan kata kerja ‘makan’ terdapat sinonimi dalam Basa Ngaju yakni kuman, kinan (ragam halus atau netral) dan mandurak, manyombol, manocoh dan manahu (ragam kasar). Penggunaan ragam kasar cenderung dihindari atau tabu; dapat digunakan dalam kondisi instabilitas emosional dan kata manahu atau nahu hanya dibatasi untuk konteks ‘memberi makan makhluk halus/memberi sesajen’. Saya tertegun, meski kejadian ini hanya sebuah gejala. Mungkinkah gejala demikian menunjukkan betapa parahnya gejala pemakaian Basa Ngaju di masa kini telah jauh bergeser atau memang si penuturnya tidak pernah mengenal ragam bahasa halus untuk berkomunikasi dengan siapapun—termasuk di lingkungan keluarga sendiri? Atau inikah prakondisi ‘kekurangajaran berbahasa’ gaya baru yang harus didengar oleh orang lain? Saya justru mempertanyakan lagi apakah si penutur itu pernah mengenyam kehidupan budaya Dayak Ngaju, atau lebih parahnya lagi—setahu saya—mungkin ia adalah orang gila dan menjadi gila karena ucapannya sendiri (jika dalam kamus Oxford bertanda seru di dalam segitiga—tabu) dan itu harus didengar orang lain yang mungkin mengerti tuturan bahasanya.
***
Suku Dayak Ngaju atau dikenal dengan Oloh Ngaju mempunyai sejarah panjang tentang tradisi lisan di Kalimantan Tengah. Meskipun mereka bukan hidup dalam tradisi tulis, dahulu bukan berarti mereka kurang bermartabat. Hal ini dapat dilihat dari berbagai kecerdasan lingusitik mereka dalam menggunakan bahasa-nya dan ‘menganyam’ kata-kata pada berbagai bentuk karya sastra lisan. Perbendaharaan kosakata (vocabularies) Basa Ngaju pada dasarnya sangat kaya. Seseorang yang menggunakan bahasanya dengan baik menunjukkan betapa bermartabatnya si penutur. Memang, dalam konteks Basa Ngaju tidak mengenal unda-usuk bahasa, namun bukan berarti si penutur dapat menggunakan diksi bahasanya dengan seenaknya. Ada semacam konvensi yang boleh dan tidak boleh digunakan dalam berkomunikasi antarsesama penutur Basa Ngaju. Dengan kayanya sinonimi, maka pilihan kata atau diksi sangat mutlak untuk dikuasai, sehingga baik dalam konteks verbal maupun literal, si penutur tidak dianggap kurang bermartabat. Selain kosa kata di atas, masih banyak lagi kosa kata lain yang menyiratkan aneka bentuk dan ragam. Misalnya, kata ‘kawin’ dalam bahasa Indonesia, di dalam Basa Ngaju dapat digunakan kata manduan akan kabalie, hinje amak, manampa kabali-baloh (ragam halus) dan kawin (netral), serta masawe (laki-laki)-babane (perempuan)(ragam kasar—namun pada beberapa tempat dianggap netral—AN). Selain itu, oloh Ngaju juga mampu menyusun kosa kata-kosa kata indah dalam peribahasa sebagai bimbingan moral (moral guidance). Hal ini dapat dilihat dari aneka pepatah-petitih, tanding-tampengan, dan lain-lain. Di dalam dunia sastra lisan, kecerdasan linguistika oloh Ngaju telah terbukti. Ada beberapa jenis yang masih belum punah, misalnya sansana, deder, dan karungut. Selain ketiga yang disebutkan itu, ada puluhan jenis lainnya yang menunjukkan kepada kita betapa para leluhur sangat pandai ‘bermain indah’ dengan bahasanya. Mereka pandai menyajikan rima kata-kata pada deder dan karungut-nya. Mereka juga pandai melagukannya sehingga menjadi media penghibur di suatu musim dalam konstelasi kehidupan budaya mereka.
***
Demikianlah kenyataannya. Jika kita kembali kepada kalimat dialog di atas. Saya serta merta membayangkan entah kata apalagi yang lebih kasar digunakan oleh para cucu yang mendengar percakapan itu. Di kemudian hari, perilaku berbahasa itu secara alamiah akan ‘diwariskan’. Sungguh, sebagai oloh Ngaju--dalam terminologi saya adalah “oloh Ngaju/kaum yang selalu di depan/maju” merasa miris dan prihatin. Inilah gejala baru yang akan ‘membunuh’ kemartabatan Basa Ngaju atau inikah penyakit iliterasi yang telah menggerogoti jantung bahasa kita? Memang di dalam berbahasa tidak ada polisi yang mengaturnya; tidak ada perda yang akan mengikat seseorang penutur (Basa Ngaju)untuk bertutur secara sopan dan etis di muka umum. Akan tetapi, semuanya bermula dari kita (para penutur) dalam memberikan contoh kemartabatan berbahasa itu. Kita sepantasnya malu--sebagaimana kita menggunakan bahasa-bahasa lain: Indonesia dan Asing—sebagai penutur, kita tidak cukup arif dalam menentukan pilihan kata (diksi) Basa Ngaju di tengah ‘belantara’ kekayaan kosa katanya. Sehingga sebuah pertanyaan selayaknya diajukan: masihkah kecerdasan linguistik kita di masa lalu, baik dalam berbahasa maupun bersastra dijadikan sebagai dasar indikator betapa kurang bermartabatnya kita oloh Ngaju sebagai “orang maju” di masa kini? Bahasa menunjukkan bangsa, kata orang bijak. Tentu kurang bijak apabila dalam hal berbahasa pun kita tidak mampu menunjukkan betapa bermartabatnya kita, utus Dayak Ngaju itu. [*AN]

08 Mei, 2009

AUH HUREH (1)

Sinde andau, Mama Bapa Dogol handak haguet bajual amas bara lewu pandinun ewen maamas katahin ije due bulan. Jadi lepah kare maenyau karpet, rimae, palus ma-rasa amas te uka tau hapisah dengan batue atawa petak. Palar kea ampin pangulih ewen, aton kahain bawak jagung. Palus imbungkuse hong karatas upak roko tuntang iandak hong epok atawa dompet, kuan oloh wayah toh. Pandak kesah, Mama Bapa Dogol haguet akan Lewu Gutuk Genah Papu Jatu Sakuang Gagar Katinting Tarung mahapan kalotok domping 20. Tamam salentup masie, hayak kalajue awi has jari bakalahar (senter—kuan istilah oloh). Amon mahapan kalotok je biasa sampai lime jam, kalotok Mama Bapa Dogol te manjari andalan, bajuru hapan oloh manangkaje miar bapili atawa in-carter oloh amon aton kasusah kajake. Rimae, beken bara imbayar limbah oloh mahapae, Mama Bapa Dogol kea andal hadat-basae madohop oloh hong kasusah-kajake tuntang hong kahaban-kapehe oloh lewu ewen je tarasewut Lewu Sinta Batang Danum Kasayang Mahasur Bahandang Sungei Tatau. Mahapan kalotok Mama Bapa Dogol te tembus due jam satengah ih sampai akan Lewu Gutuk Geneh Papu Jatu Sakuang Gagar Katinting Tarung. Kuan oloh lewue, jete fenomenal, elese amon aton je mangina spit (speedboat) jete ih saingan ayue je tau mangalahe. Umpaman kutak, kalotok Mama Bapa Dogol te lasang kilat panangkaje andau akan jaman wayah toh, kilau te kea minyake, bilak sinde nantumbak akan teng hanjulu bewei lepah kilau ihop masie. Sampai jari ewen akan lewu je inintu. Tende hong talian, rantai kalotok ingunci dengan kalapitin kunci kahain buntis. “Mikeh duan oloh”, kuan Mama Bapa Dogol. Maklum, pakakas jete puna penting toto akan hapae manuntung pambelome gagenep andau. Palus ewen mananjung manintu akan toko amas saran pakan te. Pande-pander, tawar-menawar, rimae, balalu jadi. Regae kali saratus telo puluh koyan ije grame. Indacing, dinu due walas gram. Palar kea, kuan Mama hong ateie. Ulih kea ije due kasa kareh. Te ewen tanju-tanjung, mananture jualan oloh hong pakan te, manggau taloh je akan imili, bara dulang kandas sampai kenceng akan hapa barapi. Bara haskrok (as-kruk) masin sampai rasa (air raksa) akan mamisah amas. Sukup haliai pilin Mama Bapa Dogol. Kili-kilik dengan epoke. Ah, masih aton tisae, sukup akan kuman tuntang mili minyak hapa buli, kuan Mama Bapa Dogol huang ateie. Te ie maimbit oloh are hayak dengae te kuman helo, sahelo bara haguet buli akan lewu. Palus ewen tame akan huma oloh bajual panginan. Manunda karosi, balalu mundok. Taragitae hong hunjun meja aton ije kasa. Pas toto toh, huang ateie. Tampayahe te kilau kasa bue janggut, awi sama kabilem huange. Palus ie manekap kasa te balalu mihope. Baya awi kasa kecap te puna imetok kurik, isut kea balua. “Ei, ma! Kecap taloh kau!” kuan Domok, mangahana Mama mihope. “Dia penting cap-e, je penting aku kea mambayare.” Tombah Mama Bapa Dogol. Sakalie puna tarakeme Mama te puna kecap. Marak kahawee, Mama hakutak. “Kakai taloh te nah kecap. Nyewutku kasa bue janggut. Tawam ih matan mamam toh jari dia lalau barendeng, dia lalau tarang basae cap-e”. Masem baun Mama, sukur jaton oloh are mananture ie. Balalu Mama manirok arepe, leha-leha aku dia marima tuntang mananture bujur-buah helo bara aku mihope. [*AN]
Catatan
“Kakaren tokoh je intu sarita te baya rekayasa, jaton je mayewut oloh-oloh je katotoe. Baya sarita manampa karami bewei. Amon aton kasamae dengan aran oloh-oloh hong pambelom toh, jete dia ianta atawa isengaja. Tintue dia akan mamparahan kahamen tuntang manampa kapehen atei oloh.”

06 Mei, 2009

"TIGA SOSOK BERPADU TAKDIR" 1): ANTARA GELISAH DI KAYU MANIS DAN PERJUANGAN TIADA HENTI

Anthony Nyahu
Menyebut "trivium", “tiga serangkai” atau “tiga sosok berpadu takdir” adalah meyebut jumlah. Dalam hitungan mungkin tidaklah dapat kita berharap mendapatkan jumlah banyak. Waktu yang membawa serta segala kemujuran dan nasib yang menentukan suatu pertemuan kepada nama ketiga orang yang saya sebut sebagai "trivium" atau “tiga sosok berpadu takdir” itu. Dari perkenalan singkat pada sebuah acara, saya sempatkan berjabat tangan mengulurkan tali perkenalan kepada seorang tokoh yang selama ini hanya saya kenal dari karya-karya besarnya. Seorang Kusni--sang anak Dayak sama seperti saya—yang punya nama besar namun sederhana, yang kontras dengan bayangan saya tentangnya. Hangat, ia sambut tabe 2)saya. Saya sempat menyebutkan asal, dan ia pun terkesan kaget. Hanya dialog pendek yang sempat terucap waktu itu. Pertemuan kedua, secara informal dan akrab di suatu tempat yang sudah ditentukan Mina Nila Riwut (salah seorang yang juga punya nama besar dan banyak menulis tentang kebudayaan Dayak), kami bertemu lagi. Bersama teman-teman dan sahabat-sahabat Mina, di sela-sela pertemuan itu sempat juga mengobrol sebentar dengan keduanya. Hangat dan penuh keakraban. Bukan karena kami kebetulan dari suatu daerah yang sama nun jauh di pinggir kali Katingan sana, tetapi sebagai sesama pribadi yang memiliki pemikiran yang tidak terlalu jauh berbeda dalam memandang sebuah entitas kebudayaan Dayak dan Indonesia. Menyebut nama Mina Nila, berarti juga menyebut salah satu dari nama besar itu. Bukan. Bukan karena ia adalah seorang puteri pahlawan nasional Tjilik Riwut atau Bapa Enon. Menyebutnya, mengingatkanku tentang upaya-upaya tak kenal lelahnya juga dalam mengenalkan dan membesarkan kebudayaan Dayak di mata dunia. Tentu, yang lebih berkesan bagiku adalah bagaimana ia menyatukan para pemikir muda yang terserak. Dan itu bukan perkara yang mudah. Menyebutkan namanya, juga mengingatkanku atas peran pengganti seorang ibu: yang pandai menabur kasih dan pintar memintal sayang. Sementara menyebut nama yang di awal: Dr. Jean-Jaques Kusni, seolah membawa imajiku menyusuri bertebing-tebing pekerjaan yang harus dilakukan untuk sebuah entitas bernama Dayak. Ia mengajakku menyisir lembah dan dataran yang terhampar sabana puisi. Ya! Ialah setahuku sastrawan dari Tanah Dayak yang sangat besar dan berpengaruh. Ia menjadi disegani dalam dunianya. Karya-karya besarnya seolah kurang terdengar gaungnya di tengah pengajaran sastra dan budaya lokal. Dipolitisir? Entahlah, menurut penilaianku ia kurang terlalu dikenal oleh para siswa di berbagai tataran formal (SD, SMP, dan SMA). Namun, ia bukanlah seorang jago kandang, hal ini telah dibuktikannya pada berbagai kancah nasional dan internasional. Di samping itu—sebagai orang Dayak-- bagiku ia begitu bersahaja. Ia adalah seorang ilmuan yang memiliki multitalenta. Sejarawan, budayawan, ekonom, dosen, sastrawan, penulis, dan lain-lain. Tidak terbersit dari gaya hidupnya sebagai seorang besar, akan tetapi yang menonjol adalah gaya eksentrik seorang sastrawan. Dan ia adalah figur yang sangat rendah hati. Begitu pula nama ketiga: Marko Mahin. Ia menjadi salah seorang antropolog yang layak untuk dijadikan rujukan tentang agama asli Dayak Ngaju: Kaharingan. Ia juga menjadi seorang yang multitalenta: dari antropolog, penulis, budayawan, hingga pendeta. Profesi terakhirnya menjadi jarang kami diskusikan pada saat-saat bertemu. Pernah suatu ketika aku meminjam materi candaan seorang teman: bisakah ia memberikan gelar "honoris causa" kepadaku? Ia tertawa. Sebab, setahuku selain fasih sekali menuturkan tentang apa dan bagaimana Kaharingan, ia juga mengajar di universitas dan sekolah tinggi. Rupanya dijelaskannya padaku bahwa profesi itulah yang menjadi profesi utamanya hingga kini. Pengetahuannya tentang Kaharingan, bagiku melebihi pengetahuan para penggiat Kaharingan sendiri-meski ia tak akan pernah bisa menjadi Kaharingan . Tidak berlebihan dan sungguh layak apabila masyarakat Kaharingan menobatinya sebagai “orang yang berjasa” setelah Damang Salilah dan Dr. Hans Scharer. Aku juga berniat mengusulkannya sebagai “mantir“—, sehingga inisial namanya menjadi MMM atau “triple M”—dan semoga beberapa basir 3) menyetujui itu, atas usahanya dalam memajukan dan semakin mengenalkan Kaharingan, tentu juga tak terlepas dari upaya masyarakat Kaharingan sendiri. Tentu ada banyak nama lain yang kukenal—juga besar, namun aku tidak begitu dekat dengan mereka. Ada banyak nama yang tidak memiliki pintu dan jendela yang selalu terbuka. Pintu dan jendela yang selalu terbuka untuk curah-pendapat, sintesis-sintesis, dan aneka bentuk keberbagian (sharing) lainnya. Bagiku, selain mereka memiliki banyak pintu dan jendela yang selalu terbuka, mereka juga memiliki ruang-ruang yang lapang untuk berdiskusi. Mungkin sebagian dari pesan para leluhur sudah mereka sampaikan: bahwa memberikan sebanyak-banyaknya kebenaran tentang Utus Dayak bagi dunia. Memberikan warisan yang luhur bagi perubahan pola pikir generasi masa depan tentang apa dan bagaimana menjadi Dayak yang sesungguhnya. Duduk di antara ketiga tokoh besar itu tidak membuatku terkesan asing karena kebersahajaan mereka. Duduk di antara ketiganya seolah menempatkanku pada suatu bidang dunia: ada pohon yang memberikan keteduhan dan perlindungan, ada tanah yang memberikan kesuburan, dan ada hamparan rumput hijau yang memberikan sejuta keindahan! Membuatku memandang Dayak menjadi lebih luas dan bermakna. Dan aku berharap bisa lebih memahami apa, siapa, dan harus bagai mana menjadi seorang Dayak. Ah, alangkah indahnya hidup itu bila dihiasi dengan perjuangan. Perjuangan memang tidak pernah mengenal bentuk dan garis akhir. Ya!, perjuangan akan selalu bertumbuh dalam setiap sendi kehidupan menuju perubahan. Tiada yang tidak berubah, kecuali perubahan itu sendiri, kata orang bijak. Hanya waktu dan zamanlah yang akan berbeda. [*AN]
Catatan
1)Dipinjam dari istilah untuk menyebutkan ketiga sastrawan di Kalimantan Tengah, yakni M.H Anwar, Andi Burhanudin, dan Badar Sulaiman Usin.
2)Bahasa Dayak Ngaju yang artinya “jabat tangan” atau “salam”.
3) Basir berarti “pemimpin upacara ritual Kaharingan atau imam”

04 Mei, 2009

DUNIA ILMIAH vs STATUS QUO: INIKAH HAMBATAN LATEN PEMIKIR DAYAK UNTUK MAJU?

Anthony Nyahu
Telepon genggam saya meronta sore itu. Seorang teman yang sedang menyelesaikan disertasi doktoralnya di sebuah universitas ibukota negara ini, menelepon. Dia meminta saya untuk menggantikan peran seorang pakar untuk memberikan catatan atas sebuah draft buku. ‘Buku’ yang konon tebalnya empat puluhan halaman. Saya terpana. Antara ya dan tidak, saya berpikir. Saya bukan pakar, jawab saya. Disiplin ilmu saya memang mempelajari masalah bahasa. Tapi, bagi saya tetap tokoh yang akan saya gantikan itu, tentu bukanlah setaraf dengan saya. Saya merasa bukan apa-apa kalau dibandingkan dengan tokoh tersebut. Pun, persoalan buku yang akan ‘didiskusikan’ itu ditulis oleh seorang yang selama ini dijadikan rujukan tentang folklor lokal. Namun, tak satupun metode ilmiah ilmu folklor termaktub di dalamnya. Rupanya karyanya selama ini dianggap sebagai “chef d’ oefre”, “tak terbantahkan”, “tak ada duanya” 1) . Karya-karyanya, tentu saja bukan sebuah “par excellence”. Saya dan orang banyak tidak menyangkal terhadap apa yang telah dilakukannya selama sekitar seperempat abad dalam bidangnya. Untuk itu, saya kira pantas angkat jempol, namun bukan berarti karya-karya itu menjadi lepas dan tidak boleh dikritisi. Satu hal lagi, saya katakan bahwa beliau adalah orang tua, apa nanti tidak akan membuat friksi-friksi? Naluri keseganan saya pun muncul. Saya mencoba memberikan gambaran kepada teman saya itu. Jangan-jangan kita nanti dianggap ‘kurang ajar’ terhadap orang tua, saya bersikukuh. Dia berusaha menyemangati dan meyakinkan saya, “Anda seorang linguis”. Jadi, berikan pemikiran-pemikiran linguis dan “pengayaan-pengayaan” karena dalam bidang itu Anda saya anggap kapabel. Atau Anda tidak malu dan tenang-tenang saja ketika bahasa yang Anda pahami diporakporandakan dengan aneka bahasa vulgar yang sangat menjelekkan citra Dayak? Ini dunia ilmiah. Jadi, tidak ada istilah tua-muda, ewuh-pakewuh, yang penting kita mengutarakan kebenaran dan aturan. Ia terus memberikan argumennya. Saya tahu, teman saya ini terbiasa hidup di dunia ilmiah, namun di tengah budaya kita yang tidak terbiasa, bisa saja masukan dianggap sebagai sebuah celaan atas ‘jerih payah’ orang lain. Bukan justru dianggap sebagai pengayaan, dan mengutip kata-kata Dr. J.J. Kusni, seorang sastrawan Dayak yang menyebut “pembaca memiliki kedaulatan atas sebuah karya yang sudah dibuat. Ia akan menempuh jalannya sendiri” 2) Akhirnya, di tengah berkecamuknya aneka perasaan—kasihan, dianggap nanti saya kurang ajar (walaupun sedikit ‘ilmiah’)--saya terpaksa membersediakan diri. Vonis pun diketok: menyiapkan bahan presentasi untuk keesokan harinya, sesuai dengan kapasitas saya. Bagaimanapun, saya masih terus berpikir bahwa ‘hasil tulisan’ merupakan “apparatus criticus”, apalagi yang akan diusung adalah tema-tema tentang Dayak, dan akan ‘dibaca’ oleh dunia. *** Apa yang saya pikirkan sebelumnya memang terjadi benar adanya. Diskusi yang “dianggap” semacam “bedah buku” itu terlaksana juga. Diskusi yang cukup membosankan di tengah “kerumpangan” dan “gap” antara “orang tua” dan ‘dunia’ “anak-anak muda”. Antara “kritisi sebuah karya”, “pengayaan konstruktif” dan pemikiran status quo menjadi tidak nyambung dengan gaya masing-masing. Sebuah waktu yang tersia untuk memupuk etika keilmuan. Padahal, justru di situlah momentum untuk kita membuka diri dan menerima kritik atas apa yang kita lakukan dan meminta perbaikan-perbaikan yang dianggap konstruktif dan bermanfaat. Serta yang paling penting adalah bagaimana sikap ilmiah kita—sebagai sesama penulis—ketika ‘berbicara’ tentang Dayak. Apapun bidangnya, kita harus menjadi “mercusuar” Dayak untuk dunia. Sehingga apabila kita keliru, kita diingatkan oleh penulis lain/pembaca/kritikus—sebagai tanda sayang. Apalagi untuk sebuah nilai filosofi kedayakan. Bukan berarti kita yang paling tahu segalanya. Dunia ilmiah berpedoman bahwa “ di atas langit, masih ada langit”. Hakikat ilmu pengetahuan hanya sementara ditemukan—silih berganti—kemudian muncul yang lebih baru dan seterusnya. Ada pengujian atas teori-teori, ada data yang terus berubah, dinamis. Tidak ada yang stagnan. Tidak ada kebenaran hakiki—dan esensi ilmu pengetahuan hanyalah “menyingkap” sebagian dari rahasia hakiki kebenaran itu. Yang Mahabenar hanya milik Tuhan. Manusia, siapapun dia, semua memiliki kelemahan dan kekurangan. Manusia lain menutupinya. Saling mengisi. Tiada yang sempurna. Itulah tujuan awal dan gagasan yang saya usung ke “diskusi” itu. Dan, kembali, saya merasa sebagai manusia paling “garing” dalam event itu. Merupakan pengalaman berharga. Lagi-lagi, seolah saya dan teman—kandidat doktor—itu menjadi “mesin penunjuk kesalahan” atau “hakim-hakim yang mengadili terdakwa” dengan “segala pembelaannya(baca:kengototan)”—yang sungguh tidak “nyambung”. “Diskusi”pun bak sebuah debat kusir di meja hijau. Alamak, kata orang Medan. *** Sebagai salah seorang anak Dayak Ngaju, maka wajar apabila saya ‘marah’. ‘Marah’ saya yang pertama adalah mengapa etika keilmuan kita sebagai sesama orang Dayak menyepelekan sumber-sumber ? 3) Apakah kita pantas “tidak menghargai” informan kita atas informasi berharga yang telah diberikan? Walaupun folklor menjadi milik kolektif dan komunal (Danandjaya, 1986), bukan berarti sumber tuturan lisan itu diperoleh tanpa informan 4) . Kedua, sebagai sesama Dayak, kita cenderung untuk tidak menaati konsensus yang kita buat. Bahasa memiliki seperangkat aturan dan norma/kaidah. Kita harus menjunjung tinggi dan mengaplikasikan konsensus-konsensus itu. Kalau tidak, maka akan jalan sendiri-sendiri dan seenaknya. Kaidah-kaidah yang telah dibuat bukan sebuah “de gustibus non est disputandum”. Muaranya, sebuah bahasa pun akan porak-poranda oleh kita sendiri. Bukankah martabat bahasa menunjukkan martabat penuturnya? Terus terang, saya keberatan apabila saya juga dianggap kurang bermartabat hanya karena ketidakpatuhan akan kaidah bahasa (disobedience of norm of language) yang dilakukan baik sadar atau tidak, dan saya membiarkannya. Kemudian, ada kecenderungan untuk membuat gado-gado bahasa dengan masuknya aneka kosa kata bahasa daerah lain di tengah makmurnya perbendaharaan kosa kata lokal. Dalam kesamaan kasusnya dengan kondisi bahasa lokal, beberapa pakar dan peneliti bahasa Indonesia menyebut gejala berbahasa masa kini sebagai bahasa Indonenglish 5) atau bahasa gado-gado. Untuk ranah pemakaian bahasa dayak Ngaju, saya melihatnya dalam beberapa kasus yang menyiratkan bahwa bahasa Banjar telah ‘merangsek’ hingga ke tuturan sehari-hari (colloquial speech) ke dalam ranah pemakaian bahasa Indonesia dan bahasa Dayak Ngaju. Misalnya, seperti yang pernah saya dengar sendiri sebuah dialog antara seorang nenek dengan cucunya. Si Nenek bertanya kepada cucunya: “Siapa yang menghidupkan (maksudnya membuka) kran ini?”Jawab cucunya:” Tahu, Ikam aja kalo tadi, Mbi”. Maksud si cucu: tidak tahu, ikam=kamu;setara (bahasa Banjar) aja kalo tadi (bahasa Indonesia), dan Mbi (sapaan teknonimis untuk nenek—bahasa Dayak Ngaju). Bisa dibayangkan, saya sampai berdiri bulu kuduk mendengarnya. Bukan karena betapa ‘enaknya’ ‘menggado-gadoi’ beberapa bahasa, tetapi kenihilan aspek kesantunan dan nilai rasa penyampaiannya terhadap lawan tutur. Kata ikam sangat tidak berterima untuk menyapa orang/pembicara yang lebih tua—alih-alih sebagai ganti kata pian; juga dianggap kurang ajar dalam budaya Banjar. Namun dalam konteks bahasa Dayak mungkin sedikit berterima (ada yang lebih santun lagi, misalnya dapat menggunakan konteks kalimat seperti ini: “Saya tidak tahu, nek. Mungkin nenek yang membukanya tadi”(bahasa Indonesia); atau “Kada tahu ulun, ni ai. Pian haja kalu tadi nang mambukanya”(bahasa Banjar);atau “Dia kutawa te Mbi, Tambi ih elesku mambukae”(bahasa Dayak Ngaju). Unsur sapaan teknonimis sudah semakin tergerus, kemudian minimnya upaya untuk taat kaidah. Bandingkan kondisi kegado-gadoan lainnya saya temukan dalam konteks verbal bahasa Dayak Ngaju, misalnya: “Sorry, le lah aku dia sampet ngobrol dengam awi dia tau connect ampie. Kebetulan kea hape-ku lowbatt”. Dari kalimat-kalimat itu saya sebut saja dengan istilah: Ingajuindo (bahasa -Inggris-Dayak Ngaju- Indonesia) atau dalam terminologi saya--dalam bahasa lokal--sebagai Kutak Kakulak Baluh-Jawau (bahasa kolak labu kuning dan singkong). Selanjutnya, ketiga, sebagian besar kita tidak dibiasakan hidup di dalam dunia ilmiah yang sehat. Kita dicekoki dengan berbagai jargon yang mengungkung, apapun namanya—dari tidak enak sama orang-orang tua, mencela pekerjaan orang tua, hingga sok pintar, padahal masih hijau, bisa kualat, sama arep 6) , dst. —yang membuat kita tidak bisa memilah: ilmiah atau emotif. Ini saya kira sebagai batu sandungan untuk kita hidup secara sehat dalam dunia keilmuan agar maju dan kondusif bagi tumbuhnya pemikir-pemikir muda lokal. Sebagian besar dari kita hidup dalam ruang yang antikritik dan cenderung tertutup untuk melakukan self-defense atas nama kebenaran semu yang belum tentu benar dan valid, sehingga akan mengaburkan sebagian makna tentang kebenaran itu sendiri. *** Bagaimanapun, waktu terus berjalan tanpa mampu kita hentikan. Seiring itu pula, akan tumbuh tunas-tunas baru dan akan mengalir arus-arus yang bukan mainstream, akan muncul antitesis-antitesis, dan seterusnya. Hal ini alamiah dan wajar. Roda akan terus berputar, namun sudahkah kita mewariskan sesuatu “kebenaran” tentang Dayak yang pantas diberikan kepada generasi mendatang? “Kebenaran” macam apa itu? Apakah “kebenaran-kebenaran” status quo yang tegak bak sebuah menara gading dan stagnan? Jika itu yang terjadi, maka jangan heran apabila anak-anak Dayak masa depan akan terus terkungkung. Mereka hanya akan menjadi menara gading-menara gading baru yang antikritik dalam dunia ilmiah semu dan mungkin semakin tidak sehat![*AN].
Catatan Kaki:
1)Istilah J.J. Kusni yang saya kutip dari jurnal todoppuli.wordpress.com/posting
2) ibid
3) Mencantumkan sumber-sumber lisan dan tulisan merupakan salah satu etika penulisan. Tidak mencantumkan sumber-sumber baik lisan maupun tertulis dapat dikategorikan sebagai upaya plagiat. Lihat Marko Mahin, MA: Menapak Jejak Bungai Tambun di Bumi Tambun Bungai: Catatan Kritis atas Buku Ot Danum From Tumbang Miri until Tumbang Rungan (Based on Tatum) Their Histories and Legends,27 April 2009, hal.11
4) Prof. Dr. James Danandjaya merupakan pakar folklor di Indonesia. Ia adalah guru besar folklor lulusan Universitas California, Berkeley, USA. Lihat salah satu karyanya, Folklor Indonesia, 1986:191—207 terbitan Grafiti Pers, tentang Metode Pengumpulan dan Tatacara Pengarsipan Folklor.
5) Lihat “Bahasa Indonesia vs Bahasa Gado-Gado” dalam Nakita, No. 522/TH. X/30 Maret—5 April 2009, halaman 26. Seorang pakar bahasa mengestimasi sekitar 20 tahun lagi bahasa Indonesia terancam hilang dari Bumi Pertiwi untuk selamanya apabila bahasa Indonenglish ini semakin menguat. Contohnya: “Bentar ye, saya meeting dulu neh” , “Ane bete nih, kita hang out yuk!” atau “So far, kamu punya skill ok juga”.
6)Bahasa Dayak Ngaju yang berarti “sesama kita; masih (dianggap) keluarga sendiri”