22 April, 2009

PERGESERAN FUNGSI DAN VITALITAS “KARATAK LEWU” DALAM PERKAMPUNGAN DAYAK NGAJU

Anthony Nyahu
“Karatak Lewu” adalah halaman dan pekarangan rumah yang lazim ditemukan pada rumah-rumah panggung di dalam perkampungan Dayak Ngaju. Ia berfungsi sebagai sarana interaksi sosial (pada saat rehat sore setelah melakukan aktivitas seharian), sarana bermain anak-anak, dan pertemuan informal antartetangga (neighbourhood). Masa lalu,ia menjadi bagian integral dan ideal dari konsep sebuah hunian. Selain mengemban fungsi publik, “karatak lewu” juga sebagai jalan yang menghubungkan aktivitas dalam rumah (indoor) dan luar rumah (outdoor). Ia menjadi sarana untuk menuju sungai dalam aktivitas sehari-hari seperti mandi, mencuci, kakus dan mengambil air untuk kebutuhan makan-minum. Di masa kini, “karatak lewu” telah mengalami pergeseran fungsi dan vitalitasnya. Pergeseran fungsi dan vitalitasnya pun mulai muncul sejak bergesernya pola hunian dari konsep hunian komunal—betang—dan konsep rumah tunggal yang berjejer sepanjang kampung. Di sisi lain, ia mulai ‘direnggut’ wilayah semi-privatnya ke fungsi publik yang lebih luas sebagai “jalan umum”. Situasi zaman dan peradaban baru telah mengubahnya. Ia kini tidak lebih dari sebuah “jalan umum”, sebagai sarana lalu lintas masyarakatnya. Aktivitas-aktivitas sosial dan interaksi ketetanggaan serta sarana bermain anak-anak mulai berangsur-angsur ditinggalkan. Konsep tentang “jalan desa” atau “jalan umum” dengan lebar 2—3m merupakan konsep baru di dalam perkampungan Dayak Ngaju. Disebut baru karena pada dekade 80-an masyarakat Dayak Ngaju tidak terlalu mengenal konsep ini. Mereka hanya mengenal “karatak-karatak lewu” dan jalan-jalan setapak yang menghubungkan antarrumah pada suatu kampung; atau satu kampung dengan kampung lainnya. Masuknya perusahaan-perusahaan HPH (Hak Pengusahaan Hutan) yang membelah jantung Kalimantan Tengah pada dekade 80-an secara langsung membuka jalur keterisolasian antarkampung. Akses antardaerah dan dunia luar semakin terbuka lebar. Ditambah lagi dengan permintaan masyarakat sesuai dengan zamannya untuk membuka “jalan umum” pada kampung-kampung. Alhasil, “karatak lewu” harus ‘bersedia’ berbagi peran. Berkurangnya aktivitas anak-anak bermain-bercengkerama, bergesernya “karatak lewu” sebagai interaksi sosial dan ketetanggaan, dan mulai melemahnya solidaritas komunal menuju kepentingan indivudual, menjadikan “karatak lewu” hanya akan menjadi nostalgia masa kecil yang teramat sayang untuk dilupakan. Waktu terus berputar dan zaman terus bergerak. Begitu pula yang terjadi dengan masyarakat Dayak Ngaju. Aneka permainan tradisional yang dulu juga dilakukan di “karatak lewu” pun mulai tergeser. Kalaupun masih ada hanya segelintir di tengah was-wasnya anak-anak dengan lalu lalang kendaraan yang melintasi perkampungan. Tak jarang pula sebagian dari mereka menjadi korban keganasan pengendara yang memacu kendaraannya. Berbagai alternatif tak mampu menggantikan peran dan fungsi vital “karatak lewu” sebagai bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan mereka. Lalu, akhirnya masyarakat larut dalam kesibukan mereka sehari-hari. Anak-anakpun terpaksa melakukan permainan-permainan individual dan akrab dengan teknologi baru—dari mainan plastik yang berbahaya bagi kesehatan hingga permainan lainnya yang sangat tidak menyehatkan. Dan sebuah pergeseran peradabanpun muncul: lebih mengedepankan individualisme dan mengesampingkan solidaritas komunal. Tragis![*AN]