11 Februari, 2010

Di manakah Wawasan Budaya Kita Besembunyi?

Beberapa waktu lalu, Pemko Palangka Raya telah menerbitkan kebijakan tentang penggunaan bahasa Dayak Ngaju pada hari tertentu di lingkungan dinas-dinasnya. Menariknya, kebijakan ini dianggap tepat mengingat keterdesakan bahasa ibu di tengah persaingan dengan bahasa-bahasa daerah lain dan bahasa nasional. Namun, ada juga yang bersuara miring: bahwa kebijakan itu perlu ditinjau ulang, mengingat masyarakat Palangka Raya yang heterogen. Saya justru bertanya-tanya. Apakah dengan situasi masyarakat yang heterogen itu, bahasa lokal, khususnya Dayak Ngaju menjadi pembenaran untuk dipinggirkan? Beberapa penelitian mencatat, bahwa situasi pemertahanan bahasa ibu di tingkat perkotaan/masyarakat urban dalam situasi memprihatinkan (lihat Suryanyahu, 2006; Budhiono, 2006). Satu-satunya benteng terakhir pemertahanannya berada pada wilayah perdesaan yang cenderung homogen dengan tingkat kontak budaya antarpenutur yang minim. Lalu, apanya dan di manakah yang salah? Kita tentu tidak menyangkal bahwa pengaruh bahasa-bahasa daerah lain semakin kuat melilit kita (sebagai konsekuensi dari kontak budaya). Kita juga tidak memungkiri sebuah bahasa harus bersifat dinamis (mampu bersesuai dengan zaman dan dinamika teknologi). Di tengah kondisi bahasa (penutur dan dinamikanya) yang semakin melemah, maka upaya untuk menjadikan bahasa ibu mendapatkan tempat untuk diapresiasi merupakan langkah yang sepatutnya didukung. Penentangan terhadap hak hidup bahasa ibu merupakan langkah yang kontraproduktif. Pun dengan alasan masyarakat heterogen. Sebab, jika peminggiran terhadap budaya lokal terus berlangsung maka tidak menutup kemungkinan aset budaya daerah, salah satunya bahasa Dayak Ngaju akan lambat laun punah tergantikan dengan bahasa daerah lain, atau bahasa nasional. Inikah cermin awal lahirnya budaya hibrida yang tidak matang. Lalu di mana identitas orang Dayak Ngaju sesungguhnya jika dari tutur bahasanyapun sudah tidak dikenali lagi. Jika identitas daerah sudah tidak ditemukan lagi, disebut apakah orang Dayak Ngaju karena tidak lagi berbahasa Dayak Ngaju? Sebuah pertanyaan yang membutuhkan renungan panjang. Mungkin masih banyak yang berpikir bahwa budaya (salah satunya bahasa) justru tidak penting. Coba kita lakukan untuk tidak berbicara dengan sebuah bahasa dengan siapapun dalam satu jam. Perlukah kita menggunakan bahasa isyarat? Saya rasa tidak. Sebab warisan leluhur sudah tersedia, salah satunya bahasa yang (mudah-mudahan masih) kita gunakan sekarang. Entah di mana wawasan budaya kita bersembunyi jika kita masih menganggap persoalan budaya dan bahasa dianggap tidak mendatangkan keuntungan nyata bagi daerah.(AN)