Oleh: Anthony Nyahu*
pernah dimuat di Harian Tabengan, Januari 2011
Kasus Prof. Dr. Tamrin Amal Tomagola (TAT) cukup mengegerkan dan menuai kecaman masyarakat suku Dayak di berbagai daerah. TAT dianggap melecehkan sakralnya lembaga perkawinan dan bentuk dari penistaan budaya Dayak dalam memandang harkat entitas manusia Dayak. Berbagai reaksi mulai dari demo di beberapa daerah di Kalimantan dan di Jakarta menunjukkan bahwa entitas Dayak itu ada dan sekaligus dilupakan oleh entitas lain di negeri ini. Mengapa dilupakan? Dayak di dalam pemahaman sebagian entitas budaya lain masih primitif dan lawless. Dayak masih melekat dalam bayang-bayang gelap stigma masa lalu. Dayak masih erat dengan pandangan terbelakang dan tak beradat. Dayak masih berada pada situasi yang sangat tidak menguntungkan selama hampir setengah abad lamanya. Hal ini menunjukkan bahwa masih sedikitnya media publikasi yang berimbang terhadap eksistensinya. Selama ini, media massa (terutama Jakarta) dianggap masih belum mampu memahami apa dan bagaimana entitas Dayak sebagai bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia ini. Realitasnya adalah diakui tetapi tidak dipahami secara holistik.
Saya tidak akan merunut apa, siapa dan bagai mana entitas Dayak. Biarlah itu merupakan kajian para antropolog atau Dayakolog saja. Namun, sebagai entitas awal yang menghuni Pulau Borneo ini, masyarakat Dayak adalah manusia biasa. Artinya, ia tidak lepas dari pengaruh waktu dan dinamika yang bernama perubahan. Sebagai manusia biasa, Dayak atau oleh peneliti asing prakolonial sebagai Dyak, ia juga sama seperti entitas lainnya di nusantara memiliki adat. Sementara, akan lebih relevan menurut saya jika kita belajar lagi memahami apa makna dari “adat” atau “hadat” ini. Kamus Besar Bahasa Indonesia mendefinisikan kata “adat” dengan kelas kata benda/nomina, sebagai: 1) aturan (perbuatan dsb) yang lazim diturut atau dilakukan sejak dulu kala, 2) cara (kelakuan dsb) yang sudah menjadi kebiasaan; kebiasaan; 3) wujud gagasan kebudayaan yang terdiri atas nilai-nilai budaya, norma, hukum, dan aturan yang satu dengan lainnya berkaitan menjadi suatu sistem... dst (Balai Pustaka, 2001:7). Manusia Dayak bukan orangutan (pongo pygmaeus) atau bangsa yang diturunkan oleh spesies langka ini. Secara genealogis, manusia Dayak yang masih eksis sampai saat ini bukan dari keturunan incest atau pun lahir dari “persenggamaan tanpa ikatan perkawinan” seperti statemen TAT ini. Di dalam membedakannya dengan orangutan, masyarakat Dayak (oleh mereka sendiri dan diatur menurut hukum tradisional) disebut sebagai identitas manusia yang “belum bahadat” atau hidup sebagai manusia yang memiliki adat. Scharer dalam bukunya “Ngaju Religion: A Conception of God Among A South Borneo People” (Martinus Nijhoff, The Hague)menyatakan bahwa: “...hadat rules the whole of life and thought, and relations between man and the cosmos. It is the guide through life, and only if man constantly orients himself by it does he step surely and go through life as the true man who submits himself obediently to the godhead and carries out its will, and thus receive well-being for himself and for the entire of cosmos.”(1965:98). Dengan kata lain, bahwa hadat merupakan “tuntunan bagi segenap kehidupan manusia (Dayak), dan manusia harus diarahkan olehnya (dan dapat mengarahkan dirinya) supaya ia tidak tersesat dari jalan yang benar” (lihat Ugang, “Menelusuri Jalur-Jalur Keluhuran”, BPK Gunung Mulia, 1983:51).
Sebagai tuntunan dan pandangan hidup (way of life), hadat merangkumi semua perikehidupan masyarakat Dayak—dari prosesi kelahiran, perkawinan, bermasyarakat hingga kematian. Hadat memiliki peran sentral sebagai aturan hukum baik normatif dan etik tak tertulis yang dijadikan sebagai kerangka berbudaya masyarakat Dayak. Semua diharapkan berjalan sesuai hadat, sehingga manusia Dayak dapat menjadi manusia yang menurut Scharer sebagai: sacred people who live in the sacred land and get a sacred death which belongs to a “lewu tatau”. Manusia Dayak yang mampu menjalankan hadat dan belum bahadat adalah manusia Dayak yang telah mengakui adat dan menyerahkan dirinya diatur oleh adat, sehingga ia akan menempatkan diri dan bersedia diarahkan oleh adat dalam setiap perikehidupannya (baik secara horisontal sesama manusia, maupun secara vertikal kepada Pencipta) menuju kesucian guna memperoleh kekekalan setelah kematian (surga).
Hadat tidak saja mengatur hubungan manusia dengan manusia lain secara sosial, namun untuk mencapai harmonisasi kosmos yang berimplikasi terhadap hubungan vertikal dengan Pencipta. Oleh karenanya, apabila terjadi pelanggaran terhadap hadat, manusia wajib untuk melakukan restorasi tatanan—restoration of order (Scharer, 1963:100) dengan tujuan agar mengembalikan harmonisasi antarhubungan tersebut. Sebab jika tak dilakukan restorasi tatanan yang sudah dilanggar, manusia Dayak diyakini akan menuai kutukan, baik berupa bencana kultural, bencana sosial maupun bencana kosmos. Karenanya, ada beberapa terminologi yang menurut Scharer sebagai upaya pelanggaran hadat adalah: manantarang hadat, mahalau adat, dan malawan hadat. Kita dapat menyimpulkan berada di mana kasus TAT ini, dipandang dari perspektif hadat baik sebagai tatanan normatif maupun etik.
Singer atau Jipen?
Denda adat sebelum Perjanjian Damai Tumbang Anoi 1894 masih berupa benda-benda berharga maupun hewan/binatang peliharaan yang memiliki nilai tinggi. Denda adat masih belum dikonversikan ke dalam bentuk alat tukar. Denda adat inilah yang disebut singer atau para pemuka adat yang menjatuhkan singer berdasarkan sidang adat dalam basara hadat. Para pemuka adat ini akan manyinger seseorang jika terjadi pelanggaran terhadap hadat. Besaran nilai singer yang dikenakan inilah yang disebut jipen. Jipen merupakan polisemi, yakni dapat berarti budak dan satuan dari konversi pelanggaran atas hadat atau besaran denda adat/singer. Singer yang dijatuhi dapat berupa jipen 1, 2 hingga jipen 15, tergantung dari berat/ringannya pelamnggaran hadat yang dilakukan. Maka ketika TAT ‘tersungkur’ meminta maaf dan bersedia membayar denda adat, namun masih meragukan juga berapa besaran nominalnya (sangat naif sebagai seorang sosiolog), TAT menganggap bahwa denda adat itu seolah-olah sesuatu yang musykil bagi ukuran dirinya (lihat “ Thamrin Tak Sanggup Bayar Jipen” Harian Banjarmasin Post, 13 Januari 2011, hal. 21). Sebagai seorang sosiolog ia masih perlu belajar hadat Dayak, di mana sebuah perdamaian bisa saja dijadikan momentum untuk menjadi bagian dari inti persaudaraan. Ada prosesi unik yang sangat elegan dan bermartabat di dalam hadat Dayak (Ngaju) adalah “hatunding daha” atau “angkat saudara”, yakni pengakuan akan perdamaian hakiki dan bagian dari keluarga inti, jika bermasalah dengan sesama individu. Prosesi ini merupakan bagian dari restorasi—manusia, alam dan Pencipta—sebagai mana dimaksudkan Scharer di atas. Selain pemenuhan sisi normatif dan etik tentu saja, prosesi ini akan menghapuskan dendam dan memulai hidup yang baru.
Tidak sembarang orang selain pemuka adat yang diputuskan melalui kerapatan adat di dalam proses basara dapat menjatuhkan besaran singer terhadap suatu pelanggaran hadat. Singer adalah vonis yang dijatuhkan kepada pelanggar hadat dalam konteks bukan hanya sesama manusia secara sosial namun perlakuan terhadap alam/kosmos. Oleh karenanya singer berbeda secara konsep dengan jipen. Jipen dapat memuat makna etis dan moral misalnya di dalam penunaian prosesi perkawinan, yakni pemenuhan ”jalan hadat”. Jika kita sejenak menoleh besaran jipen yang dikenakan di dalam prosesi perkawinan pada masyarakat Dayak, maka jipen itu dapat bernilai tinggi—selain aset, juga nilai konversinya berupa uang—maka dalam hubungannya dengan tesis TAT adalah tesis yang “ngawur”. Bagaimana tidak, jangankan untuk melakukan “persenggamaan tanpa ikatan perkawinan”, untuk bertamu tanpa ada pihak ketiga (baik laki-laki atau perempuan) adalah sebuah pelanggaran adat. Singer dalam bagian “jalan hadat” juga dapat dikenakan di dalam prosesi perkawinan jika pihak laki-laki melakukan pelanggaran hadat sebelum resminya dikukuhkan dalam lembaga perkawinan yang sakral.
Maka kita janganlah latah mengiukuti TAT ini. Apalagi sebagai pemilik hadat tidak mampu membedakan antara singer dan jipen. Singer adalah pelanggaran, sementara jipen dalam konteks ini adalah besaran/satuan nilai dari pelanggaran tersebut. Saya tidak akan ikut-ikutan menggeneralisasi terminologi maupun besaran nilai denda pelanggaran terhadap “hadat” atau adat ini. Dari tujuh suku besar (Riwut, 2004:63), suku Dayak memiliki terminologi yang dapat saja berbeda-beda, baik besaran/satuan nilai maupun prosesinya. Harapan kita hal ini tidak akan menimbulkan polemik baru yang akan blunder dan mengaburkan substansi persoalan. Namun semua bermuara pada satu napas dan semangat yang sama, terlepas dari perbedaan-perbedaan tersebut. Setidaknya, sebagai entitas Dayak yang beradap, hukum adat Dayak haruslah ditegakkan. Ini akan memberikan pelajaran berharga di masa depan agar tidak terulang. Satu hal yang patut dicatat adalah sebagai masyarakat yang beradat bukan hanya beradap, masyarakat Dayak sangat mencintai kedamaian dan perdamaian. Bisa saja kecerobohan intelektual seperti yang dilakukan TAT ini menjadi momentum baru bagi introspeksi kita sebagai bagian dari entitas Dayak. Maka mari kita bertanya kepada diri sendiri: sudah banyakkah kita menulis tentang apa yang kita miliki untuk dibaca dunia? Karenanya kita sebagai bagian dari anak bangsa harus mampu menunjukkan keberadaan dan keberadatan kita dalam memandang entitas lain di nusantara ini.[AN]
*) Peminat Budaya dan Bahasa Dayak Ngaju
Tidak ada komentar:
Posting Komentar