Oleh: Anthony Nyahu*
Masyarakat Dayak yang mendiami
Kalimantan Tengah pada awal dikenal adalah masyarakat yang hidup dalam tradisi
lisan (oral tradition). Hal ini menjadi ciri khas masyarakat adat di Nusantara.
Adat, kebiasaan dan tradisi termanifestasi dalam kehidupan sehari-hari yang
dijalankan dengan penuh tanggung jawab tersebut membimbing masyarakat Dayak
menuju masyarakat Dayak yang dikenal sekarang. Pada awalnya, kehidupan sosial
budaya masyarakat Dayak tak pernah terpublikasi. Jauh sebelum kedatangan
agama-agama samawi, masyarakat Dayak telah mengenal agama bumi, yang dikenal
dengan Kaharingan. Masyarakat Dayak—dalam pandangan teologi Barat—dianggap
sebagai pagan. Padahal mereka telah
jauh mengenal tatanan religiusitas dan bimbingan moral yang terpelihara.
Kaharingan sebagai agama dan hadat
sebagai bimbingan moral belum mampu dipahami secara holistik oleh kaum
cerdik-cendikia, terutama periode awal kedatangan misionar di Kalimantan.
Sebagai masyarakat yang
iliterasi, masyarakat Dayak tidak memiliki hubungan historis dengan
keberaksaraan dan pendidikan formal pada abad-abad sebelum masuknya misi
Pekabaran Injil. Meskipun demikian, bukan sebuah alasan pembenaran bahwa
masyarakatnya tak beradat dan tak beradab. Pendidikan nonformal yang diwariskan
secara home schooling—salah satunya
dalam bentuk tanding tampengan
(peribahasa)—dan pembangunan karakter sejak dini. Dengan demikian, anak-anak
telah diajarkan dari dalam lingkungan rumah tangga untuk mengenal etika,
moralitas, dan sosial budaya, termasuk di dalamnya soal hadat. Fenomena tradisi dan adat ini sempat terekam dalam bentuk
tulis oleh Mallinckrodt (1928) dalam bukunya Het Adatrecht van Borneo.
Ketika berbicara soal hadat atau adat, Schärer
(1963) dalam bukunya Ngaju Religion: A
Conception of God Among A South Borneo People (Martinus Nijhoff, The Hague)
mendefinisikan bahwa: “...hadat rules the
whole of life and thought, and relations between man and the cosmos. It is the
guide through life, and only if man constantly orients himself by it does he
step surely and go through life as the true man who submits himself obediently
to the godhead and carries out its will, and thus receive well-being for himself
and for the entire of cosmos.”(1965:98). Dengan kata lain, bahwa hadat merupakan “tuntunan bagi segenap
kehidupan manusia (Dayak), dan manusia harus diarahkan olehnya (dan dapat
mengarahkan dirinya) supaya ia tidak tersesat dari jalan yang benar” (lihat
Ugang, Menelusuri Jalur-Jalur Keluhuran,
BPK Gunung Mulia, 1983:51).
Sebagai tuntunan dan pandangan
hidup (way of life), hadat merangkumi semua perikehidupan
masyarakat Dayak—dari prosesi kelahiran, perkawinan, bermasyarakat hingga
kematian. Hadat memiliki peran
sentral sebagai aturan hukum baik normatif dan etik tak tertulis yang dijadikan
sebagai kerangka berbudaya masyarakat Dayak. Semua diharapkan berjalan sesuai hadat, sehingga manusia Dayak dapat
menjadi manusia yang menurut Schärer sebagai: sacred people who live in the sacred land and get a sacred death which
belongs to a “lewu tatau”. Manusia Dayak yang mampu menjalankan hadat dan belum bahadat adalah manusia Dayak yang telah mengakui adat dan
menyerahkan dirinya diatur oleh adat, sehingga ia akan menempatkan diri dan
bersedia diarahkan oleh adat dalam setiap perikehidupannya (baik secara
horisontal sesama manusia, maupun secara vertikal kepada Pencipta) menuju
kesucian guna memperoleh kekekalan setelah kematian (surga).
Hadat tidak saja mengatur hubungan manusia dengan manusia lain
secara sosial, namun untuk mencapai harmonisasi kosmos yang berimplikasi
terhadap hubungan vertikal dengan Pencipta. Oleh karenanya, apabila terjadi
pelanggaran terhadap hadat, manusia
wajib untuk melakukan restorasi tatanan—restoration
of order (Schärer, 1963:100) dengan tujuan
agar mengembalikan harmonisasi antarhubungan tersebut. Sebab jika tak dilakukan
restorasi tatanan yang sudah dilanggar, manusia Dayak diyakini akan menuai
kutukan, baik berupa bencana kultural, bencana sosial maupun bencana kosmos.
Karenanya, ada beberapa terminologi yang menurut Scharer sebagai upaya
pelanggaran hadat adalah: manantarang hadat, mahalau adat, dan malawan
hadat. Oleh karenanya, berbicara soal iliterasi kita serta merta harus
menilik lebih jauh mengenal tradisi yang dikenal sebelumnya.
Sebagai manusia yang lebih dulu
mengenal dan tunduk terhadap hukum adat yang termaktub di dalam hadat, literasi menjadi kebutuhan
penting dalam periodisasi kehidupan masyarakat Dayak di Kalimantan Tengah.
Sejarah pekabaran Injil di Kalimantan tahun 1835 merupakan tonggak baru
literasi di Tanah Dayak. Meskipun sebelumnya, Daniel Beekman, seorang perwira
Inggris pernah menulis sebuah risalah yang mengisahkan tentang ekspedisinya di
Kalimantan pada tahun 1718 (lihat Ukur, Tantang-Djawab
Suku Dayak, tt:87, BPK Gunung Mulia).
Bahwa pada abad ke-17 tersebut telah masuk seorang Portugis yang
berhasil masuk sampai ke pedalaman Kalimantan. Namun hal yang jauh lebih
penting sebagai dasar historis adalah masuknya misionar Barnstein pada tahun
1835 tersebut. Langkah ini dianggap sebagai tonggak baru bagi misi penginjilan
di Kalimantan melalui Rheinische Missiongesselschaft (RMG).
Kedatangan misionar dari RMG ini
berimplikasi terhadap dua poin penting. Pertama, secara politis, masuknya
pengaruh agama baru dan pengenalan teologi Kristen yang kelak dalam terminologi
Mahin sebagai Dayak Kristen untuk menyebut identitas Dayak yang takluk terhadap
agama baru ini (lihat Tamanggong Ambo
Nikodemus Djajanegara: Menyusuri
Sejarah Sunyi Seorang Temenggung Dayak, Lembaga Studi Dayak-21, Banjarmasin
2005). Hal ini sekaligus menjadi titik awal invasi politik asing terhadap
Indonesia, salah satunya terhadap masyarakat Dayak. Kedua, secara linguistis, titik
awal ini menjadi tonggak keberaksaraan bagi masyarakat Dayak. Masyarakat Dayak
dihadapkan dengan literasi sehingga mutlak membutuhkan pendidikan. Banyak di
antara para pemuka adat ‘diberaksarakan’ di dalam sekolah-sekolah atau
stasi-stasi milik misionaris. Para pemuka ini kelak digolongkan sebagai
masyarakat terdidik dan menghimpun kekuatan untuk melakukan pergerakan
menentang penjajahan. Masa-masa ini menggiring masyarakat Dayak menuju sebuah
periode transisi tradisi, dari tradisi lisan menuju tradisi tulis (written tradition) meski belum seluruhnya melek aksara. Selain diajarkan aksara Latin di pedalaman-pedalaman
Kalimantan, mereka juga diajarkan menggunakan Bahasa Melayu sebagai bahasa kaum
terdidik pada masa itu.
Pada tahun 1845—1846 (oleh Ukur
dimasukkan dalam Periode I 1835--1920),
telah diterbitkan berbagai bahan cetakan perpustakaan Kristen berbahasa
Dayak Ngaju, antara lain: Kamus Bahasa
Dayak Ngaju, Perdjandjian Baru, Kitab A.B.C Suatu Peladjaran Membatja,
kesemuanya oleh Hardeland dan Becker, Cerita-cerita Alkitab (sebagian karangan
Zahn dan diterjemahkan oleh Becker), Perdjandjian
Baru dan Lama oleh Hardeland yang secara khusus bekerja untuk Lembaga
Alkitab Indonesia (Ukur tt:89). Meskipun penerjemahan ini dilakukan dengan
tujuan pekabaran Injil, periode ini mengenalkan Bahasa Dayak Ngaju dalam bentuk
tulis. Sekaligus juga menaikkan prestise bahasa ini sebagai bahasa ragam
keagamaan. Dengan demikian, statusnya pun menjadi bergengsi selain dipakai oleh
kaum cerdik-pandai.
Abad-abad kelam telah berakhir.
Sebagian besar masyarakat Dayak dengan segala dinamikanya perlahan mampu
menerima kehadiran para misionar. Menerima sebuah tabengan (jembatan) baru. Terang dunia dan terang literasi.
Perlahan namun pasti pula kaum iliterasi semakin banyak yang diberaksarakan
hingga jauh ke pedalaman. Semakin banyak pula kaum cerdik-cendekia yang menjadi
pengajar dan pendidik. Namun kenyataan ini tidak membuat masyarakat Dayak
berpuas diri. Ia layak menjadi agen perubahan itu sendiri: perubahan indeks
kemanusiaannya dengan satu kata kunci: pendidikan. Selamat Hari Pendidikan
Nasional, saudaraku di mana pun kau berada hingga jauh di perbatasan!
*) Anthony
Nyahu, peminat Budaya Dayak dan Bahasa Dayak Ngaju, tinggal di Palangka Raya. Email: asnyahu@yahoo.com.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar