11 Agustus, 2009

BAHASA DAYAK NGAJU: BAHASA KAUM HULU ATAU BAHASA KAUM MAJU?

Anthony Nyahu
Terminologi Ngaju yang melekat pada bahasa yang digunakan meluas di Kalimantan Tengah atau bahasa perhubungan antarsuku telah mengalamai ‘keterjebakan’. Mengapa “Bahasa Dayak Ngaju” atau “Bahasa Ngaju” lama menjadi stagnan dan kurang berkembang? Hal ini tidak terlepas dari terminologi “Ngaju” yang digunakan oleh para peneliti asing. Pada awalnya, mereka menyepakati penggunaan istilah tersebut sebagai ‘pengakuan’ masyarakat penuturnya. Di dalam dunia antropologi dikenal sebagai by native. Bahwa orang-orang Ngaju atau kelak menguat dengan nama Dayak Ngaju merupakan kesatuan kolektivitas etnik yang membedakannya dengan Ot Danum dan Melayu (lihat Schärer ; Jani Kuhnt-Saptodewo ). Diangkatnya istilah Basa Ngaju oleh Epple merupakan sebuah ‘label’ tanpa pretensi. Sejalan dengan itu, Riwut menyebutkan bahwa semua satuan guyup yang menggunakan bahasa-bahasa yang berbeda dengan Ot Danum, Maanyan-Dusun, dan Melayu adalah orang-orang yang termasuk dalam suku Ngaju atau suku Dayak Ngaju. Justru Hardeland hanya menyebutnya sebagai bahasa Dayak, padahal di dalam realitanya suku-suku Dayak tidak monolingual. Menurut Schärer, merupakan sebuah kekeliruan yang sangat fatal untuk mengklaim bahwa bahasa Dayak sebagai yang digunakan dalam kamusnya hanya mengangkat vokabuler dari Dayak Ngaju saja. Namun, perkembangan zaman terus melaju dengan pesat. Kebudayaan menjadi imbas terhadap perubahan itu. Tidak terkecuali perkembangan bahasa. Bahasa Dayak Ngaju yang dijadikan sebagai alat misi pekabaran Injil sejak diliterasikan tahun 1835. Hal ini berbeda dari penyebutan oleh Hardeland. Dan tentunya cukup tepat digunakan untuk membedakannya dengan bahasa-bahasa lain yang ada di Kalimantan Tengah. Bahasa-bahasa tersebut antara lain: Bahasa Dayak Maanyan, Dayak Ot Danum, dan Melayu Banjar. Schärer, yang menyatakan bahwa suku-suku yang Ngaju yang bermukim di bagian hulu sebagai “uplander”, kemungkinan, menurutnya dibuat untuk membedakan kelompok Ngaju dengan “Oloh Tumbang”, seperti Melayu-Muslim. Sekaligus juga membedakannya dengan orang-orang Ot Danum, sebuah suku yang menempati bagian pedalaman atau “headwaters” pada jantung Pulau Borneo. Parahnya, terminologi Ngaju sebagai “uplander” atau “Oloh Hulu” harus diperhadapkan sebagai upaya untuk membedakannya dengan “Oloh Tumbang”. Artinya, kata ‘Ngaju’ diperhadapkan dengan apa yang disebut Levi-Strauss sebagai binary opposition ‘Ngawa’. Jika benar kenyataan demikian, maka panjang umurlah kekacaubalauan terminologi identitas itu. Kata Ngaju di dalam nama Dayak Ngaju harus juga diperhadapkan atau dipasangkan dengan Dayak Ngawa. Dengan kata lain, ada paradigma geolinguistik Oloh Ngaju—Oloh Tumbang (Orang Hulu—Orang Muara). Apakah memang begitu kenyataannya?
Ngaju sebagai Identitas Kolektivitas Etnik
Jika kata Ngaju digunakan sebagai nomina atau kata benda, maka penempatan kata itu sebagai pelengkap kesatuan etnik yang membedakan dengan Dayak lainnya, sungguh patut dikatakan benar. Tetapi manakala dalam konsep awam dan kolokial, kata “ngaju” (tidak ditulis dengan n kapital), ia wajar diperhadapkan atau dipasangkan sebagai binary opposition dengan kata “ngawa”. Artinya, kedua kata tersebut berkelas nomina dan keduanya tidak akan mengalami kerancuan seperti asumsi sekarang. Jika kata ngaju diartikan secara etimologis sebagai padanan untuk “hulu”, dengan makna tunggal sebagai bagian atas; udik; ujung dari sungai saja, maka tidak sepenuhnya benar. Sebab, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata “hulu” juga bermakna sebagai… (5) permulaan; pangkal; awal. Sedangkan kata ngawa jika diartikan dalam bahasa Indonesia sebagai “hilir”, maka bermakna sebagai 1) bagian sungai sebelah muara; dan 2) daerah sepanjang bagian muara sungai . Artinya, kata ngawa sendiri tidak merujuk kepada muara dari sebuah sungai atau mulut sungai dalam konteks tumbang dan konsep sosio-ekologis orang Dayak. Dalam konteks geografis, masyarakat Dayak Ngaju mengenal aju—awa, ambu—iwa, hunjun—penda, baun—likut, pambelum—pambélép yang paralel dengan bagian agak ke hulu—bagian agak ke hilir, laut—darat, atas—bawah, depan—belakang, Timur--Barat. Aju—sebagai dasar kata ngaju--dalam konsep budaya orang Dayak Ngaju tidak secara mutlak dipandang sebagai bagian paling udik dari sebuah sungai. Kata aju bisa saja berarti “agak ke atas sedikit” dan bukan “udik atau pedalaman”. Karena dalam struktur populasi masyarakat sungai, secara realita masyarakat Dayak Ot Danumlah yang menempati posisi di paling hulu (bukan paling udik dari perspektif stigmatisasi budaya). Masyarakat Dayak Ngaju mayoritas bermukim di antara Suku Dayak Ot Danum dan Melayu Muslim yang disebut Scharer sebagai Oloh Tumbang. Dengan demikian, mereka secara populasi bermukim di daerah-daerah tengah dan hilir (bukan ‘muara’ atau mulut sungai) dari struktur sungai yang ada di Kalimantan Tengah. Secara ontologis, kata ngaju merupakan bentuk kolokial dari hong aju, yang artinya pada bagian yang mengarah mendekati hulu. Jadi, kata ngaju itu tidak serta merta sebagai udik atau pedalaman, mengingat secara geolinguistik ada komunitas tutur lain pada bagian hulu. Demikian juga tentang konsep ngawa yang didapati dari tuturan kolokial hong awa, yang berarti pada bagian mendekati hilir atau mendekati muara. Ia tidak secara langsung dapat disebut sebagai tumbang atau muara. Persoalannya adalah tentu sangat naif apabila mengacaubalaukan istilah ngaju dan ngawa untuk suatu pemahaman konsep budaya yang bukan berlatar sosio-ekologis sungai. Dari kacamata linguistik antropologis, label orang-orang Ngaju menunjukkan apa yang ditulis Riwut (1993) sebagai komunitas yang menuturkan bahasa selain Ot Danum dan Melayu. Populasi komunitas ini lintas sungai Kapuas, Kahayan, dan Katingan. Dalam perkembangan politik-misi, penyebarannya seolah sporadis. Meskipun berbeda secara bahasa, Ot Danum sesungguhnya masih dapat dikategorikan sebagai bagian dari orang Ngaju. Ini apabila dikaitkan dengan mitos penciptaan (creation myth) dan Tetek Tatum (Mitos Genealogis). Demikian pula di dalam konsep ke-Tuhanannya. Maka sangatlah naif rasanya jika sempitnya makna kata Ngaju dengan stereotipe ngaju (ditulis dengan n huruf kecil) sebagai makna tunggal hulu atau udik. Kecenderungan itu tidak berdasar ketika kita menoleh sejenak atas makna-makna yang lain dari kata “hulu”. Berkaitan dengan itu, terminologi Ngaju pada kata Dayak Ngaju akan terasa cocok jika di-redefinisikan sebagai “Suku Dayak yang Awal atau suku Dayak Asli yang menghuni Kalimantan Tengah”. Jika demikian kenyataannya, bagai mana dengan suku-suku Dayak yang lain? Apakah mereka bukan suku Dayak yang asli? Asli atau bukan, permulaan atau awal, semua tidak dapat dipisahkan dari mitos penciptaan (creation myth) yang menjadi mitos genealogis suku Dayak di Kalimantan Tengah. Menurut antropolog Dayak yang juga pakar Kaharingan, Marko Mahin , sejarah asal-usul apakah suku Dayak lainnya dikategorikan satu kolektivitas etnik dengan Dayak Ngaju harus dirunut dari mitos penciptaan ini. Apakah mereka satu nenek-moyang (ancestor) atau bukan, dapat dilihat dari Panaturan (Kitab Kaharingan) dan Tetek Tatum (Mitos Genealogis Dayak). Masyarakat Dayak Ot Danum, misalnya juga mengenal asal-usul leluhurnya seperti yang termaktub dalam Tetek Tatum.
Bahasa Dayak Ngaju: Masa Kini dan Mendatang
Dengan adanya pemikiran kembali makna tentang kata Ngaju (bukan n huruf kecil), tentu kita akan semakin sadar dalam penempatannya. Bahasa Dayak Ngaju tentu bukanlah bahasa kaum hulu/udik. Maka sangat wajar jika para linguis asing (utamanya dalam misi sebagai misionaris) mengangkat Bahasa Dayak Ngaju sebagai bahasa pertama di Kalimantan Tengah yang diliterasikan. Terlepas dari hal-hal di luar linguistik dan antropologi, para linguis itu sangat berjasa dalam meletakkan dasar-dasar struktural bahasa Dayak Ngaju. Hal ini masuk akal mengingat suku Dayak Ngaju merupakan suku yang paling banyak subnya di Kalimantan Tengah. Sebagai suku mayor, maka ia wajar dituturkan oleh penutur yang mayoritas, dan dalam perkembangannya mampu menjadi lingua franca di Kalimantan Tengah. Ia bukanlah bahasa kaum udik/hulu, mengingat para penuturnya adalah kaum terdidik (cerdik-pandai) baik sejak zaman zending maupun masa kini. Mereka ini pula yang muncul di depan—aju; maju—sebagai para pemimpin pergerakan yang menentang penjajah, para birokrat, para pemuka, para politisi, dan lainnya. Akan sangat ironis jika di masa kini munculnya stigma bahwa bahasa Dayak Ngaju dianggap bahasa orang udik/hulu. Ia seolah menjadi bahasa yang tidak bergengsi, dengan demikian, ia tidak lagi dijadikan sebagai bahasa ibu. Ia dipandang hanya dituturkan oleh kaum inferior; kaum udik. Padahal, kalau kita sejenak membaca sedikit sejarah kehidupan suku Dayak di Kalimantan Tengah, maju-mundurnya entitas etnis Dayak di Kalimantan Tengah tidak terlepas dari orang-orang yang bersuku Dayak Ngaju, atau Oloh Ngaju. Pun, untuk menjadi bagian integral dari Indonesia, Oloh Ngaju telah menunjukkan kiprahnya, dengan tidak mengecilkan peran suku-suku lain, tentunya. Terlebih lagi, kebanggaan atas identitas dan lambang jati diri masyarakat Dayak Ngaju kian meredup saja. Masyarakat Dayak Ngaju menjadi semakin tinggi keterbukaannya menelan mentah-mentah bahasa daerah lain yang bukan bahasa ibu-nya. Orang Dayak Ngaju yang notabene menikah dengan sesamanya lebih senang mengajarkan bahasa nasional kepada anak-anaknya. Alih-alih sebagai bahasa yang bergengsi tinggi dan simbol bahasa kaum terdidik, bahasa ibu—bahasa Dayak Ngaju—dianggap bisa dipelajari dengan sendiri kelak. Jadi tidak harus diajarkan di lingkungan keluarga. Sebagai akibatnya, banyak remaja dari orang tua yang berasal dari orang Dayak Ngaju bahkan tidak mampu berbahasa ibu-nya sendiri! Memprihatinkan dan dilematis memang. Di pihak lain, sebagai generasi pelapis, generasi kini dituntut agar penguasaan bahasa daerah atau bahasa ibu menjadi suatu keharusan, selain bahasa nasional dan bahasa asing. Penguasaan bahasa daerah atau bahasa ibu bertujuan agar generasi masa kini tidak tercerabut dari akar budaya daerahnya sebagai identitas dan penguat jati dirinya di tengah masyarakat dan budayanya. Penguasaan bahasa nasional, yakni bahasa Indonesia dikuasai sebagai modal dalam komunikasi nasional dan pengembangan IPTEK, sedangkan penguasaan bahasa asing dalam kerangka penguasaan IPTEK, pergaulan di komunitas internasional dan global. Semestinya, ketiga bahasa tersebut dipergunakan sesuai dengan fungsi dan perannya masing-masing.
Bahasa Dayak Ngaju: Tantangan ke Depan dan Penanganannya
Sebagai sebuah bahasa, bahasa Dayak Ngaju dituntut selalu dinamis. Ia harus tanggap atas kemajuan zaman beriring dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Mau tidak mau, suka tidak suka, bahasa ini harus direvitalisasi. Jika masyarakat penuturnya masih menganggap penting, maka pemutakhiran dan pengayaan kosa katanya mutlak dilakukan. Dengan demikian, unsur-unsur serapan dari bahasa-bahasa daerah lainnya, atau dari bahasa Indonesia menjadi tak terhindarkan. Di samping itu, faktor lain yang tak kalah pentingnya adalah peninjauan kembali materi muatan lokal dengan kemasan yang menarik, misalnya dalam bentuk multimedia, pembelajaran di luar kelas dan lain-lain. Muatan filosofis dan bimbingan moral bagi peserta didik menjadi bagian penting selain penguasaan secara didaktis. Aneka pepatah-petitih dan bentuk-bentuk kearifan lokal dalam bersastra, misalnya perlu dipertimbangkan sebagai materi penunjang. Dalam beberapa dekade terakhir, aspek penelitian dan pengkajian bahasa Dayak Ngaju dari sisi mikrolinguistik seharusnya sudah sampai pada tahap perumusan kodifikasi, ortografi, kamus, dan tata bahasa. Ejaan bahasa Dayak Ngaju masih belum menemukan kata sepakat, terlebih menuju sebuah kebakuan. Agaknya, kongres bahasa ini memang harus menjadi prioritas untuk secepatnya dilaksanakan dan hendaknya menjadi perhatian para pakar, para peneliti, para praktisi, dan peminat bahasa di wilayah ini. Di dalam kongres itu kelak diharapkan juga dibahas strategi dan metode pengembangan dan pembinaannya, termasuk di dalamnya bagai mana menyiapkan para guru bidang studi bahasa Dayak Ngaju berikut infrastrukturnya di daerah ini. Dari sisi makrolinguistik, penelitian bahasa Dayak Ngaju juga harus selalu diaktualkan dengan melihat pola-pola dan strategi penelitian bahasa daerah lain di Indonesia. Kajian antropologi linguistik, misalnya menjadi lahan yang sangat minim disentuh. Demikian juga dalam hubungan bahasa dengan masyarakatnya atau sosiolinguistik, dan lain-lain. Di tengah arus modernisasi yang terus mendera, tantangan budaya, termasuk di dalamnya bahasa, menjadi bagian dari perubahan. Dinamika kemajuan IPTEK, arus informasi yang mengglobal, dan ketergerusan nilai dan perilaku sosial, menggiring masyarakat Dayak Ngaju kepada berbagai pilihan. Pilihan tersebut sangat banyak dan beragam. Tetap setia dengan status quo yang masih bertahan dengan gaya bahasa masa lalu atau rela menerima perubahan dan kekinian. Atau memilih sebuah konsekwensi paling mudah dengan mencampakkan bahasa ibu-nya dan menggantikannya dengan bahasa daerah lain, atau bahasa nasional saja. Pilihan terakhir, sepertinya telah dan sedang menggejala di tengah komunitas tutur bahasa Dayak Ngaju. Bahkan, sebagai lembaga yang selama ini mengawal dan merawat bahasa Dayak Ngaju sebagai alat pekabaran Injil, pihak Gereja Kalimantan Evangelis (GKE) mulai resah dengan semakin berkurangnya intensitas pemakaian bahasa ini sebagai pengantar kegiatan keagamaan . Makin sedikit para orang tua yang bisa berbahasa Dayak Ngaju dan makin sedikit pula bahasa ini diajarkan kepada anak-anak di lingkungan keluarga sebagai bahasa ibu. Agaknya, perhatian Pemerintah Daerah melalui kebijakan dijadikannya bahasa Dayak Ngaju sebagai muatan lokal di tingkat sekolah dasar belumlah dikatakan optimal. Tantangan yang lebih berat ke depan adalah bagai mana bahasa ini mampu mengakomodir kepentingan komunikasi masyarakat penuturnya. Kata kuncinya adalah bagai mana menjadikan bahasa ini menjadi bahasa yang memiliki daya ungkap yang kuat ditandai dengan kekayaan khasanah kosa katanya. Demikian pula halnya dengan penumbuhkembangkan publikasi baik cetak dan elektronik, berupa buku-buku bacaan, kamus, koran, buletin, majalah, dan jurnal berbahasa Dayak Ngaju. Hal ini tentu saja menggunakan ortografi dan tata bahasa yang disepakati semua pihak sebagai sebuah pedoman baku. Dan yang lebih penting lagi, citra bahasa ini sebagai bahasa kaum hulu akan lambat laun sirna. Dalam konteks pembinaan, misalnya publikasi elektronik, tersedianya program televisi dan radio berbahasa Dayak Ngaju yang memadai sehingga akan menumbuhkan kembali sikap positif masyarakat penuturnya di tengah pergaulan anekabahasa yang ada. Penanganan yang mementingkan satu aspek saja, misalnya, tidak akan menjamin apakah suatu bahasa akan didukung oleh masyarakat penuturnya. Strategi yang cenderung parsial, niscaya tidak akan mengentaskan persoalan. Bahasa Dayak Ngaju sangat jauh ketinggalan dan ditinggalkan, namun hal ini tidak akan menyurutkan langkah kita untuk duduk secara bersama-sama menguraikan benang kusut persoalan pengembangan dan revitalisasinya. Jika tidak dipikirkan langkah-langkah strategis dalam penangannya sejak saat ini, niscaya Bahasa Dayak Ngaju—dengan asumsi dua generasi ke depan—akan punah. Ia akan ditinggalkan, tergantikan oleh penetrasi bahasa-bahasa daerah lainnya dan mungkin juga sebagai akibat dari menguatnya prestise bahasa nasional. (Bersambung)