20 Januari, 2009

Tukul, wong ndeso, katro’ dan kembali ke laptop: Sebuah Catatan atas Fenomena Kebahasaan dan Kepribadian Bangsa sebagai Renungan di Awal Tahun

Oleh Anthony Nyahu
Dasar wong ndeso! Katro’,kembali ke laptop. Kosa kosa kata tersebut seolah menjadi trend di sepanjang tahun 2008 terkait dengan salah satu acara talkshow di sebuah teve swasta. Beberapa kosa kata tersebut seolah mengukuhkan peran dan posisi seorang Tukul, penghibur yang selama ini belum punya jam terbang yang banyak sebagai presenter. Kalaulah boleh disandingkan popularitasnya, mungkin tidak kalah dengan Peterpan (alm) yang menjadi ikon papan atas musik pop negeri ini. Ya! Kita memang tidak secara khusus membahas Tukul dengan popularitasnya, atau Peterpan yang sudah almarhum dengan persoalannya yang menjadi topik laris sepanjang tahun lalu. Kita hanya mencoba mengulik kembali ketiga kosa kata Tukul tersebut berkaitan dengan fenomena sosial dan budaya Indonesia. Mengapa saya sengaja memunculkan ketiga kosa kata tersebut, hanya persoalan yang tidak terlalu serius. Atau hanya sebagai sebuah ‘perbincangan warung kopi’. Namun, setidaknya ada beberapa hal yang patut dipetik berdasarkan kisah panjang dan berliku seorang Tukul dan ‘peluncuran’ kosa kata tersebut hingga sedemikian populernya. Di sini saya juga tidak akan mengisahkannya, karena yang lebih tahu pasti para tim kreatifnya. Orang-orang yang tergabung di dalam tim yang pandai menyuguhkan suasana baru. Suasana segar, dan keluar dari ‘patron’ kekinian, di mana arus globalisasi informasi dan gaya hidup ‘harus’ mengusung sesuatu yang canggih (sophisticated), menguasai teknologi (hi-tech), dan kebanggaan artifisial lainnya. Wong ndeso dan katro’ sengaja dibaurkan dengan kembali ke laptop. Kalaulah boleh kosa kata wong ndeso dan katro’ tersebut disandingkan dengan kembali ke laptop, mungkin ia akan menjadi kosa kata yang berseberangan (opposite). Ketiganya mungkin tidak akan pernah ketemu. Masing-masing bergerak dalam sebuah lingkaran setan. Bagaimana mungkin, seorang yang ndeso dan katro’ kok bisa dan biasa menguasai teknologi—dengan kembali ke laptop. Ah, mungkin ada-ada saja. Atau kata mereka sebagai ‘sesuatu yang ora umum’. Ya. Itulah fenomena ora umum tersebut. Namun, seperti yang sudah saya sebutkan di atas, ada beberapa hal yang pantas menjadi catatan refleksi kita pada awal tahun ini. Pertama, kita, sebagai bangsa yang besar (selama ini) ternyata mudah untuk menyaru, berkosmetik, dan berkamuflase dengan kebudayaan lain untuk menunjukkan bahwa kita mempunyai prestise. Atributnya: berupa gaya hidup yang (mungkin) hedonistik, oportunis, dan sok canggih menggunakan bahasa asing yang campur aduk, untuk mendapatkan pengakuan sosial bahwa kita sudah modern atau maju. Padahal, kita sesungguhnya sangat tidak nyaman dengan kondisi tersebut. Bayangkan. Kedua, bahwa ternyata sesuatu yang ndeso dan katro’ semakin dicari dan digali. Ia bukan sebagai suatu aib yang harus ditutupi secara artifisial dengan kemasan glamor dan mentereng. Ia juga bukan sebagai representasi sebuah ‘kebodohan’. Sejujurnya, kita masih nyaman dan suka di posisi ini. Ia mungkin juga sebagai sebuah prakondisi.Sebuah fenomena yang menjadikan kita selalu membumi—kembali ke alam, kata orang bule sebagai back to nature atau down to earth. Tidak melupakan akar budaya Indonesia, meskipun menguasai ilmu dan teknologi. Tetap sederhana sesuai butir-butir Pancasila (yang mungkin sebagian kita telah lupa) dan hidup dengan kepribadian yang mengindonesia. Karena di sanalah telaga yang bernama kearifan lokal atau local wisdom itu berada. Sejujurnya, kita masih merindui kearifan-kearifan lokal tersebut. Menginginkannya hadir di dalam keseharian kita. Menjadi napas di kehidupan berbangsa kita. Di pihak lain, kita tidak kalah dengan kemajuan teknologi bangsa lain. Hanya kita, sebagai sebuah bangsa yang besar masih belum mampu menempatkan diri. Paling tidak dari segi bahasa. Kita justru lebih bangga menggunakan sebuah gaya bahasa Inggronesia (kata seorang pemerhati bahasa); bahasa Indonesia yang ‘kawin-silang’ dengan bahasa Inggris. Lirik-lirik lagu pop kita menggunakan judul asing tapi isinya bahasa Indonesia. Atau sebaliknya. Semua berlomba-lomba ikut-ikutan membuat lirik ‘gado-gado’, lirik Inggronesia. Inikah fenomena alenasi kultural pada masyarakat kita? Kita menjadi asing dengan budaya sendiri. Menggelikan dan membuat saya tergelinjang karenanya. Inikah fenomena gaya hidup yang katanya modern dan canggih itu? Atau inikah sebuah pembenaran proses seni yang bernama kreativitas? Sadarkah kita bahwasanya kita telah membunuh bahasa kita secara perlahan-lahan? Atau demi sebuah kreativitas dan selera pasar kita harus merelakan bahasa kita—bahasa Indonesia—menjadi bahasa gado-gado,bahasa yang kurang bermartabat? Inilah fenomena kebahasaan kita. Dan kita sungguh—sekali lagi—tidak nyaman atas kondisi itu. Namun, kita seolah berusaha terbiasa dengan keadaan yang serba tidak nyaman tersebut. Apakah sesuatu yang berbau modern selalu demikian? Apakah sesuatu yang blasteran/indo itu lebih baik dari hal yang lokal? Tiap detik, menit dan jam kita selalu disuguhkan dengan sesuatu yang membuat kita tidak nyaman—meskipun enak: disodorkan makanan cepat-saji, padahal kita tahu dari dulu aneka cita rasa Indonesia lebih alami, sehat, serta organik. Gaya berbahasa kita bagi sebagian orang tidak dianggap bergengsi apabila tidak menyisipkan satu-dua kosa kata asing—meskipun maknanya kadang susah dimengerti diri sendiri atau orang lain. Terselip di manakah rasa nasionalisme kita? Kembali ke laptop. Back to laptop. Kata Tukul dengan keterbataannya dalam sepatah-dua kata bahasa Inggris. Lalu penontonpun terbahak, manakala ucapannya salah. Tapi sadarkah kita, apabila kita juga harus malu manakala mengucapkan bahasa sendiri—bahasa Indonesia yang salah? Ah, itu mah biasa. Padahal kita juga tidak merasa nyaman atas hal-hal yang kita anggap biasa itu. Bagi kita, persoalan kesalahan berbahasa menjadi tidak terlalu penting. Yang penting isinya, peduli apa kemasannya. Amplop mau putih atau merah jambu, tidak penting. Yang penting isinya, tebal apa tidak. Iya, bukan? Sungguh. Tukul tidak salah sebagi ikon, sebagai simbol dari sebuah tema tentang kesederhanaan. Dan memang lebih mengindonesia. Lebih membumi. Agar menjadi cermin. Betapa kita sangat nyaman dengan kondisi realitas keindonesiaan kita yang sesungguhnya sederhana. Maka wajarlah Ia menjadi amat disukai sebagai salah satu presenter pendatang (baru) masa itu. Tayangan tersebut mempunyai angka tonton atau rating yang tinggi serta memperoleh penghargaan pula. Dan orang Indonesiapun merasa sangat cocok dan nyaman dengan kondisi itu. Itulah realitas. Di dalam realitas terdapat banyak pilihan. Ingin menjadi canggih tetapi tercerabut dari akar budaya dan kehilangan identitas diri atau menjadi katro’ tetapi menguasai kebudayaan sendiri dan teknologi, hanya pilihan lain yang harus dipilih. Untuk menjadikan bahasa kita—bahasa Indonesia—dan kebudayaan nasionalnya tetap mendapatkan tempat yang tinggi sebagai kepribadian bangsa, kita harus mempunyai kemauan dan prinsip kuat yang bermula dari sebuah kesederhanaan dan kearifan lokal yang juga amat bernilai tinggi. Berpikir global, bertindak lokal, kata sorang pakar. Ah. Sayapun jadi tergelinjang. (*an)

05 Januari, 2009

TINDAK TUTUR TAWUR HASAPA DALAM BUDAYA SUKU DAYAK NGAJU: OTORITAS BAHASA DALAM PERSPEKTIF ANTROPOLINGUISTIK

Anthony Nyahu
Artikel ini merupakan kajian awal tentang penelitian antropolinguistik terhadap relevansi antara bahasa dan kebudayaan Dayak di Kalimantan Tengah. Di-posting pada blog ini dengan penyuntingan seperlunya. Dimuat pada Jurnal Suar Betang Vol.II Edisi Desember 2008.
1. Pengantar
Dalam beberapa tahun terakhir, derap perkembangan penelitian linguistik telah merambah ke luar dari patronnya, dari konteks mikrolinguistik menjadi penelitian linguistik interdisiplin yang terkait dengan ilmu-ilmu lain atau makrolinguistik. Salah satunya adalah cabang linguistik yang berhubungan dengan kebudayaan manusia yang dikenal dengan linguistik antropologi atau anthropolinguistik, atau sebagian lain menyebutkannya sebagai etnolinguistik. Masyarakat Indonesia yang beranekabudaya merupakan lahan yang luas untuk didalami dengan berbagai kajian dan penelitian dalam perspektif etnolinguistik, sehingga sebuah entitas budaya dapat hidup dan berkembang bersama-sama di tengah kebudayaan lainnya. Dalam hubungannya untuk tumbuh dan berkembang secara bersama-sama, pemahaman lintas budaya menjadi amat penting dalam rangka pemahaman keindonesiaan secara holistik. Dengan demikian, kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara menjadi kokoh manakala pemahaman lintas budaya dapat menjadi mozaik dari semua perbedaan bahasa, suku dan ras. Berdasarkan pengamatan Lauder (1995) dan Wahab (1999) bahwa dalam kurun waktu sekitar seperempat abad, minat linguis di Indonesia masih terpusat pada tataran sintaksis dan dengan pendekatan struktural. Kajiannya masih terfokus pada penganalisisan produk bahasa. Lagipula, para linguis kurang memakai data bahasa-bahasa Indonesia bagian Timur, bahasa yang diteliti cenderung bahasa-bahasa yang ada di Pulau Jawa dan Sumatera. Berkaitan dengan hal tersebut, berdasarkan wilayah penelitiannya, wilayah Kalimantan hanya menempati 11,26% dari total wilayah penelitian di Indonesia, yang didominasi oleh penelitian pada wilayah Sumatera 31,87%, diikuti Jawa-Madura 24,76%, Bali-Nusa Tenggara 8,76%, Sulawesi 18%, seterusnya Maluku 4,74% dan terendah Irian Jaya 0,61%. Selanjutnya, berdasarkan jenis penelitian, penelitian tentang Struktur Bahasa menempati posisi terbanyak yaitu 67,65%, diikuti Sastra 16,46%, kemudian Dialektologi 9,12%, Sosiolinguistik 3,67%, dan terendah Pengajaran 3,10% (Lauder, 1999:1). Berpijak dari realitas tersebut, penelitian interdisiplin sudah sepantasnya semakin digalakkan terutama, kebijakan penelitian kebahasaan di daerah-daerah. Penelitian-penelitian tentang linguistik antropologi atau antropolinguistik menjadi sangat perlu untuk digesakan. Dengan demikian, di samping aspek kepentingannya bagi sumbangsih kepada ilmu pengetahuan, penelitian antropolinguistik juga bermanfaat bagi penggalian kembali kearifan lokal sebagai kekayaan kebudayaan nasional. Dalam konteks tersebut, ada kecenderungan bahwa bahasa sebagai sebuah produk budaya manusia tidak hanya terbatas pada fungsi komunikasi semata. Namun, bahasa juga mempunyai otoritas dalam hubungannya dengan kebudayaan dan pemaknaan oleh manusia itu sendiri. Lauder (2005:81) menyatakan bahwa antropologi linguistik merupakan salah satu cabang linguistik yang menelaah hubungan antara bahasa dan budaya terutama untuk mengamati bagai mana bahasa itu digunakan sehari-hari sebagai alat dalam tindakan bermasyarakat. Antropologi linguistik adakalanya disebut sebagai etnolinguistik (yang) menelaah bahasa bukan hanya dari struktur semata,tapi lebih pada fungsi dan pemakaiannya dalam konteks situasi sosial budaya. Kajian antropologi linguistik antara lain menelaah struktur dan hubungan kekeluargaan melalui istilah kekerabatan atau menelaah bagai mana anggota masyarakat saling berkomunikasi pada situasi tertentu seperti pada upacara adat lalu menghubungkan dengan konsep budayanya. Sebagai contoh, tindak tutur pendeta: “......dengan ini, kalian saya kukuhkan sebagai suami isteri....” adalah sebuah tindakan melalui bahasa yang mempunyai otoritas dalam masyarakat untuk mengukuhkan sepasang pengantin menjadi sepasang suami isteri yang sah secara hukum dan terterima oleh masyarakat,demikian juga misalnya tindak tutur seorang hakim ketika menjatuhkan vonis juga dapat dianggap sebagai tindakan melalui bahasa yang mempunyai otoritas untuk menghukum seseorang.
2. Tawur Hasapa dan Kekuatan Otoritas Bahasa dipandang dari Persepsi Sosial
Tawur adalah sebuah aktivitas sakral yang dilakukan oleh pemimpin adat Suku Dayak (Ngaju) di Kalimantan Tengah. Tawur merupakan sebuah tindak tutur ritual untuk menyampaikan semacam permohonan; doa kepada Sang Pencipta dalam bahasa Dayak Kuno (bahasa Sangen) yang diyakini mempunyai kekuatan tertentu untuk melakukan apa yang di luar nalar manusia. Sebagai sebuah permohonan atau doa kepada Sang Pencipta, ragam bahasanya harus baku dan tidak berubah-ubah sehingga pemaknaannya pun diharapkan tidak berbeda oleh Sang Pencipta. Eksistensi tawur yang secara etimologis berarti tabur atau proses menabur sesuatu (utamanya dengan media beras kuning) dan sarana penyampaiannya adalah sebuah bahasa. Hampir semua aktivitas ritual Kaharingan menggunakan tawur dalam penyampaian maksud manusia, antara lain permohonan (doa) untuk kesembuhan, ucapan syukur, dan lain-lain. Namun, dalam hal ini hanya dibatasi pada eksistensi tawur sebagai pengukuhan sumpah yang dikenal sebagai “Tawur Hasapa”. Tawur Hasapa merupakan sumpah yang dilakukan di hadapan manusia dan Tuhan dalam hal kebenaran atas apa yang diingkari seseorang terhadap lainnya dan Sang Pencipta. Sebagai sebuah bahasa ritual, ia menjadi tetap, uuh dan tidak berubah-ubah, baik secara formasi maupun semantik. Apabila terjadi perubahan dari aspek keutuhan bahasa maka akan memengaruhi makna dan pemaknaannya yang berdampak kepada pengabulannya, sehingga ia tidak mempunyai kekuatan otoritas untuk menghakimi sesorang atau ‘memutuskan’ dan ‘mengirimkan’ sebuah vonis sosial maupun moral bagi yang melaksanakannya. Tindak tutur yang diucapkan seorang pemimpin adat dalam hal ini menjadi sebuah otoritas bahasa yang mengukuhkan bahwa kedua belah pihak yang sedang berperkara akan mendapatkan keadilan Ilahi yang dimanifestasikan dalam berbagai aspek kehidupan secara jasmani dan rohani serta sosial-ekonominya. Demikian juga implikasi yang ditimbulkannya melalui pemaknaan budaya oleh masyarakat dan lingkungan sosialnya sebagai vonis sosial. Tindak tutur tersebut terwujud sebagai sebuah instrumen yang melembaga dalam hukum adat Suku Dayak Ngaju. Sebagai sebuah bahasa ritual, kekuatan bahasa yang mempunyai otoritas untuk melaksanakan tawur hasapa adalah bahasa Sangen atau bahasa Dayak Kuno. Ada sebagian pendapat menyebut bahasa Sangen sebagai bahasa Sangiang, terutama para peneliti Barat, seperti diungkapkan Baier dkk. dalam Worterbuch derPriestersprache der Ngaju Dayak, sebuah kamus bahasa Sangiang-Dayak Ngaju –Indonesia-Jerman (1987). Hal ini menyiratkan bahwa keduanya tidak terdapat perbedaan yang signifikan, jadi hanya masalah penyebutan saja karena bahasanya adalah sama. Bahasa Sangen—seperti halnya bahasa-bahasa kuno pada guyup budaya di Indonesia—memiliki kekayaan linguistika yang berupa—apa yang disebut Baier—sebagai semantic parallelism di dalam penyampaiannya. Hal ini juga berlaku pada bahasa ritual Suku Roti seperti yang dinyatakan Fox (dalam Baier et.al, 1987: xvi). Semantic parallelism merupakan rangkaian penamaan referen sebuah bentuk bahasa yang dilambangkan dengan dua kata atau lebih yang mempunyai satu makna yang sama atau sebanding. Di dalam bahasa Sangen, banyak terdapat contoh hal tersebut, misalnya kata air diungkapkan sebagai nyalung kaharingan belum (zat alam yang memberikan kehidupan), hidup sebagai batang danum jalayan rengan tingang (sungai yang harus disusuri—umur; kehidupan), dan surga sebagai lewu tatau habaras bulau habusung hintan hakarangan lamiang (sebuah tempat yang kaya raya berpasirkan emas bergundukan intan dan berkerikilkan permata) dan lewu tatau dia rumpang tulang rundung raja dia kamalesu uhat hong batang danum tiawu bulau (sebuah tempat yang kaya raya, tempat di mana tidak ditemui keletihan dan kecapaian,di dunia yang lain yang penuh kegelimangan), Tuhan dilambangkan sebagai Raja Tuntung Matanandau, Kanarohan Tambing Kabanteran Bulan (Raja yang Menguasai (atau berkuasa atas) Matahari, Raja yang Menguasai (atau Melebihi) kebesaran Bulan. Seperti telah disinggung sebelumnya, bahasa Sangen mengandung unsur-unsur metaforis yang mempunyai aneka referen untuk melambangkan satu bentuk kata dengan tidak melepaskan satu kesatuan makna. Semantic parallelism yang melekat pada setiap tindak tutur Tawur Hasapa mencerminkan seperangkat kecerdasan linguistik yang hanya diwariskan secara lisan kepada para basir (pemimpin upacara adat). Untuk itu, diperlukan daya ingat yang tinggi serta ketepatan rima dan intonasi dalam melafalkannya. Hal tersebut dapat dilihat pada teks Tawur Hasapa yang ditulis ulang ini merupakan esensi yang sama dengan digunakan pada orang-orang yang berperkara dan tidak menemui penyelesaian melewati lembaga-lembaga yang dibuat manusia pada masa lalu. Tawur Hasapa ini pernah dilaksanakan oleh Tjilik Riwut mewakili 142 Suku Dayak Pedalaman Kalimantan di hadapan Presiden Soekarno di Jogjakarta dalam bersumpah-setia kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia (1993:349). Data ini diambil dari buku tersebut tanpa ubahan apapun. Berikut prosesi dari acara Tawur Hasapa dan salinan teks tersebut. (Seorang basir/pemimpin upacara adat duduk sambil menimang beras kuning dan kemenyan, kunir, rotan, abu, garam, dan minyak kelapa. Lalu kedua pihak yang berperkara saling memegang seutas rotan di atas sebuah kayu sebagai alasnya dan setelah mengukuhkan sumpah berikut ia sambil memotong rotan diiringi kalimat-kalimat penyebutan nama-nama yang berperkara dan penaburan beras sedikit demi sedikit sampai habis dan diikuti dengan menabur abu dan garam) (Berdehem).....
”Ehem behas/mamparinjetku ganam/salumpuk kilau riak hendan bulau/namparuguhku labatam/pananterusan ruwan lantin rabia/lampang kamaitan gulung manarusan langit/timbuk kajayam/basikap mametas hawun/manuntung riwut raweiku/ manambing salatan tisuiku/mangat manyembang Raja Tuntung Matanandau/Kanaruhan Tambing Kabanteran Bulan/mangat Ie mahining/bulau tampak bengkele/manyantuh rantunan tanduke/manahingan rawei/hayak manantuneng/batantar sumpah tingang. Amun......(menyebut nama si yang berperkara) toh hangga auh tanjaru dia toto/ tatarawang kilau kawu/lenyoh kilau uyah/bageto kilau uei. Amun ie hanggap auh toto/te taloh jari bulau/untung panjang/rabia nyame ambu jari sapaungut belum/sapaling tahaseng/jari penyang/panundung tarung/patarung sariangkat tinting.
Secara etimologis dan terjemahan bebas artinya kurang lebih sebagai berikut. “Ehem, beras kubangunkan rohmu/rohmu seperti riak cahaya emas/kugoncangkan rohmu/arwah bercahaya seperti kuning emas/timbul kemanjuran bergulung menerusan langit/menimbun kejayaanmu/bergerak berjalan menyingkap langit/meminta (kepada) angin panggilanku/supaya sampai (meminta kepada) Raja Tuntung Matahari/Raja Tambing Kebulatan Bulan/supaya Ia mendengar/(cahaya) keemasan telinganya/(manyantuh rantunan) puncaknya/mendengarkan perkataan/sekaligus mencermati/batantar sumpah orang (manusia)/. Kalau si................sampai (bersaksi) tentang kebohongan, tidak benar/(maka dia akan) beterbangan seperti abu/hancur seperti garam (menjadi air)/putus seperti rotan (yang dipotong)/Kalau ia anggap benar perkataannya/(semuanya) akan menjadi emas (berkat)/rejeki tak putus-putus/menggenggam emas sepanjang hidupnya selamanya/panjang napas(nya) (panjang umur(nya))/menjadi berkat/menjadi jimat dalam mengangkat (harum namanya—raterangkat harkat martabatnya). Dalam bahasa ritual, kata atau kata-kata (frasa-frasa) seolah-olah memiliki daya atau kekuatan yang dapat melebihi muatan maknawinya. Kekuatan atau kekuasaan yang dimiliki tersebut menunjukkan bahwa ada kecenderungan sebuah bahasa memiliki otoritas untuk membuat sesuatu tindakan terkukuhkan dan sah sebagai suatu keputusan yang mengikat. Tindak tutur seorang pemimpin adat seperti “.......Amun......(menyebut nama si yang bersengketa) toh hangga auh tanjaru dia toto/ tatarawang kilau kawu/lenyoh kilau uyah/bageto kilau uei. Amun ie hanggap auh toto/te taloh jari bulau/untung panjang/rabia nyame ambu jari sapaungut belum/sapaling tahaseng/jari penyang/panundung tarung/patarung sariangkat tinting......” dianggap sah secara hukum adat sebagai suatu keputusan yang mengikat disaksikan oleh para saksi yang hadir dan Tuhan, dengan segala konsekwensi yang diakibatkan oleh sumpah tersebut. Biasanya, setelah dilakukan prosesi Tawur Hasapa, persoalan yang disengketakan tetap pada penguasaan para pihak yang disengketakan, artinya jika berupa sengketa tanah/kebun maka pemilik sah dianggap menyerahkan kepada pemilik baru yang mengklaimnya, walaupun secara kebenaran bukan miliknya. Terdapat dua konsekwensi atas implementasi Tawur Hasapa tersebut: 1. Kepada pihak yang memutarbalikkan kebenaran dan fakta akan mendapatkan: “....bila ia berbohong/tidak (berkata) benar/beterbangan (rezeki dan kehidupannya) seperti abu/hancur (hidupnya) seperti garam/putus (nyawanya) seperti rotan (yang dipotong pada saat prosesi); dan hal ini juga merupakan sanksi sosial dan moral; 2. Kepada pihak yang tetap berpijak kepada kebenaran dan keadilan akan mendapatkan “.....bila ia (yang benar) berkata kebenaran/semuanya menjadi emas (kejayaan/berkat)/rezeki melimpah (tiada putus-putusnya)/menggenggam emas sepanjang hidupnya/(ber)umur panjang/menjadi jimat (berkat) dan harum namanya (serta harkat dan martabatnya terangkat. Lebih lanjut dapat dilihat bahwa terdapat banyak kata untuk merujuk kepada satu bentuk makna yang sama. Paralelisme semantisnya dapat dilihat pada kata rabia paralel dengan bulau dan labata yang sama-sama merujuk kepada satu makna emas, demikian pula pada kata ganan yang paralel dengan salumpuk yang berarti roh, rawei berparalel dengan tisui yang berarti perkataan; ujar, raja dan kanarohan yang berarti raja, dan ruwan dan kilau yang berarti seperti; dan mamparinjetku paralel dengan namparuguhku yang berarti kurang lebih sama yaitu membangunkan (roh) atau mengguncangkan/menggoyangkan (agar rohnya bangun). Hampir tidak ditemukan sebuah kata (kata-kata) yang sama dan diulang-ulang untuk merujuk kepada pengertian yang sama. Fenomena ini menunjukkan bahwa sebuah bahasa atau bentuk ujaran seolah menjadi sarat makna; atau sedemikian adanya sehingga kesatuannya tidak dapat dibolak-balik, dipertukarkan atau dipakai berulang-ulang di dalam frasa yang berbeda-beda. Simbol-simbol metaforis yang terkandung di dalam teks tersebut merupakan segugusan medan makna yang menyiratkan betapa manusia Dayak dan religi Kaharingan memerlukan julukan sebagai nama lain dari nama Tuhan. Hal ini seperti julukan Tuhan sebagai Raja Tuntung Matanandau, Kanarohan Tambing Kabanteran Bulan. Demikian pula halnya dengan kata (kata-kata) atau frasa-frasa yang kesemuanya menyiratkan tentang puja-puji dan kejayaan seperti simbol emas. Secara tekstual, komposisi Tawur Hasapa memuat tiga hal penting: 1) prolog berupa puja-puji kepada Tuhan agar maksud dan permohonan dikabulkan. Hal ini dilihat dari pemakaian kata (kata-kata) dan frasa-frasa yang mempunyai kandungan semantic parallelism; 2) bagian isi yaitu kata atau frasa dari kesatuan kalimat yang penghakiman, keputusan, dan vonis; dan 3) bagian penutup yang merupakan kausalitas atas keputusan yang telah diambil dan implikasi yang ditimbulkannya berupa pengharapan-pengharapan, cita-cita, atau harapan-harapan lain masing-masing pihak di kemudian hari. Berkaitan dengan tindak tutur pemimpin adat di dalam ‘angkat sumpah’ seperti Tawur Hasapa demikian, para pihak yang ‘angkat sumpah’disaksikan oleh beberapa orang merupakan suatu aktivitas sosial yang berdampak pada hubungan antarkedua orang yang berperkara, antarkeduanya dengan masyarakat dan lingkungannya, dan antarkeduanya dengan Sang Pencipta.
3. Pemaknaan Tawur Hasapa dalam Konteks Kebudayaan Suku Dayak Ngaju
Kebudayaan Suku Dayak Ngaju dan religi Kaharingan merupakan dua kesatuan yang sulit untuk dipisahkan. Bahasa Sangen sebagai produk kebudayaan Suku Dayak Ngaju menjadi bahasa kuno yang hanya terdokumentasikan pada kitab-kitab ajaran Kaharingan. Implikasinya bagi kajian bahasa yang berkaitan dengan kebudayaan menjadi sangat jarang dilakukan. Hal ini terkait erat dengan dua aspek yang sulit untuk dipertemukan; satu sisi kajian bahasa yang dilakukan berdasarkan fakta-logis-empiris sebagai satuan dari kata dan frasa-frasa atau kalimat yang mengandung medan makna secara semantik dan leksikal (lihat Pateda, 2001), di sisi lain bahasa atau berupa kata (kata-kata) atau frasa-frasa dan bersifat oral tersebut memuat kandungan perspektif teologis yang profan, sakral dan dapat menimbulkan persepsi yang berbeda. Di dalam kehidupan sosialnya, masyarakat Suku Dayak Ngaju juga mengenal berbagai perangkat etika normatif yang tidak tertulis dan mengikat seluruh individu. Individu sebagai bagian dari sebuah masyarakat diatur di dalam tatanan kehidupan yang memberikan toleransi dan rasa keadilan bagi individu lainnya. Namun, sebagai manusia kadang-kadang terjadi pula rasa kurang puas, ketidakadilan dan berbagai bentuk ketidakpuasan lainnya yang memunculkan adanya rasa untuk mengembalikan semua persoalan manusia tersebut kepada Tuhan sebagai Pihak yang Mahatahu. Persoalan-persoalan yang berkaitan dengan hubungan sosial antarsesama individu, misalnya perebutan kepemilikan tanah/kebun, pertanggungjawaban seseorang terhadap aib, dan pembohongan publik atas sebuah kasus pembunuhan, biasanya diselesaikan melalui mekanisme hukum adat. Namun, sebagian lain yang bersifat kasuistik juga tidak menaati hukum yang berlaku.Dalam representasi itulah, peran Tawur Hasapa menjadi sebuah jalan terakhir. Dalam persepsi kebudayaan, Suku Dayak memandang bahwa eksistensi Tawur Hasapa menjadi sebuah titah terakhir Tuhan kepada individu yang dapat menyingkap makna hakiki tentang kebenaran. Kebenaran mutlak hanya dimiliki oleh kekuasaan yang tidak tampak; kekuasaan Tuhan dengan segala aspek di luar rasio dan nalar manusia. Dengan demikian, keadilan akan berpihak kepada kebenaran yang tidak dapat dimanipulasi dalam bentuk dan dalih apapun. Implikasi yang ditimbulkannya pun (awalnya dipandang sebagai mitos) memberikan sanksi sosial yang bermacam-macam, di antaranya kematian yang tidak wajar bagi pihak yang berbuat curang atau melakukan kebohongan, menderita penyakit yang sukar disembuhkan, atau kelainan kejiwaan/gila. Sedangkan di pihak yang tetap pada jalur kebenaran akan mendapatkan kemudahan-kemudahan dalam menjalankan kehidupannya beserta keturunannya. Karena kesakralannya, tindak tutur Tawur Hasapa menjadi peristiwa yang langka di masa kini karena hampir semua kebutuhan untuk mendapatkan keadilan duniawi telah terlembaga melalui mekanisme perangkat hukum positif. Di samping itu, majunya ilmu pengetahuan dan teknologi, termasuk dikenalnya agama dan kebudayaan baru menjadikan tindak tutur tersebut sebagai bagian dari sejarah kebudayaan dan kearifan lokal Suku Dayak Ngaju yang seolah terlupakan. Dalam perspektif budaya, adat yang ada dan dikenal secara turun-temurun merupakan tuntunan bagi segenap kehidupan manusia, dan manusia harus diarahkan olehnya (dan dapat mengarahkan dirinya), supaya ia jangan sesat di jalan yang benar (Scharer dalam Ugang, 1983:51).
4. Penutup
Otoritas sebuah bahasa terutama bahasa ritual menjadi sarat makna, tetap dan tidak berubah-ubah, menjadikan Bahasa Sangen (Dayak Kuno) digunakan pada hampir semua aktivitas untuk berkomunikasi antara manusia dengan Tuhannya. Melalui media Tawur Hasapa, esensi pencarian kebenaran yang hakiki oleh manusia merupakan jalan terakhir untuk mendapatkan pengadilan yang juga hakiki. Masyarakat Suku Dayak Ngaju memandang eksistensi Tawur Hasapa sebagai sarana penghukuman sosial, moral, dan budaya bagi individu yang tidak menemui solusi pada institusi hukum adat yang ada. Sanksi moral, sosial dan budaya tersebut telah menjadi momok yang membuat efek jera atau isolasi sosial bagi individu yang bersengketa. Di dalam fungsionalitasnya sebagai media komunikasi (terutama bersifat verbal), peran bahasa memiliki otoritas yang melebihi muatan semantisnya, misalnya dalam sebuah tindak tutur. Ia juga dimanifestasikan sebagai sarana untuk menghukum, menghakimi, bahkan mematikan karakter sosial individu yang sengaja untuk mempermainkan nilai-nilai hakiki tentang kebenaran.
Sumber Rujukan
Baier, Martin, August Hardeland and Hans Scharer. 1987. Worterbuch der Priestersprache der Ngaju-Dayak. Kamus Bahasa Sangiang—Dayak Ngaju—Indonesia—Jerman. Dordrecht-Holland/Providence-USA: Foris Publication Hardeland, August. 1859. Worterbuch Dajacksch—Deutsches. Kamus Bahasa Dayak—Jerman. Amsterdam: Druck Von C.A Spin and Sohn Lauder, Multamia RMT. 1999. “Derap Perkembangan Linguistik”, dalam Telaah Bahasa dan Sastra yang disunting oleh Hasan Alwi dan Dendy Sugono. Jakarta: Pusat Bahasa. Halaman 183—199. ______________. 2005. Berbagai Kajian Linguistik. Artikel yang diterbitkan sebagai bagian dari Bahasa Sahabat Manusia: Langkah Awal Memahami Linguistik. Depok: FPIB-UI Pateda, Mansur. 2001. Semantik Leksikal. Cetakan Kedua. Jakarta: Rineka Cipta Riwut, Tjilik. 1993. Kalimantan Membangun: Alam dan Kebudayaan. Disunting oleh Nila Riwut dan Agus Fahri Husein. Yogyakarta: Tiara Wacana Ugang, Hermogenes. 1983. Menelusuri Jalur-jalur Keluhuran. Studi tentang Kehadiran Kristen di Dunia Kaharingan di Kalimantan. Jakarta: BPK Gunung Mulia.