21 November, 2008

Revitalisasi Kebudayaan Dayak Bagian I

REVITALISASI KEBUDAYAAN DAYAK DI TENGAH PENETRASI GLOBALISASI: UPAYA PELESTARIAN KEARIFAN LOKAL SEBAGAI PENOPANG TEGAKNYA ENTITAS DAYAK MASA DEPAN

Artikel ini menjadi koleksi Institut Dayakologi, Pontianak. Tidak pernah dimuat dalam media cetak apapun.Pengutipan sebagian atau seluruhnya harus seizin penulis.

Oleh : Anthony Nyahu *)

Tulisan ini diketengahkan sebagai manifestasi dari realitas dan upaya untuk membangkitkan kembali perspektif dan apresiasi positif terhadap kebudayaan Dayak di Kalimantan khususnya, dan Indonesia pada umumnya. Konsep-konsep budaya atau kebudayaan yang selama ini memberikan kontribusi positif bagi pengembangan budaya lokal dalam ranah penggalian kembali kearifan lokal (local wisdom) telah mendudukkan kebudayaan Dayak yang mampu bersesuai dengan kondisi perubahan zaman dan peradaban masa kini sehingga tetap bertahan. Fokus yang akan diketengahkan dalam tulisan ini meliputi aspek-aspek penting sebagai luaran (output) dari esensi kebudayaan, yaitu benda-benda yang tak berwujud (cultural immaterials) yang meliputi bahasa, adat/istiadat dan hukum adat,religi serta kesenian yang terproses dari hasil pikiran akal budi leluhur manusia Suku Dayak yang mendesak untuk direvitalisasi sebagai sarana penapis (filter) arus budaya global demi tegaknya eksistensi dan entitas Dayak di masa depan. Kebudayaan dan manusia Dayak telah mengalami pemiskinan berstruktur,meliputi pemiskinan dalam bidang politik, ekonomi,dan sosial budaya sehingga manusia Dayak sulit untuk mengembangkan kebudayaannya sebagai modal berkompetisi dan unggul dalam kancah global.

1. Pendahuluan

Kebudayaan sering disinonimkan dengan kultur, yang diambil dari bahasa Latin ‘cultura’ atau ‘culture’ dalam bahasa Inggris, dan dalam bahasa Prancis disebut sebagai ‘la culture’, yang salah satu artinya adalah “ensemble des aspects intelectueles d’une civilisation” (serangkaian bidang intelektual sebuah peradaban), bermakna secara umum sebagai hasil kegiatan intelektual manusia, suatu konsep mencakup berbagai komponen yang digunakan oleh manusia untuk memenuhi kebutuhan dan kepentingan hidupnya sehari-hari (Purwasito, 2003:95).

Dalam perspektif Barat, kebudayaan dipandang referens dan menjadi fokusnya adalah intelektual yang mencakup realitas nonfisik, meliputi: kognitif, afektif, dan psikomotorik. Sedangkan dalam perspektif Timur, kebudayaan dipandang sebagai ‘buddhayah’, sebagai akal budi manusia dalam mengasosiasikan ‘intelektual’ dan pelibatan beberapa aspek yang sama, yaitu pelibatan pancaindera manusia, baik dalam kegiatan pikiran manusia (kognitif), perasaan (afektif), maupun perilaku (psikomotorik). Purwasito (2003) mendefinisikan bahwa kebudayaan (kultur) sebagai hasil penciptaan , perasaan, dan prakarsa manusia berupa karya yang bersifat fisik dan nonfisik. Taylor (1871) dalam Purwasito (2003:96) mempostulatkan bahwa kebudayaan (kultur) adalah keseluruhan hal yang kompleks termasuk pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, adat-istiadat, dan kemampuan serta kebiasaan lain yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat. Mead, seorang antropolog Amerika dalam Purwasito (2003) menyebut bahwa kultur sebagai perilaku pembelajaran masyarakat atau subkelompok. Kegiatan tersebut berlangsung ketika manusia, sebagai subjek sentral dalam kebudayaan mendayagunakan akal budinya (daya, cipta, rasa, dan karsa) untuk mengolah alam dan mengatur lingkungan hidupnya dengan menghasilkan:

(1) benda-benda berwujud (cultural materials); seperti: alat-alat kerja, alat-alat pertanian, alat-alat rumah tangga, alat-alat komunikasi, alat-alat perang, dan lain-lain,

(2) benda-benda yang tak berwujud (cultural immaterials); seperti bahasa, tradisi, kebiasaan, adat, nilai moral, etika, gagasan-gagasan, religi, kesenian, kepercayaan, sistem kekerabatan, dan harapan-harapan hidup. Hasil budaya imateril inilah lahir dari upaya mengolah pikiran (manusia) melahirkan filsafat dan ilmu pengetahuan yang berupa teori-teori.

Konsep pemikiran tentang kebudayaan (kultur) dipandang sebagai konsep yang global, di mana keseluruhan proses yang berlangsung dalam esensi makna kebudayaan melibatkan berbagai aspek yang dihadapi manusia berkenaan dengan lingkungan masyarakatnya. Ia dapat saja berupa kedua jenis hasil kebudayaan di atas (berwujud dan tak berwujud), yang dapat dipelajari, dipertukarkan, ditransformasikan, dari generasi ke generasi pada suatu masa yang tidak dapat ditentukan. Hal yang perlu diingat adalah kebudayaan tidak serta merta hadir dan dipaksa untuk direkayasa, namun diperoleh melalui rangkaian proses dan waktu yang lama dan perpetual.

Hal ini sejalan dengan konsep pemikiran Liliweri (2002) bahwa pengertian kebudayaan dalam arti luas adalah perilaku yang tertanam, ia merupakan totalitas dari sesuatu yang dipelajari manusia, akumulasi dari pengalaman yang dialihkan secara sosial (disosialisasikan)….dalam bentuk perilaku melalui pembelajaran sosial (social learning).

Dalam kebudayaan terdapat tujuh unsur penting yang menjadi kategori universal atau Universal Catagories of Culture seperti yang dinyatakan Kluckhohn (1953) dalam Koentjaraningrat (1990), meliputi (1) bahasa; (2) sistem pengetahuan; (3) organisasi sosial; (4) sistem peralatan hidup dan teknologi; (5) sistem mata pencarian hidup; (6) sistem religi; dan (7) kesenian.

Ketujuh unsur penting sebagai kategori universal tersebut merupakan unsur yang mutlak dimiliki oleh pemilik kebudayaan (baca: guyup suku atau bangsa/nasion), yang memegang peranan penting dalam pembelajaran sosial dan pewarisan sosial individu dari masa ke masa.

2. Suku Dayak dan Kebudayaannya di Pulau Kalimantan

Pulau Kalimantan atau dikenal sebelumnya sebagai Borneo dan Tanjung Negar. Sedangkan dalam mitologi Dayak (Ngaju) disebut dalam Tetek Tatum sebagai Pulau Goyang atau Pulau Bagawan Bawi Lewu Telo merupakan pulau terbesar yang dimiliki Indonesia (Riwut, 1993:3 dan 77). Nama Tanjung Negara pertama kali muncul dalam Atlas Nederland Indie (1938) yang digunakan jauh sebelumnya yakni sejak abad ke tiga belas semasa Kerajaan Hindu. Sedangkan, nama Kalimantan adalah nama yang lahir semasa Kerajaan Islam pada abad ke-16 ketika dipegang oleh Pangeran Samudera yang memerintah di Banjarmasin (Riwut, 1993:77).

Dalam mitologi Tetek Tatum dan Kaharingan di Kalimantan Tengah, penduduk asli Pulau Kalimantan adalah empat nenek moyang suku Dayak yang diturunkan dengan Palangka Bulau—sejenis wahana, pada empat tempat, yakni: 1) Tantan Puruk Pamatuan, hulu Sungai Kahayan dan Barito; 2) Tantan Liang Mangan Puruk Kaminting, yang terletak di sekitar Gunung Raya; 3) Datah Tangkasiang, di hulu Sungai Malahui, Kalimantan Barat; dan 4) Puruk Kambang Tanah Siang, di hulu Sungai Barito (Riwut, 1993:231).

Bersambung...

Revitalisasi Kebudayaan Dayak Bagian II

Sedangkan dalam perspektif sejarah, Niewenhuis dalam Riwut (1993:231—232) menyatakan bahwa sekitar 200 tahun sebelum Masehi telah terjadi migrasi besar-besaran Bangsa Melayu yang pertama ke Indonesia dari daerah Yunan secara bertahap mendiami sepanjang pantai/pesisir. Namun karena datangnya Melayu Muda, bangsa Melayu tua ini (Proto Melayu) terdesak ke pedalaman, kalah perang atau karena kebudayaannya lebih rendah dibandingkan dengan Melayu Muda. Bangsa Proto Melayu inilah yang dicurigai sebagai nenek moyang orang Dayak yang mendiami Pulau Kalimantan, meskipun penelitian lain juga ada yang berpendapat berbeda bahwa sebelum datangnya bangsa Melayu Tua (Proto Melayu) ke Nusantara sudah ada bangsa lain yang lebih dulu datang ke Pulau Kalimantan,yaitu bangsa Negrito dan Wedda. Terlepas dari berbagai pendapat tentang suku asli yang mendiami Pulau Kalimantan, dapat disimpulkan bahwa eksistensi suku bangsa Proto Melayu yang menjadi cikal bakal nenek moyang Suku Dayak sekarang adalah para insan yang telah meletakkan dasar-dasar kebudayaan yang dimiliki suku Dayak masa kini. Dengan demikian dapat pula dikatakan bahwa secara faktual dalam sejarah bahwa para nenek moyang inilah yang menetap dan mengolah daya, rasa, cipta, karssa dan akal budi sehingga tercipta wujud sebuah kebudayaan Dayak yang kita lihat masa kini.

Riwut (1993:235) membagi kelompok suku Dayak sebanyak 405 suku-suku yang dirinci menjadi tujuh suku besar Dayak yang terdapat di Pulau Kalimantan, yakni:

  1. Dayak Ngaju, terbagi dalam empat suku besar, empat subsuku dan 90 subsubsuku kecil,
  2. Dayak Apu Kayan, terbagi dalam tiga suku besar, tiga subsuku dan 60 subsubsuku kecil,
  3. Dayak Iban dan Heban atau Dayak Laut terbagi dalam 11 suku,
  4. Dayak Klemantan atau Dayak Darat terbagi dalam 2 suku dan 87 subsuku,
  5. Dayak Murut terbagi terbagi dalam 3 suku dan 44 subsuku,
  6. Dayak Punan terbagi dalam 4 suku dan 52 subsuku,
  7. Dayak Ot Danum yang terbagi dalam 61 suku.

Kebudayaan Suku Dayak di Kalimantan telah mengalami pasang surut dari waktu ke waktu. Hal ini berkaitan erat dengan masuknya invasi kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha ke Pulau Kalimantan dan kontak kebudayaan dengan budaya lain serta imperialisme-kolonialisme, sehingga kebudayaan Dayak telah mengalami bermacam akulturasi dari zaman ke zaman. Dalam perspektif Barat, kebudayaan Dayak pada masa lalu dinyatakan dalam labelisasi negatif sebagai “negeri para pemburu kepala”, “liar”dan “sauvage” (cf. Jean-Yves Domalain, “Panjamon. Une Experience de la Vie Sauvage” Arthaud, Paris 1971 dalam Kusni, 1994:40). Ia menjadi catatan hitam sebagai budaya primitif dan biadab/tidak beradab, karena tidak sesuai dengan cara pandang mereka (lihat Florus,dkk. ed.1994) dan sebagai ‘ragi usang’ yang harus dibuang dan diisi dengan sebuah kebudayaan baru (Kusni, 1994). Baru setelah muncul gerakan baik massif maupun laten yang dipelopori oleh gerakan kaum intelektual Dayak dengan beberapa tulisan dan penelitian, telah berangsur-angsur mereposisi dan ‘merehabilitasi’ pandangan-pandangan tersebut. Di samping itu, akses politik yang sedikit terbuka dalam eskalasi nasional membuat eksistensi Dayak sebagai suatu kelompok kolektivitas etnis mulai mengubah pandangan dunia di luar Dayak.

Kebudayaan Dayak di Kalimantan tidak lepas dari religi yang melekat padanya yakni Kaharingan. Satu catatan yang patut disimak adalah peninggalan kebudayaan yang berupa sebuah sistem religi dan pandangan hidup (way of life) yang luhur ini sebagai manifestasi budaya yang tak berwujud (cultural immaterials). Selain itu, dapat pula dijumpai bahasa, adat istiadat/kebiasaan, sistem kekerabatan, sarana ekspresi sastra dan seni suara, serta hukum adat sebagai hukum publik di masa itu. Pada kebudayaan yang berwujud (cultural materials) ditemui pula berupa alat-alat pertanian, alat-alat rumah tangga, alat dan persenjataan perang, seni ukir/pahat, alat-alat transportasi dan sebagainya.

3. Revitalisasi Kebudayaan Dayak sebagai Benteng Terakhir dalam Menghadapi Penetrasi Globalisasi

Revitalisasi kebudayaan memang bukan perkara yang mudah karena kebudayaan ruang lingkup yang sangat luas. Namun, dalam hal ini penulis hanya akan memfokuskan kepada aspek-aspek kebudayaan yang tidak berwujud (cultural immaterials) saja. Mengapa penulis batasi pada aspek ini, tidak lain karena kebudayaan yang dipandang selama ini telah keluar dari marka yang seharusnya dan terjadi penyempitan makna kebudayaan secara umum. Penyempitan makna kebudayaan, terutama dalam melihat kebudayaan dari perspektif benda berwujud semata, seperti hasil-hasil peradaban berupa alat-alat ritual, alat-alat pertanian, dan kesenian, misalnya tari-tarian saja yang mempunyai komoditi. Dengan demikian, impak kebudayaan dalam bentuk benda-benda berwujud (cultural materials) tersebut akan mendatangkan devisa yang pada gilirannya akan meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat. Sedangkan aspek kebudayaan berupa benda-benda tak berwujud (cultural immaterials) menjadi tidak terlalu dipentingkan (atau bahkan diabaikan) karena akan menghabiskan banyak biaya untuk memelihara dan mengembangkannya dan belum tentu memberikan kontribusi devisa. Oleh karena itu cara pandang (mindset) demikian harus dikaji kembali, mengingat keruntuhan suatu kebudayaan (atau peradaban)—selain berfokus kepada manusia sebagai subjek/pelaku kebudayaan, menurut hemat penulis—juga sangat ditentukan oleh bentuk kebudayaan yang tidak berwujud dan retensi ‘hidupnya’ cenderung lebih panjang dibandingkan benda-benda berwujud lainnya. Akan menjadi lebih penting lagi peran kebudayaan dalam benda-benda tak berwujud yang berupa bahasa, tradisi, kebiasaan, adat, nilai moral, etika, gagasan-gagasan, religi, kesenian, kepercayaan, sistem kekerabatan, dan harapan-harapan hidup sebagai aspek yang mengindikasikan tinggi rendahnya suatu peradaban dan eksistensi kebudayaan itu sendiri. Seiring dengan laju modernisasi dan arus globalisasi yang terus menerpa, revitalisasi terhadap hasil-hasil kebudayaan dan peradaban Suku Dayak ini menjadi mutlak harus segera ditangani. Hal-hal yang menggembirakan juga dengan munculnya pemikiran-pemikiran baru yang memandang bahwa hasil-hasil kebudayaan itu, misalnya kearifan lokal suatu suku bangsa pada kehidupan komunal masa lalu menjadi sangat relevan untuk menjadi benteng pengaruh-pengaruh negatif budaya lain yang bertentangan dengan kebudayaan Timur.

Di samping itu, dituntut kemauan baik dan politik kebudayaan yang berpihak kepada kepentingan kebudayaan Suku Dayak secara menyeluruh. Hal ini dimungkinkan pula karena potensi sumberdaya manusia dan sumberdaya alam Kalimantan dianggap cukup memadai untuk itu. Dalam perspektif ini, budaya lokal sebagai penopang dan pemerkaya kebudayaan nasional akan semakin lestari. Dengan demikian, isu kebudayaan ini dapat menjadi sumber devisa baru yang akan menjadi potensi alternatif di masa-masa mendatang, misalnya perkampungan suku Dayak sebagai pusat studi dunia atau perpustakaan dunia dan sebagai media pembelajaran sosial budaya bagi pihak-pihak yang ingin mendalaminya lebih jauh. Berikut akan dirinci tentang bentuk-bentuk kebudayaan yang tidak berwujud (cultural immaterials) yang dihasilkan manusia suku Dayak.

3.1 Bahasa

Mencari bentuk kebudayaan Suku Dayak mungkin tidaklah terlalu sulit karena setidaknya sampai saat ini Suku Dayak masih memiliki mayoritas kesamaan secara budaya. Namun, hal tersebut akan berbeda ketika dihadapkan dengan persoalan bahasa sebagai alat komunikasi dalam kerangka transformasi kebudayaan.

Seperti telah diuraikan di atas, suku-suku Dayak di Kalimantan telah teridentifikasi setidaknya terdapat 405 suku, dengan asumsi memiliki kesamaan budaya, karena diturunkan dari satu nenek moyang (anchestral). Dari 405 suku-suku yang ada dapat pula diasumsikan terdapat kurang lebih 405 bahasa-bahasa yang berbeda satu dengan yang lainnya. Namun, sebagai sebuah suku yang cukup besar di Indonesia, suku Dayak ternyata tidak memiliki satu bahasa yang menyatukan mereka, kecuali bahasa Melayu atau bahasa Indonesia, dan sebagian lain terutama Kalimantan bagian Selatan, sebagian Kalimantan Tengah dan sebagian Kalimantan Timur yang menggunakan bahasa Banjar sebagai alat komunikasi antarsuku dan dalam dunia perniagaan. Kesulitan komunikasi antarsuku Dayak di Kalimantan ini harus menjadi perhatian, karena tidak ada bahasa Dayak, yang ada hanyalah bahasa-bahasa Dayak. Perlu adanya kongres bahasa Dayak yang akan menghasilkan kesepakatan bahasa Dayak mana yang akan dijadikan bahasa pemersatu/bahasa daerah suku Dayak di Kalimantan. Hal ini sangat penting guna memperkokoh kolektivitas dan identitas etnik suku Dayak di Kalimantan dalam memperkaya bingkai kebhinekaan NKRI.

Berbeda halnya yang terjadi di Kalimantan Tengah, bahwa peran bahasa Dayak Ngaju telah dipakai sebagai lingua franca yang dapat saja dalam dinamikanya menjadi bahasa pemersatu antarsuku Dayak. Di samping karena mayoritas penuturnya ‘menguasai’ peta kebahasaan di Kalimantan Tengah (lihat Suryanyahu, dkk.2006) dengan kurang lebih 800.000 penutur (baca Poerwadi, 1993), juga karena bahasa ini telah cukup lama diteliti dan dilakukan kodifikasi, baik dari segi struktur dan tata bahasa maupun sebagai bahasa yang sudah ditransliterasi sejak Misi Gereja Kalimantan Evangelis di Kalimantan tahun 1835. Dalam perkembangannya juga telah dibuat kamus oleh Haardeland (1859) berupa Dajaaksch-Deutsch Worterbuchs, Druck von C.A Spin& Sohn, Amsterdam dan Kamus Bahasa Dayak Ngaju—Indonesia oleh Alfred Bingan dkk. (2005).

Identifikasi bahasa yang dilakukan puluhan tahun silam, tentu sangat berbeda dengan situasi sekarang—karena bahasa selalu dinamis--yang mungkin saja ada beberapa di antaranya sudah punah dan terancam punah. Kepunahan bahasa-bahasa minor di masa lalu, secara asumtif disebabkan oleh adanya tradisi kayau sesama suku Dayak di masa itu dan secara prestise bahwa bahasa-bahasa minor itu kurang tinggi sehingga kurang dihargai oleh penuturnya dan lambat-laun ditinggalkan . Suku-suku kecil yang tidak dominan akan ‘mati’ secara drastis maupun gradual dengan alasan politik dan keamanan sehingga punah tidak terdokumentasi. Oleh karena itu, guna mengungkap kekayaan bahasa yang ada di Kalimantan perlu adanya tim bersama seluruh provinsi di Kalimantan untuk segera menginventarisir dan mengidentifikasi bahasa-bahasa Dayak mana saja yang sudah punah, akan punah, dan terancam punah,serta bahasa-bahasa yang masih bertahan dalam bentuk bahan tertulis yang terdokumentasi dengan baik (textual materials) sebagai warisan generasi mendatang. Hasilnya diharapkan akan menjadi rekomendasi kepada pemerintah daerah untuk menentukan kebijakan bahasa (laguage policy) berupa bahasa-bahasa (dan sastra) mana di daerahnya yang sesuai baik sebagai bahan ajar/muatan lokal pada tataran institusi pendidikan formal, maupun sebagai bahan ajar bagi pendatang (baca: pihak luar). Mengapa juga dibutuhkan bagi pendatang (pihak luar), hal ini berdasarkan pengamatan penulis bahwa secara kasuistik kegagalan pihak luar yang ingin mendiami dan hidup di Kalimantan merupakan sebuah kegagalan dalam mempelajari budaya lokal, khususnya bahasa sebagai alat transformasi budaya itu sendiri. Hal ini menyiratkan bahwa peroalan bahasa seolah tergampangkan, padahal di lain pihak, ia justru menjadi sarana penting pemahaman lintasbudaya (intercultural understanding). Jadi, singkatnya adaptasi linguistik (dan budaya) harus berbanding lurus dengan adaptasi sosial dalam kerangka pemahaman lintasbudaya masyarakat di Kalimantan.

Bersambung...

05 November, 2008

SEABAD KEBANGKITAN NASIONAL DAN 80 TAHUN SUMPAH PEMUDA: MASIHKAH TERSISA SEJUMPUT MAKNA NASIONALISME?

Anthony Nyahu
Nasionalisme masa kini muncul dalam realitas yang cenderung sempit, manakala berada di suatu wilayah di luar negeri atau ketika sama-sama satu nasib di negeri orang. Nasionalisme bagi sebagian masyarakat Indonesia adalah bendera Merah Putih yang berkibar dengan gagah di tiang tinggi ketika para anak bangsa berhasil memenangkan kompetisi di luar negeri. Nasionalisme juga bagi sebagian orang adalah bagaimana menegakkan kedaulatan di tengah pulau yang tidak pernah kita pelihara. Nasionalisme bagi sebagian orang adalah menggunakan produk nasional meskipun kualitasnya tidak sesuai dengan nilai yang harus dibayar. Namun, nasionalisme macam apakah yang dibutuhkan oleh negeri ini pada masa yang sudah sangat canggih ini? Mengembalikan nasionalisme sesuai zamannya adalah sesuatu yang mustahil, mission impossible. Realitas nasionalisme pada era kolonialisme tentu sangat berbeda dengan zaman pascakemerdekaan. Begitu pula realitas nasionalisme yang muncul setelah beberapa orde silih berganti hingga era reformasi ini. Mengembalikan nasionalisme dalam romantisisme nostalgik tidak akan memperbesar rasa nasionalisme itu sendiri. Di tengah hiruk-pikuk berbagai tuntutan disintegrasi yang terjadi di Indonesia (Aceh, Papua), muncullah pemikiran analitis terhadap esensi: ada apa yang sebenarnya terjadi dengan nasionalisme dalam benak sebagian besar masyarakat Indonesia? Ketidakpuasan akan situasi negeri ini tentu bukan persoalan mendasar—selain sebuah makna kemiskinan dan ketidakadilan. Apakah rasa nasionalisme kita sudah dijajah juga? Nasionalisme tidak dapat dipandang dalam perspektif sempit, di mana terbatas kepada hal-hal realistik semata seperti terlihat dalam deskripsi di atas. Nasionalisme tidak bergerak dalam ruang yang sempit dan terhimpit. Ia bergerak dalam ruang bathin yang amat luas dan beraneka ragam yang dimiliki setiap insan manusia Indonesia. Nasionalisme bagi orang kecil di pedalaman adalah kebanggaan atas negaranya, yang lahir dari dalam lubuk hatinya, bahwa ia adalah bagian dari sebuah komunitas kolektif yang terikat dalam suatu kesatuan hukum (negara) sebagai seorang warga negara (citizenship of nation). Agak berbeda dengan para politisi/calon politisi. Nasionalisme mungkin berwujud berupa terbukanya ruang-ruang politik bagi setiap orang untuk ikut melakukan pendidikan politik dan demokratisasi. Singkatnya, nasionalisme adalah perasaan kebangsaan yang mutlak harus dimiliki oleh setiap warga negara dalam satu ikatan hukum dalam wadah formal yang dikenal dengan negara. Ada apa dengan nasionalisme, di tengah carut-marutnya bermacam persoalan yang mendera bangsa yang besar yang bernama Indonesia ini? Apa yang terjadi dengan mindset masyarakat Indonesia dalam memaknai sebuah kata nasionalisme? Nasionalisme yang telah dicanangkan oleh para pendiri negara ini (founding fathers) adalah nasionalisme yang terus meluas mencari bentuk eskalatif sosiopolitik menuju Indonesia yang ideal. Nasionalisme merupakan sarana fasilitasi gerakan politik untuk mewujudkan cita-cita ideal suatu bangsa—terlepas dari era dan bentuknya yang cenderung narsistik, relatif dan utopis. Nasionalisme yang dimanifestasikan dalam jargon-jargon dan slogan politik merupakan sarana efektif yang mampu membangkitkan sense of belonging terhadap ikatan emosional pemimpin suatu negara dengan warga negaranya—dengan melepaskan atribut nostalgik dan romantisisme berlebihan, tentunya. Nasionalisme, mungkin wajar kita pertanyakan di masa kini, meskipun kita masih belum lupa warna bendera sendiri (kata Iwan Fals) tetapi mungkin sebagian sudah lupa beberapa bait lirik lagu kebangsaan atau butir Pancasila. Lalu, dalam relevansinya memperingati seabad Kebangkitan Nasional dan 80 Tahun Sumpah Pemuda, nasionalisme macam apa yang ideal ditransformasikan kepada generasi masa kini? Haruskah mereka hafal ke-36 butir Pancasila atau Lagu Indonesia Raya? Cukupkah nasionalisme itu terejawantahkan dengan kata tanpa perbuatan di tengah mirisnya solidaritas kebangsaan antar elite politik negeri ini? Guru kencing berdiri, murid kencing berlari, kata sebuah pepatah. Atau kacau balau negaraku ini, kata Slank dalam lagunya “Gosip Jalanan”. Prestasi kepemimpinan negara Indonesia mengelola sebuah negara besar yang serbamulti (etnik, agama, dan ras) merupakan sebuah prestasi yang pantas dipuji kalangan internasional, mengingat di negara besar ini tidak sebanyak negara lain yang diliputi berbagai konflik. Hal ini mungkin saja sebagai sebuah bukti bahwa ternyata NKRI itu utuh ditinjau dari ikatan emosional dan historisitas bangsa dalam bersama-sama membangun sebuah negara bangsa yang bernama Indonesia. Dapatkah situasi ini bertahan di tengah kepesatan kemajuan peradaban dunia? Terlepas dari seberapa besar rasa nasionalisme yang dimiliki masyarakat Indonesia kini, perjalanan panjang sebuah negara bangsa yang bernama Indonesia ini tidak luput dari proses trial and error dalam mencari bentuk yang ideal menuju perwujudan cita-cita ideal tadi. Pondasi nasion dan nasionalisme yang diletakkan oleh para pendiri negara di masa lalu telah direstorasi dengan berbagai macam amandemen konstitusi negara dan sistem pemerintahan. Ada beberapa catatan yang membuktikan asumsi ini,misalnya ketidakjelasan kriteria para capres, proses legislasi yang mampat pada era demokratisasi di masa lalu, dan pendidikan politik yang rendah. Lalu, dalam konteks Seabad Kebangkitan Nasional, nasionalisme seperti apa yang masih melekat di hati sanubari masyarakat Indonesia? Masyarakat Indonesia harus pantas bersyukur (karena sebagai bangsa yang besar kita selalu ‘pandai’ bersyukur) bahwa sampai detik ini nasionalisme yang begitu luas masih melekat dalam Sumpah Pemuda, yang memuat suatu ikatan emosional kebangsaan: kesatuan bangsa, tanah air dan bahasa, yaitu Indonesia! Satu hal yang amat penting memadukan kedua komponen lainnya adalah bahasa. Mengapa? Karena bahasa menjadi alat yang amat ampuh untuk menyatukan ribuan suku dalam pulau (tanah air) dan bangsa yang dikenal dengan Indonesia sampai detik ini. Bisakah kita bayangkan seandainya Indonesia tidak memiliki satu bahasa yang menyatukan ribuan suku bangsa itu? Konon, karena orang berbicara dalam satu bahasa akan dikenal asal negara di mana berada. Pepatah mengatakan, bahasa menunjukkan identitas bangsa. Nasionalisme yang dibutuhkan masyarakat dewasa ini adalah tergantung dari perspektif kita memandang makna nasionalisme itu sendiri. Terserah Anda dari sudut pandang mana. Entah dalam bentuk apapun yang dapat memajukan bangsa, bukan justru mengambrukkan bangsa. Bukan disintegrasi atau separatis, walaupun masih banyak ketidakpuasan. Tegak atau runtuhnya negara ini di masa datang terletak kepada seberapa besar rasa nasionalisme yang kita miliki saat ini. Semua keputusan ada di tangan para warga negara yang besar ini. Begitu pula harga diri dan kedaulatan bangsa di mata dunia internasional. Sebagai bangsa yang besar maka pantas pula negara ini melakukan langkah-langkah kecil menuju langkah besar dalam membenahi carut-marut persoalan bangsa dan percaturan politik dunia demi mewujudkan cita-cita bangsa ini. Nasionalisme, bagi masyarakat Dayak adalah sebuah refleksi kehidupan komunal dalam suatu kesatuan kolektif seperti tergambar dalam huma betang (rumah panjang), di mana di dalamnya terikat secara emosional untuk bersama-sama mewujudkan cita-cita luhur bangsa. Nasionalisme, bagi mereka adalah kebanggaan atas sungainya, danaunya, dan tanahnya ( di dalam satu kesatuan negara Indonesia) yang memberikan kehidupan untuk terus dan tetap bertahan hidup di tengah kepungan buldoser zaman yang terus menghimpit dan belantara korporasi yang semakin merimbun hingga hampir tak bersisa untuk ruang hidup (public sphere). Nasionalisme, bagi masyarakat Dayak adalah pengakuan atas eksistensi dan keberlangsungan hidup mereka untuk masa kini dan masa datang sebagai bagian dari suku bangsa yang hidup dan berkembang di bumi ini. Mereka tidak menuntut separatisme apalagi merdeka; yang mereka butuhkan adalah kesejajaran. Kesejajaran dalam berbagai bidang untuk bersama-sama membangun bangsa dari Tanah Dayak, untuk dan atas nama sebuah negara Indonesia. Mereka juga butuh perlindungan, perlindungan dari kejamnya belati investasi yang menikam mereka hingga tersungkur di tanah yang dulunya memberi mereka penghidupan. Selain itu, mereka juga punya hak; hak untuk menikmati kue yang bernama pembangunan; untuk dan atas nama sebuah kata keramat: keadilan. Mereka tidak butuh belas kasihan, apalagi memelas; karena itu bukan filosofi rengan tingang( keturunan Tingang) dan Tambun Bungai. Mereka punya hak untuk menikmati beras dari padi yang tumbuh di tanah mereka yang subur dan mereguk nikmatnya sebagian dari kekayaan buminya untuk sebuah tujuan: kesejahteraan bagi seluruh rakyat, masa kini dan akan datang di belahan bumi Indonesia tercinta. Dengan demikian, masyarakat Indonesia yang serbamulti ini merasakan peningkatan taraf hidup yang lebih baik, peningkatan kualitas kesejahteraan atas buah dari kekayaan alamnya; dan juga --yang lebih penting—peningkatan kualitas emosional para pemimpin yang mampu menyatukan bangsa dan mengatasi persoalan bangsanya, bukan pemimpin yang pandai menguras air mata, prihatin, dan bermain teater kehidupan di panggung yang sepi! Kalau pandai demikian, lebih baik main sinetron atau telenovela saja, jadilah tokoh protagonis, maka ibu-ibu pasti akan memilih Anda di 2009!