23 Februari, 2009

IDENTITAS DAN ENTITAS DAYAK KALIMANTAN TENGAH DI TENGAH PERGAULAN MASYARAKAT MULTIETNIK: SEBUAH CATATAN MENJELANG KONGRES RAKYAT KALTENG KE IV

Anthony Nyahu
Sub-subsuku Dayak di Kalimantan Tengah cenderung heterogen. Hal ini tercermin dari daerah-daerah aliran sungai di mana mereka bermukim. Penamaan daerah-daerah aliran sungai tempat subsuku-subsuku tempat bermukin tersebut menunjukkan daerah pakai bahasa sebagai lambang identitasnya dan pola kebudayaan yang cenderung sama. Misalnya, menyebut sungai Katingan, berarti mayoritas penduduknya sebagai sub-subsuku Dayak Katingan yang menuturkan bahasa Katingan yang dikenal sebagai oloh Katingan, sebagai bagian dari subsuku Dayak Ngaju, juga menginduk kepada suku Dayak secara umum. Begitu pula manakala menyebut sungai Kahayan, dikenal sebagai oloh Kahayan, secara tidak langsung merujuk kepada daerah pakai penutur bahasa Kahayan yang secara de yure dikenal sebagai bahasa Dayak Ngaju, lingua franca subsuku Dayak di Kalimantan Tengah, dan seterusnya. Asumsi di atas setidaknya menyisakan beberapa tanya yang mungkin sebagian belum terjawab dan memang sangat dibutuhkan jawaban. Paling tidak, sebagian jawaban kebenarannya mungkin akan terkuak. Sebab selama ini belum dilakukan penggolongan etnisitas sub-subsuku Dayak di Kalimantan Tengah selain yang dilakukan oleh Malinkcrodt dan Riwut (lihat Riwut, 1993) yang telah menggolongkan suku Dayak di Kalimantan secara umum dari sisi antropologis. Dari perspektif kebahasaan, Hudson menggolongkan suku Dayak di Kalimantan Tengah berdasarkan analisis bahasa penuturnya yang disebutnya sebagai Keluarga Bahasa Barito terkelompok dalam tujuh isolek, yakni isolek Barito Barat Daya, Barito Tenggara, Barito-Mahakam, Barito Barat Laut, Barito Timur Laut, Barito Timur Tengah, dan Melayu-Pantai (“The Barito Isolects of Borneo: A Classification Based on Comparative Reconstruction and Lexicostatistics”, 1967:11). Agak berbeda dari penelitian Hudson—yang selama kurun waktu empat dekade tidak tergoyahkan hasil temuannya, Pusat Bahasa melalui Tim Pemetaan dan Kekerabatan Bahasa-bahasa Daerah di Indonesia, menemukan setidaknya terdapat 22 bahasa dan 5 dialek yang ada di Kalimantan Tengah sejauh ini (Laporan Penelitian Tim Pemetaan dan Kekerabatan Bahasa-bahasa Daerah Kalteng, Balai Bahasa Kalimantan Tengah 2006). Dengan demikian, untuk sementara dapat diasumsikan bahwa setidaknya terdapat 7 sub-subsuku yang mendiami Kalimantan Tengah, antara lain: (1) Sub-suku Dayak Ngaju dengan mayoritas penguasaan daerah pakai bahasa di Kalimantan Tengah, (2) Sub-suku Dayak Maanyan, (3) Sub-suku Dayak Dusun, (4) Sub-suku Ot Danum, (5) Sub-suku Melayu, (6) Sub-suku Dayak Katingan, (7) serta Sub-suku Dayak Bakumpai. Asumsi klasifikasi etnisitas ini semata-mata ditinjau dari perspektif linguistik, jadi bukan merupakan penelitian antropologi yang komprehensif. Berpijak dari realitas tersebut, maka tidak mudah untuk menentukan bahasa mana yang tepat untuk menyatukan sub-subsuku Dayak di Kalimantan Tengah. Semuanya tergantung dari politik bahasa (language policy) dari Pemerintah daerah setempat atas kesepakatan masyarakat penutur bahasa-bahasa yang ada. Namun demikian, semuanya justru tidak harus memposisikan eksistensi dan entitas Dayak menjadi abu-abu karena heterogenitas di dalam maupun di luar, di tengah pergaulan masyarakat Dayak dengan suku-suku lainnya di Kalimantan Tengah dan Indonesia. Identitas dan entitas Dayak seolah-olah larut dalam keruhnya heterogenitas masyarakat Kalimantan Tengah yang multietnik ini. Masih malu-malu dan cenderung sebagai identitas yang abu-abu. Lantas, jika hal ini terus dibiarkan maka tidak menutup kemungkinan para pewaris generasi tidak mustahil akan mengaburkan identitas itu: identitas Dayak yang berpandangan lurus ke depan dan mantap dengan jati diri kebudayaanya sebagai bagian yang tak kalah pentingnya dengan suku-suku dan kebudayaan lainnya di Indonesia (bdk. Kusni, 1994). Kepercayaan diri dan kemantapan identitas sangat dibutuhkan untuk mengisi dan memperjuangkan pembangunan bagi sebuah bangsa yang besar: Indonesia. Bertalian dengan hal tersebut pula, persoalan bahasa sebagai penegas identitas dan jati diri hendaknya menjadi persoalan yang layak untuk dijadikan agenda dalam rangka rencana pelaksanaan Kongres Rakyat Kalimantan Tengah ke IV di Palangka Raya, Juni mendatang. Pemberian nama sebagai Kongres Rakyat Kalimantan Tengah pun agak taksa/ambigu—meskipun persoalan nama menjadi hal yang tidak terlalu penting. Mengapa? Pertama, rakyat yang mana? Apakah maksudnya seluruh perwakilan masyarakat yang mendiami Kalimantan Tengah, dari suku/bangsa apapun atau maksudnya rakyat Dayak yang mendiami Kalimantan Tengah yang berkongres seperti halnya “Kongres Rakyat Papua”. Mengapa tidak “Kongres Rakyat Dayak Kalimantan Tengah” atau “Pumpung Hai Ungkup Dayak Kalimantan Tengah”, seperti halnya Aruh Ganal Bubuhan Banjar di Kalimantan Selatan yang sangat bangga dengan bahasa daerahnya? Kedua, dengan tidak mengurangi rasa hormat saya kepada penyelenggara--inikah wujud dari kekaburan (absurditas) atas heterogenitas Dayak yang masih malu-malu dan abu-abu sebagai Dayak itu? Ah, mungkin ‘bungkusnya’ tidak terlalu penting,yang penting ‘isinya’. Apapun namanya, hal kecil yang selama ini kita anggap remeh dan sepele kadang berpengaruh terhadap hal yang lebih besar, termasuk persoalan pemakaian bahasa daerah yang menjadi simbol identitas dan kebanggaan daerah. Bangga saja pakai malu segala.(*as).

17 Februari, 2009

"HUMA BETANG": FILOSOFI, EKSISTENSI DAN RELEVANSINYA DI TENGAH ARUS KEKINIAN

Anthony Nyahu
Huma Betang atau rumah Betang merupakan rumah yang panjangnya rata-rata 30—150 meter, dengan material hampir seluruhnya terbuat dari kayu dengan resistensi tinggi terhadap cuaca. Tinggi tiangnya mencapai 2—3 meter dari permukaan tanah. Ia dihuni oleh 100—200 orang (Depdikbud 1978). Pada masa lalu, huma betang telah mengemban fungsi ideal sebagai tempat berlindung (shelter) bagi masyarakat suku Dayak. Selain fungsi tersebut, ia juga merupakan sarana pemupukan nilai-nilai budaya komunal dengan ikatan solidaritas dan toleransi yang tinggi bagi sesama penghuninya. Didirikannya huma betang (Kalimantan Tengah) atau lamin (Kalimantan Timur), atau uma dadoq (Kalimantan Barat) secara analitis setidaknya atas dasar naluriah manusiawi manusia akan kebutuhan terhadap rasa aman dari berbagai ancaman eksternal. Ancaman eksternal tersebut berupa serangan binatang buas—untuk itu didirikan agak tinggi, 2—3m, serangan cuaca (banjir), lebih mudah memantau serangan musuh (bdk. Coomans 1987; Depdikbud 1978) (asang dan kayau), dan pemerolehan sirkulasi udara pada kolong rumah yang memadai. Di samping itu, pada bagian kolongnya yang tinggi tersebut tercermin berbagai kegiatan komunal yang terpadu, misalnya sebagai tempat anak-anak bermain, para ibu bercengkerama dan sebagai tempat pengolahan hasil pertanian manakala musim panen tiba. Proses hidup dan berkehidupan berawal dari huma betang, yang di dalamnya telah diatur sedemikian rupa agar tercipta kehidupan yang selaras, serasi dan seimbang, antara sesama penghuni, dengan masyarakat lainnya, dengan alam, serta dengan Sang Pencipta. Ruang-ruang komunal yang tercipta mengedepankan transformasi nilai-nilai etik dan kebudayaan yang egaliter. Hal ini dapat dilihat dari fungsionalitas interior yang diperuntukkan bagi kebutuhan tersebut, misalnya terdapat ruang untuk bermusyawarah dan berinteraksi (ruang publik), kamar-kamar penghuni (ruang privat), los-los serta bagian dapur sebagai tempat pemenuhan kebutuhan penghuninya. Di dalamnya terdapat aturan-aturan (biasanya tidak tertulis) dan berupa pantangan-pantangan (pamali) sebagai bimbingan moral (moral guidance) yang mendorong penghuninya harus sadar untuk melakukan dan tidak boleh melakukan sesuatu yang melanggar norma-norma yang luhur dan menjunjung tinggi nilai moral dan etika. Huma Betang tidak saja sebagai simbol kebudayaan Dayak atas transformasi nilai-nilai dan kebudayaan yang diwarisi kepada generasi kini, ia sekaligus merupakan kearifan tradisional masa lalu yang memberikan sumbangsih bagi tatanan dan refleksi atas pengelolaan sistem kehidupan yang majemuk pada masa kini. Bagai manapun, memaksa masyarakat Dayak masa kini untuk mendirikan dan mendiami huma betang adalah hal yang mustahil, berkaitan dengan terpenuhinya rasa aman dan kebutuhan akan privasi individual serta perwujudan status sosial di tengah masyarakat lainnya. Zaman dan peradaban yang hiruk-pikuk telah mengharuskan manusia Dayak untuk mengikuti arusnya agar tetap bersesuai dengan tanpa menanggalkan kearifan yang terpatri pada kebudayaan itu sendiri. Seiring dengan majunya peradaban, terpenuhinya sebagian atas rasa aman, dan kebutuhan akan privasi individual manusia itulah, eksistensi Huma Betang telah menjadi warisan masa lalu yang keberadaanya mulai punah. Di Kalimantan Tengah, tercatat tiga hingga empat unit yang masih tersisa. Ia seolah menjadi bagian yang terlupakan atas kearifan lokal masa lalu. Keberadaannya yang sudah langka tersebut menyiratkan bahwa huma betang seolah rumah yang asing di tengah rumah tunggal-rumah tunggal semi-modern yang menghimpitnya. Begitu pula tataran pemikiran yang juga mulai bergeser, antara kebutuhan komunal menuju kehidupan individual yang berdampak kepada relasi sosio-ekonomi masyarakat Dayak. Kini, huma betang hanya akan menjadi museum yang hidup dan filosofinya mengingatkan kita kepada filosofi bhinneka tunggal ika—sebuah cara pandang tentang keindonesiaan—di mana berbeda tetapi satu di tengah situasi nasionalisme yang cenderung kian pudar. Demikianlah, terdapat kemiripan dalam budaya Dayak dalam memandang perbedaan sebagai mozaik bagi kekayaan—kekayaan huma betang yang multidimensi dengan aneka latar belakang, agama, dan status sosial penghuninya. Kehidupan yang tiada membeda-bedakan, egaliter, dan perspektif gender yang telah dahulu kala didengungkan. Filosofi huma betang yang diartikan sebagai ‘di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung’ tentu tidaklah terlalu tepat untuk menjadi definisinya—untuk tidak menyebutnya salah. Mungkin sedikit mengena manakala diredefinisikan sebagai kebersamaan di dalam perbedaan (togetherness in diversity), artinya ada semangat persatuan, etos kerja dan elan yang tinggi untuk mengelola secara bersama-sama perbedaan itu dan berkompetisi secara jujur, sehingga tidak akan menjadi jurang yang memisahkan—sekaligus menghancurkan. Hendaknya semangat Dayak itulah yang patut kita warisi dan junjung tinggi. Untuk dan atas nama kebersamaan di kehidupan yang lebih luas—di dalam mengelola sebuah ‘huma betang’ yang lebih besar bernama Indonesia.(*as)