16 November, 2009

REVITALISASI BAHASA DAN SASTRA DAYAK NGAJU SEBAGAI LAMBANG IDENTITAS DAERAH DI TENGAH PERGAULAN MASYARAKAT HETEROGEN

Anthony Nyahu
1. Pengantar
Bahasa adalah salah satu produk budaya manusia. Sebagai sebuah produk budaya, bahasa dituntut untuk selalu dinamis sesuai dengan perkembangan kebudayaan yang ada pada masyarakat penuturnya. Dengan demikian, sebuah bahasa akan tetap adaptif terhadap kebutuhan komunikasi masyarakat pendukungnya. Selain mengemban fungsi sebagai alat komunikasi, bahasa juga merupakan sarana ekspresi dalam menuangkan gagasan-gagasan dan konsep-konsep serta sarana transformasi atas nilai-nilai kebudayaan itu sendiri. Hampir semua komponen produk kebudayaan seperti yang dinyatakan Taylor dalam Ohoiwutun (2002: 77) bahwa pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, adat, serta kemampuan dan kebiasaan lainnya membutuhkan sebuah bahasa sebagai sarana transformasinya. Upaya pemeliharaan martabat, fungsi dan peran sebuah bahasa tidak terlepas dari kebijakan bahasa (language policy) dan perencanaan bahasa (language planning) baik pada tingkat pusat maupun di daerah. Kesemua upaya tersebut bermuara kepada pemakaian bahasa (language use). Masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang serbamulti: multibahasa, multiagama dan multietnis dengan menggunakan satu bahasa nasional yaitu bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia telah merekatkan semua kalangan dan menerima semua perbedaan kebahasaan dan kebudayaan daerah sebagai kekayaan kebudayaan nasional. Jaminan negara terhadap bahasa seperti telah terjabarkan dalam Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945, Pasal 32 Ayat (1) dan (2), yang mendudukkan posisi bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional dan bahasa resmi negara. Dengan status demikian, nasionalisasi bahasa Indonesia semakin kukuh sebagai lambang jatidiri bangsa. Krauss (1992) dalam Mahsun (2004) mengelompokkan bahasa ke dalam tiga kelompok berdasarkan gejala umum yang terjadi pada bahasa-bahasa di dunia ,seperti jumlah penutur, prestise sosiokultural, dan dukungan pemerintah terhadap pemakaiannya, yakni: a). kelompok bahasa yang tidak lagi dikuasai dan digunakan oleh anak-anak dari penutur suatu bahasa; b). kelompok bahasa yang dalam satu/dua generasi tidak lagi dikuasai dan dipelajari oleh ketururunan penutur suatu bahasa; dan c). kelompok bahasa yang termasuk kategori aman yang masing-masing disebut moribund, endangered dan safe. Padahal di lain pihak, bahasa daerah memegang peran penting bagi perbendaharaan kosa kata bahasa Indonesia. Upaya untuk mengangkat budaya (baca: bahasa) daerah ke dalam kosa kata bahasa nasional diharapkan sebagai langkah nyata pemeliharaan bahasa-bahasa daerah, di samping itu dari sanalah kita berpijak bahwa keberagaman tercipta sebagai kekayaan bukan sebaliknya. Salah satu keputusan yang bersifat politis yang dihasilkan Seminar Politik Bahasa tahun 2000 adalah ditentukannya fungsi bahasa daerah sebagai: (a) lambang kebanggaan daerah, (b) lambang identitas daerah, (c) alat perhubungan di dalam keluarga dan masyarakat daerah, (d) sarana pendukung budaya daerah dan bahasa Indonesia, (e) pendukung sastra daerah dan sastra Indonesia. Selain itu, dalam hubungannya dengan bahasa Indonesia, bahasa daerah berfungsi sebagai: (a) pendukung bahasa nasional, (b) bahasa pengantar di sekolah dasar di daerah tertentu pada tingkat permulaan untuk memperlancar pengajaran bahasa Indonesia dan mata pelajaran lain, dan (c) sumber kebahasaan untuk memperkaya bahasa Indonesia, serta (d) dalam keadaan tertentu dapat berfungsi sebagai pelengkap bahasa Inonesia di dalam penyelenggaraan pemerintahan pada tingkat daerah (Alwi dan Dendy Soegono (2000) dalam Mahsun (2004)). Menyikapi kondisi kebahasaan yang terjadi di Indonesia, Sugono (2008:1) menyatakan bahwa kebijakan pemerintah dalam bidang bahasa meliputi perencanaan bahasa di Indonesia yang mencakup bahasa Indonesia, bahasa daerah dan penggunaan bahasa asing. Ketiga komponen bahasa yang ada di Indonesia membutuhkan beberapa kebijakan yang meliputi penelitian, pengembangan, pembinaan dan pelayanan di bidang kebahasaan dan kesastraan. Sedangkan kebijakan penggunaan bahasa asing meliputi pemanfaatan bahasa asing sebagai sarana pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta sebagai sumber pengayaan bahasa Indonesia. Sebagai landasan kebijakan tersebut adalah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Pasal 32 yang mengamanatkan bahwa negara menghormati dan memelihara bahasa daerah sebagai bagian dari kebudayaan nasional. Kemudian pada Pasal 36 Bab XV menjelaskan tentang tugas bahasa daerah sebagai: 1) lambang kebanggaan daerah, 2) lambang identitas daerah, 3) sarana perhubungan di dalam keluarga dan masyarakat daerah, dan 4) sarana pengembangan serta pendukung kebudayaan daerah (Chaer dan Agustina, 1995:297). Hal ini selanjutnya dipertegas dalam Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Otonomi Daerah dan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 40 tahun 2007 tentang Pedoman bagi Kepala Daerah dalam Pelestarian dan Pengembangan Bahasa Negara dan Bahasa Daerah. Di samping itu, dalam pelaksanaan tanggung jawab terhadap pemeliharaan bahasa-bahasa daerah dapat berkoordinasi dengan instansi teknis pusat yang berada di ibukota provinsi. Sebagai tindak lanjut atas pemenuhan tuntutan tersebut, upaya pemeliharaan bahasa daerah itu mencakup upaya pengembangan, pembinaan, revitalisasi, dan pendokumentasian menuju pelestarian bahasa dalam memasuki tatanan baru kehidupan masyarakat multikultural sebagai bagian dari masyarakat internasional yang heterogen. Dengan demikian, upaya pemeliharaan bahasa daerah selain tugas dan kewajiban negara, juga menjadi tanggung jawab pemerintah daerah sebagai kepanjangan tangan pemerintah pusat di daerah. Pemeliharaan bahasa daerah mencakup a) penelitian berbagai aspek kebahasaan untuk keperluan pengembangan, pembinaan, dan pendokumentasian; b) pengembangan bahasa daerah meliputi pemekaran kosakata dan pemutakhiran kodifikasi yang berupa penyempurnaan ejaan, kamus, dan tata bahasa sehingga bahasa daerah itu tetap memenuhi tuntutan keperluan masyarakat pendukungnya; dan c) pembinaan bahasa daerah meliputi upaya pemertahanan penggunaan bahasa daerah oleh masyarakat pendukungnya dan penerusan penggunaannya kepada generasi pelapis melalui proses pembelajaran bahasa daerah di lingkungan keluarga ataupun di sekolah. Di samping itu, pemeliharaan bahasa daerah meliputi upaya perlindungan bahasa daerah agar tidak punah dan merevitalisasi fungsi dan kedudukan bahasa, termasuk aksara dan sastra daerah dalam ranah-ranah penggunaannya oleh masyarakat penuturnya (Sugono 2008:2). Salah satu bahasa yang memegang peran penting bagi kehidupan komunikasi suku Dayak di Kalimantan Tengah adalah Bahasa Dayak Ngaju atau Basa Ngaju. Bahasa Dayak Ngaju menguasai hampir 50% dari total sebanyak 69 daerah pengamatan di wilayah Provinsi Kalimantan Tengah (Pusat Bahasa, 2006). Meskipun penyebarannya sporadis, bahasa ini menguasai beberapa daerah aliran sungai di Kalimantan Tengah. Hal ini disebabkan oleh penyebarannya beriringan dengan meluasnya Misi Pekabaran Injil di Kalimantan, termasuk Kalimantan Tengah pada tahun 1835 (Riwut, 1993 dan Riwut, 2004). Untuk keperluan tersebut, bahasa Indonesia kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Dayak Ngaju agar dapat dipahami secara luas. Hal ini kemudian dilakukan oleh para para misionaris yang melakukan kodifikasi, pembakuan ejaan dan kamus yang bersesuai dengan masa itu. Para tokoh yang melakukan suatu langkah besar bagi kodifikasi bahasa Dayak Ngaju adalah Hardeland mengkodifikasikannya ke dalam sebuah kamus yang diterbitkan dengan judul Wortebuch Der Ngadju Dajackisch (Druck von C. A. Spin & Sohn, 1859), Epple dengan bukunya yang berjudul Soerat Logat Basa Ngadjoe (Typ Rob. Hennemann & Co., 1922) dan Kurze Einführung in die Ngadjoe-Dajaksprache, Zendingsdrukkerij, 1933), dan Baier et.al yang menyusun kamus Wörterbuch der Priestersprache der Ngaju Dayak (Foris Publication, 1987). Bagaimanapun, peran para misionaris tersebut merupakan pondasi penting bagi pengembangan bahasa Dayak Ngaju. Karya-karya monumental mereka menjadi literatur yang sangat berharga bagi para peneliti setelahnya. Di tengah minimnya upaya penelitian bahasa ini setelah para misionaris tersebut, Usop kemudian melakukan penelitian tentang Pemerian Morfologi Bahasa Dayak Ngaju (Usop, 1976) dan Panjaitan mengkaji tentang Morfologi dan Sintaksis Bahasa Dayak Ngaju (Panjaitan, 1983) Didasari atas kegelisahan para pakar bahasa atas mendesaknya dilakukan pemutakhiran ejaan dan kaidah bahasa Dayak Ngaju, maka perlu dilakukan sebuah seminar. Seminar Bahasa Dayak Ngaju yang dilaksanakan pada tanggal 23—24 Oktober 1987 tersebut bertujuan untuk mengembangkan bahasa Dayak Ngaju antara lain dalam bentuk pembaruan ejaan dan menyepakati kaidah bahasanya . Selanjutnya, para peneliti dari Universitas Palangka Raya bekerja sama dengan Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa semakin gencar melakukan penelitian lanjutan. Hal ini dapat dilihat dari beberapa hasil penelitian, di antaranya Sintaksis Bahasa Dayak Ngaju (Dewi Mulyani, S. Dkk, 1995), Fonologi Generatif Bahasa Dayak Ngaju (Toendan, 1996), Morfologi Bahasa Dayak Ngaju (Wihadi Admodjo dkk., 1993), Analisis Leksikostatistik terhadap Bahasa-bahasa di Kalimantan Tengah (Poerwadi, dkk. 1993) dan Buku Praktis Bahasa Dayak Ngaju (Suryanyahu dkk., 2005) . Sayang sekali, berbagai hasil penelitian tersebut beredar secara terbatas, walaupun sebagian telah diterbitkan oleh Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa dan didistribusikan ke berbagai perpustakaan. Pada tingkat penerbitan, dijumpai ada beberapa buku bacaan dan kamus bahasa Dayak Ngaju, di antaranya adalah Petatah dan Petitih dalam Bahasa Dayak Ngaju oleh Iper dkk. (1996), Kamus Ungkapan Bahasa Dayak Ngaju-Indonesia oleh Usop dkk (1993), dan Kamus Dwibahasa Bahasa Dayak Ngaju–Indonesia dan Upon Ajar Basa Dayak Ngaju (Ibrahim dan Bingan, 2005). Kedua judul terakhir merupakan buku pegangan bagi pengajaran muatan lokal di sekolah-sekolah dasar di Kalimantan Tengah. Sebelumnya, bahan ajar yang dijadikan muatan lokal adalah Buku Pelajaran Bahasa Dayak Ngaju (Poerwadi, dkk., 1997) yang diterbitkan oleh Kanwil Depdikbud Provinsi Kalimantan Tengah. Kemudian, pada tingkat pemasyarakatan juga pernah dilakukan oleh Pusat Bahasa melalui Kantor Bahasa Palangka Raya bekerja sama dengan RRI Palangka Raya dalam acara “Siaran Bahasa Dayak Ngaju” yang disiarkan secara periodik selama dua tahun, yakni pada tahun 2002—2003. Meskipun telah banyak dihasilkan buku bacaan yang berhubungan dengan bahasa Dayak Ngaju, namun masih belum dapat membangkitkan gairah pemakaian bahasa itu secara maksimal oleh berbagai kalangan yang ingin belajar bahasa Dayak Ngaju terutama generasi muda. Berbagai kendala yang dihadapi dalam mempelajari bahasa ini, terutama bagi mereka yang bukan penutur asli bahasa Dayak Ngaju. Faktor penyebab hal tersebut antara lain kurangnya penerbitan buku-buku pelajaran yang dijual secara bebas dan tingkat kesadaran penutur bahasa Dayak Ngaju akan kaidah bahasanya yang rendah. Hal ini terindikasi dari karut-marutnya cara penulisan kata yang tepat dalam bahasa Dayak Ngaju, kebingungan menentukan yang mana kosakata asli bahasa Dayak Ngaju dan kosakata mana yang bukan bahasa Dayak Ngaju, serta masih banyak kendala lain yang berhubungan dengan penguasaan bahasa Dayak Ngaju, baik dalam tataran penguasaan kosakata, kalimat, maupun ungkapan-ungkapan. Tidak dapat disangkal lagi akibat majunya ilmu pengetahuan dan teknologi informasi menjadikan bahasa daerah bergerak di dalam ruang yang sempit, tak terkecuali bahasa Dayak Ngaju. Untuk itu, diperlukan penanganan secara sungguh-sungguh, terencana dan berkelanjutan oleh berbagai pemangku kepentingan (Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan masyarakat) dalam upaya untuk mengembalikan martabat bahasa Dayak Ngaju sebagai sarana pemajuan kebudayaan daerah. Dengan demikian, bahasa ini mampu menunjukkan adaptabilitasnya terhadap dinamika zaman dan tuntutan masyarakat pendukungnya. Terutama dalam hal pengayaan perbendaharaan kosakata berdasarkan tuntutan ilmu pengetahuan dan teknologi dan kemampuan daya ungkapnya sebagai bahasa yang hidup di tengah pergaulan masyarakat multibahasa.
3. Langkah-langkah Pemeliharaan Bahasa Daerah 3.1. Revitalisasi Bahasa dan Sastra Dayak Ngaju
Pemeliharaan dalam rangka revitalisasi bahasa daerah merupakan hal yang utama sebagai pemerkaya bahasa nasional. Dalam bidang bahasa yang berkaitan dengan kedudukan bahasa Dayak Ngaju sebagai bahasa mayor dan lingua franca di Kalimantan Tengah, bahasa ini perlu dilakukan penanganan yang serius dari Pemerintah Daerah dan berbagai pemangku kepentingan (lembaga/instansi terkait sesuai pembidangannya). Bahasa-bahasa daerah lain semestinya diserahkan kewenangan otonomi bagi daerah kabupaten/kota yang bahasa daerah mayoritas penuturnya bukan bahasa Dayak Ngaju. Sebagai contoh, di DAS (Daerah Aliran Sungai) Barito, harus mempertimbangkan pengajaran bahasa Dayak Ngaju yang berimbang dengan bahasa daerah setempat. Hal ini di samping bertujuan agar bahasa-bahasa minor yang bukan penutur mayoritas berbahasa Dayak Ngaju dapat bersama-sama hidup dan lestari sehingga tidak mengalami kepunahan. Dengan demikian, selain penyumbang bagi kekayaan kosakata bahasa nasional, ia juga dapat terus hidup di tengah masyarakat bahasa yang heterogen. Beberapa langkah dijabarkan dalam aspek-aspek berikut.
a. Aspek Penelitian dan Pengkajian
Seperti telah disinggung sebelumnya, bahwa upaya penelitian, pengembangan dan pembinaan bahasa Dayak Ngaju telah cukup lama dilakukan. Namun, langkah awal penelitian ini masih belum sinergis. Artinya, inventarisasi menuju arah pembakuan struktur dan tata bahasa masih jauh dari harapan. Hendaknya dilakukan reinventarisasi agar penelitian yang akan dilakukan tidak tumpang tindih dan repetitif. Kerja sama yang sinergis berbagai pemangku kepentingan semestinya lebih dimantapkan. Naskah-naskah hasil penelitian dalam tataran mikrolinguistik, misalnya fonologi, morfologi, sintaksis dan semantik dapat menjadi acuan untuk dijadikan dasar pijakan pengembangan bahasa Dayak Ngaju. Apabila hal tersebut sudah tuntas, maka hasil-hasil penelitian pada makrolinguistik akan menjadi kajian lanjutan bagi kepentingan bidang ilmu lainnya. Demikian pula menyangkut sastra daerah sehingga terwujud peta sastra daerah yang bermanfaat bagi inventarisasi sastra Dayak di Kalimantan Tengah. Inventarisasi tersebut akan didalami menuju aspek-aspek lainnya bersama-sama dengan konsep revitalisasi bahasanya. b. Aspek Pengembangan
Aspek pengembangan bahasa merupakan langkah yang tidak kalah penting bagi upaya pemeliharaan sebuah bahasa, di antaranya melalui pemutakhiran kosakata. Keraf (2007:69) menyatakan bahwa pemutakhiran kosakata adalah hal yang harus dilakukan agar suatu bahasa dapat ‘hidup’ dan sesuai dengan tuntutan kebutuhan komunikasi masyarakat pendukungnya. Pemutakhiran kosakata tersebut dapat berupa: pemutakhiran kamus, kamus sinonim dan tesaurus, pe-ngaju-an istilah asing/Indonesia. Atas dasar itulah, perbendaharaan kosakata suatu bahasa akan selalu diperkaya dan mendukung daya ungkap bahasanya. Diperlukan tim-tim yang terpadu agar hasil-hasil penelitian dapat menjadi dasar untuk menyusun pemutakhiran kodifikasi dan standardisasi bahasa, misalnya kamus, tata bahasa, buku-buku pedoman, dan ejaan. Adanya sarana pengajaran yang baku serta publikasi yang massif terhadap bahasa dan sastra Dayak Ngaju, baik cetak (buku-buku, majalah, buletin, koran) dan elektronik (penyiaran di radio dan televisi, buku elektronik/e-book, multimedia, film dan laman/website) merupakan suatu kebutuhan yang mendesak untuk dilakukan searah dengan tuntutan kemajuan IPTEK. Aneka bentuk produk untuk meningkatkan pemahaman tentang kosakata seperti, kamus, dapat dijadikan program yang digunakan dalam sistem operasi telepon genggam, buku elektronik, multimedia, dan lain-lain. Di samping itu, majunya ilmu pengetahuan dan teknologi tidak dapat dipungkiri. Hal ini berdampak pada perbendaharaan kosakata yang akan semakin jauh tertinggal. Banyaknya perbendaharaan kosakata asing, terutama dari bahasa Inggris menyebabkan bahasa daerah menyerap kosakata tersebut secara langsung. Semestinya, bahasa Dayak Ngaju memunguti kosakata tersebut melalui kosakata bahasa Indonesia terlebih dulu dalam hubungan yang saling melengkapi. Untuk itu, inventarisasi kosakata daerah juga diperlukan, selain keperluan pengayaan bahasa Indonesia, juga untuk mendokumentasikan aneka kosakata bahasa-bahasa daerah agar tidak punah. Demikian pila halnya dalam pengembangan bidang sastra daerah dapat semakin dimajukan beriring dengan tumbuhnya media televisi dan radio lokal. Acara-acara yang menampilkan bidang sastra daerah, akhir-akhir ini semakin sepi saja. Bidang-bidang sastra daerah yang sangat bermanfaat bagi pengembangan sastra secara umumnya. Kegiatan bersastra seperti mendongeng dan ber-sansana, misalnya menjadi semakin tenggelam di tengah situasi budaya dan peradaban masyarakat audiovisual masa kini. c. Aspek Pembinaan
Pembinaan merupakan aspek terakhir dalam upaya pemeliharaan bahasa. Pembinaan menyangkut manusia yang menggunakan bahasa tersebut. Aspek pembinaan yang sangat penting terlebih dulu adalah penyediaan sumber daya manusia (para guru di tingkat formal—SD, SMP, dan SMA). Oleh karena itu, diharapkan pengajaran bahasa Dayak Ngaju akan lebih berkualitas. Kualitas tersebut dapat dilihat dari penguasaan kompetensi peserta didik terhadap bahasa Dayak Ngaju yang disertai dengan penguasaan filosofi dan pengenalan kearifan lokal (local wisdom) pada budaya Dayak, termasuk di dalamnya pengajaran sastra Dayak. Bersamaan dengan itu pula, perlu kiranya upaya pengembangan kurikulum yang sesuai dengan kebutuhan pengajaran muatan lokal yang bersesuai dengan kepentingan pendidikan nasional. Materi pembelajaran multimedia dan aneka metode lain yang menyenangkan akan menumbuhkan minat serta motivasi perserta didik dalam mempelajari dan semakin mengenali bahasa dan budayanya. Aspek pembinaan tidak hanya pada tataran formal, namun pembinaan luar kelas (Sugono, 2008:7) juga mutlak diperlukan. Kegiatan ekstrakurikuler merupakan sarana yang tepat untuk pengayaan dan penguasaan aneka bidang kesastraan dan kesenian Dayak. Berpijak dari pernyataan di atas, bahasa daerah cenderung diperhatikan setelah pembinaan terhadap bahasa Indonesia semakin massif. Dalam konsep tersebut, bahasa daerah tetap dipertahankan oleh penuturnya pada tataran komunikasi antarmasyarakat daerah dan di dalam keluarga, sebagai pemerkaya khazanah bahasa Indonesia. Hal ini semakin diperjelas dengan adanya otonomi daerah, yang di dalamnya tertuang wewenang dan kreativitas para pemimpin daerah untuk membuat politik bahasa dan perencanaan bahasa daerah di masing-masing daerah. Sehingga bahasa daerah wajib mendapatkan perlakuan yang sama dibanding kebijakan yang lain. Hal lain yang tak kalah pentingnya adalah kecenderungan bahasa Indonesia mulai secara epistemologis ‘menggeser’ fungsi bahasa daerah dalam lingkungan rumah tangga, selain penggunaan bahasa daerah lain (Banjar) dalam lingkungan pergaulan remaja (Suryanyahu, 2005). Dari hasil penelitian tersebut ditemukan bahwa sikap bahasa masyarakat penutur jati bahasa Dayak Ngaju cenderung negatif dan tidak lagi memandang bahasa ibunya sebagai sebuah lambang identitas dan kebanggaan. Masuknya unsur alih kode dengan menggunakan bahasa bahasa lain, misalnya bahasa Banjar dan campur kode terhadap bahasa ibu justru akan semakin mengancam rusaknya tatanan bahasa ibu. Tak jarang proses campur kode itu terjadi karena di dalam bahasa Dayak Ngaju sendiri tidak ditemukan padanan katanya maupun tidak mengenal tingkatan/unda usuk bahasa, seperti pada bahasa Jawa dan Banjar. Namun biasanya dalam tindak tutur masyarakat Dayak Ngaju yang sangat egaliter, penyebutan predikat teknonimis dipandang sebagai salah satu ragam bahasa halus, misalnya pemanggilan teknonimis terhadap seseorang yang yang telah berkeluarga yang tidak lagi memanggil sebutan namanya tetapi nama anak tertua sebagai contoh: orang lebih mengenal Bapa Enon dibandingkan Cilik Riwut dalam konteks genealogis Dayak, Indu Lamiang, atau sapaan teknonimi lain dari keturunan yang lebih muda (anak/cucu) kepada orang tua dari ayah/ibu, misalnya Bue Janggut, Tambi Bitak, kepada saudara dari ayah/ibu, misalnya Mama Bakas, Mina Benteng, dll. Hal ini terjadi berdasarkan budaya turun-temurun yang menganggap bahwa pemanggilan nama seseorang yang dianggap lebih tua selain tidak sopan juga akan berakibat kualat. Beranjak dari kenyataan tersebut, materi dan metode pembelajaran bahasa Dayak Ngaju tidak saja secara linguistis mempelajari kata atau kalimat ‘mahalau, lah’, sebagai struktur fonem /m/,/a/,/h/,/a/,/l/,/a/,/u/ /l/,/a/,/h/ terjemahan kata ‘lewat, ya’ atau ‘permisi, mau lewat’ tetapi lebih kepada muatan filosofis budaya daerah. Sehingga, sebagai contoh bahwa ungkapan tersebut disertai dengan membungkukan badan adalah manifestasi etika bahasa tubuh apabila melewati orang yang lebih tua. Pemuatan unsur etika dan moralitas berbahasa melalui pembelajaran bahasa daerah menjadi salah satu bagian penting dari muatan lokal tersebut nantinya. Dengan demikian peserta didik akan memahami kebudayaan daerah, sadar akan jati dirinya sebagai anak bangsa dan bagian integral dari pemahaman holistik terhadap kebudayaan nasional yang beragam. Hal yang penting lagi bahwa kebudayaan daerah, termasuk di dalamnya bahasa daerah, merupakan sarana transformasi dan penapis (filter) bagi masuknya kebudayaan dari luar yang tidak sesuai dengan perikehidupan berbudaya, berbangsa, dan bermasyarakat. 4. Pengembangan Masyarakat Dayak Ngaju menuju Masyarakat yang Berbudaya Baca dan Tulis (Reading and Writing Society) Tak dapat dipungkiri bahwa pada kebudayaan Dayak yang tidak dilatarbelakangi oleh tradisi tulis menyebabkan terbatasnya penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi. Budaya baca dan tulis bukan semata-mata berarti kompetensi membaca dan menulis saja. Peralihan dari budaya dengar-lisan menuju budaya baca-tulis sudah semestinya digalakkan. Dalam kondisi demikian, perlu ditumbuhkannya budaya membaca dan budaya menulis bagi masyarakat Dayak. Seperti diketahui bahwa budaya baca dan budaya tulis masyarakat Dayak masih sangat rendah, khususnya pada masyarakat pedalaman. Pembiasaan menulis tentang tradisi lisan, kegiatan bersastra dan pengetahuan lokal, misalnya pengetahuan berladang, berburu, dan seni menganyam, merupakan pembiasaan yang positif, terutama pewarisan pengetahuan terhadap kearifan lokal kepada generasi Dayak di masa depan. Namun demikian, bukan berarti bahwa kebudayaan Dayak pada umumnya kurang bermartabat. Hal ini terlihat dari kecerdasan linguitik dan kecerdasan bersastra masyarakat Dayak dalam kekayaan khasanah sastra lokal. Wujudnya berupa aneka bentuk sastra lisan: sansana, deder, karungut, ngendau, marung, pepatah-petitih,tanding tampengan, dan lain-lain (lihat Riwut, 1993: 477-478; Suryanyahu, 2003). Aktivitas bersastra sebagai suatu apresiasi saja harus ditingkatkan dalam bentuk pengemasan sarana dan suasana belajar mengajar yang menyenangkan, komunikatif, penjiwaan dan penyadaran kolektif yang berkelanjutan. Aneka bentuk kekayaan satra lisan tersebut lambat laun akan punah jika tidak dilakukan inventarisasi dan penelitian dan pengkajian yang menyeluruh. Hasil-hasil tentang penelitian sastra Dayak Ngaju akan dijadikan sebagai muatan lokal, termasuk penumbuhan minat peserta didik untuk menguasainya. Di samping itu, pengenalan figur-figur sastrawan Dayak dan informasi yang menyangkut kiprah mereka, baik di dalam maupun di luar negeri. Selain dalam bidang sastra tersebut, perlu didirikan beberapa sentra perpustakaan, baik di tingkat kecamatan maupun tingkat desa. Pendirian perpustakaan-perpustakaan itu dimaksudkan untuk mengatasi kerumpangan terhadap pesatnya kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, khususnya dalam bidang pertanian, perkebunan, peternakan, perikanan, ekonomi, dan lain-lain. Di samping itu, muara dari pembiasaan budaya baca adalah peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui aplikasi teknologi tepat guna yang diperoleh dari bahan-bahan bacaan yang sesuai dengan pola kehidupan mereka. Bersambung..... Daftar Bacaan
Anonim, 2008. Hasil Rapat Koordinasi Pemasyarakatan Bahasa dengan Pemerintah Provinsi Seluruh Indonesia. Jakarta, 16—18 Juli 2008. Pusat Bahasa. Departemen Pendidikan Nasional Campbell, Lyle. 1998. Historical Linguistics: An Introduction. Edinburgh: Edinburgh University Press. Chaer, Abdul. 2007. Leksikologi dan Leksikografi Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta Chaer, Abdul dan Leoni Agustina. 1995. Sosiolinguistik: Suatu Perkenalan Awal. Jakarta: Rineka Cipta Fasold, Ralph. 1999. The Sociolinguistics of Language. Oxford: Blackwell Publisher. Keraf, Gorys 2007. Diksi dan Gaya Bahasa. Cetakan ke-17. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama Ohoiwutun, Paul. 2007. Sosiolinguistik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Majelis Sinode GKE Banjarmasin 1988. “Prosiding Hasil Seminar Bahasa Dayak Ngaju, 23—24 Oktober 1987”. Palangka Raya. Tidak Diterbitkan. Mahsun, 2004. Metode dan Teknik Penelitian Bahasa. Jakarta: Raja Grafindo Persada Poedjosoedarmo, Soepomo, 2003. Filsafat Bahasa. Surakarta: UMS Press Perwadi, Petrus, Meriyedi, dan Dunis Iper. 1997. Buku Pelajaran Bahasa Dayak Ngaju. Palangka Raya: Kantor Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Kalimantan Tengah Poerwadi, Petrus, Yohanes Kalamper, dan Albertus Purwaka. 1993 “Analisis Leksikostatistik Bahasa-bahasa di Kalimantan Tengah. Laporan Penelitian. Palangka Raya: Balai Penelitian Universitas Palangka Raya Riwut, Tjilik 1993. Kalimantan Membangun: Alam dan Kebudayaan.Yogyakarta: Tiara Wacana Riwut, Nila 2003. Maneser Panatau Tatu Hiang. Palangka Raya: Pusaka Lima Sugono, Dendy. 2008. “ Kebijakan Bahasa Daerah di Indonesia” dalam Suar Betang vol. III, No. 2 Desember p. 1—7. Palangka Raya: Balai Bahasa Provinsi Kalimantan Tengah Summer Institutes of Linguistics (SIL), 2001. Languages of Indonesia. Second Edition. Jakarta: SIL International Indonesia Branch. Suryanyahu, Anthony. 2003. ”Situasi Kebahasaan di Kabupaten Katingan: Antara Pergeseran Bahasa (Language Shift) dan Prakondisi Kepunahan Bahasa”. Katingan Pos, Minggu I/Juni 2003). Suryanyahu, Anthony dkk. 2005. “Buku Praktis Bahasa Dayak Ngaju”. Laporan Penelitian. Palangka Raya: Balai Bahasa Provinsi Kalimantan Tengah Suryanyahu, Anthony. 2005. “Sikap Bahasa dan Pilihan Bahasa Penutur Jati Bahasa Dayak Ngaju di Kota Palangka Raya”. Laporan Penelitian. Palangka Raya:Balai Bahasa Provinsi Kalimantan Tengah

11 Agustus, 2009

BAHASA DAYAK NGAJU: BAHASA KAUM HULU ATAU BAHASA KAUM MAJU?

Anthony Nyahu
Terminologi Ngaju yang melekat pada bahasa yang digunakan meluas di Kalimantan Tengah atau bahasa perhubungan antarsuku telah mengalamai ‘keterjebakan’. Mengapa “Bahasa Dayak Ngaju” atau “Bahasa Ngaju” lama menjadi stagnan dan kurang berkembang? Hal ini tidak terlepas dari terminologi “Ngaju” yang digunakan oleh para peneliti asing. Pada awalnya, mereka menyepakati penggunaan istilah tersebut sebagai ‘pengakuan’ masyarakat penuturnya. Di dalam dunia antropologi dikenal sebagai by native. Bahwa orang-orang Ngaju atau kelak menguat dengan nama Dayak Ngaju merupakan kesatuan kolektivitas etnik yang membedakannya dengan Ot Danum dan Melayu (lihat Schärer ; Jani Kuhnt-Saptodewo ). Diangkatnya istilah Basa Ngaju oleh Epple merupakan sebuah ‘label’ tanpa pretensi. Sejalan dengan itu, Riwut menyebutkan bahwa semua satuan guyup yang menggunakan bahasa-bahasa yang berbeda dengan Ot Danum, Maanyan-Dusun, dan Melayu adalah orang-orang yang termasuk dalam suku Ngaju atau suku Dayak Ngaju. Justru Hardeland hanya menyebutnya sebagai bahasa Dayak, padahal di dalam realitanya suku-suku Dayak tidak monolingual. Menurut Schärer, merupakan sebuah kekeliruan yang sangat fatal untuk mengklaim bahwa bahasa Dayak sebagai yang digunakan dalam kamusnya hanya mengangkat vokabuler dari Dayak Ngaju saja. Namun, perkembangan zaman terus melaju dengan pesat. Kebudayaan menjadi imbas terhadap perubahan itu. Tidak terkecuali perkembangan bahasa. Bahasa Dayak Ngaju yang dijadikan sebagai alat misi pekabaran Injil sejak diliterasikan tahun 1835. Hal ini berbeda dari penyebutan oleh Hardeland. Dan tentunya cukup tepat digunakan untuk membedakannya dengan bahasa-bahasa lain yang ada di Kalimantan Tengah. Bahasa-bahasa tersebut antara lain: Bahasa Dayak Maanyan, Dayak Ot Danum, dan Melayu Banjar. Schärer, yang menyatakan bahwa suku-suku yang Ngaju yang bermukim di bagian hulu sebagai “uplander”, kemungkinan, menurutnya dibuat untuk membedakan kelompok Ngaju dengan “Oloh Tumbang”, seperti Melayu-Muslim. Sekaligus juga membedakannya dengan orang-orang Ot Danum, sebuah suku yang menempati bagian pedalaman atau “headwaters” pada jantung Pulau Borneo. Parahnya, terminologi Ngaju sebagai “uplander” atau “Oloh Hulu” harus diperhadapkan sebagai upaya untuk membedakannya dengan “Oloh Tumbang”. Artinya, kata ‘Ngaju’ diperhadapkan dengan apa yang disebut Levi-Strauss sebagai binary opposition ‘Ngawa’. Jika benar kenyataan demikian, maka panjang umurlah kekacaubalauan terminologi identitas itu. Kata Ngaju di dalam nama Dayak Ngaju harus juga diperhadapkan atau dipasangkan dengan Dayak Ngawa. Dengan kata lain, ada paradigma geolinguistik Oloh Ngaju—Oloh Tumbang (Orang Hulu—Orang Muara). Apakah memang begitu kenyataannya?
Ngaju sebagai Identitas Kolektivitas Etnik
Jika kata Ngaju digunakan sebagai nomina atau kata benda, maka penempatan kata itu sebagai pelengkap kesatuan etnik yang membedakan dengan Dayak lainnya, sungguh patut dikatakan benar. Tetapi manakala dalam konsep awam dan kolokial, kata “ngaju” (tidak ditulis dengan n kapital), ia wajar diperhadapkan atau dipasangkan sebagai binary opposition dengan kata “ngawa”. Artinya, kedua kata tersebut berkelas nomina dan keduanya tidak akan mengalami kerancuan seperti asumsi sekarang. Jika kata ngaju diartikan secara etimologis sebagai padanan untuk “hulu”, dengan makna tunggal sebagai bagian atas; udik; ujung dari sungai saja, maka tidak sepenuhnya benar. Sebab, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata “hulu” juga bermakna sebagai… (5) permulaan; pangkal; awal. Sedangkan kata ngawa jika diartikan dalam bahasa Indonesia sebagai “hilir”, maka bermakna sebagai 1) bagian sungai sebelah muara; dan 2) daerah sepanjang bagian muara sungai . Artinya, kata ngawa sendiri tidak merujuk kepada muara dari sebuah sungai atau mulut sungai dalam konteks tumbang dan konsep sosio-ekologis orang Dayak. Dalam konteks geografis, masyarakat Dayak Ngaju mengenal aju—awa, ambu—iwa, hunjun—penda, baun—likut, pambelum—pambélép yang paralel dengan bagian agak ke hulu—bagian agak ke hilir, laut—darat, atas—bawah, depan—belakang, Timur--Barat. Aju—sebagai dasar kata ngaju--dalam konsep budaya orang Dayak Ngaju tidak secara mutlak dipandang sebagai bagian paling udik dari sebuah sungai. Kata aju bisa saja berarti “agak ke atas sedikit” dan bukan “udik atau pedalaman”. Karena dalam struktur populasi masyarakat sungai, secara realita masyarakat Dayak Ot Danumlah yang menempati posisi di paling hulu (bukan paling udik dari perspektif stigmatisasi budaya). Masyarakat Dayak Ngaju mayoritas bermukim di antara Suku Dayak Ot Danum dan Melayu Muslim yang disebut Scharer sebagai Oloh Tumbang. Dengan demikian, mereka secara populasi bermukim di daerah-daerah tengah dan hilir (bukan ‘muara’ atau mulut sungai) dari struktur sungai yang ada di Kalimantan Tengah. Secara ontologis, kata ngaju merupakan bentuk kolokial dari hong aju, yang artinya pada bagian yang mengarah mendekati hulu. Jadi, kata ngaju itu tidak serta merta sebagai udik atau pedalaman, mengingat secara geolinguistik ada komunitas tutur lain pada bagian hulu. Demikian juga tentang konsep ngawa yang didapati dari tuturan kolokial hong awa, yang berarti pada bagian mendekati hilir atau mendekati muara. Ia tidak secara langsung dapat disebut sebagai tumbang atau muara. Persoalannya adalah tentu sangat naif apabila mengacaubalaukan istilah ngaju dan ngawa untuk suatu pemahaman konsep budaya yang bukan berlatar sosio-ekologis sungai. Dari kacamata linguistik antropologis, label orang-orang Ngaju menunjukkan apa yang ditulis Riwut (1993) sebagai komunitas yang menuturkan bahasa selain Ot Danum dan Melayu. Populasi komunitas ini lintas sungai Kapuas, Kahayan, dan Katingan. Dalam perkembangan politik-misi, penyebarannya seolah sporadis. Meskipun berbeda secara bahasa, Ot Danum sesungguhnya masih dapat dikategorikan sebagai bagian dari orang Ngaju. Ini apabila dikaitkan dengan mitos penciptaan (creation myth) dan Tetek Tatum (Mitos Genealogis). Demikian pula di dalam konsep ke-Tuhanannya. Maka sangatlah naif rasanya jika sempitnya makna kata Ngaju dengan stereotipe ngaju (ditulis dengan n huruf kecil) sebagai makna tunggal hulu atau udik. Kecenderungan itu tidak berdasar ketika kita menoleh sejenak atas makna-makna yang lain dari kata “hulu”. Berkaitan dengan itu, terminologi Ngaju pada kata Dayak Ngaju akan terasa cocok jika di-redefinisikan sebagai “Suku Dayak yang Awal atau suku Dayak Asli yang menghuni Kalimantan Tengah”. Jika demikian kenyataannya, bagai mana dengan suku-suku Dayak yang lain? Apakah mereka bukan suku Dayak yang asli? Asli atau bukan, permulaan atau awal, semua tidak dapat dipisahkan dari mitos penciptaan (creation myth) yang menjadi mitos genealogis suku Dayak di Kalimantan Tengah. Menurut antropolog Dayak yang juga pakar Kaharingan, Marko Mahin , sejarah asal-usul apakah suku Dayak lainnya dikategorikan satu kolektivitas etnik dengan Dayak Ngaju harus dirunut dari mitos penciptaan ini. Apakah mereka satu nenek-moyang (ancestor) atau bukan, dapat dilihat dari Panaturan (Kitab Kaharingan) dan Tetek Tatum (Mitos Genealogis Dayak). Masyarakat Dayak Ot Danum, misalnya juga mengenal asal-usul leluhurnya seperti yang termaktub dalam Tetek Tatum.
Bahasa Dayak Ngaju: Masa Kini dan Mendatang
Dengan adanya pemikiran kembali makna tentang kata Ngaju (bukan n huruf kecil), tentu kita akan semakin sadar dalam penempatannya. Bahasa Dayak Ngaju tentu bukanlah bahasa kaum hulu/udik. Maka sangat wajar jika para linguis asing (utamanya dalam misi sebagai misionaris) mengangkat Bahasa Dayak Ngaju sebagai bahasa pertama di Kalimantan Tengah yang diliterasikan. Terlepas dari hal-hal di luar linguistik dan antropologi, para linguis itu sangat berjasa dalam meletakkan dasar-dasar struktural bahasa Dayak Ngaju. Hal ini masuk akal mengingat suku Dayak Ngaju merupakan suku yang paling banyak subnya di Kalimantan Tengah. Sebagai suku mayor, maka ia wajar dituturkan oleh penutur yang mayoritas, dan dalam perkembangannya mampu menjadi lingua franca di Kalimantan Tengah. Ia bukanlah bahasa kaum udik/hulu, mengingat para penuturnya adalah kaum terdidik (cerdik-pandai) baik sejak zaman zending maupun masa kini. Mereka ini pula yang muncul di depan—aju; maju—sebagai para pemimpin pergerakan yang menentang penjajah, para birokrat, para pemuka, para politisi, dan lainnya. Akan sangat ironis jika di masa kini munculnya stigma bahwa bahasa Dayak Ngaju dianggap bahasa orang udik/hulu. Ia seolah menjadi bahasa yang tidak bergengsi, dengan demikian, ia tidak lagi dijadikan sebagai bahasa ibu. Ia dipandang hanya dituturkan oleh kaum inferior; kaum udik. Padahal, kalau kita sejenak membaca sedikit sejarah kehidupan suku Dayak di Kalimantan Tengah, maju-mundurnya entitas etnis Dayak di Kalimantan Tengah tidak terlepas dari orang-orang yang bersuku Dayak Ngaju, atau Oloh Ngaju. Pun, untuk menjadi bagian integral dari Indonesia, Oloh Ngaju telah menunjukkan kiprahnya, dengan tidak mengecilkan peran suku-suku lain, tentunya. Terlebih lagi, kebanggaan atas identitas dan lambang jati diri masyarakat Dayak Ngaju kian meredup saja. Masyarakat Dayak Ngaju menjadi semakin tinggi keterbukaannya menelan mentah-mentah bahasa daerah lain yang bukan bahasa ibu-nya. Orang Dayak Ngaju yang notabene menikah dengan sesamanya lebih senang mengajarkan bahasa nasional kepada anak-anaknya. Alih-alih sebagai bahasa yang bergengsi tinggi dan simbol bahasa kaum terdidik, bahasa ibu—bahasa Dayak Ngaju—dianggap bisa dipelajari dengan sendiri kelak. Jadi tidak harus diajarkan di lingkungan keluarga. Sebagai akibatnya, banyak remaja dari orang tua yang berasal dari orang Dayak Ngaju bahkan tidak mampu berbahasa ibu-nya sendiri! Memprihatinkan dan dilematis memang. Di pihak lain, sebagai generasi pelapis, generasi kini dituntut agar penguasaan bahasa daerah atau bahasa ibu menjadi suatu keharusan, selain bahasa nasional dan bahasa asing. Penguasaan bahasa daerah atau bahasa ibu bertujuan agar generasi masa kini tidak tercerabut dari akar budaya daerahnya sebagai identitas dan penguat jati dirinya di tengah masyarakat dan budayanya. Penguasaan bahasa nasional, yakni bahasa Indonesia dikuasai sebagai modal dalam komunikasi nasional dan pengembangan IPTEK, sedangkan penguasaan bahasa asing dalam kerangka penguasaan IPTEK, pergaulan di komunitas internasional dan global. Semestinya, ketiga bahasa tersebut dipergunakan sesuai dengan fungsi dan perannya masing-masing.
Bahasa Dayak Ngaju: Tantangan ke Depan dan Penanganannya
Sebagai sebuah bahasa, bahasa Dayak Ngaju dituntut selalu dinamis. Ia harus tanggap atas kemajuan zaman beriring dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Mau tidak mau, suka tidak suka, bahasa ini harus direvitalisasi. Jika masyarakat penuturnya masih menganggap penting, maka pemutakhiran dan pengayaan kosa katanya mutlak dilakukan. Dengan demikian, unsur-unsur serapan dari bahasa-bahasa daerah lainnya, atau dari bahasa Indonesia menjadi tak terhindarkan. Di samping itu, faktor lain yang tak kalah pentingnya adalah peninjauan kembali materi muatan lokal dengan kemasan yang menarik, misalnya dalam bentuk multimedia, pembelajaran di luar kelas dan lain-lain. Muatan filosofis dan bimbingan moral bagi peserta didik menjadi bagian penting selain penguasaan secara didaktis. Aneka pepatah-petitih dan bentuk-bentuk kearifan lokal dalam bersastra, misalnya perlu dipertimbangkan sebagai materi penunjang. Dalam beberapa dekade terakhir, aspek penelitian dan pengkajian bahasa Dayak Ngaju dari sisi mikrolinguistik seharusnya sudah sampai pada tahap perumusan kodifikasi, ortografi, kamus, dan tata bahasa. Ejaan bahasa Dayak Ngaju masih belum menemukan kata sepakat, terlebih menuju sebuah kebakuan. Agaknya, kongres bahasa ini memang harus menjadi prioritas untuk secepatnya dilaksanakan dan hendaknya menjadi perhatian para pakar, para peneliti, para praktisi, dan peminat bahasa di wilayah ini. Di dalam kongres itu kelak diharapkan juga dibahas strategi dan metode pengembangan dan pembinaannya, termasuk di dalamnya bagai mana menyiapkan para guru bidang studi bahasa Dayak Ngaju berikut infrastrukturnya di daerah ini. Dari sisi makrolinguistik, penelitian bahasa Dayak Ngaju juga harus selalu diaktualkan dengan melihat pola-pola dan strategi penelitian bahasa daerah lain di Indonesia. Kajian antropologi linguistik, misalnya menjadi lahan yang sangat minim disentuh. Demikian juga dalam hubungan bahasa dengan masyarakatnya atau sosiolinguistik, dan lain-lain. Di tengah arus modernisasi yang terus mendera, tantangan budaya, termasuk di dalamnya bahasa, menjadi bagian dari perubahan. Dinamika kemajuan IPTEK, arus informasi yang mengglobal, dan ketergerusan nilai dan perilaku sosial, menggiring masyarakat Dayak Ngaju kepada berbagai pilihan. Pilihan tersebut sangat banyak dan beragam. Tetap setia dengan status quo yang masih bertahan dengan gaya bahasa masa lalu atau rela menerima perubahan dan kekinian. Atau memilih sebuah konsekwensi paling mudah dengan mencampakkan bahasa ibu-nya dan menggantikannya dengan bahasa daerah lain, atau bahasa nasional saja. Pilihan terakhir, sepertinya telah dan sedang menggejala di tengah komunitas tutur bahasa Dayak Ngaju. Bahkan, sebagai lembaga yang selama ini mengawal dan merawat bahasa Dayak Ngaju sebagai alat pekabaran Injil, pihak Gereja Kalimantan Evangelis (GKE) mulai resah dengan semakin berkurangnya intensitas pemakaian bahasa ini sebagai pengantar kegiatan keagamaan . Makin sedikit para orang tua yang bisa berbahasa Dayak Ngaju dan makin sedikit pula bahasa ini diajarkan kepada anak-anak di lingkungan keluarga sebagai bahasa ibu. Agaknya, perhatian Pemerintah Daerah melalui kebijakan dijadikannya bahasa Dayak Ngaju sebagai muatan lokal di tingkat sekolah dasar belumlah dikatakan optimal. Tantangan yang lebih berat ke depan adalah bagai mana bahasa ini mampu mengakomodir kepentingan komunikasi masyarakat penuturnya. Kata kuncinya adalah bagai mana menjadikan bahasa ini menjadi bahasa yang memiliki daya ungkap yang kuat ditandai dengan kekayaan khasanah kosa katanya. Demikian pula halnya dengan penumbuhkembangkan publikasi baik cetak dan elektronik, berupa buku-buku bacaan, kamus, koran, buletin, majalah, dan jurnal berbahasa Dayak Ngaju. Hal ini tentu saja menggunakan ortografi dan tata bahasa yang disepakati semua pihak sebagai sebuah pedoman baku. Dan yang lebih penting lagi, citra bahasa ini sebagai bahasa kaum hulu akan lambat laun sirna. Dalam konteks pembinaan, misalnya publikasi elektronik, tersedianya program televisi dan radio berbahasa Dayak Ngaju yang memadai sehingga akan menumbuhkan kembali sikap positif masyarakat penuturnya di tengah pergaulan anekabahasa yang ada. Penanganan yang mementingkan satu aspek saja, misalnya, tidak akan menjamin apakah suatu bahasa akan didukung oleh masyarakat penuturnya. Strategi yang cenderung parsial, niscaya tidak akan mengentaskan persoalan. Bahasa Dayak Ngaju sangat jauh ketinggalan dan ditinggalkan, namun hal ini tidak akan menyurutkan langkah kita untuk duduk secara bersama-sama menguraikan benang kusut persoalan pengembangan dan revitalisasinya. Jika tidak dipikirkan langkah-langkah strategis dalam penangannya sejak saat ini, niscaya Bahasa Dayak Ngaju—dengan asumsi dua generasi ke depan—akan punah. Ia akan ditinggalkan, tergantikan oleh penetrasi bahasa-bahasa daerah lainnya dan mungkin juga sebagai akibat dari menguatnya prestise bahasa nasional. (Bersambung)

17 Mei, 2009

MASIHKAH ADA KECERDASAN LINGUISTIK ORANG DAYAK NGAJU DALAM BERBAHASA?

Anthony Nyahu*
“...metoh toh ikei lagi kuman. En ketun hekau nahu narai?”
Itulah kalimat pendek sebagai penutup dialog yang membuat saya terperangah. Dialog yang dilakukan oleh seorang ibu parobaya dengan salah satu anggota keluarganya dalam telepon genggam. Hal itu terjadi di suatu rumah makan lesehan. Sengaja tidak saya muat dialog pembukaan yang awalnya cukup simpatik. Jika sedang minum, mungkin saya akan tersedak-sedak kaget diberondong oleh aneka pertanyaan menohok. Beginikah cara komunikasi seorang tua dengan keluarganya di telepon genggam? Inikah ‘kekerasan bahasa’ seorang tua di tengah para cucu dan anak-menantunya—yang bersama-sama dengannya? Sengaja pula saya tebalkan kata nahu pada kalimat di atas, yang merupakan tuturan colloquial untuk kata manahu. Mengapa saya sebut ‘kekerasan bahasa’ untuk sekadar menggantinya dengan ‘kekasaran berbahasa’? Saya yakin orang Dayak Ngaju atau Oloh Ngaju yang baik tentu tidak akan menggunakan bahasa-nya tidak sesuai pada tempat dan situasinya. Rupanya tidak berlaku kepada sang ibu itu ketika berdialog dengan ‘keluarganya’. Pun itu dilakukan di tempat umum, di tengah-tengah para anak-cucu-menantu dan orang lain yang mungkin sebahasa dengannya. Kata kerja nahu atau manahu bermakna ‘memberi makan/memberi sesajen kepada makhluk halus’. Kelas kata nominanya menjadi panahu, sedangkan kegiatan/tindakan yang melingkupi makna verba nahu atau manahu dilakukan pada sebuah tempat sakral berupa rumah-rumahan kecil bertiang yang disebut patahu, karamat, atau tempat menaruh sesajen pada anyaman bambu yang disebut ancak. Untuk menyimbolkan kata kerja ‘makan’ terdapat sinonimi dalam Basa Ngaju yakni kuman, kinan (ragam halus atau netral) dan mandurak, manyombol, manocoh dan manahu (ragam kasar). Penggunaan ragam kasar cenderung dihindari atau tabu; dapat digunakan dalam kondisi instabilitas emosional dan kata manahu atau nahu hanya dibatasi untuk konteks ‘memberi makan makhluk halus/memberi sesajen’. Saya tertegun, meski kejadian ini hanya sebuah gejala. Mungkinkah gejala demikian menunjukkan betapa parahnya gejala pemakaian Basa Ngaju di masa kini telah jauh bergeser atau memang si penuturnya tidak pernah mengenal ragam bahasa halus untuk berkomunikasi dengan siapapun—termasuk di lingkungan keluarga sendiri? Atau inikah prakondisi ‘kekurangajaran berbahasa’ gaya baru yang harus didengar oleh orang lain? Saya justru mempertanyakan lagi apakah si penutur itu pernah mengenyam kehidupan budaya Dayak Ngaju, atau lebih parahnya lagi—setahu saya—mungkin ia adalah orang gila dan menjadi gila karena ucapannya sendiri (jika dalam kamus Oxford bertanda seru di dalam segitiga—tabu) dan itu harus didengar orang lain yang mungkin mengerti tuturan bahasanya.
***
Suku Dayak Ngaju atau dikenal dengan Oloh Ngaju mempunyai sejarah panjang tentang tradisi lisan di Kalimantan Tengah. Meskipun mereka bukan hidup dalam tradisi tulis, dahulu bukan berarti mereka kurang bermartabat. Hal ini dapat dilihat dari berbagai kecerdasan lingusitik mereka dalam menggunakan bahasa-nya dan ‘menganyam’ kata-kata pada berbagai bentuk karya sastra lisan. Perbendaharaan kosakata (vocabularies) Basa Ngaju pada dasarnya sangat kaya. Seseorang yang menggunakan bahasanya dengan baik menunjukkan betapa bermartabatnya si penutur. Memang, dalam konteks Basa Ngaju tidak mengenal unda-usuk bahasa, namun bukan berarti si penutur dapat menggunakan diksi bahasanya dengan seenaknya. Ada semacam konvensi yang boleh dan tidak boleh digunakan dalam berkomunikasi antarsesama penutur Basa Ngaju. Dengan kayanya sinonimi, maka pilihan kata atau diksi sangat mutlak untuk dikuasai, sehingga baik dalam konteks verbal maupun literal, si penutur tidak dianggap kurang bermartabat. Selain kosa kata di atas, masih banyak lagi kosa kata lain yang menyiratkan aneka bentuk dan ragam. Misalnya, kata ‘kawin’ dalam bahasa Indonesia, di dalam Basa Ngaju dapat digunakan kata manduan akan kabalie, hinje amak, manampa kabali-baloh (ragam halus) dan kawin (netral), serta masawe (laki-laki)-babane (perempuan)(ragam kasar—namun pada beberapa tempat dianggap netral—AN). Selain itu, oloh Ngaju juga mampu menyusun kosa kata-kosa kata indah dalam peribahasa sebagai bimbingan moral (moral guidance). Hal ini dapat dilihat dari aneka pepatah-petitih, tanding-tampengan, dan lain-lain. Di dalam dunia sastra lisan, kecerdasan linguistika oloh Ngaju telah terbukti. Ada beberapa jenis yang masih belum punah, misalnya sansana, deder, dan karungut. Selain ketiga yang disebutkan itu, ada puluhan jenis lainnya yang menunjukkan kepada kita betapa para leluhur sangat pandai ‘bermain indah’ dengan bahasanya. Mereka pandai menyajikan rima kata-kata pada deder dan karungut-nya. Mereka juga pandai melagukannya sehingga menjadi media penghibur di suatu musim dalam konstelasi kehidupan budaya mereka.
***
Demikianlah kenyataannya. Jika kita kembali kepada kalimat dialog di atas. Saya serta merta membayangkan entah kata apalagi yang lebih kasar digunakan oleh para cucu yang mendengar percakapan itu. Di kemudian hari, perilaku berbahasa itu secara alamiah akan ‘diwariskan’. Sungguh, sebagai oloh Ngaju--dalam terminologi saya adalah “oloh Ngaju/kaum yang selalu di depan/maju” merasa miris dan prihatin. Inilah gejala baru yang akan ‘membunuh’ kemartabatan Basa Ngaju atau inikah penyakit iliterasi yang telah menggerogoti jantung bahasa kita? Memang di dalam berbahasa tidak ada polisi yang mengaturnya; tidak ada perda yang akan mengikat seseorang penutur (Basa Ngaju)untuk bertutur secara sopan dan etis di muka umum. Akan tetapi, semuanya bermula dari kita (para penutur) dalam memberikan contoh kemartabatan berbahasa itu. Kita sepantasnya malu--sebagaimana kita menggunakan bahasa-bahasa lain: Indonesia dan Asing—sebagai penutur, kita tidak cukup arif dalam menentukan pilihan kata (diksi) Basa Ngaju di tengah ‘belantara’ kekayaan kosa katanya. Sehingga sebuah pertanyaan selayaknya diajukan: masihkah kecerdasan linguistik kita di masa lalu, baik dalam berbahasa maupun bersastra dijadikan sebagai dasar indikator betapa kurang bermartabatnya kita oloh Ngaju sebagai “orang maju” di masa kini? Bahasa menunjukkan bangsa, kata orang bijak. Tentu kurang bijak apabila dalam hal berbahasa pun kita tidak mampu menunjukkan betapa bermartabatnya kita, utus Dayak Ngaju itu. [*AN]

08 Mei, 2009

AUH HUREH (1)

Sinde andau, Mama Bapa Dogol handak haguet bajual amas bara lewu pandinun ewen maamas katahin ije due bulan. Jadi lepah kare maenyau karpet, rimae, palus ma-rasa amas te uka tau hapisah dengan batue atawa petak. Palar kea ampin pangulih ewen, aton kahain bawak jagung. Palus imbungkuse hong karatas upak roko tuntang iandak hong epok atawa dompet, kuan oloh wayah toh. Pandak kesah, Mama Bapa Dogol haguet akan Lewu Gutuk Genah Papu Jatu Sakuang Gagar Katinting Tarung mahapan kalotok domping 20. Tamam salentup masie, hayak kalajue awi has jari bakalahar (senter—kuan istilah oloh). Amon mahapan kalotok je biasa sampai lime jam, kalotok Mama Bapa Dogol te manjari andalan, bajuru hapan oloh manangkaje miar bapili atawa in-carter oloh amon aton kasusah kajake. Rimae, beken bara imbayar limbah oloh mahapae, Mama Bapa Dogol kea andal hadat-basae madohop oloh hong kasusah-kajake tuntang hong kahaban-kapehe oloh lewu ewen je tarasewut Lewu Sinta Batang Danum Kasayang Mahasur Bahandang Sungei Tatau. Mahapan kalotok Mama Bapa Dogol te tembus due jam satengah ih sampai akan Lewu Gutuk Geneh Papu Jatu Sakuang Gagar Katinting Tarung. Kuan oloh lewue, jete fenomenal, elese amon aton je mangina spit (speedboat) jete ih saingan ayue je tau mangalahe. Umpaman kutak, kalotok Mama Bapa Dogol te lasang kilat panangkaje andau akan jaman wayah toh, kilau te kea minyake, bilak sinde nantumbak akan teng hanjulu bewei lepah kilau ihop masie. Sampai jari ewen akan lewu je inintu. Tende hong talian, rantai kalotok ingunci dengan kalapitin kunci kahain buntis. “Mikeh duan oloh”, kuan Mama Bapa Dogol. Maklum, pakakas jete puna penting toto akan hapae manuntung pambelome gagenep andau. Palus ewen mananjung manintu akan toko amas saran pakan te. Pande-pander, tawar-menawar, rimae, balalu jadi. Regae kali saratus telo puluh koyan ije grame. Indacing, dinu due walas gram. Palar kea, kuan Mama hong ateie. Ulih kea ije due kasa kareh. Te ewen tanju-tanjung, mananture jualan oloh hong pakan te, manggau taloh je akan imili, bara dulang kandas sampai kenceng akan hapa barapi. Bara haskrok (as-kruk) masin sampai rasa (air raksa) akan mamisah amas. Sukup haliai pilin Mama Bapa Dogol. Kili-kilik dengan epoke. Ah, masih aton tisae, sukup akan kuman tuntang mili minyak hapa buli, kuan Mama Bapa Dogol huang ateie. Te ie maimbit oloh are hayak dengae te kuman helo, sahelo bara haguet buli akan lewu. Palus ewen tame akan huma oloh bajual panginan. Manunda karosi, balalu mundok. Taragitae hong hunjun meja aton ije kasa. Pas toto toh, huang ateie. Tampayahe te kilau kasa bue janggut, awi sama kabilem huange. Palus ie manekap kasa te balalu mihope. Baya awi kasa kecap te puna imetok kurik, isut kea balua. “Ei, ma! Kecap taloh kau!” kuan Domok, mangahana Mama mihope. “Dia penting cap-e, je penting aku kea mambayare.” Tombah Mama Bapa Dogol. Sakalie puna tarakeme Mama te puna kecap. Marak kahawee, Mama hakutak. “Kakai taloh te nah kecap. Nyewutku kasa bue janggut. Tawam ih matan mamam toh jari dia lalau barendeng, dia lalau tarang basae cap-e”. Masem baun Mama, sukur jaton oloh are mananture ie. Balalu Mama manirok arepe, leha-leha aku dia marima tuntang mananture bujur-buah helo bara aku mihope. [*AN]
Catatan
“Kakaren tokoh je intu sarita te baya rekayasa, jaton je mayewut oloh-oloh je katotoe. Baya sarita manampa karami bewei. Amon aton kasamae dengan aran oloh-oloh hong pambelom toh, jete dia ianta atawa isengaja. Tintue dia akan mamparahan kahamen tuntang manampa kapehen atei oloh.”

06 Mei, 2009

"TIGA SOSOK BERPADU TAKDIR" 1): ANTARA GELISAH DI KAYU MANIS DAN PERJUANGAN TIADA HENTI

Anthony Nyahu
Menyebut "trivium", “tiga serangkai” atau “tiga sosok berpadu takdir” adalah meyebut jumlah. Dalam hitungan mungkin tidaklah dapat kita berharap mendapatkan jumlah banyak. Waktu yang membawa serta segala kemujuran dan nasib yang menentukan suatu pertemuan kepada nama ketiga orang yang saya sebut sebagai "trivium" atau “tiga sosok berpadu takdir” itu. Dari perkenalan singkat pada sebuah acara, saya sempatkan berjabat tangan mengulurkan tali perkenalan kepada seorang tokoh yang selama ini hanya saya kenal dari karya-karya besarnya. Seorang Kusni--sang anak Dayak sama seperti saya—yang punya nama besar namun sederhana, yang kontras dengan bayangan saya tentangnya. Hangat, ia sambut tabe 2)saya. Saya sempat menyebutkan asal, dan ia pun terkesan kaget. Hanya dialog pendek yang sempat terucap waktu itu. Pertemuan kedua, secara informal dan akrab di suatu tempat yang sudah ditentukan Mina Nila Riwut (salah seorang yang juga punya nama besar dan banyak menulis tentang kebudayaan Dayak), kami bertemu lagi. Bersama teman-teman dan sahabat-sahabat Mina, di sela-sela pertemuan itu sempat juga mengobrol sebentar dengan keduanya. Hangat dan penuh keakraban. Bukan karena kami kebetulan dari suatu daerah yang sama nun jauh di pinggir kali Katingan sana, tetapi sebagai sesama pribadi yang memiliki pemikiran yang tidak terlalu jauh berbeda dalam memandang sebuah entitas kebudayaan Dayak dan Indonesia. Menyebut nama Mina Nila, berarti juga menyebut salah satu dari nama besar itu. Bukan. Bukan karena ia adalah seorang puteri pahlawan nasional Tjilik Riwut atau Bapa Enon. Menyebutnya, mengingatkanku tentang upaya-upaya tak kenal lelahnya juga dalam mengenalkan dan membesarkan kebudayaan Dayak di mata dunia. Tentu, yang lebih berkesan bagiku adalah bagaimana ia menyatukan para pemikir muda yang terserak. Dan itu bukan perkara yang mudah. Menyebutkan namanya, juga mengingatkanku atas peran pengganti seorang ibu: yang pandai menabur kasih dan pintar memintal sayang. Sementara menyebut nama yang di awal: Dr. Jean-Jaques Kusni, seolah membawa imajiku menyusuri bertebing-tebing pekerjaan yang harus dilakukan untuk sebuah entitas bernama Dayak. Ia mengajakku menyisir lembah dan dataran yang terhampar sabana puisi. Ya! Ialah setahuku sastrawan dari Tanah Dayak yang sangat besar dan berpengaruh. Ia menjadi disegani dalam dunianya. Karya-karya besarnya seolah kurang terdengar gaungnya di tengah pengajaran sastra dan budaya lokal. Dipolitisir? Entahlah, menurut penilaianku ia kurang terlalu dikenal oleh para siswa di berbagai tataran formal (SD, SMP, dan SMA). Namun, ia bukanlah seorang jago kandang, hal ini telah dibuktikannya pada berbagai kancah nasional dan internasional. Di samping itu—sebagai orang Dayak-- bagiku ia begitu bersahaja. Ia adalah seorang ilmuan yang memiliki multitalenta. Sejarawan, budayawan, ekonom, dosen, sastrawan, penulis, dan lain-lain. Tidak terbersit dari gaya hidupnya sebagai seorang besar, akan tetapi yang menonjol adalah gaya eksentrik seorang sastrawan. Dan ia adalah figur yang sangat rendah hati. Begitu pula nama ketiga: Marko Mahin. Ia menjadi salah seorang antropolog yang layak untuk dijadikan rujukan tentang agama asli Dayak Ngaju: Kaharingan. Ia juga menjadi seorang yang multitalenta: dari antropolog, penulis, budayawan, hingga pendeta. Profesi terakhirnya menjadi jarang kami diskusikan pada saat-saat bertemu. Pernah suatu ketika aku meminjam materi candaan seorang teman: bisakah ia memberikan gelar "honoris causa" kepadaku? Ia tertawa. Sebab, setahuku selain fasih sekali menuturkan tentang apa dan bagaimana Kaharingan, ia juga mengajar di universitas dan sekolah tinggi. Rupanya dijelaskannya padaku bahwa profesi itulah yang menjadi profesi utamanya hingga kini. Pengetahuannya tentang Kaharingan, bagiku melebihi pengetahuan para penggiat Kaharingan sendiri-meski ia tak akan pernah bisa menjadi Kaharingan . Tidak berlebihan dan sungguh layak apabila masyarakat Kaharingan menobatinya sebagai “orang yang berjasa” setelah Damang Salilah dan Dr. Hans Scharer. Aku juga berniat mengusulkannya sebagai “mantir“—, sehingga inisial namanya menjadi MMM atau “triple M”—dan semoga beberapa basir 3) menyetujui itu, atas usahanya dalam memajukan dan semakin mengenalkan Kaharingan, tentu juga tak terlepas dari upaya masyarakat Kaharingan sendiri. Tentu ada banyak nama lain yang kukenal—juga besar, namun aku tidak begitu dekat dengan mereka. Ada banyak nama yang tidak memiliki pintu dan jendela yang selalu terbuka. Pintu dan jendela yang selalu terbuka untuk curah-pendapat, sintesis-sintesis, dan aneka bentuk keberbagian (sharing) lainnya. Bagiku, selain mereka memiliki banyak pintu dan jendela yang selalu terbuka, mereka juga memiliki ruang-ruang yang lapang untuk berdiskusi. Mungkin sebagian dari pesan para leluhur sudah mereka sampaikan: bahwa memberikan sebanyak-banyaknya kebenaran tentang Utus Dayak bagi dunia. Memberikan warisan yang luhur bagi perubahan pola pikir generasi masa depan tentang apa dan bagaimana menjadi Dayak yang sesungguhnya. Duduk di antara ketiga tokoh besar itu tidak membuatku terkesan asing karena kebersahajaan mereka. Duduk di antara ketiganya seolah menempatkanku pada suatu bidang dunia: ada pohon yang memberikan keteduhan dan perlindungan, ada tanah yang memberikan kesuburan, dan ada hamparan rumput hijau yang memberikan sejuta keindahan! Membuatku memandang Dayak menjadi lebih luas dan bermakna. Dan aku berharap bisa lebih memahami apa, siapa, dan harus bagai mana menjadi seorang Dayak. Ah, alangkah indahnya hidup itu bila dihiasi dengan perjuangan. Perjuangan memang tidak pernah mengenal bentuk dan garis akhir. Ya!, perjuangan akan selalu bertumbuh dalam setiap sendi kehidupan menuju perubahan. Tiada yang tidak berubah, kecuali perubahan itu sendiri, kata orang bijak. Hanya waktu dan zamanlah yang akan berbeda. [*AN]
Catatan
1)Dipinjam dari istilah untuk menyebutkan ketiga sastrawan di Kalimantan Tengah, yakni M.H Anwar, Andi Burhanudin, dan Badar Sulaiman Usin.
2)Bahasa Dayak Ngaju yang artinya “jabat tangan” atau “salam”.
3) Basir berarti “pemimpin upacara ritual Kaharingan atau imam”

04 Mei, 2009

DUNIA ILMIAH vs STATUS QUO: INIKAH HAMBATAN LATEN PEMIKIR DAYAK UNTUK MAJU?

Anthony Nyahu
Telepon genggam saya meronta sore itu. Seorang teman yang sedang menyelesaikan disertasi doktoralnya di sebuah universitas ibukota negara ini, menelepon. Dia meminta saya untuk menggantikan peran seorang pakar untuk memberikan catatan atas sebuah draft buku. ‘Buku’ yang konon tebalnya empat puluhan halaman. Saya terpana. Antara ya dan tidak, saya berpikir. Saya bukan pakar, jawab saya. Disiplin ilmu saya memang mempelajari masalah bahasa. Tapi, bagi saya tetap tokoh yang akan saya gantikan itu, tentu bukanlah setaraf dengan saya. Saya merasa bukan apa-apa kalau dibandingkan dengan tokoh tersebut. Pun, persoalan buku yang akan ‘didiskusikan’ itu ditulis oleh seorang yang selama ini dijadikan rujukan tentang folklor lokal. Namun, tak satupun metode ilmiah ilmu folklor termaktub di dalamnya. Rupanya karyanya selama ini dianggap sebagai “chef d’ oefre”, “tak terbantahkan”, “tak ada duanya” 1) . Karya-karyanya, tentu saja bukan sebuah “par excellence”. Saya dan orang banyak tidak menyangkal terhadap apa yang telah dilakukannya selama sekitar seperempat abad dalam bidangnya. Untuk itu, saya kira pantas angkat jempol, namun bukan berarti karya-karya itu menjadi lepas dan tidak boleh dikritisi. Satu hal lagi, saya katakan bahwa beliau adalah orang tua, apa nanti tidak akan membuat friksi-friksi? Naluri keseganan saya pun muncul. Saya mencoba memberikan gambaran kepada teman saya itu. Jangan-jangan kita nanti dianggap ‘kurang ajar’ terhadap orang tua, saya bersikukuh. Dia berusaha menyemangati dan meyakinkan saya, “Anda seorang linguis”. Jadi, berikan pemikiran-pemikiran linguis dan “pengayaan-pengayaan” karena dalam bidang itu Anda saya anggap kapabel. Atau Anda tidak malu dan tenang-tenang saja ketika bahasa yang Anda pahami diporakporandakan dengan aneka bahasa vulgar yang sangat menjelekkan citra Dayak? Ini dunia ilmiah. Jadi, tidak ada istilah tua-muda, ewuh-pakewuh, yang penting kita mengutarakan kebenaran dan aturan. Ia terus memberikan argumennya. Saya tahu, teman saya ini terbiasa hidup di dunia ilmiah, namun di tengah budaya kita yang tidak terbiasa, bisa saja masukan dianggap sebagai sebuah celaan atas ‘jerih payah’ orang lain. Bukan justru dianggap sebagai pengayaan, dan mengutip kata-kata Dr. J.J. Kusni, seorang sastrawan Dayak yang menyebut “pembaca memiliki kedaulatan atas sebuah karya yang sudah dibuat. Ia akan menempuh jalannya sendiri” 2) Akhirnya, di tengah berkecamuknya aneka perasaan—kasihan, dianggap nanti saya kurang ajar (walaupun sedikit ‘ilmiah’)--saya terpaksa membersediakan diri. Vonis pun diketok: menyiapkan bahan presentasi untuk keesokan harinya, sesuai dengan kapasitas saya. Bagaimanapun, saya masih terus berpikir bahwa ‘hasil tulisan’ merupakan “apparatus criticus”, apalagi yang akan diusung adalah tema-tema tentang Dayak, dan akan ‘dibaca’ oleh dunia. *** Apa yang saya pikirkan sebelumnya memang terjadi benar adanya. Diskusi yang “dianggap” semacam “bedah buku” itu terlaksana juga. Diskusi yang cukup membosankan di tengah “kerumpangan” dan “gap” antara “orang tua” dan ‘dunia’ “anak-anak muda”. Antara “kritisi sebuah karya”, “pengayaan konstruktif” dan pemikiran status quo menjadi tidak nyambung dengan gaya masing-masing. Sebuah waktu yang tersia untuk memupuk etika keilmuan. Padahal, justru di situlah momentum untuk kita membuka diri dan menerima kritik atas apa yang kita lakukan dan meminta perbaikan-perbaikan yang dianggap konstruktif dan bermanfaat. Serta yang paling penting adalah bagaimana sikap ilmiah kita—sebagai sesama penulis—ketika ‘berbicara’ tentang Dayak. Apapun bidangnya, kita harus menjadi “mercusuar” Dayak untuk dunia. Sehingga apabila kita keliru, kita diingatkan oleh penulis lain/pembaca/kritikus—sebagai tanda sayang. Apalagi untuk sebuah nilai filosofi kedayakan. Bukan berarti kita yang paling tahu segalanya. Dunia ilmiah berpedoman bahwa “ di atas langit, masih ada langit”. Hakikat ilmu pengetahuan hanya sementara ditemukan—silih berganti—kemudian muncul yang lebih baru dan seterusnya. Ada pengujian atas teori-teori, ada data yang terus berubah, dinamis. Tidak ada yang stagnan. Tidak ada kebenaran hakiki—dan esensi ilmu pengetahuan hanyalah “menyingkap” sebagian dari rahasia hakiki kebenaran itu. Yang Mahabenar hanya milik Tuhan. Manusia, siapapun dia, semua memiliki kelemahan dan kekurangan. Manusia lain menutupinya. Saling mengisi. Tiada yang sempurna. Itulah tujuan awal dan gagasan yang saya usung ke “diskusi” itu. Dan, kembali, saya merasa sebagai manusia paling “garing” dalam event itu. Merupakan pengalaman berharga. Lagi-lagi, seolah saya dan teman—kandidat doktor—itu menjadi “mesin penunjuk kesalahan” atau “hakim-hakim yang mengadili terdakwa” dengan “segala pembelaannya(baca:kengototan)”—yang sungguh tidak “nyambung”. “Diskusi”pun bak sebuah debat kusir di meja hijau. Alamak, kata orang Medan. *** Sebagai salah seorang anak Dayak Ngaju, maka wajar apabila saya ‘marah’. ‘Marah’ saya yang pertama adalah mengapa etika keilmuan kita sebagai sesama orang Dayak menyepelekan sumber-sumber ? 3) Apakah kita pantas “tidak menghargai” informan kita atas informasi berharga yang telah diberikan? Walaupun folklor menjadi milik kolektif dan komunal (Danandjaya, 1986), bukan berarti sumber tuturan lisan itu diperoleh tanpa informan 4) . Kedua, sebagai sesama Dayak, kita cenderung untuk tidak menaati konsensus yang kita buat. Bahasa memiliki seperangkat aturan dan norma/kaidah. Kita harus menjunjung tinggi dan mengaplikasikan konsensus-konsensus itu. Kalau tidak, maka akan jalan sendiri-sendiri dan seenaknya. Kaidah-kaidah yang telah dibuat bukan sebuah “de gustibus non est disputandum”. Muaranya, sebuah bahasa pun akan porak-poranda oleh kita sendiri. Bukankah martabat bahasa menunjukkan martabat penuturnya? Terus terang, saya keberatan apabila saya juga dianggap kurang bermartabat hanya karena ketidakpatuhan akan kaidah bahasa (disobedience of norm of language) yang dilakukan baik sadar atau tidak, dan saya membiarkannya. Kemudian, ada kecenderungan untuk membuat gado-gado bahasa dengan masuknya aneka kosa kata bahasa daerah lain di tengah makmurnya perbendaharaan kosa kata lokal. Dalam kesamaan kasusnya dengan kondisi bahasa lokal, beberapa pakar dan peneliti bahasa Indonesia menyebut gejala berbahasa masa kini sebagai bahasa Indonenglish 5) atau bahasa gado-gado. Untuk ranah pemakaian bahasa dayak Ngaju, saya melihatnya dalam beberapa kasus yang menyiratkan bahwa bahasa Banjar telah ‘merangsek’ hingga ke tuturan sehari-hari (colloquial speech) ke dalam ranah pemakaian bahasa Indonesia dan bahasa Dayak Ngaju. Misalnya, seperti yang pernah saya dengar sendiri sebuah dialog antara seorang nenek dengan cucunya. Si Nenek bertanya kepada cucunya: “Siapa yang menghidupkan (maksudnya membuka) kran ini?”Jawab cucunya:” Tahu, Ikam aja kalo tadi, Mbi”. Maksud si cucu: tidak tahu, ikam=kamu;setara (bahasa Banjar) aja kalo tadi (bahasa Indonesia), dan Mbi (sapaan teknonimis untuk nenek—bahasa Dayak Ngaju). Bisa dibayangkan, saya sampai berdiri bulu kuduk mendengarnya. Bukan karena betapa ‘enaknya’ ‘menggado-gadoi’ beberapa bahasa, tetapi kenihilan aspek kesantunan dan nilai rasa penyampaiannya terhadap lawan tutur. Kata ikam sangat tidak berterima untuk menyapa orang/pembicara yang lebih tua—alih-alih sebagai ganti kata pian; juga dianggap kurang ajar dalam budaya Banjar. Namun dalam konteks bahasa Dayak mungkin sedikit berterima (ada yang lebih santun lagi, misalnya dapat menggunakan konteks kalimat seperti ini: “Saya tidak tahu, nek. Mungkin nenek yang membukanya tadi”(bahasa Indonesia); atau “Kada tahu ulun, ni ai. Pian haja kalu tadi nang mambukanya”(bahasa Banjar);atau “Dia kutawa te Mbi, Tambi ih elesku mambukae”(bahasa Dayak Ngaju). Unsur sapaan teknonimis sudah semakin tergerus, kemudian minimnya upaya untuk taat kaidah. Bandingkan kondisi kegado-gadoan lainnya saya temukan dalam konteks verbal bahasa Dayak Ngaju, misalnya: “Sorry, le lah aku dia sampet ngobrol dengam awi dia tau connect ampie. Kebetulan kea hape-ku lowbatt”. Dari kalimat-kalimat itu saya sebut saja dengan istilah: Ingajuindo (bahasa -Inggris-Dayak Ngaju- Indonesia) atau dalam terminologi saya--dalam bahasa lokal--sebagai Kutak Kakulak Baluh-Jawau (bahasa kolak labu kuning dan singkong). Selanjutnya, ketiga, sebagian besar kita tidak dibiasakan hidup di dalam dunia ilmiah yang sehat. Kita dicekoki dengan berbagai jargon yang mengungkung, apapun namanya—dari tidak enak sama orang-orang tua, mencela pekerjaan orang tua, hingga sok pintar, padahal masih hijau, bisa kualat, sama arep 6) , dst. —yang membuat kita tidak bisa memilah: ilmiah atau emotif. Ini saya kira sebagai batu sandungan untuk kita hidup secara sehat dalam dunia keilmuan agar maju dan kondusif bagi tumbuhnya pemikir-pemikir muda lokal. Sebagian besar dari kita hidup dalam ruang yang antikritik dan cenderung tertutup untuk melakukan self-defense atas nama kebenaran semu yang belum tentu benar dan valid, sehingga akan mengaburkan sebagian makna tentang kebenaran itu sendiri. *** Bagaimanapun, waktu terus berjalan tanpa mampu kita hentikan. Seiring itu pula, akan tumbuh tunas-tunas baru dan akan mengalir arus-arus yang bukan mainstream, akan muncul antitesis-antitesis, dan seterusnya. Hal ini alamiah dan wajar. Roda akan terus berputar, namun sudahkah kita mewariskan sesuatu “kebenaran” tentang Dayak yang pantas diberikan kepada generasi mendatang? “Kebenaran” macam apa itu? Apakah “kebenaran-kebenaran” status quo yang tegak bak sebuah menara gading dan stagnan? Jika itu yang terjadi, maka jangan heran apabila anak-anak Dayak masa depan akan terus terkungkung. Mereka hanya akan menjadi menara gading-menara gading baru yang antikritik dalam dunia ilmiah semu dan mungkin semakin tidak sehat![*AN].
Catatan Kaki:
1)Istilah J.J. Kusni yang saya kutip dari jurnal todoppuli.wordpress.com/posting
2) ibid
3) Mencantumkan sumber-sumber lisan dan tulisan merupakan salah satu etika penulisan. Tidak mencantumkan sumber-sumber baik lisan maupun tertulis dapat dikategorikan sebagai upaya plagiat. Lihat Marko Mahin, MA: Menapak Jejak Bungai Tambun di Bumi Tambun Bungai: Catatan Kritis atas Buku Ot Danum From Tumbang Miri until Tumbang Rungan (Based on Tatum) Their Histories and Legends,27 April 2009, hal.11
4) Prof. Dr. James Danandjaya merupakan pakar folklor di Indonesia. Ia adalah guru besar folklor lulusan Universitas California, Berkeley, USA. Lihat salah satu karyanya, Folklor Indonesia, 1986:191—207 terbitan Grafiti Pers, tentang Metode Pengumpulan dan Tatacara Pengarsipan Folklor.
5) Lihat “Bahasa Indonesia vs Bahasa Gado-Gado” dalam Nakita, No. 522/TH. X/30 Maret—5 April 2009, halaman 26. Seorang pakar bahasa mengestimasi sekitar 20 tahun lagi bahasa Indonesia terancam hilang dari Bumi Pertiwi untuk selamanya apabila bahasa Indonenglish ini semakin menguat. Contohnya: “Bentar ye, saya meeting dulu neh” , “Ane bete nih, kita hang out yuk!” atau “So far, kamu punya skill ok juga”.
6)Bahasa Dayak Ngaju yang berarti “sesama kita; masih (dianggap) keluarga sendiri”

22 April, 2009

PERGESERAN FUNGSI DAN VITALITAS “KARATAK LEWU” DALAM PERKAMPUNGAN DAYAK NGAJU

Anthony Nyahu
“Karatak Lewu” adalah halaman dan pekarangan rumah yang lazim ditemukan pada rumah-rumah panggung di dalam perkampungan Dayak Ngaju. Ia berfungsi sebagai sarana interaksi sosial (pada saat rehat sore setelah melakukan aktivitas seharian), sarana bermain anak-anak, dan pertemuan informal antartetangga (neighbourhood). Masa lalu,ia menjadi bagian integral dan ideal dari konsep sebuah hunian. Selain mengemban fungsi publik, “karatak lewu” juga sebagai jalan yang menghubungkan aktivitas dalam rumah (indoor) dan luar rumah (outdoor). Ia menjadi sarana untuk menuju sungai dalam aktivitas sehari-hari seperti mandi, mencuci, kakus dan mengambil air untuk kebutuhan makan-minum. Di masa kini, “karatak lewu” telah mengalami pergeseran fungsi dan vitalitasnya. Pergeseran fungsi dan vitalitasnya pun mulai muncul sejak bergesernya pola hunian dari konsep hunian komunal—betang—dan konsep rumah tunggal yang berjejer sepanjang kampung. Di sisi lain, ia mulai ‘direnggut’ wilayah semi-privatnya ke fungsi publik yang lebih luas sebagai “jalan umum”. Situasi zaman dan peradaban baru telah mengubahnya. Ia kini tidak lebih dari sebuah “jalan umum”, sebagai sarana lalu lintas masyarakatnya. Aktivitas-aktivitas sosial dan interaksi ketetanggaan serta sarana bermain anak-anak mulai berangsur-angsur ditinggalkan. Konsep tentang “jalan desa” atau “jalan umum” dengan lebar 2—3m merupakan konsep baru di dalam perkampungan Dayak Ngaju. Disebut baru karena pada dekade 80-an masyarakat Dayak Ngaju tidak terlalu mengenal konsep ini. Mereka hanya mengenal “karatak-karatak lewu” dan jalan-jalan setapak yang menghubungkan antarrumah pada suatu kampung; atau satu kampung dengan kampung lainnya. Masuknya perusahaan-perusahaan HPH (Hak Pengusahaan Hutan) yang membelah jantung Kalimantan Tengah pada dekade 80-an secara langsung membuka jalur keterisolasian antarkampung. Akses antardaerah dan dunia luar semakin terbuka lebar. Ditambah lagi dengan permintaan masyarakat sesuai dengan zamannya untuk membuka “jalan umum” pada kampung-kampung. Alhasil, “karatak lewu” harus ‘bersedia’ berbagi peran. Berkurangnya aktivitas anak-anak bermain-bercengkerama, bergesernya “karatak lewu” sebagai interaksi sosial dan ketetanggaan, dan mulai melemahnya solidaritas komunal menuju kepentingan indivudual, menjadikan “karatak lewu” hanya akan menjadi nostalgia masa kecil yang teramat sayang untuk dilupakan. Waktu terus berputar dan zaman terus bergerak. Begitu pula yang terjadi dengan masyarakat Dayak Ngaju. Aneka permainan tradisional yang dulu juga dilakukan di “karatak lewu” pun mulai tergeser. Kalaupun masih ada hanya segelintir di tengah was-wasnya anak-anak dengan lalu lalang kendaraan yang melintasi perkampungan. Tak jarang pula sebagian dari mereka menjadi korban keganasan pengendara yang memacu kendaraannya. Berbagai alternatif tak mampu menggantikan peran dan fungsi vital “karatak lewu” sebagai bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan mereka. Lalu, akhirnya masyarakat larut dalam kesibukan mereka sehari-hari. Anak-anakpun terpaksa melakukan permainan-permainan individual dan akrab dengan teknologi baru—dari mainan plastik yang berbahaya bagi kesehatan hingga permainan lainnya yang sangat tidak menyehatkan. Dan sebuah pergeseran peradabanpun muncul: lebih mengedepankan individualisme dan mengesampingkan solidaritas komunal. Tragis![*AN]

23 Maret, 2009

“TETEK TATUM”: LANGKAH AWAL PENAPAKAN HISTORISITAS MANUSIA DAYAK NGAJU

Anthony Nyahu
Manusia Dayak Ngaju tidak hidup dalam tradisi tulis sama seperti kebanyakan suku bangsa lain di dunia. Namun, masyarakat Dayak bukan berarti tidak mengenal akan sejarahnya. Satu-satunya upaya untuk memahami perjalanan kehidupan suku di masa lalu adalah berbagai bentuk kearifan lokal dan kegiatan bersastranya. Di dalam tradisi lisan, kegiatan bersastra tersbut sangat menonjol yang ditandai dengan berbagai bentuk tuturan. Tuturan tersebut dapat berupa puisi-puisi etnik (lihat Danandjaya 1992; Mage 2008), aneka bentuk pengharapan-pengharapan tradisional, ungkapan-ungkapan dan dongeng-dongeng tradisional (bdk. Riwut 1993; dan Riwut 2004). Ketiadaan literatur suku Dayak Ngaju dalam upaya menapaki jejak-jejak sejarah kearifan leluhur di masa lalu, bukanlah suatu alasan untuk menyebut bahwa leluhur suku ini memiliki derajat kebudayaan yang rendah (inferior). Satu-satunya rujukan tradisional yang dimiliki hanya “Tetek Tatum” yang terbangun secara “antara nyata dan tiada” sebuah bangunan imajiner; in illo tempore, ab origine sebagai struktur antara kenyataan yang dimitoskan atau mitos yang berusaha dan “seolah-olah” dinyatakan (bandingkan Eliade 1991). “Tetek Tatum” merupakan bangunan kronologis sejarah yang mengetengahkan proses panjang manusia Dayak, di mana mulai dikenalnya konsep-konsep tentang akulturasi, konsep-konsep yang runtun memandang masuknya pengaruh eksternal yang muncul. “Tetek Tatum” atau disebut sebagai “Periode Ratapan” atau “Ratap Tangis Sejati” (Riwut 1993:75), “Zaman Ratap Tangis” (lihat pula Ugang, 1983), merupakan masa-masa krisis yang dialami manusia Dayak. Pada masa itu, berbagai bentuk upaya “invasi-antithesis” muncul. Aneka bentuk penderitaan berkepanjangan mendera. Hingga muncul pula upaya defensif atas situasi tersebut dengan hadirnya pahlawan-pahlawan gagah berani seperti Rambang, Ringkai, Tambun, Bungai dan lain-lain. Ugang menyebutnya sebagai awal pertemuan kebudayaan Dayak Ngaju dengan kebudayaan luar seperti Hindu-Buddha, Kong Hu Cu, Islam dan Kristen. Berhubung pertemuan itu berlangsung sejak berpuluh-puluh abad lamanya, maka tidaklah mudah untuk menyimpulkan bahwa kebudayaan Dayak Ngaju itu telah berubah atau dipengaruhi oleh kebudayaan dari luar itu, namun yang pasti pertemuan kebudayaan tersebut telah membentuk semacam kebudayaan (baca: kepercayaan-pen) baru dengan tatanan yang saling melengkapi yang dikenal dengan Kaharingan sekarang (1983:4). Jauh sebelum dikenalnya tuturan tentang “Tetek Tatum”, masyarakat Dayak Ngaju sudah mengenal periodisasi masa yang melingkupi kehidupan mereka dari waktu ke waktu. Ada tiga istilah yang dikemukakan Ugang di dalam struktur kehidupan yang disebut “lewu” atau negeri, “Lewun Sangiang”, “Lewun Sansana”, dan “Lewun Tetek Tatum” (1983:2). Mengapa ada tiga “lewu” dalam konsep tersebut? Pertama, ada tiga konsep yang mempunyai benang merah dengan alam dalam pandangan theologis Kristen bahwa “lewun Sangiang” merupakan representasi dari sebuah satuan imajiner tentang sebuah bangunan transedental “surga”, di mana yang hidup di sana adalah para dewa dalam perspektif Kaharingan: Maharaja Sangiang, Maharaja Sangen dan Maharaja Bunu. Kedua, ketiga fase tersebut menunjukkan bahwa ketiga “lewu” tersebut yang menjadi semacam “lansekap imajiner” manusia Dayak Ngaju tersebut menyiratkan adanya tiga periodisasi zaman yang sama sekali berbeda berdasarkan “konstruksi” dunia yang melatarinya: “zaman Sangiang” dan “zaman Sansana” sebagai penggemaan prototipe mitis in illo tempore itu, dan zaman “Tetek Tatum”. Ketiga, bahwa langkah awal pijakan “manusia baru”,manusia Dayak berada pada periodisasi zaman yang ketiga, yaitu “Tetek Tatum”, yang di dalamnya menggambarkan pertemuan manusia Dayak dengan aneka kebudayaan yang datang dari luar. Konsep kedua zaman sebelum “Tetek Tatum” merupakan konsep yang sangat sulit untuk dicocokkan dengan periodisasi waktu karena hingga kini tidak ditemukan fakta yang mendasari itu. Tetapi yang jelas adalah “zaman Tetek Tatum” berawal sebelum abad ke-17. Konteks demikian lebih tajam dinyatakan Eliade sebagai cara untuk memahami eksistensi dan sejarah manusia dalam cakrawala ontologis dan spiritualitas kuno bahwa koleksi fakta terbagi menjadi, 1) fakta yang ditujukan kepada kita, bagi manusia kuno, realitas itu merupakan fungsi imitasi atas arketipe surga (langit); 2) fakta yang ditunjukkan kepada kita bagaimana realitas itu dianugerahkan melalui partisipasi dalam “simbolisme Pusat”: kota, kuil, rumah,menjadi nyata karena fakta tentang keberadaannya diasimilasikan dengan “pusat dunia”; 3) Akhirnya, ritual dan isyarat profan yang penting dihubungkan dengan mereka dan mematerialisasikan makna tersebut hanya karena mereka diulang secara sengaja dengan tindakan sebagaimana adanya yang diberikan oleh para dewa, pahlawan atau leluhur (1991:5—6). Mengapa zaman “Tetek Tatum” diangkat sebagai arketipe Dayak secara historis, tentu alasan pertama seperti yang diungkapkan sebelumnya bahwa tiada langkah yang paling faktual untuk melacak sejarah itu berkaitan dengan tidak ditemui tradisi tulis pada masyarakat Dayak. Kedua, kalau demikian adanya, mengapa pula suatu kebudayaan yang berderajat rendah/inferior mampu melahirkan begitu banyak karya sastra lisan, termasuk puisi-puisi etnik di dalam kebudayaannya? Eliade menyatakan bahwa dalam perilaku sadarnya yang khas, manusia “primitif” kuno tidak menerima tindakan yang sebelumnya tidak dilakukan atau dihidupi orang lain, sesuatu yang lain yang bukan manusia. Apapun yang dia lakukan telah dilakukan sebelumnya. Hidupnya merupakan pengulangan-pengulangan atas sikap yang diawali oleh orang lain (1991:5). Jawaban yang penting untuk pertanyaan di atas adalah bermuara pada upaya-upaya eskavasi muatan kronologis yang terdapat dalam karya-karya sastra tersebut. Kita akan terperangah ketika mendengarkan “Sansana Bandar” atau Riwayat Bandar, Tambun,Bungai dan seterusnya. Kita sebagai manusia Dayak post-modern hanya memandang filosofi karya sastra tersebut sebagai fosil-fosil yang usang—namun keberadaannya ternyata mampu menjadi napas bagi konstelasi zaman setelahnya. Riwut mengklasifikasi paling tidak terdapat 20-an jenis karya sastra lisan lainnya. Sebagian besar belum ditransliterasi dan ditranskripsikan. Sangat disayangkan, apabila kearifan lokal dan keagungan sastra lisan Dayak itu menjadi dokumen “illiterate” yang punah ditelan zaman.(*©an)

23 Februari, 2009

IDENTITAS DAN ENTITAS DAYAK KALIMANTAN TENGAH DI TENGAH PERGAULAN MASYARAKAT MULTIETNIK: SEBUAH CATATAN MENJELANG KONGRES RAKYAT KALTENG KE IV

Anthony Nyahu
Sub-subsuku Dayak di Kalimantan Tengah cenderung heterogen. Hal ini tercermin dari daerah-daerah aliran sungai di mana mereka bermukim. Penamaan daerah-daerah aliran sungai tempat subsuku-subsuku tempat bermukin tersebut menunjukkan daerah pakai bahasa sebagai lambang identitasnya dan pola kebudayaan yang cenderung sama. Misalnya, menyebut sungai Katingan, berarti mayoritas penduduknya sebagai sub-subsuku Dayak Katingan yang menuturkan bahasa Katingan yang dikenal sebagai oloh Katingan, sebagai bagian dari subsuku Dayak Ngaju, juga menginduk kepada suku Dayak secara umum. Begitu pula manakala menyebut sungai Kahayan, dikenal sebagai oloh Kahayan, secara tidak langsung merujuk kepada daerah pakai penutur bahasa Kahayan yang secara de yure dikenal sebagai bahasa Dayak Ngaju, lingua franca subsuku Dayak di Kalimantan Tengah, dan seterusnya. Asumsi di atas setidaknya menyisakan beberapa tanya yang mungkin sebagian belum terjawab dan memang sangat dibutuhkan jawaban. Paling tidak, sebagian jawaban kebenarannya mungkin akan terkuak. Sebab selama ini belum dilakukan penggolongan etnisitas sub-subsuku Dayak di Kalimantan Tengah selain yang dilakukan oleh Malinkcrodt dan Riwut (lihat Riwut, 1993) yang telah menggolongkan suku Dayak di Kalimantan secara umum dari sisi antropologis. Dari perspektif kebahasaan, Hudson menggolongkan suku Dayak di Kalimantan Tengah berdasarkan analisis bahasa penuturnya yang disebutnya sebagai Keluarga Bahasa Barito terkelompok dalam tujuh isolek, yakni isolek Barito Barat Daya, Barito Tenggara, Barito-Mahakam, Barito Barat Laut, Barito Timur Laut, Barito Timur Tengah, dan Melayu-Pantai (“The Barito Isolects of Borneo: A Classification Based on Comparative Reconstruction and Lexicostatistics”, 1967:11). Agak berbeda dari penelitian Hudson—yang selama kurun waktu empat dekade tidak tergoyahkan hasil temuannya, Pusat Bahasa melalui Tim Pemetaan dan Kekerabatan Bahasa-bahasa Daerah di Indonesia, menemukan setidaknya terdapat 22 bahasa dan 5 dialek yang ada di Kalimantan Tengah sejauh ini (Laporan Penelitian Tim Pemetaan dan Kekerabatan Bahasa-bahasa Daerah Kalteng, Balai Bahasa Kalimantan Tengah 2006). Dengan demikian, untuk sementara dapat diasumsikan bahwa setidaknya terdapat 7 sub-subsuku yang mendiami Kalimantan Tengah, antara lain: (1) Sub-suku Dayak Ngaju dengan mayoritas penguasaan daerah pakai bahasa di Kalimantan Tengah, (2) Sub-suku Dayak Maanyan, (3) Sub-suku Dayak Dusun, (4) Sub-suku Ot Danum, (5) Sub-suku Melayu, (6) Sub-suku Dayak Katingan, (7) serta Sub-suku Dayak Bakumpai. Asumsi klasifikasi etnisitas ini semata-mata ditinjau dari perspektif linguistik, jadi bukan merupakan penelitian antropologi yang komprehensif. Berpijak dari realitas tersebut, maka tidak mudah untuk menentukan bahasa mana yang tepat untuk menyatukan sub-subsuku Dayak di Kalimantan Tengah. Semuanya tergantung dari politik bahasa (language policy) dari Pemerintah daerah setempat atas kesepakatan masyarakat penutur bahasa-bahasa yang ada. Namun demikian, semuanya justru tidak harus memposisikan eksistensi dan entitas Dayak menjadi abu-abu karena heterogenitas di dalam maupun di luar, di tengah pergaulan masyarakat Dayak dengan suku-suku lainnya di Kalimantan Tengah dan Indonesia. Identitas dan entitas Dayak seolah-olah larut dalam keruhnya heterogenitas masyarakat Kalimantan Tengah yang multietnik ini. Masih malu-malu dan cenderung sebagai identitas yang abu-abu. Lantas, jika hal ini terus dibiarkan maka tidak menutup kemungkinan para pewaris generasi tidak mustahil akan mengaburkan identitas itu: identitas Dayak yang berpandangan lurus ke depan dan mantap dengan jati diri kebudayaanya sebagai bagian yang tak kalah pentingnya dengan suku-suku dan kebudayaan lainnya di Indonesia (bdk. Kusni, 1994). Kepercayaan diri dan kemantapan identitas sangat dibutuhkan untuk mengisi dan memperjuangkan pembangunan bagi sebuah bangsa yang besar: Indonesia. Bertalian dengan hal tersebut pula, persoalan bahasa sebagai penegas identitas dan jati diri hendaknya menjadi persoalan yang layak untuk dijadikan agenda dalam rangka rencana pelaksanaan Kongres Rakyat Kalimantan Tengah ke IV di Palangka Raya, Juni mendatang. Pemberian nama sebagai Kongres Rakyat Kalimantan Tengah pun agak taksa/ambigu—meskipun persoalan nama menjadi hal yang tidak terlalu penting. Mengapa? Pertama, rakyat yang mana? Apakah maksudnya seluruh perwakilan masyarakat yang mendiami Kalimantan Tengah, dari suku/bangsa apapun atau maksudnya rakyat Dayak yang mendiami Kalimantan Tengah yang berkongres seperti halnya “Kongres Rakyat Papua”. Mengapa tidak “Kongres Rakyat Dayak Kalimantan Tengah” atau “Pumpung Hai Ungkup Dayak Kalimantan Tengah”, seperti halnya Aruh Ganal Bubuhan Banjar di Kalimantan Selatan yang sangat bangga dengan bahasa daerahnya? Kedua, dengan tidak mengurangi rasa hormat saya kepada penyelenggara--inikah wujud dari kekaburan (absurditas) atas heterogenitas Dayak yang masih malu-malu dan abu-abu sebagai Dayak itu? Ah, mungkin ‘bungkusnya’ tidak terlalu penting,yang penting ‘isinya’. Apapun namanya, hal kecil yang selama ini kita anggap remeh dan sepele kadang berpengaruh terhadap hal yang lebih besar, termasuk persoalan pemakaian bahasa daerah yang menjadi simbol identitas dan kebanggaan daerah. Bangga saja pakai malu segala.(*as).

17 Februari, 2009

"HUMA BETANG": FILOSOFI, EKSISTENSI DAN RELEVANSINYA DI TENGAH ARUS KEKINIAN

Anthony Nyahu
Huma Betang atau rumah Betang merupakan rumah yang panjangnya rata-rata 30—150 meter, dengan material hampir seluruhnya terbuat dari kayu dengan resistensi tinggi terhadap cuaca. Tinggi tiangnya mencapai 2—3 meter dari permukaan tanah. Ia dihuni oleh 100—200 orang (Depdikbud 1978). Pada masa lalu, huma betang telah mengemban fungsi ideal sebagai tempat berlindung (shelter) bagi masyarakat suku Dayak. Selain fungsi tersebut, ia juga merupakan sarana pemupukan nilai-nilai budaya komunal dengan ikatan solidaritas dan toleransi yang tinggi bagi sesama penghuninya. Didirikannya huma betang (Kalimantan Tengah) atau lamin (Kalimantan Timur), atau uma dadoq (Kalimantan Barat) secara analitis setidaknya atas dasar naluriah manusiawi manusia akan kebutuhan terhadap rasa aman dari berbagai ancaman eksternal. Ancaman eksternal tersebut berupa serangan binatang buas—untuk itu didirikan agak tinggi, 2—3m, serangan cuaca (banjir), lebih mudah memantau serangan musuh (bdk. Coomans 1987; Depdikbud 1978) (asang dan kayau), dan pemerolehan sirkulasi udara pada kolong rumah yang memadai. Di samping itu, pada bagian kolongnya yang tinggi tersebut tercermin berbagai kegiatan komunal yang terpadu, misalnya sebagai tempat anak-anak bermain, para ibu bercengkerama dan sebagai tempat pengolahan hasil pertanian manakala musim panen tiba. Proses hidup dan berkehidupan berawal dari huma betang, yang di dalamnya telah diatur sedemikian rupa agar tercipta kehidupan yang selaras, serasi dan seimbang, antara sesama penghuni, dengan masyarakat lainnya, dengan alam, serta dengan Sang Pencipta. Ruang-ruang komunal yang tercipta mengedepankan transformasi nilai-nilai etik dan kebudayaan yang egaliter. Hal ini dapat dilihat dari fungsionalitas interior yang diperuntukkan bagi kebutuhan tersebut, misalnya terdapat ruang untuk bermusyawarah dan berinteraksi (ruang publik), kamar-kamar penghuni (ruang privat), los-los serta bagian dapur sebagai tempat pemenuhan kebutuhan penghuninya. Di dalamnya terdapat aturan-aturan (biasanya tidak tertulis) dan berupa pantangan-pantangan (pamali) sebagai bimbingan moral (moral guidance) yang mendorong penghuninya harus sadar untuk melakukan dan tidak boleh melakukan sesuatu yang melanggar norma-norma yang luhur dan menjunjung tinggi nilai moral dan etika. Huma Betang tidak saja sebagai simbol kebudayaan Dayak atas transformasi nilai-nilai dan kebudayaan yang diwarisi kepada generasi kini, ia sekaligus merupakan kearifan tradisional masa lalu yang memberikan sumbangsih bagi tatanan dan refleksi atas pengelolaan sistem kehidupan yang majemuk pada masa kini. Bagai manapun, memaksa masyarakat Dayak masa kini untuk mendirikan dan mendiami huma betang adalah hal yang mustahil, berkaitan dengan terpenuhinya rasa aman dan kebutuhan akan privasi individual serta perwujudan status sosial di tengah masyarakat lainnya. Zaman dan peradaban yang hiruk-pikuk telah mengharuskan manusia Dayak untuk mengikuti arusnya agar tetap bersesuai dengan tanpa menanggalkan kearifan yang terpatri pada kebudayaan itu sendiri. Seiring dengan majunya peradaban, terpenuhinya sebagian atas rasa aman, dan kebutuhan akan privasi individual manusia itulah, eksistensi Huma Betang telah menjadi warisan masa lalu yang keberadaanya mulai punah. Di Kalimantan Tengah, tercatat tiga hingga empat unit yang masih tersisa. Ia seolah menjadi bagian yang terlupakan atas kearifan lokal masa lalu. Keberadaannya yang sudah langka tersebut menyiratkan bahwa huma betang seolah rumah yang asing di tengah rumah tunggal-rumah tunggal semi-modern yang menghimpitnya. Begitu pula tataran pemikiran yang juga mulai bergeser, antara kebutuhan komunal menuju kehidupan individual yang berdampak kepada relasi sosio-ekonomi masyarakat Dayak. Kini, huma betang hanya akan menjadi museum yang hidup dan filosofinya mengingatkan kita kepada filosofi bhinneka tunggal ika—sebuah cara pandang tentang keindonesiaan—di mana berbeda tetapi satu di tengah situasi nasionalisme yang cenderung kian pudar. Demikianlah, terdapat kemiripan dalam budaya Dayak dalam memandang perbedaan sebagai mozaik bagi kekayaan—kekayaan huma betang yang multidimensi dengan aneka latar belakang, agama, dan status sosial penghuninya. Kehidupan yang tiada membeda-bedakan, egaliter, dan perspektif gender yang telah dahulu kala didengungkan. Filosofi huma betang yang diartikan sebagai ‘di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung’ tentu tidaklah terlalu tepat untuk menjadi definisinya—untuk tidak menyebutnya salah. Mungkin sedikit mengena manakala diredefinisikan sebagai kebersamaan di dalam perbedaan (togetherness in diversity), artinya ada semangat persatuan, etos kerja dan elan yang tinggi untuk mengelola secara bersama-sama perbedaan itu dan berkompetisi secara jujur, sehingga tidak akan menjadi jurang yang memisahkan—sekaligus menghancurkan. Hendaknya semangat Dayak itulah yang patut kita warisi dan junjung tinggi. Untuk dan atas nama kebersamaan di kehidupan yang lebih luas—di dalam mengelola sebuah ‘huma betang’ yang lebih besar bernama Indonesia.(*as)

20 Januari, 2009

Tukul, wong ndeso, katro’ dan kembali ke laptop: Sebuah Catatan atas Fenomena Kebahasaan dan Kepribadian Bangsa sebagai Renungan di Awal Tahun

Oleh Anthony Nyahu
Dasar wong ndeso! Katro’,kembali ke laptop. Kosa kosa kata tersebut seolah menjadi trend di sepanjang tahun 2008 terkait dengan salah satu acara talkshow di sebuah teve swasta. Beberapa kosa kata tersebut seolah mengukuhkan peran dan posisi seorang Tukul, penghibur yang selama ini belum punya jam terbang yang banyak sebagai presenter. Kalaulah boleh disandingkan popularitasnya, mungkin tidak kalah dengan Peterpan (alm) yang menjadi ikon papan atas musik pop negeri ini. Ya! Kita memang tidak secara khusus membahas Tukul dengan popularitasnya, atau Peterpan yang sudah almarhum dengan persoalannya yang menjadi topik laris sepanjang tahun lalu. Kita hanya mencoba mengulik kembali ketiga kosa kata Tukul tersebut berkaitan dengan fenomena sosial dan budaya Indonesia. Mengapa saya sengaja memunculkan ketiga kosa kata tersebut, hanya persoalan yang tidak terlalu serius. Atau hanya sebagai sebuah ‘perbincangan warung kopi’. Namun, setidaknya ada beberapa hal yang patut dipetik berdasarkan kisah panjang dan berliku seorang Tukul dan ‘peluncuran’ kosa kata tersebut hingga sedemikian populernya. Di sini saya juga tidak akan mengisahkannya, karena yang lebih tahu pasti para tim kreatifnya. Orang-orang yang tergabung di dalam tim yang pandai menyuguhkan suasana baru. Suasana segar, dan keluar dari ‘patron’ kekinian, di mana arus globalisasi informasi dan gaya hidup ‘harus’ mengusung sesuatu yang canggih (sophisticated), menguasai teknologi (hi-tech), dan kebanggaan artifisial lainnya. Wong ndeso dan katro’ sengaja dibaurkan dengan kembali ke laptop. Kalaulah boleh kosa kata wong ndeso dan katro’ tersebut disandingkan dengan kembali ke laptop, mungkin ia akan menjadi kosa kata yang berseberangan (opposite). Ketiganya mungkin tidak akan pernah ketemu. Masing-masing bergerak dalam sebuah lingkaran setan. Bagaimana mungkin, seorang yang ndeso dan katro’ kok bisa dan biasa menguasai teknologi—dengan kembali ke laptop. Ah, mungkin ada-ada saja. Atau kata mereka sebagai ‘sesuatu yang ora umum’. Ya. Itulah fenomena ora umum tersebut. Namun, seperti yang sudah saya sebutkan di atas, ada beberapa hal yang pantas menjadi catatan refleksi kita pada awal tahun ini. Pertama, kita, sebagai bangsa yang besar (selama ini) ternyata mudah untuk menyaru, berkosmetik, dan berkamuflase dengan kebudayaan lain untuk menunjukkan bahwa kita mempunyai prestise. Atributnya: berupa gaya hidup yang (mungkin) hedonistik, oportunis, dan sok canggih menggunakan bahasa asing yang campur aduk, untuk mendapatkan pengakuan sosial bahwa kita sudah modern atau maju. Padahal, kita sesungguhnya sangat tidak nyaman dengan kondisi tersebut. Bayangkan. Kedua, bahwa ternyata sesuatu yang ndeso dan katro’ semakin dicari dan digali. Ia bukan sebagai suatu aib yang harus ditutupi secara artifisial dengan kemasan glamor dan mentereng. Ia juga bukan sebagai representasi sebuah ‘kebodohan’. Sejujurnya, kita masih nyaman dan suka di posisi ini. Ia mungkin juga sebagai sebuah prakondisi.Sebuah fenomena yang menjadikan kita selalu membumi—kembali ke alam, kata orang bule sebagai back to nature atau down to earth. Tidak melupakan akar budaya Indonesia, meskipun menguasai ilmu dan teknologi. Tetap sederhana sesuai butir-butir Pancasila (yang mungkin sebagian kita telah lupa) dan hidup dengan kepribadian yang mengindonesia. Karena di sanalah telaga yang bernama kearifan lokal atau local wisdom itu berada. Sejujurnya, kita masih merindui kearifan-kearifan lokal tersebut. Menginginkannya hadir di dalam keseharian kita. Menjadi napas di kehidupan berbangsa kita. Di pihak lain, kita tidak kalah dengan kemajuan teknologi bangsa lain. Hanya kita, sebagai sebuah bangsa yang besar masih belum mampu menempatkan diri. Paling tidak dari segi bahasa. Kita justru lebih bangga menggunakan sebuah gaya bahasa Inggronesia (kata seorang pemerhati bahasa); bahasa Indonesia yang ‘kawin-silang’ dengan bahasa Inggris. Lirik-lirik lagu pop kita menggunakan judul asing tapi isinya bahasa Indonesia. Atau sebaliknya. Semua berlomba-lomba ikut-ikutan membuat lirik ‘gado-gado’, lirik Inggronesia. Inikah fenomena alenasi kultural pada masyarakat kita? Kita menjadi asing dengan budaya sendiri. Menggelikan dan membuat saya tergelinjang karenanya. Inikah fenomena gaya hidup yang katanya modern dan canggih itu? Atau inikah sebuah pembenaran proses seni yang bernama kreativitas? Sadarkah kita bahwasanya kita telah membunuh bahasa kita secara perlahan-lahan? Atau demi sebuah kreativitas dan selera pasar kita harus merelakan bahasa kita—bahasa Indonesia—menjadi bahasa gado-gado,bahasa yang kurang bermartabat? Inilah fenomena kebahasaan kita. Dan kita sungguh—sekali lagi—tidak nyaman atas kondisi itu. Namun, kita seolah berusaha terbiasa dengan keadaan yang serba tidak nyaman tersebut. Apakah sesuatu yang berbau modern selalu demikian? Apakah sesuatu yang blasteran/indo itu lebih baik dari hal yang lokal? Tiap detik, menit dan jam kita selalu disuguhkan dengan sesuatu yang membuat kita tidak nyaman—meskipun enak: disodorkan makanan cepat-saji, padahal kita tahu dari dulu aneka cita rasa Indonesia lebih alami, sehat, serta organik. Gaya berbahasa kita bagi sebagian orang tidak dianggap bergengsi apabila tidak menyisipkan satu-dua kosa kata asing—meskipun maknanya kadang susah dimengerti diri sendiri atau orang lain. Terselip di manakah rasa nasionalisme kita? Kembali ke laptop. Back to laptop. Kata Tukul dengan keterbataannya dalam sepatah-dua kata bahasa Inggris. Lalu penontonpun terbahak, manakala ucapannya salah. Tapi sadarkah kita, apabila kita juga harus malu manakala mengucapkan bahasa sendiri—bahasa Indonesia yang salah? Ah, itu mah biasa. Padahal kita juga tidak merasa nyaman atas hal-hal yang kita anggap biasa itu. Bagi kita, persoalan kesalahan berbahasa menjadi tidak terlalu penting. Yang penting isinya, peduli apa kemasannya. Amplop mau putih atau merah jambu, tidak penting. Yang penting isinya, tebal apa tidak. Iya, bukan? Sungguh. Tukul tidak salah sebagi ikon, sebagai simbol dari sebuah tema tentang kesederhanaan. Dan memang lebih mengindonesia. Lebih membumi. Agar menjadi cermin. Betapa kita sangat nyaman dengan kondisi realitas keindonesiaan kita yang sesungguhnya sederhana. Maka wajarlah Ia menjadi amat disukai sebagai salah satu presenter pendatang (baru) masa itu. Tayangan tersebut mempunyai angka tonton atau rating yang tinggi serta memperoleh penghargaan pula. Dan orang Indonesiapun merasa sangat cocok dan nyaman dengan kondisi itu. Itulah realitas. Di dalam realitas terdapat banyak pilihan. Ingin menjadi canggih tetapi tercerabut dari akar budaya dan kehilangan identitas diri atau menjadi katro’ tetapi menguasai kebudayaan sendiri dan teknologi, hanya pilihan lain yang harus dipilih. Untuk menjadikan bahasa kita—bahasa Indonesia—dan kebudayaan nasionalnya tetap mendapatkan tempat yang tinggi sebagai kepribadian bangsa, kita harus mempunyai kemauan dan prinsip kuat yang bermula dari sebuah kesederhanaan dan kearifan lokal yang juga amat bernilai tinggi. Berpikir global, bertindak lokal, kata sorang pakar. Ah. Sayapun jadi tergelinjang. (*an)

05 Januari, 2009

TINDAK TUTUR TAWUR HASAPA DALAM BUDAYA SUKU DAYAK NGAJU: OTORITAS BAHASA DALAM PERSPEKTIF ANTROPOLINGUISTIK

Anthony Nyahu
Artikel ini merupakan kajian awal tentang penelitian antropolinguistik terhadap relevansi antara bahasa dan kebudayaan Dayak di Kalimantan Tengah. Di-posting pada blog ini dengan penyuntingan seperlunya. Dimuat pada Jurnal Suar Betang Vol.II Edisi Desember 2008.
1. Pengantar
Dalam beberapa tahun terakhir, derap perkembangan penelitian linguistik telah merambah ke luar dari patronnya, dari konteks mikrolinguistik menjadi penelitian linguistik interdisiplin yang terkait dengan ilmu-ilmu lain atau makrolinguistik. Salah satunya adalah cabang linguistik yang berhubungan dengan kebudayaan manusia yang dikenal dengan linguistik antropologi atau anthropolinguistik, atau sebagian lain menyebutkannya sebagai etnolinguistik. Masyarakat Indonesia yang beranekabudaya merupakan lahan yang luas untuk didalami dengan berbagai kajian dan penelitian dalam perspektif etnolinguistik, sehingga sebuah entitas budaya dapat hidup dan berkembang bersama-sama di tengah kebudayaan lainnya. Dalam hubungannya untuk tumbuh dan berkembang secara bersama-sama, pemahaman lintas budaya menjadi amat penting dalam rangka pemahaman keindonesiaan secara holistik. Dengan demikian, kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara menjadi kokoh manakala pemahaman lintas budaya dapat menjadi mozaik dari semua perbedaan bahasa, suku dan ras. Berdasarkan pengamatan Lauder (1995) dan Wahab (1999) bahwa dalam kurun waktu sekitar seperempat abad, minat linguis di Indonesia masih terpusat pada tataran sintaksis dan dengan pendekatan struktural. Kajiannya masih terfokus pada penganalisisan produk bahasa. Lagipula, para linguis kurang memakai data bahasa-bahasa Indonesia bagian Timur, bahasa yang diteliti cenderung bahasa-bahasa yang ada di Pulau Jawa dan Sumatera. Berkaitan dengan hal tersebut, berdasarkan wilayah penelitiannya, wilayah Kalimantan hanya menempati 11,26% dari total wilayah penelitian di Indonesia, yang didominasi oleh penelitian pada wilayah Sumatera 31,87%, diikuti Jawa-Madura 24,76%, Bali-Nusa Tenggara 8,76%, Sulawesi 18%, seterusnya Maluku 4,74% dan terendah Irian Jaya 0,61%. Selanjutnya, berdasarkan jenis penelitian, penelitian tentang Struktur Bahasa menempati posisi terbanyak yaitu 67,65%, diikuti Sastra 16,46%, kemudian Dialektologi 9,12%, Sosiolinguistik 3,67%, dan terendah Pengajaran 3,10% (Lauder, 1999:1). Berpijak dari realitas tersebut, penelitian interdisiplin sudah sepantasnya semakin digalakkan terutama, kebijakan penelitian kebahasaan di daerah-daerah. Penelitian-penelitian tentang linguistik antropologi atau antropolinguistik menjadi sangat perlu untuk digesakan. Dengan demikian, di samping aspek kepentingannya bagi sumbangsih kepada ilmu pengetahuan, penelitian antropolinguistik juga bermanfaat bagi penggalian kembali kearifan lokal sebagai kekayaan kebudayaan nasional. Dalam konteks tersebut, ada kecenderungan bahwa bahasa sebagai sebuah produk budaya manusia tidak hanya terbatas pada fungsi komunikasi semata. Namun, bahasa juga mempunyai otoritas dalam hubungannya dengan kebudayaan dan pemaknaan oleh manusia itu sendiri. Lauder (2005:81) menyatakan bahwa antropologi linguistik merupakan salah satu cabang linguistik yang menelaah hubungan antara bahasa dan budaya terutama untuk mengamati bagai mana bahasa itu digunakan sehari-hari sebagai alat dalam tindakan bermasyarakat. Antropologi linguistik adakalanya disebut sebagai etnolinguistik (yang) menelaah bahasa bukan hanya dari struktur semata,tapi lebih pada fungsi dan pemakaiannya dalam konteks situasi sosial budaya. Kajian antropologi linguistik antara lain menelaah struktur dan hubungan kekeluargaan melalui istilah kekerabatan atau menelaah bagai mana anggota masyarakat saling berkomunikasi pada situasi tertentu seperti pada upacara adat lalu menghubungkan dengan konsep budayanya. Sebagai contoh, tindak tutur pendeta: “......dengan ini, kalian saya kukuhkan sebagai suami isteri....” adalah sebuah tindakan melalui bahasa yang mempunyai otoritas dalam masyarakat untuk mengukuhkan sepasang pengantin menjadi sepasang suami isteri yang sah secara hukum dan terterima oleh masyarakat,demikian juga misalnya tindak tutur seorang hakim ketika menjatuhkan vonis juga dapat dianggap sebagai tindakan melalui bahasa yang mempunyai otoritas untuk menghukum seseorang.
2. Tawur Hasapa dan Kekuatan Otoritas Bahasa dipandang dari Persepsi Sosial
Tawur adalah sebuah aktivitas sakral yang dilakukan oleh pemimpin adat Suku Dayak (Ngaju) di Kalimantan Tengah. Tawur merupakan sebuah tindak tutur ritual untuk menyampaikan semacam permohonan; doa kepada Sang Pencipta dalam bahasa Dayak Kuno (bahasa Sangen) yang diyakini mempunyai kekuatan tertentu untuk melakukan apa yang di luar nalar manusia. Sebagai sebuah permohonan atau doa kepada Sang Pencipta, ragam bahasanya harus baku dan tidak berubah-ubah sehingga pemaknaannya pun diharapkan tidak berbeda oleh Sang Pencipta. Eksistensi tawur yang secara etimologis berarti tabur atau proses menabur sesuatu (utamanya dengan media beras kuning) dan sarana penyampaiannya adalah sebuah bahasa. Hampir semua aktivitas ritual Kaharingan menggunakan tawur dalam penyampaian maksud manusia, antara lain permohonan (doa) untuk kesembuhan, ucapan syukur, dan lain-lain. Namun, dalam hal ini hanya dibatasi pada eksistensi tawur sebagai pengukuhan sumpah yang dikenal sebagai “Tawur Hasapa”. Tawur Hasapa merupakan sumpah yang dilakukan di hadapan manusia dan Tuhan dalam hal kebenaran atas apa yang diingkari seseorang terhadap lainnya dan Sang Pencipta. Sebagai sebuah bahasa ritual, ia menjadi tetap, uuh dan tidak berubah-ubah, baik secara formasi maupun semantik. Apabila terjadi perubahan dari aspek keutuhan bahasa maka akan memengaruhi makna dan pemaknaannya yang berdampak kepada pengabulannya, sehingga ia tidak mempunyai kekuatan otoritas untuk menghakimi sesorang atau ‘memutuskan’ dan ‘mengirimkan’ sebuah vonis sosial maupun moral bagi yang melaksanakannya. Tindak tutur yang diucapkan seorang pemimpin adat dalam hal ini menjadi sebuah otoritas bahasa yang mengukuhkan bahwa kedua belah pihak yang sedang berperkara akan mendapatkan keadilan Ilahi yang dimanifestasikan dalam berbagai aspek kehidupan secara jasmani dan rohani serta sosial-ekonominya. Demikian juga implikasi yang ditimbulkannya melalui pemaknaan budaya oleh masyarakat dan lingkungan sosialnya sebagai vonis sosial. Tindak tutur tersebut terwujud sebagai sebuah instrumen yang melembaga dalam hukum adat Suku Dayak Ngaju. Sebagai sebuah bahasa ritual, kekuatan bahasa yang mempunyai otoritas untuk melaksanakan tawur hasapa adalah bahasa Sangen atau bahasa Dayak Kuno. Ada sebagian pendapat menyebut bahasa Sangen sebagai bahasa Sangiang, terutama para peneliti Barat, seperti diungkapkan Baier dkk. dalam Worterbuch derPriestersprache der Ngaju Dayak, sebuah kamus bahasa Sangiang-Dayak Ngaju –Indonesia-Jerman (1987). Hal ini menyiratkan bahwa keduanya tidak terdapat perbedaan yang signifikan, jadi hanya masalah penyebutan saja karena bahasanya adalah sama. Bahasa Sangen—seperti halnya bahasa-bahasa kuno pada guyup budaya di Indonesia—memiliki kekayaan linguistika yang berupa—apa yang disebut Baier—sebagai semantic parallelism di dalam penyampaiannya. Hal ini juga berlaku pada bahasa ritual Suku Roti seperti yang dinyatakan Fox (dalam Baier et.al, 1987: xvi). Semantic parallelism merupakan rangkaian penamaan referen sebuah bentuk bahasa yang dilambangkan dengan dua kata atau lebih yang mempunyai satu makna yang sama atau sebanding. Di dalam bahasa Sangen, banyak terdapat contoh hal tersebut, misalnya kata air diungkapkan sebagai nyalung kaharingan belum (zat alam yang memberikan kehidupan), hidup sebagai batang danum jalayan rengan tingang (sungai yang harus disusuri—umur; kehidupan), dan surga sebagai lewu tatau habaras bulau habusung hintan hakarangan lamiang (sebuah tempat yang kaya raya berpasirkan emas bergundukan intan dan berkerikilkan permata) dan lewu tatau dia rumpang tulang rundung raja dia kamalesu uhat hong batang danum tiawu bulau (sebuah tempat yang kaya raya, tempat di mana tidak ditemui keletihan dan kecapaian,di dunia yang lain yang penuh kegelimangan), Tuhan dilambangkan sebagai Raja Tuntung Matanandau, Kanarohan Tambing Kabanteran Bulan (Raja yang Menguasai (atau berkuasa atas) Matahari, Raja yang Menguasai (atau Melebihi) kebesaran Bulan. Seperti telah disinggung sebelumnya, bahasa Sangen mengandung unsur-unsur metaforis yang mempunyai aneka referen untuk melambangkan satu bentuk kata dengan tidak melepaskan satu kesatuan makna. Semantic parallelism yang melekat pada setiap tindak tutur Tawur Hasapa mencerminkan seperangkat kecerdasan linguistik yang hanya diwariskan secara lisan kepada para basir (pemimpin upacara adat). Untuk itu, diperlukan daya ingat yang tinggi serta ketepatan rima dan intonasi dalam melafalkannya. Hal tersebut dapat dilihat pada teks Tawur Hasapa yang ditulis ulang ini merupakan esensi yang sama dengan digunakan pada orang-orang yang berperkara dan tidak menemui penyelesaian melewati lembaga-lembaga yang dibuat manusia pada masa lalu. Tawur Hasapa ini pernah dilaksanakan oleh Tjilik Riwut mewakili 142 Suku Dayak Pedalaman Kalimantan di hadapan Presiden Soekarno di Jogjakarta dalam bersumpah-setia kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia (1993:349). Data ini diambil dari buku tersebut tanpa ubahan apapun. Berikut prosesi dari acara Tawur Hasapa dan salinan teks tersebut. (Seorang basir/pemimpin upacara adat duduk sambil menimang beras kuning dan kemenyan, kunir, rotan, abu, garam, dan minyak kelapa. Lalu kedua pihak yang berperkara saling memegang seutas rotan di atas sebuah kayu sebagai alasnya dan setelah mengukuhkan sumpah berikut ia sambil memotong rotan diiringi kalimat-kalimat penyebutan nama-nama yang berperkara dan penaburan beras sedikit demi sedikit sampai habis dan diikuti dengan menabur abu dan garam) (Berdehem).....
”Ehem behas/mamparinjetku ganam/salumpuk kilau riak hendan bulau/namparuguhku labatam/pananterusan ruwan lantin rabia/lampang kamaitan gulung manarusan langit/timbuk kajayam/basikap mametas hawun/manuntung riwut raweiku/ manambing salatan tisuiku/mangat manyembang Raja Tuntung Matanandau/Kanaruhan Tambing Kabanteran Bulan/mangat Ie mahining/bulau tampak bengkele/manyantuh rantunan tanduke/manahingan rawei/hayak manantuneng/batantar sumpah tingang. Amun......(menyebut nama si yang berperkara) toh hangga auh tanjaru dia toto/ tatarawang kilau kawu/lenyoh kilau uyah/bageto kilau uei. Amun ie hanggap auh toto/te taloh jari bulau/untung panjang/rabia nyame ambu jari sapaungut belum/sapaling tahaseng/jari penyang/panundung tarung/patarung sariangkat tinting.
Secara etimologis dan terjemahan bebas artinya kurang lebih sebagai berikut. “Ehem, beras kubangunkan rohmu/rohmu seperti riak cahaya emas/kugoncangkan rohmu/arwah bercahaya seperti kuning emas/timbul kemanjuran bergulung menerusan langit/menimbun kejayaanmu/bergerak berjalan menyingkap langit/meminta (kepada) angin panggilanku/supaya sampai (meminta kepada) Raja Tuntung Matahari/Raja Tambing Kebulatan Bulan/supaya Ia mendengar/(cahaya) keemasan telinganya/(manyantuh rantunan) puncaknya/mendengarkan perkataan/sekaligus mencermati/batantar sumpah orang (manusia)/. Kalau si................sampai (bersaksi) tentang kebohongan, tidak benar/(maka dia akan) beterbangan seperti abu/hancur seperti garam (menjadi air)/putus seperti rotan (yang dipotong)/Kalau ia anggap benar perkataannya/(semuanya) akan menjadi emas (berkat)/rejeki tak putus-putus/menggenggam emas sepanjang hidupnya selamanya/panjang napas(nya) (panjang umur(nya))/menjadi berkat/menjadi jimat dalam mengangkat (harum namanya—raterangkat harkat martabatnya). Dalam bahasa ritual, kata atau kata-kata (frasa-frasa) seolah-olah memiliki daya atau kekuatan yang dapat melebihi muatan maknawinya. Kekuatan atau kekuasaan yang dimiliki tersebut menunjukkan bahwa ada kecenderungan sebuah bahasa memiliki otoritas untuk membuat sesuatu tindakan terkukuhkan dan sah sebagai suatu keputusan yang mengikat. Tindak tutur seorang pemimpin adat seperti “.......Amun......(menyebut nama si yang bersengketa) toh hangga auh tanjaru dia toto/ tatarawang kilau kawu/lenyoh kilau uyah/bageto kilau uei. Amun ie hanggap auh toto/te taloh jari bulau/untung panjang/rabia nyame ambu jari sapaungut belum/sapaling tahaseng/jari penyang/panundung tarung/patarung sariangkat tinting......” dianggap sah secara hukum adat sebagai suatu keputusan yang mengikat disaksikan oleh para saksi yang hadir dan Tuhan, dengan segala konsekwensi yang diakibatkan oleh sumpah tersebut. Biasanya, setelah dilakukan prosesi Tawur Hasapa, persoalan yang disengketakan tetap pada penguasaan para pihak yang disengketakan, artinya jika berupa sengketa tanah/kebun maka pemilik sah dianggap menyerahkan kepada pemilik baru yang mengklaimnya, walaupun secara kebenaran bukan miliknya. Terdapat dua konsekwensi atas implementasi Tawur Hasapa tersebut: 1. Kepada pihak yang memutarbalikkan kebenaran dan fakta akan mendapatkan: “....bila ia berbohong/tidak (berkata) benar/beterbangan (rezeki dan kehidupannya) seperti abu/hancur (hidupnya) seperti garam/putus (nyawanya) seperti rotan (yang dipotong pada saat prosesi); dan hal ini juga merupakan sanksi sosial dan moral; 2. Kepada pihak yang tetap berpijak kepada kebenaran dan keadilan akan mendapatkan “.....bila ia (yang benar) berkata kebenaran/semuanya menjadi emas (kejayaan/berkat)/rezeki melimpah (tiada putus-putusnya)/menggenggam emas sepanjang hidupnya/(ber)umur panjang/menjadi jimat (berkat) dan harum namanya (serta harkat dan martabatnya terangkat. Lebih lanjut dapat dilihat bahwa terdapat banyak kata untuk merujuk kepada satu bentuk makna yang sama. Paralelisme semantisnya dapat dilihat pada kata rabia paralel dengan bulau dan labata yang sama-sama merujuk kepada satu makna emas, demikian pula pada kata ganan yang paralel dengan salumpuk yang berarti roh, rawei berparalel dengan tisui yang berarti perkataan; ujar, raja dan kanarohan yang berarti raja, dan ruwan dan kilau yang berarti seperti; dan mamparinjetku paralel dengan namparuguhku yang berarti kurang lebih sama yaitu membangunkan (roh) atau mengguncangkan/menggoyangkan (agar rohnya bangun). Hampir tidak ditemukan sebuah kata (kata-kata) yang sama dan diulang-ulang untuk merujuk kepada pengertian yang sama. Fenomena ini menunjukkan bahwa sebuah bahasa atau bentuk ujaran seolah menjadi sarat makna; atau sedemikian adanya sehingga kesatuannya tidak dapat dibolak-balik, dipertukarkan atau dipakai berulang-ulang di dalam frasa yang berbeda-beda. Simbol-simbol metaforis yang terkandung di dalam teks tersebut merupakan segugusan medan makna yang menyiratkan betapa manusia Dayak dan religi Kaharingan memerlukan julukan sebagai nama lain dari nama Tuhan. Hal ini seperti julukan Tuhan sebagai Raja Tuntung Matanandau, Kanarohan Tambing Kabanteran Bulan. Demikian pula halnya dengan kata (kata-kata) atau frasa-frasa yang kesemuanya menyiratkan tentang puja-puji dan kejayaan seperti simbol emas. Secara tekstual, komposisi Tawur Hasapa memuat tiga hal penting: 1) prolog berupa puja-puji kepada Tuhan agar maksud dan permohonan dikabulkan. Hal ini dilihat dari pemakaian kata (kata-kata) dan frasa-frasa yang mempunyai kandungan semantic parallelism; 2) bagian isi yaitu kata atau frasa dari kesatuan kalimat yang penghakiman, keputusan, dan vonis; dan 3) bagian penutup yang merupakan kausalitas atas keputusan yang telah diambil dan implikasi yang ditimbulkannya berupa pengharapan-pengharapan, cita-cita, atau harapan-harapan lain masing-masing pihak di kemudian hari. Berkaitan dengan tindak tutur pemimpin adat di dalam ‘angkat sumpah’ seperti Tawur Hasapa demikian, para pihak yang ‘angkat sumpah’disaksikan oleh beberapa orang merupakan suatu aktivitas sosial yang berdampak pada hubungan antarkedua orang yang berperkara, antarkeduanya dengan masyarakat dan lingkungannya, dan antarkeduanya dengan Sang Pencipta.
3. Pemaknaan Tawur Hasapa dalam Konteks Kebudayaan Suku Dayak Ngaju
Kebudayaan Suku Dayak Ngaju dan religi Kaharingan merupakan dua kesatuan yang sulit untuk dipisahkan. Bahasa Sangen sebagai produk kebudayaan Suku Dayak Ngaju menjadi bahasa kuno yang hanya terdokumentasikan pada kitab-kitab ajaran Kaharingan. Implikasinya bagi kajian bahasa yang berkaitan dengan kebudayaan menjadi sangat jarang dilakukan. Hal ini terkait erat dengan dua aspek yang sulit untuk dipertemukan; satu sisi kajian bahasa yang dilakukan berdasarkan fakta-logis-empiris sebagai satuan dari kata dan frasa-frasa atau kalimat yang mengandung medan makna secara semantik dan leksikal (lihat Pateda, 2001), di sisi lain bahasa atau berupa kata (kata-kata) atau frasa-frasa dan bersifat oral tersebut memuat kandungan perspektif teologis yang profan, sakral dan dapat menimbulkan persepsi yang berbeda. Di dalam kehidupan sosialnya, masyarakat Suku Dayak Ngaju juga mengenal berbagai perangkat etika normatif yang tidak tertulis dan mengikat seluruh individu. Individu sebagai bagian dari sebuah masyarakat diatur di dalam tatanan kehidupan yang memberikan toleransi dan rasa keadilan bagi individu lainnya. Namun, sebagai manusia kadang-kadang terjadi pula rasa kurang puas, ketidakadilan dan berbagai bentuk ketidakpuasan lainnya yang memunculkan adanya rasa untuk mengembalikan semua persoalan manusia tersebut kepada Tuhan sebagai Pihak yang Mahatahu. Persoalan-persoalan yang berkaitan dengan hubungan sosial antarsesama individu, misalnya perebutan kepemilikan tanah/kebun, pertanggungjawaban seseorang terhadap aib, dan pembohongan publik atas sebuah kasus pembunuhan, biasanya diselesaikan melalui mekanisme hukum adat. Namun, sebagian lain yang bersifat kasuistik juga tidak menaati hukum yang berlaku.Dalam representasi itulah, peran Tawur Hasapa menjadi sebuah jalan terakhir. Dalam persepsi kebudayaan, Suku Dayak memandang bahwa eksistensi Tawur Hasapa menjadi sebuah titah terakhir Tuhan kepada individu yang dapat menyingkap makna hakiki tentang kebenaran. Kebenaran mutlak hanya dimiliki oleh kekuasaan yang tidak tampak; kekuasaan Tuhan dengan segala aspek di luar rasio dan nalar manusia. Dengan demikian, keadilan akan berpihak kepada kebenaran yang tidak dapat dimanipulasi dalam bentuk dan dalih apapun. Implikasi yang ditimbulkannya pun (awalnya dipandang sebagai mitos) memberikan sanksi sosial yang bermacam-macam, di antaranya kematian yang tidak wajar bagi pihak yang berbuat curang atau melakukan kebohongan, menderita penyakit yang sukar disembuhkan, atau kelainan kejiwaan/gila. Sedangkan di pihak yang tetap pada jalur kebenaran akan mendapatkan kemudahan-kemudahan dalam menjalankan kehidupannya beserta keturunannya. Karena kesakralannya, tindak tutur Tawur Hasapa menjadi peristiwa yang langka di masa kini karena hampir semua kebutuhan untuk mendapatkan keadilan duniawi telah terlembaga melalui mekanisme perangkat hukum positif. Di samping itu, majunya ilmu pengetahuan dan teknologi, termasuk dikenalnya agama dan kebudayaan baru menjadikan tindak tutur tersebut sebagai bagian dari sejarah kebudayaan dan kearifan lokal Suku Dayak Ngaju yang seolah terlupakan. Dalam perspektif budaya, adat yang ada dan dikenal secara turun-temurun merupakan tuntunan bagi segenap kehidupan manusia, dan manusia harus diarahkan olehnya (dan dapat mengarahkan dirinya), supaya ia jangan sesat di jalan yang benar (Scharer dalam Ugang, 1983:51).
4. Penutup
Otoritas sebuah bahasa terutama bahasa ritual menjadi sarat makna, tetap dan tidak berubah-ubah, menjadikan Bahasa Sangen (Dayak Kuno) digunakan pada hampir semua aktivitas untuk berkomunikasi antara manusia dengan Tuhannya. Melalui media Tawur Hasapa, esensi pencarian kebenaran yang hakiki oleh manusia merupakan jalan terakhir untuk mendapatkan pengadilan yang juga hakiki. Masyarakat Suku Dayak Ngaju memandang eksistensi Tawur Hasapa sebagai sarana penghukuman sosial, moral, dan budaya bagi individu yang tidak menemui solusi pada institusi hukum adat yang ada. Sanksi moral, sosial dan budaya tersebut telah menjadi momok yang membuat efek jera atau isolasi sosial bagi individu yang bersengketa. Di dalam fungsionalitasnya sebagai media komunikasi (terutama bersifat verbal), peran bahasa memiliki otoritas yang melebihi muatan semantisnya, misalnya dalam sebuah tindak tutur. Ia juga dimanifestasikan sebagai sarana untuk menghukum, menghakimi, bahkan mematikan karakter sosial individu yang sengaja untuk mempermainkan nilai-nilai hakiki tentang kebenaran.
Sumber Rujukan
Baier, Martin, August Hardeland and Hans Scharer. 1987. Worterbuch der Priestersprache der Ngaju-Dayak. Kamus Bahasa Sangiang—Dayak Ngaju—Indonesia—Jerman. Dordrecht-Holland/Providence-USA: Foris Publication Hardeland, August. 1859. Worterbuch Dajacksch—Deutsches. Kamus Bahasa Dayak—Jerman. Amsterdam: Druck Von C.A Spin and Sohn Lauder, Multamia RMT. 1999. “Derap Perkembangan Linguistik”, dalam Telaah Bahasa dan Sastra yang disunting oleh Hasan Alwi dan Dendy Sugono. Jakarta: Pusat Bahasa. Halaman 183—199. ______________. 2005. Berbagai Kajian Linguistik. Artikel yang diterbitkan sebagai bagian dari Bahasa Sahabat Manusia: Langkah Awal Memahami Linguistik. Depok: FPIB-UI Pateda, Mansur. 2001. Semantik Leksikal. Cetakan Kedua. Jakarta: Rineka Cipta Riwut, Tjilik. 1993. Kalimantan Membangun: Alam dan Kebudayaan. Disunting oleh Nila Riwut dan Agus Fahri Husein. Yogyakarta: Tiara Wacana Ugang, Hermogenes. 1983. Menelusuri Jalur-jalur Keluhuran. Studi tentang Kehadiran Kristen di Dunia Kaharingan di Kalimantan. Jakarta: BPK Gunung Mulia.