22 Desember, 2008

MANDAU SUKU DAYAK KALIMANTAN: PUSAKA SEJUTA MISTERI

Anthony Nyahu
Tidak banyak yang tahu tentang mandau, selain sebagai senjata tradisional Suku Dayak di Kalimantan, Indonesia. Di dalam kehidupan Orang Dayak, mandau bukan saja sebagai sebuah senjata dari besi semata, namun ia diyakini memiliki aura sebagai pendamping yang disebut panekang hambaruan (pemberi motivasi dan semangat; spirit). Mandau merupakan senjata utama dari sekitar puluhan jenis senjata tradisional Suku Dayak yang mematikan. Menurut Tjilik Riwut (Kalimantan Membangun: Alam dan Kebudayaan,1993:309), nama asli mandau dalam Bahasa Sangen (Dayak Kuno) adalah Mandau Apang Birang Bitang Ayun Kayau yang artinya kurang lebih secara etimologis adalah “senjata yang dipakai kaum lelaki yang dipunyai oleh kaum kayau/para pemenggal kepala”(-pen) di zaman dulu. Sebuah mandau tidak digunakan secara sembarangan mengingat fungsionalitasnya dalam setiap upacara adat merupakan salah satu prasyarat. Ia tidak digunakan dalam kehidupan sehari-hari seperti alat untuk memotong kayu, menebas semak dan lain-lain.Sebagai gantinya,biasanya Suku Dayak mengunakan parang biasa yang bentuknya mirip dengan mandau yang disebut Pisau Ambang. Karena kedudukannya yang tinggi dibandingkan dengan senjata-senjata tradisional suku Dayak lainnya, ia juga tidak dipakai untuk meneror orang, atau mengancam orang lain. Konon, apabila sebilah mandau telah ditarik dari kumpang/sarung-nya, ia akan menuntut darah, dan itu mutlak dipenuhi. Dalam proses pembuatannya, mata mandau diambil dari batu besi dari gunung yang berusia puluhan abad yang dikenal dengan sanaman mantikei. Konon menurut cerita turun-temurun, ada dua tempat di Kalimantan Tengah di mana besi tersebut dapat ditemukan, yang pertama di Wilayah Kecamatan Sanaman Mantikei, Kabupaten Katingan; dan kedua, di daerah Montallat, Kabupaten Barito Utara. Besi dari kedua tempat tersebut dikenal pula sebagai besi yang beracun sehingga apabila melukai kulit akan berujung kepada kematian. Melalui proses panjang, sebuah mandau ditempa dan dilengkapi dengan gagang yang terbuat dari tanduk rusa dan diberi ornamen bulu burung atau rambut manusia serta aneka ukiran yang mengandung unsur pelemahan semangat atau penunduk musuh yang dalam Bahasa Dayak Ngaju disebut parunduk. Begitu pula pada bagian sarungnya, selain dilengkapi tali pengikat dari anyaman rotan pilihan, biasanya diikatkan juga dengan aneka benda fetis yang disebut penyang sangkalemo. Perlengkapan lain yang kecil namun tak kalah penting adalah langgei kuai atau sejenis pisau kecil yang bertangkai sepanjang kurang lebih 20—30cm mengikuti panjang mata mandau. Langgei ini memegang fungsi sebagai senjata cadangan dalam keadaan darurat. Ia memerankan fungsi lebih ‘akrab’, di mana secara fungsionalitas boleh digunakan untuk keperluan yang berkaitan dengan hal-hal biasa (bukan dalam konteks sakral). Pada masa lalu, peran sebuah mandau menjadi sangat vital. Mandau merupakan simbol dari sebuah kekuasaan. Kekuasaan tersebut terkait erat dengan mitologi Dayak bahwa semakin banyak kepala musuh yang dipenggal, maka akan semakin tinggi status sosial seseorang yang disebut sebangai mamut menteng. Seseorang yang mamut menteng dapat secara aklamasi menjadi seorang pemimpin. Hal ini bukan tanpa dasar mengingat kegigihannya dalam membela komunitas sukunya agar selamat dari berbagai serangan yang memunahkan. Namanya juga masih zaman primitif, kegiatan hasang-maasang (saling teror) dan kayau-mangayau(saling bunuh dengan penggal kepala) adalah sebuah pertarungan mempertahankan entitas dan eksistensi. Kesemuanya tidak dilakukan tanpa dasar, melainkan karena persoalan politik kekuasaan dan pertahanan eksistensi dan jatidiri yang terancam. Seseorang yang sudah cukup ilmu barulah turun ke kancah pertarungan ini dan persoalannya pun bukan persoalan yang ringan, sehingga jalan damai mungkin sudah tidak mendapat kata sepakat lagi. Ada banyak aturan dalam hal peperangan,diantaranya tidak melibatkan anak-anak menjadi korban begitu juga dengan para ibu. Kesemuanya dilakukan secara jantan; satu lawan satu, atau perang terbuka secara massal. Dalam kamus peperangan Suku Dayak kuno, tidak ditemui istilah keroyokan atau membunuh dalam keadaan terjepit. Apabila korban sudah menyerah, maka ia akan ditawan sebagai budak/jipen yang akan mengabdi pada pihak yang menang selama hayatnya, kecuali ditebus atau dibeli/ditukar dengan barang berharga berupa guci yang disebut balanga atau benda berharga lainnya. Berkaitan dengan fungsi utama sebagai senjata perang di masa lalu, mandau warisan leluhur diyakini suku Dayak sebagai penjelmaan diri sang empunya. Artinya, ia dapat menjelma secara fisik di tengah-tengah peperangan atau sebaliknya, tidak kasat mata (nonvisual) sehingga dikenal dengan “mandau terbang”. Ia bisa dikontrol oleh yang empunya untuk melakukan serangan balasan, jadi hanya bersifat reaktif atas sesuatu yang terjadi. Ia tidak bersifat aktif dan agresif. Bagi masyarakat suku Dayak, mandau menyisakan sejuta misteri yang tak terpecahkan hingga kini. Konon di masa lalu sebuah mandau seolah memiliki aura,seolah sesuatu yang dapat dipelihara, disuruh atau tunduk atas kekuasaan pemiliknya. Ia seolah dapat menjadi ‘kawan’ yang sangat patuh dan sangat jarang mencelakai ‘tuannya’. Hal ini mungkin secara asumtif berkait erat dengan patei-ongoh atau kiprahnya di masa lalu, sehingga semuanya diyakini sebagai “budak yang harus tunduk atas perintah tuannya” atau “kawan setia yang tahu membalas budi”. Mandau juga dapat menjadi sarana pengobatan, misalnya air cucian asahannya dapat mengobati semacam alergi gatal-gatal yang disebut “kalalah” atau “kicas-kihal” (sejenis tulah/kutukan). Dalam konteks kekinian, mandau telah menjadi sebuah pusaka tradisional yang cukup langka. Kelangkaan tersebut sangat disayangkan dikarenakan oleh ketiadaan pandai besi yang menurunkan ilmunya kepada generasi setelahnya. Para pemilik mandau warisan leluhur juga dianggap kian berkurang. Sebagian sudah tidak dirawat lagi dan sebagian lain telah berpindah kepemilikannya kepada orang asing dengan berbagai alasan. Salah satunya adalah alasan ekonomi. Biasanya yang memiliki dan merawat benda-benda tradisional adalah para tetuha adat atau para basir berkaitan dengan kepemimpinannya pada setiap upacara-upacara adat. Di samping itu, komponen material sebagai bahan utamanya juga sangat sulit ditemukan. Alhasil, kalaupun dibuat tiruan/replikanya,mandau masa kini sudah menggunakan besi-besi (atau baja) yang kurang ampuh dan aura kedigdayaannya pun dianggap tidak terlalu istimewa. ‘Mandau-mandau’ tersebut hampir setara dengan pisau ambang (parang laki) dan dijual dengan bebas di toko-toko cinderamata di pinggir-pinggir jalan.

20 Desember, 2008

REVITALISASI KEKUASAAN DAMANG DI TANAH DAYAK: UPAYA PENEGAKAN KEMBALI HEGEMONI ATAS RUANG BUDAYA DAN RUANG HIDUP SUKU DAYAK

Anthony Nyahu
Damang. Demang. Damung. Dambung. Kata arkais ini kembali menguat manakala para pengkaji tentang Dayak baik dari dalam maupun luar Dayak kembali merekonstruksi jejak-jejak kearifan lokal suku ini. Bagi masyarakat Dayak, damang merupakan ‘kekuasaan kebudayaan’ atau ‘penguasa kebudayaan’ ketika ruang hidup budaya (cultural sphere) Dayak masih belum terkontaminasi oleh budaya luar. Damang merupakan ‘penguasa’ yang bukan penguasa. Artinya, meskipun secara legal-formal bukan sebagai pemangku jabatan publik, ia menjadi sosok ‘penguasa komunitarian’ dan sangat diperhitungkan pada masa-masa keemasan menaungi masyarakat Dayak. Konon, pada masa lalu, sebagai pengambil kebijakan kolektif (pengambilan keputusan berdasarkan pakat adat/sidang adat yang beranggotakan para tetuha kampung), ia merupakan manifestasi dari sebuah kekuasaan komunitarian atas sebuah ideologi. Ideologi Dayak yang mengedepankan asas musyawarah untuk mencapai mufakat,dan ternyata setali tiga uang dengan sila keempat Pancasila yang kita kenal lewat pendidikan moral di sekolah-sekolah. Sebagai pucuk dari kekuasaan komunitarian itu, damang tidak saja memegang otoritas atas ‘kekuasaan kolektif’ namun lebih sebagai pemegang otoritas kebudayaan dan seorang penjaga perdamaian (peace keeper) yang dipandang sebagai pembawa pesan-pesan keadilan dalam tatanan perikehidupan sosio-kultural masyarakat Dayak. Dengan kekuatan atau power yang serba tak terbatas dan tak kelihatan itulah, peran damang di masa lalu menjadi sangat disegani dan dihormati. Hal ini seolah menjadi rintangan tersendiri bagi entitas lain di luar Dayak yang ingin menancapkan kuku kekuasaannya di Tanah Dayak. Para damang seolah menjadi ‘target operasi’ bagi para penakluk Dayak, baik dari Barat maupun di nusantara. Manakala, ruang hidup kebudayaan Dayak semakin sempit, mereka kemudian sengaja dilemahkan dan dimarjinalisasi oleh kekuasaan masa lalu dan kekuasaan pemodal di masa kini, demi mewujudkan berbagai mimpi: mimpi menguasai tanah dan menghancurkan kebudayaan. Peran mereka yang semakin dilemahkan tersebut menempatkan mereka kepada sebuah situasi yang terpojok: menyerah kepada kekuasaan legal-formal dan cenderung dijadikan sebagai ‘pion’ kekuasaan. Mereka menyerah kepada ketidakberdayaan atas hegemoni yang bernama kekuasaan. Sebagai pemegang otoritas kebudayaan Dayak, peran damang dalam kehidupan masyarakat Dayak masa lalu menjadi sangat vital. Selain sebagai seorang penjaga perdamaian, ia dituntut sebagai hakim yang adil yang melaksanakan aplikasi hukum adat secara murni dan konsekwen. Lalu, kekuasaan hukum positif pun mulai diperkenalkan oleh Belanda dan mereka mulai menyerap KUHP sebagai hukum positif. Hukum adatpun sebagian mulai perlahan tergantikan. Padahal kedua produk hukum tersebut dapat berjalan beriringan, bahkan peran para penegak hukum dapat teringankan karena penyelesaian perkara pidana/perdata ternyata dapat terselesaikan secara adat melalui singer/denda adat atau palas bunu/upacara perdamaian kedua pihak atas kasus pembunuhan. Kini, bergerak dari situasi yang kian menghimpit akibat hilangnya posesivitas masyarakat adat Dayak atas tanah dan hutannya (pukung-pahewan/hutan lindung, bahu-lakau/belukar cadangan) dan hegemoni kapitalis/pemilik modal yang berjubah investasi, peran para damang menjadi kembali dipentingkan. Peran mereka secara strategis diupayakan sebagai serangan balik (counter attack) untuk menjawab situasi keterhimpitan itu. Para damang sebagai pemegang otoritas publik dan budaya itu mendesak untuk direposisi agar konstelasi kebudayaan Dayak tidak tercerabut. Hal yang mengkhawatirkan juga ternyata selama ini mereka tidak terkaderisasi dengan baik, secara otodidak maupun formal. Tidak ada pendidikan khusus bagi para generasi damang masa depan (the next damang) sama seperti aset kebudayaan Dayak lainnya. Lalu, pertanyaan pun muncul: siapakah yang akan meneruskan pembawaan kearifan leluhur atas kebudayaan Dayak jika mereka sudah tidak ada lagi? Kondisi mereka yang sudah uzur sekarang membuat kita tersentak; siapkah kader yang akan menggantikan mereka, atau jabatan damang hanya akan mengisi buku-buku sejarah tentang kebudayaan Dayak di masa lalu? Ironis,memang. Para alumni sekolah hukum seolah tidak tertarik untuk menjadi damang, padahal mereka sudah dibekali dengan pengetahuan akan hukum adat Dayak. Mungkin didasari oleh berbagai alasan ketidakpastian. Ketidakpastian statusnya dalam kekuasaan formal dan yang pasti ketidakpastian penghasilannya. Namun itu bukan alasan yang signifikan bila kita mau mendedikasikan semuanya demi sebuah entitas yang bernama kebudayaan Dayak. Sebagai ruang budaya yang otonom, semestinya kebudayaan Dayak harus dikuatkan melalui infrastruktur penegakan kebudayaan itu sendiri. Tak terkecuali peran para damang menuntut untuk dilakukan revitalisasi dan reposisi. Sebagai ujung tombak penegakan entitas sebuah kebudayaan, peran mereka sangat strategis. Strategis karena pada pundak merekalah terkikis atau eksisnya sebuah kebudayaan Dayak masa kini maupun masa depan. Peran mereka juga semestinya direposisi sebagai tulang punggung kekuatan pemerintah lokal dan jelas status hierarki kepemimpinannya dalam kekuasaan formal pemerintah atas Tanah Dayak. Kepemilikan atas tanah adat yang menjadi wilayah kekuasaannya setidaknya apabila tidak dikembalikan, minimal diberikan ruang hidup kebudayaan masyarakat dan diatur secara sosial-ekonomi dalam ranah lokal untuk melestarikan hutan dan kekayaan kearifan tradisioanal yang terstigmatisasi selama ini. Sebagai salah satu komponen penegak kekuatan hukum adat dalam ruang budaya Dayak, ada baiknya para damang menempati tempat khusus dan layak, misalnya sebagai staf ahli para perancang pembangunan/penguasa di tingkat provinsi dan kabupaten/kota di Kalimantan Tengah; atau dilembagakan kembali sebagai penguasa hukum publik (termasuk hukum adat) dan mendapatkan penghasilan yang layak (minimal sama dengan jumlah penghasilan para legislator di DPRD) di tingkat lokal di Tanah Dayak Dengan demikian, mereka dapat menjadi sumber rujukan dan pertimbangan terhadap pembangunan masyarakat Dayak secara sosial,ekonomi, politik dan budaya, sehingga tidak terbentur dengan berbagai kepentingan yang sifatnya sesaat dan keuntungan politik saja. Atau paling tidak, untuk dan atas nama ‘penguasa’ kebudayaan Dayak, mereka harus mempunyai taring yang tajam untuk mengusir kepentingan kapitalis yang telah, sedang, dan akan meluluhlantakkan kebudayaan Dayak. Begitu pula ekspansi korporasi perkebunan komoditi yang tidak tidak akan pernah menyejahterakan masyarakat Dayak di Tanah Dayak yang subur dan memberi penghidupan selama ini!

MANUSIA SUKU DAYAK MASA DEPAN: LANDLESS ATAU STRANGERS IN PARADISE?

Anthony Nyahu
Manusia Suku Dayak memang telah sejak lama sebagai manusia landless, di samping juga banyak less-less yang lain. Issu tentang landless padahal sejak jauh hari dikumandangkan dan diwanti-wanti oleh seorang pahlawan kharismatik Dayak, Tjilik Riwut dengan jargon: Ela Sampai Tempun Petak Manana Sare, Tempun Kajang Babisa Puat, Tempun Uyah Batawah Belai (Jangan sampai yang punya tanah berladang di pinggiran, yang punya atap justru kebasahan,dan yang punya garam justru hambar rasa). Jargon tersebut ternyata baik secara fisik maupun nonfisik, telah terbukti terjadi dalam kehidupan dan kebudayaan suku Dayak. Justru pemarjinalan yang terjadi menempatkan suku Dayak menjadi asing di tanahnya sendiri, menjadi penonton atas pembabatan hutan secara massif. Sementara, selama ini mereka dikekang dan dibatasi dalam mengusahakan hutan untuk kehidupan, misalnya untuk kebutuhan pangan. Mereka justru menjadi kambing hitam atas perusakan dan pembabatan hutan, dianggap sebagai peladang berpindah, pembalak dan seterusnya. Padahal, kearifan tradisionalnya tidak pernah diekspos ke permukaan,betapa mereka sangat arif dalam menjaga keseimbangan ekologis, yang menjadi sendi perikehidupan dan tulang punggung sosial-ekonomi suku Dayak. Imperialisme jilid baru bersampul investasi telah menjadi akar dari peluluhlantakan kebudayaan suku ini. Betapa tidak, pembalakan hutan secara besar-besaran untuk dan atas nama investasi dan slogan politik membuat akar budaya porak-poranda, kebudayaan baru dicekoki kepada masyarakat dengan mengenalkan tanaman komoditi yang seumur-umur tidak terdapat dalam kosa kata agraris mereka. Mereka sangat tahu dan paham bahwa ada beberapa komoditi tanaman tertentu yang sangat tidak bersahabat dengan ekologi, juga ekosistem yang ada. Mereka sangat tahu dan paham bahwa komoditi yang merusak itu tidak akan membuat mereka lepas dari kerangkeng yang bernama kemiskinan. Tapi apa daya, semua memang sudah telanjur, sudah tidak ada pilihan lain selain mencoba mengakrabi dan perubahan dengan teater modernisasi telah ditayangkan. Kita dengan terkesima menjadi penonoton dan para sutradara tersenyum puas sambil mengencangkan ikat pundi-pundi bersiap keluar dari pintu belakang! Runtuhnya akar sendi budaya dan moralitas diindikasi dengan merebaknya peredaran narkoba dan obat terlarang yang menghujam generasi putus sekolah, angka pengangguran laten yang meningkat, terkikisnya kedigdayaan hukum adat dan pelecehan atasnya, serta pergaulan bebas urban yang mulai merangsek hingga pedalaman, hingga berbagai persoalan lain yang kronis. Kita harus secara obyektif menilai diri dan kedirian suku ini. Issu tentang landless, bukan hal yang baru, terlebih dari kacamata hukum, dan terutama hukum lingkungan. Terbukti, dengan tidak terakomodirnya hukum agraria yang mengakui secara legal kepemilikan publik atas wilayah-wilayah adat, misalnya pukung-pahewan, sebagai kawasan cagar budaya adat yang dipelihara sejak zaman leluhur suku Dayak mendiami pulau Kalimantan. Hukum agraria yang notabene sebagai warisan dari Hindia Belanda sampai kini masih belum memihak kepada kepentingan masyarakat suku Dayak secara umum. Hal ini merupakan rumpang-rumpang kosong yang sengaja dipelihara oleh pemerintah (untuk dan atas nama negara) untuk berbagai kepentingan, termasuk kepentingan yang berkaitan erat dengan investasi dan hegemoni domestik dan asing atas kekayaan alam Kalimantan. Pembatasan kepemilikan tanah adat merupakan langkah yang membatasi ruang hidup (life sphere) masyarakat suku Dayak untuk mengolah dan mengusahakan tanahnya demi kepentingan hidup dan kehidupan baik untuk kepentingan sesamanya dan kebudayaannya di masa kini maupun masa datang. Tidaklah mengherankan, jika dalam setiap kasus yang berkaitan dengan persoalan tanah, akan menimbulkan kerawanan sosial yang sangat rentan. Hal ini tidak saja berlaku di pulau ini, tetapi hampir di seluruh wilayah Indonesia. Masyarakat selaku pemilik tanah, secara de facto tidak akan pernah sejahtera dari tanah yang diusahakannya sendiri. Dengan alasan lahan tak terurus dan alasan-alasan lainnya, maka investasi--dalam baju apapun--dengan leluasa melenggang masuk dengan terlebih dulu lewat pintu ini-itu. Dengan demikian, harapan untuk menyejahterakan masyarakat di sekitar investasi tersebut dapat terwujud. Namun, apa lacur, harapan hanya tinggal harapan kosong. Data dapat diperoleh di Walhi, seberapa sejahteranya angka masyarakat yang berada di kawasan ini? Semua memang akan berpulang kepada dua sisi mata uang: untung-rugi, positif-negatif, kuasa-tidak berkuasa, kaya-miskin, baik-buruk, benar-salah, dan sejuta yin-yang lainnya. Masyarakat suku Dayak tetaplah masyarakat suku Dayak yang lebih banyak miskin dan termarjinalkan, selalu jadi penonton. Toh, kalaupun dilibatkan, itupun masih dikebiri: dan hampir tidak ada yang mau jadi kuli, pekerja kasar, atau antek perusahaan untuk menundukkan warganya agar mau welcome atas hegemoni kekuasaan pemodal. Untuk kasus Gunung Mas, buat saya tidaklah terlalu mengejutkan kalaupun mereka bakalan landless. Nasib mereka hampir setipe-sejenis-sebanding dengan penderitaan yang dialami warga lainnya di kabupaten-kabupaten lain di Kalteng. Bagi saya, setelah landless, less-less apalagi yang akan menjadi 'kekayaan' yang dimiliki suku ini. Homeless, assetless, powerless, voiceless, dan mungkin sejuta less-less lainnya, selain ngeles aja. Dalam hal ini, masyarakat selalu menjadi korban, menjadi victims dari semua yang bernama kekuasaan. Sedangkan semua pihak tidak mau menjadi yang dipersalahkan, yang bertanggung jawab. Sesungguhnya, siapa dan apa yang salah? Salah pemerintah dengan kebijakannya, salah masyarakat yang tetap status quo, atau salah pemodal? Atau salah sistem yang ada di negara ini? Salah-benar, saya pikir bukanlah solusi. Solusi yang urgent adalah menata kembali pemikiran,kebijakan, penguatan masayarakat suku ini dalam menghadapi tantangan ke depan yang semakin menghimpit dan memarjinalkan. Atau mungkin itu juga bukan sebuah solusi bagi sebagian besar warga masyarakat kita yang sudah terhimpit. Terhimpit dengan situasi ekonomi, dengan kemiskinan yang semakin akrab dan mendera, atau terhimpit dengan kebijakan yang tidak memihak. Maka, secara naluriah muncul secara massif, masyarakat mematok tanah-tanah kosong berhektar-hektar lalu mengklaimnya kepada investor demi kepentingan sesaat atau menyambung hidup(?) atau juga munculnya eskalatif sosiologis--daripada kita toh juga tidak mendapatkan apa-apa, lebih baik tidak memiliki apa-apa lagi? Di samping memang tuntutan-tuntutan lain dalam pola kehidupan dan pemikiran suku Dayak yang telah sebagian mulai tergeser. Rekan-rekan bisa membayangkan--dari jauh, tentu saja, bukan mengalami--apa yang sesungguhnya mereka miliki selama ini? Hasil berkebun saja berupa rotan, masih dianggap bukan hasil bumi tetapi hasil hutan (bukan hasil budidaya) dengan harga yang dapat ditukar 25kg beras saja per kuintalnya, bahkan kurang. Mampukah mereka sejahtera? Boro-boro, untuk makan saja kurang! (lihat Katingan), belum sektor ekonomi lainnya. Berladang untuk kebutuhan pangan sehari-hari (bukan bisnis seperti di Jawa), dianggap pembabatan hutan dan semakin dilarang, mencari kayu untuk peralatan rumah saja di samping susah, juga ndak boleh. Lalu mau apa? Sementara harga komoditas hidup lainnya semakin melangit di awan. Lalu mau usaha apa? Menambang emas, dianggap PETI dan dirazia sewaktu-waktu. Lalu mau jadi apa masyarakat suku ini? Mau gigit jari saja? Jadi, kembali lagi ke persoalan Gumas. Dalam pandangan saya selaku bagian dari suku ini, sesungguhnya ada sesuatu yang salah, sesuatu yang ndak beres dengan Kalimantan ini, terutama Kalteng masa kini. Bukan, bukan saya mengagitasi untuk melakukan sesuatu atau apapun, tapi kita sebagai bagian dari suku Dayak harus melakukan langkah dan langkah itu dimulai dari hal-hal kecil untuk mencapai langkah yang besar. Keprihatinan saja ndak cukup, mas, mbak! Atau kalau tidak ada langkah kecil ada baiknya ilmu eskapisme dijalankan: lari sejauh-jauhnya dari kenyataan! dan menjadi kilau tanding (maaf) asu mangang kalingee! Jangan pernah mau menjadi bagian dari suku ini (yang sangat tidak diinginkan dan disetujui oleh rekan-rekan yang sudah punya nama di rantau orang!). Siapa, apa, dan bagaimana persoalan yang dihadapi suku Dayak merupakan persoalan yang holistik, komprehensif, dan cenderung kompleks. Jadi, semoga saja persoalan ini dapat ditindaklanjuti (bahasa politiknya) dan dikaji mana kepentingan prioritas yang harus ditangani. Jangan sampai masyarakat suku ini menjadi pengembara dan asing di tanah yang didiaminya sendiri atau stranger in paradise. Selama ini yang terjadi dan akan terus terjadi adalah uluh kuman lauke, arep inenga uluh tulange! Karakteristik masyarakat suku yang keleh uluh bara sama arep karena alasan ekonomis harus segera ditinjau ulang, daripada sama arep kemee, keleh uluh sasinde merupakan langkah eskapistik yang muncul sebagai akibat dari hegemoni atas kekuasaan yang dihadapi dengan ketidakkuasaan. Setidaknya, dalam hemat saya, kita sebagai bagian dari suku ini harus membeli lebih banyak cermin agar kita semakin tahu betapa banyak luka di sekujur tubuh kita, atau bila perlu belilah lup/kaca pembesar agar lebih detil kita amati. Betapa kita sesungguhnya luka, dan luka itu tetap menjadi buhit yang kita garuk maka akan muncul sensasi-sensasi lain (enjoyment of pain) sebagai bagian dari keakraban kita dengan penyakit yang bernama penderitaan, kebodohan , dan kemiskinan yang selama ini mengakrabi kita (atau kami) saban hari! Kiranya persoalan ini, mungkin hanya sebagian kecil dari warga suku ini yang merasa prihatin atau miris, atau langkah-langkah kongkrit pressure lainnya, dengan tidak mengurangi peran tiap orang, tentunya. Tapi bagaimana dengan saudara-saudara kita yang menjadi korban? Di sana, nun jauh di jantung pedalaman sana, masih setia dengan ritualnya sehari-hari: mengusahakan sesuatu apapun demi sesuap nasi! jauh dari mimpi-mimpi tentang pembebasan dari kebodohan, kemiskinan, dan penderitaan; jauh dari bayang-bayang kesejahteraan yang utopis, jauh dari riuh gemuruh teknologi (bahkan saat e-mail ini ditulis mungkin saja mereka masih akrab dan bersenda gurau dengan ketiga kata kunci di atas; masih sibuk dengan apa dan bagaimana cara menyambung hidupnya!). So, kita solah mengahadapi kebakaran, padahal dapur di sana nun jauh di pedalaman masih berusaha ngebul agar tetap hidup esok pagi, kebakaran ide, dan tentu saja mungkin sebagian dari kita--yang lelaki tentu saja--kebakaran janggut! Ah, mungkin pelik, rumit atau apapun namanya. Tapi, memang itulah realita yang harus dihadapi jika mau dan berniat suku ini tetap eksis dan punya power agar tidak selalu diperkaya dengan sejuta less lainnya! Semoga!

11 Desember, 2008

Sungai Bagi Orang Dayak di Kalimantan Tengah: Suatu Awal dari Titik Tolak Transformasi Nilai-nilai dan Kebudayaan
Anthony Nyahu
Sungai, sungai dan sungai. Kata ini akan selalu muncul manakala masyarakat dari luar Kalimantan baru pertama kali masuk ke Pulau ini, selain hutan, hutan dan hutan. Bagi masyarakat urban—dan masyarakat budaya lain di Indonesia—yang telah lama bermukim di pulau dengan sarana transportasi darat yang memadai, tentu menjadi sesuatu yang tidak terlalu menarik. Tetapi bagi masyarakat penghuni Pulau Kalimantan, makna sungai menjadi sangat penting dalam setiap jengkal kehidupan mereka. Sungai tidak saja menjadi sebuah sarana transportasi yang sangat vital, namun lebih sebagai sarana transformasi sebuah proses kehidupan bernama kebudayaan. Oleh sebab itu, keakraban orang Dayak secara ekologis dengan sungai menjadi bagian penting dalam catatan sejarah pasang-surutnya transformasi sebuah kebudayaan dari hal-hal lama ke hal-hal yang baru. Di Kalimantan Tengah, misalnya paling tidak terdapat sebelas alur sungai besar, di luar anak-anak sungai yang menghubungkan satu kampung dengan lainnya. Maka dapat dibayangkan, betapa sungai menjadi bagian yang amat penting bagi kelangsungan kehidupan, transportasi, interaksi sosial melalui bahasa, kehidupan ekonomi, dan tranformasi budaya. Sungai dalam setiap perikehidupan orang Dayak di Kalimantan menjadi sebuah sarana yang patut dijaga dan dirawat, mengingat fungsionalitasnya yang tinggi bagi kelangsungan kehidupan mereka. Hal ini mungkin agak berbeda dengan di pulau-pulau lain di Indonesia, umpamanya di Jawa yang sarana perhubungan daratnya sangat memadai (jalur perhubungan darat dimulai sejak zaman Belanda) dan sungai tidak mengemban fungsi yang sama seperti di Kalimantan. Sungai, bagi masyarakat urban di kota-kota besar telah berubah fungsi menjadi tempat sampah raksasa yang menampung semua sampah, sumpah dan limbah. Bagai mana tidak, sampah dan limbah yang meluap ketika musim hujan tiba, lalu menimbulkan sumpah dan serapah manakala banjir datang menyapu pemukiman di sepanjang bantarannya. Itulah referen sungai secara geografis sebagai sebuah keadaan kerupabumian dalam kekayaan Nusantara yang bagi sebagian masyarakat memiliki persepsi dan pemaknaan yang berbeda-beda. Namun, akan diutarakan di sini bagaimana sungai selain mengemban fungsi ekologisnya, juga mengemban misi sebagai sarana transformasi nilai dan kebudayaan bagi orang Dayak sejak beribu tahun lamanya. Penduduk Kalimantan Tengah yang terdiri dari 14 kabupaten dan 1 kota mayoritas bermukim di sepanjang pinggiran sebelas aliran sungai (bdk. www.kalteng.go.id). Hanya sekitar 20% dari total populasi yang bermukim di wilayah daratan (tanpa akses sungai, hanya akses jalan darat). Dengan demikian, 20% tersebut dapat dipastikan sebagai sebuah daerah permukiman baru sebagai hasil modifikasi pembangunan yang dapat berupa mobilisasi dan transmigrasi. Selebihnya merupakan daerah-daerah tua yang mempunyai kesejarahan yang hampir sama. Mayoritas populasi penduduk tersebut melakukan aktivitas hidup dan berkehidupannya di sungai, mulai dari aktivitas mandi, cuci dan kakus (MCK) serta air untuk memasak dan air minum. Terkecuali sejak 32 tahun lalu, intensitas fungsi sungai mulai tereduksi, di mana sarana perhubungan darat sudah mulai menembus jalur perhubungan antarkabupaten.
Dalam kerangka penyebaran kebudayaan berabad silam, sungai menjadi saksi mati sejarah, andai ia ketika dilalui dapat tergores dalam sebuah prasasti. Beribu, bahkan berjuta kali dilewati oleh para penjelajah, penjarah dan penjajah untuk melakukan misi imperialisme. Hal ini ditandai dengan masuknya Kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha dan Kerajaan-kerajaan Islam di Kalimantan hingga masuknya pendudukan Jepang (lihat Riwut:1993) dan misionari dalam rangka transformasi sebagai sebuah kebudayaan baru (kebudayaan Barat) yang dipandang maju. Lalu, muncullah goncangan budaya orang-orang Dayak. Sebagian menerima dan tidak sedikit pula yang antipati melakukan perlawanan dan migrasi ke tempat baru ke wilayah sungai lainnya atau menembus anak-anak sungai yang dirasa cukup aman. Melalui media sungai sebagai pusat kebudayaan itulah, awal dari transformasi nilai-nilai kehidupan terjadi. Silih-berganti. Yang lama tergantikan oleh hal-hal baru. Yang lama dipandang sebagai kebudayaan usang dalam kacamata paham dan dogma baru. Yang lama dipandang sebagai kebudayaan lama yang harus dibuang jauh-jauh, dari kebiadaban menuju keberadaban (lihat Kusni, 1994; Ugang 1983). Padahal sejak lama orang Dayak telah mempunyai kebudayaan sendiri yang eksis; muncul dan ada entah dipengaruhi dari mana dan hadir dalam keseharian kehidupan mereka. Orang Dayak menyebutnya Agama Helo atau Kaharingan yang mengatur hubungan triarkhi-ekotheologis: hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan antarsesama manusia dan hubungan manusia dengan alam. Segala sesuatu dalam perikehidupan manusia berdampak kepada keseimbangan alam (ekologi) yang diatur oleh Sang Pencipta, jadi ketika manusia melakukan suatu kesalahan terhadap alam yang dapat menimbulkan ketidakseimbangan makrokosmos, maka akan ada sebuah peringatan (warning) yang ditimbulkannya. Hal tersebut dapat saja tidak secara langsung berdampak nyata namun sebagian berwujud abstrak dalam setiap perikehidupan orang Dayak. Ia dapat berupa gagal panen dan wabah penyakit menular atau hal-hal lain yang menghambat kehidupan sosio-ekonomi masyarakat. Untuk mengatasi hal-hal demikian, biasanya dilakukan upacara-upacara pencucian dan penyucian; pencucian dari kesalahan diri manusia atas kelancangannya terhadap memperlakukan alam dan penyucian kesakralan alam sebagai ciptaan Tuhan dalam sebuah ekuiliblrium makrokosmos. Kesemuanya merupakan upaya pemulihan hubungan triarkhi-ekotheologis yang diyakini sebagai sebuah keseimbangan ideal dan selaras. Maka, tidak mengherankan jika secara ekolinguistik perbendaharaan kosa kata yang berkaitan dengan alam, orang Dayak sangat menguasai, hal ini dapat dilihat dari penamaan berbagai jenis flora dan fauna, keadaan alam, musim dan lingkungan (rupabumi dan meteorologi/geofisika), dan karya sastra. Terdapat banyak karya sastra lisan yang dipandang sebagai mahakarya atau masterpece bagi orang Dayak, misalnya Sansana Bandar yang mengisahkan seorang tokoh epik bernama Bandar, tidak sedikit menggunakan kata sungai dan musim; kosa kata dalam upacara pencucian diri, permohonan dan doa, misalnya dalam tampung-tawar medianya adalah beras, daun pandan, dan air. Demikian juga halnya dengan upacara tawur-manawur. Kecerdasan linguistika nenek moyang orang Dayak juga terwujud dalam proses penciptaan karya sastra, misalnya karungut (sejenis pantun yang dilagukan) dengan bait-bait aaaa-bbbb-aaaa-bbbb, yang runtun dan terpapar dengan indah. Sedemekian bermaknanya air sebagai sumber kehidupan dan penghidupan baik sosio-ekonomi maupun ssosio-kultural, membuat sungai menjadi bagian yang tak terpisahkan dari sendi kehidupan orang Dayak. Air dalam kehidupan orang Dayak dan pandangan Kaharingan merupakan sebuah esensi kehidupan atau disebut danum Kaharingan belum (air sebagai esensi yang menghidupkan dan penghidupan). Dengan demikian, nenek moyang orang Dayak sudah mengenal berbagai disiplin pengetahuan (mungkin--secara asumtif) jauh sebelum pengetahuan itu menjadi ilmu/ilmiah dan ditemukan oleh para ilmuan asing, utamanya pengetahuan tentang alam atau sekarang dikenal dengan biologi, geografi, geofisika dan metafisika, serta ilmu pengetahuan lainnya.
Namun, sayang seribu sayang, nilai fungsionalitas sebuah sungai di Kalimantan menjadi amat berkurang dewasa ini. Angin perubahan yang datang menerpa tiba-tiba dengan pusaran modernisasi dan teknologi menjadikan sungai hanya sebagai jalur kedua moda transportasi, tergantikan oleh jalur transportasi darat yang lebih efisien dan efektif. Fungsionalitas sungai jarang lagi digunakan sebagai sarana interaksi sosial (secara asumsi termasuk awal penyebaran bahasa-bahasa di Kalimantan Tengah), sarana transformasi budaya dan kehidupan sosio-ekonomi orang Dayak masa kini. Di samping itu, sungai secara ekologis telah meradang sebuah penyakit, terutama daerah hulu yang telah ditanami komoditas tanaman yang tidak bersahabat. Konon, apabila hujan air tanah bekas pemupukan dan pestisida/insektisida mengalir menuju sungai-sungai kecil di sekitarnya lalu menuju sungai yang agak besar dan seterusnya, sehingga tidak mampu lagi menjadi sumber penghidupan orang Dayak (berkurangnya populasi ikan dan biotik sungai bagi nelayan/peternakan, irigasi/pertanian). Sungai telah pula diracuni dengan air raksa akibat penambangan yang tidak terkendali. Sungai telah mulai menunjukkan kebenciannya dengan mengirim banjir setiap tahun dengan ketinggian debit air yang di luar normal atau mulai dikenalnya kosa kata perubahan iklim baru seperti banjir bandang, yang seumur-umur dalam beberapa dekade muncul hanya satu kali, dewasa ini bisa datang dua kali dalam setahun. Belum lagi persoalan pendangkalan yang tiap tahun muncul dan musim kemarau sebagai dampak perubahan iklim global, menjadikan sungai di masa-masa datang semakin parah baik fungsionalitasnya maupun vitalitas ‘hidup’nya. Berkaitan dengan persoalan tersebut, dalam rangka mengais kembali harta karun sebagai bagian dari kekayaan dan kearifan lokal nusantara, ada baiknya sungai mulai direvitalisasi. Sungai direposisi fungsinya sebagai sarana interaksi sosio-ekonomi dan ekowisata yang dapat menambah devisa dan pendapatan daerah selain sarana transportasi seiring kemajuan zaman. Melalui sungai pula dapat dijadikan sebagai proyek perintis (pilot project) dalam rangka penelitian tentang sosio-kutural, terutama pemetaan kembali bahasa-bahasa dan dialek-dialek serta pemetaan sastra di Kalimantan Tengah (11 daerah aliran sungai di Kalteng memiliki anekabahasa). Selanjutnya dapat pula dipetakan secara sosio-ekonomi dan politik daerah-daerah yang menjadi kantong-kantong kemiskinan, terutama di pedalaman agar dapat ditangani oleh Pemerintah Daerah setempat. Hal lain yang tak kalah pentingnya adalah para pembuat kebjakan baik di tingkat pusat maupun di daerah dapat dengan gratis berwisata susur-sungai ke pedalaman agar tahu dan merasakan betapa sungai benar-benar menjadi urat nadi transportasi, sarana interaksi sosial dan perekonomian serta kebersahajaan orang Dayak di Kalimantan Tengah tidak hanya dari buku atau koran saja. Masih biadab atau beradabkah orang Dayak? Dari sungailah Anda akan menemukan jawaban atas semuanya!

21 November, 2008

Revitalisasi Kebudayaan Dayak Bagian I

REVITALISASI KEBUDAYAAN DAYAK DI TENGAH PENETRASI GLOBALISASI: UPAYA PELESTARIAN KEARIFAN LOKAL SEBAGAI PENOPANG TEGAKNYA ENTITAS DAYAK MASA DEPAN

Artikel ini menjadi koleksi Institut Dayakologi, Pontianak. Tidak pernah dimuat dalam media cetak apapun.Pengutipan sebagian atau seluruhnya harus seizin penulis.

Oleh : Anthony Nyahu *)

Tulisan ini diketengahkan sebagai manifestasi dari realitas dan upaya untuk membangkitkan kembali perspektif dan apresiasi positif terhadap kebudayaan Dayak di Kalimantan khususnya, dan Indonesia pada umumnya. Konsep-konsep budaya atau kebudayaan yang selama ini memberikan kontribusi positif bagi pengembangan budaya lokal dalam ranah penggalian kembali kearifan lokal (local wisdom) telah mendudukkan kebudayaan Dayak yang mampu bersesuai dengan kondisi perubahan zaman dan peradaban masa kini sehingga tetap bertahan. Fokus yang akan diketengahkan dalam tulisan ini meliputi aspek-aspek penting sebagai luaran (output) dari esensi kebudayaan, yaitu benda-benda yang tak berwujud (cultural immaterials) yang meliputi bahasa, adat/istiadat dan hukum adat,religi serta kesenian yang terproses dari hasil pikiran akal budi leluhur manusia Suku Dayak yang mendesak untuk direvitalisasi sebagai sarana penapis (filter) arus budaya global demi tegaknya eksistensi dan entitas Dayak di masa depan. Kebudayaan dan manusia Dayak telah mengalami pemiskinan berstruktur,meliputi pemiskinan dalam bidang politik, ekonomi,dan sosial budaya sehingga manusia Dayak sulit untuk mengembangkan kebudayaannya sebagai modal berkompetisi dan unggul dalam kancah global.

1. Pendahuluan

Kebudayaan sering disinonimkan dengan kultur, yang diambil dari bahasa Latin ‘cultura’ atau ‘culture’ dalam bahasa Inggris, dan dalam bahasa Prancis disebut sebagai ‘la culture’, yang salah satu artinya adalah “ensemble des aspects intelectueles d’une civilisation” (serangkaian bidang intelektual sebuah peradaban), bermakna secara umum sebagai hasil kegiatan intelektual manusia, suatu konsep mencakup berbagai komponen yang digunakan oleh manusia untuk memenuhi kebutuhan dan kepentingan hidupnya sehari-hari (Purwasito, 2003:95).

Dalam perspektif Barat, kebudayaan dipandang referens dan menjadi fokusnya adalah intelektual yang mencakup realitas nonfisik, meliputi: kognitif, afektif, dan psikomotorik. Sedangkan dalam perspektif Timur, kebudayaan dipandang sebagai ‘buddhayah’, sebagai akal budi manusia dalam mengasosiasikan ‘intelektual’ dan pelibatan beberapa aspek yang sama, yaitu pelibatan pancaindera manusia, baik dalam kegiatan pikiran manusia (kognitif), perasaan (afektif), maupun perilaku (psikomotorik). Purwasito (2003) mendefinisikan bahwa kebudayaan (kultur) sebagai hasil penciptaan , perasaan, dan prakarsa manusia berupa karya yang bersifat fisik dan nonfisik. Taylor (1871) dalam Purwasito (2003:96) mempostulatkan bahwa kebudayaan (kultur) adalah keseluruhan hal yang kompleks termasuk pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, adat-istiadat, dan kemampuan serta kebiasaan lain yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat. Mead, seorang antropolog Amerika dalam Purwasito (2003) menyebut bahwa kultur sebagai perilaku pembelajaran masyarakat atau subkelompok. Kegiatan tersebut berlangsung ketika manusia, sebagai subjek sentral dalam kebudayaan mendayagunakan akal budinya (daya, cipta, rasa, dan karsa) untuk mengolah alam dan mengatur lingkungan hidupnya dengan menghasilkan:

(1) benda-benda berwujud (cultural materials); seperti: alat-alat kerja, alat-alat pertanian, alat-alat rumah tangga, alat-alat komunikasi, alat-alat perang, dan lain-lain,

(2) benda-benda yang tak berwujud (cultural immaterials); seperti bahasa, tradisi, kebiasaan, adat, nilai moral, etika, gagasan-gagasan, religi, kesenian, kepercayaan, sistem kekerabatan, dan harapan-harapan hidup. Hasil budaya imateril inilah lahir dari upaya mengolah pikiran (manusia) melahirkan filsafat dan ilmu pengetahuan yang berupa teori-teori.

Konsep pemikiran tentang kebudayaan (kultur) dipandang sebagai konsep yang global, di mana keseluruhan proses yang berlangsung dalam esensi makna kebudayaan melibatkan berbagai aspek yang dihadapi manusia berkenaan dengan lingkungan masyarakatnya. Ia dapat saja berupa kedua jenis hasil kebudayaan di atas (berwujud dan tak berwujud), yang dapat dipelajari, dipertukarkan, ditransformasikan, dari generasi ke generasi pada suatu masa yang tidak dapat ditentukan. Hal yang perlu diingat adalah kebudayaan tidak serta merta hadir dan dipaksa untuk direkayasa, namun diperoleh melalui rangkaian proses dan waktu yang lama dan perpetual.

Hal ini sejalan dengan konsep pemikiran Liliweri (2002) bahwa pengertian kebudayaan dalam arti luas adalah perilaku yang tertanam, ia merupakan totalitas dari sesuatu yang dipelajari manusia, akumulasi dari pengalaman yang dialihkan secara sosial (disosialisasikan)….dalam bentuk perilaku melalui pembelajaran sosial (social learning).

Dalam kebudayaan terdapat tujuh unsur penting yang menjadi kategori universal atau Universal Catagories of Culture seperti yang dinyatakan Kluckhohn (1953) dalam Koentjaraningrat (1990), meliputi (1) bahasa; (2) sistem pengetahuan; (3) organisasi sosial; (4) sistem peralatan hidup dan teknologi; (5) sistem mata pencarian hidup; (6) sistem religi; dan (7) kesenian.

Ketujuh unsur penting sebagai kategori universal tersebut merupakan unsur yang mutlak dimiliki oleh pemilik kebudayaan (baca: guyup suku atau bangsa/nasion), yang memegang peranan penting dalam pembelajaran sosial dan pewarisan sosial individu dari masa ke masa.

2. Suku Dayak dan Kebudayaannya di Pulau Kalimantan

Pulau Kalimantan atau dikenal sebelumnya sebagai Borneo dan Tanjung Negar. Sedangkan dalam mitologi Dayak (Ngaju) disebut dalam Tetek Tatum sebagai Pulau Goyang atau Pulau Bagawan Bawi Lewu Telo merupakan pulau terbesar yang dimiliki Indonesia (Riwut, 1993:3 dan 77). Nama Tanjung Negara pertama kali muncul dalam Atlas Nederland Indie (1938) yang digunakan jauh sebelumnya yakni sejak abad ke tiga belas semasa Kerajaan Hindu. Sedangkan, nama Kalimantan adalah nama yang lahir semasa Kerajaan Islam pada abad ke-16 ketika dipegang oleh Pangeran Samudera yang memerintah di Banjarmasin (Riwut, 1993:77).

Dalam mitologi Tetek Tatum dan Kaharingan di Kalimantan Tengah, penduduk asli Pulau Kalimantan adalah empat nenek moyang suku Dayak yang diturunkan dengan Palangka Bulau—sejenis wahana, pada empat tempat, yakni: 1) Tantan Puruk Pamatuan, hulu Sungai Kahayan dan Barito; 2) Tantan Liang Mangan Puruk Kaminting, yang terletak di sekitar Gunung Raya; 3) Datah Tangkasiang, di hulu Sungai Malahui, Kalimantan Barat; dan 4) Puruk Kambang Tanah Siang, di hulu Sungai Barito (Riwut, 1993:231).

Bersambung...

Revitalisasi Kebudayaan Dayak Bagian II

Sedangkan dalam perspektif sejarah, Niewenhuis dalam Riwut (1993:231—232) menyatakan bahwa sekitar 200 tahun sebelum Masehi telah terjadi migrasi besar-besaran Bangsa Melayu yang pertama ke Indonesia dari daerah Yunan secara bertahap mendiami sepanjang pantai/pesisir. Namun karena datangnya Melayu Muda, bangsa Melayu tua ini (Proto Melayu) terdesak ke pedalaman, kalah perang atau karena kebudayaannya lebih rendah dibandingkan dengan Melayu Muda. Bangsa Proto Melayu inilah yang dicurigai sebagai nenek moyang orang Dayak yang mendiami Pulau Kalimantan, meskipun penelitian lain juga ada yang berpendapat berbeda bahwa sebelum datangnya bangsa Melayu Tua (Proto Melayu) ke Nusantara sudah ada bangsa lain yang lebih dulu datang ke Pulau Kalimantan,yaitu bangsa Negrito dan Wedda. Terlepas dari berbagai pendapat tentang suku asli yang mendiami Pulau Kalimantan, dapat disimpulkan bahwa eksistensi suku bangsa Proto Melayu yang menjadi cikal bakal nenek moyang Suku Dayak sekarang adalah para insan yang telah meletakkan dasar-dasar kebudayaan yang dimiliki suku Dayak masa kini. Dengan demikian dapat pula dikatakan bahwa secara faktual dalam sejarah bahwa para nenek moyang inilah yang menetap dan mengolah daya, rasa, cipta, karssa dan akal budi sehingga tercipta wujud sebuah kebudayaan Dayak yang kita lihat masa kini.

Riwut (1993:235) membagi kelompok suku Dayak sebanyak 405 suku-suku yang dirinci menjadi tujuh suku besar Dayak yang terdapat di Pulau Kalimantan, yakni:

  1. Dayak Ngaju, terbagi dalam empat suku besar, empat subsuku dan 90 subsubsuku kecil,
  2. Dayak Apu Kayan, terbagi dalam tiga suku besar, tiga subsuku dan 60 subsubsuku kecil,
  3. Dayak Iban dan Heban atau Dayak Laut terbagi dalam 11 suku,
  4. Dayak Klemantan atau Dayak Darat terbagi dalam 2 suku dan 87 subsuku,
  5. Dayak Murut terbagi terbagi dalam 3 suku dan 44 subsuku,
  6. Dayak Punan terbagi dalam 4 suku dan 52 subsuku,
  7. Dayak Ot Danum yang terbagi dalam 61 suku.

Kebudayaan Suku Dayak di Kalimantan telah mengalami pasang surut dari waktu ke waktu. Hal ini berkaitan erat dengan masuknya invasi kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha ke Pulau Kalimantan dan kontak kebudayaan dengan budaya lain serta imperialisme-kolonialisme, sehingga kebudayaan Dayak telah mengalami bermacam akulturasi dari zaman ke zaman. Dalam perspektif Barat, kebudayaan Dayak pada masa lalu dinyatakan dalam labelisasi negatif sebagai “negeri para pemburu kepala”, “liar”dan “sauvage” (cf. Jean-Yves Domalain, “Panjamon. Une Experience de la Vie Sauvage” Arthaud, Paris 1971 dalam Kusni, 1994:40). Ia menjadi catatan hitam sebagai budaya primitif dan biadab/tidak beradab, karena tidak sesuai dengan cara pandang mereka (lihat Florus,dkk. ed.1994) dan sebagai ‘ragi usang’ yang harus dibuang dan diisi dengan sebuah kebudayaan baru (Kusni, 1994). Baru setelah muncul gerakan baik massif maupun laten yang dipelopori oleh gerakan kaum intelektual Dayak dengan beberapa tulisan dan penelitian, telah berangsur-angsur mereposisi dan ‘merehabilitasi’ pandangan-pandangan tersebut. Di samping itu, akses politik yang sedikit terbuka dalam eskalasi nasional membuat eksistensi Dayak sebagai suatu kelompok kolektivitas etnis mulai mengubah pandangan dunia di luar Dayak.

Kebudayaan Dayak di Kalimantan tidak lepas dari religi yang melekat padanya yakni Kaharingan. Satu catatan yang patut disimak adalah peninggalan kebudayaan yang berupa sebuah sistem religi dan pandangan hidup (way of life) yang luhur ini sebagai manifestasi budaya yang tak berwujud (cultural immaterials). Selain itu, dapat pula dijumpai bahasa, adat istiadat/kebiasaan, sistem kekerabatan, sarana ekspresi sastra dan seni suara, serta hukum adat sebagai hukum publik di masa itu. Pada kebudayaan yang berwujud (cultural materials) ditemui pula berupa alat-alat pertanian, alat-alat rumah tangga, alat dan persenjataan perang, seni ukir/pahat, alat-alat transportasi dan sebagainya.

3. Revitalisasi Kebudayaan Dayak sebagai Benteng Terakhir dalam Menghadapi Penetrasi Globalisasi

Revitalisasi kebudayaan memang bukan perkara yang mudah karena kebudayaan ruang lingkup yang sangat luas. Namun, dalam hal ini penulis hanya akan memfokuskan kepada aspek-aspek kebudayaan yang tidak berwujud (cultural immaterials) saja. Mengapa penulis batasi pada aspek ini, tidak lain karena kebudayaan yang dipandang selama ini telah keluar dari marka yang seharusnya dan terjadi penyempitan makna kebudayaan secara umum. Penyempitan makna kebudayaan, terutama dalam melihat kebudayaan dari perspektif benda berwujud semata, seperti hasil-hasil peradaban berupa alat-alat ritual, alat-alat pertanian, dan kesenian, misalnya tari-tarian saja yang mempunyai komoditi. Dengan demikian, impak kebudayaan dalam bentuk benda-benda berwujud (cultural materials) tersebut akan mendatangkan devisa yang pada gilirannya akan meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat. Sedangkan aspek kebudayaan berupa benda-benda tak berwujud (cultural immaterials) menjadi tidak terlalu dipentingkan (atau bahkan diabaikan) karena akan menghabiskan banyak biaya untuk memelihara dan mengembangkannya dan belum tentu memberikan kontribusi devisa. Oleh karena itu cara pandang (mindset) demikian harus dikaji kembali, mengingat keruntuhan suatu kebudayaan (atau peradaban)—selain berfokus kepada manusia sebagai subjek/pelaku kebudayaan, menurut hemat penulis—juga sangat ditentukan oleh bentuk kebudayaan yang tidak berwujud dan retensi ‘hidupnya’ cenderung lebih panjang dibandingkan benda-benda berwujud lainnya. Akan menjadi lebih penting lagi peran kebudayaan dalam benda-benda tak berwujud yang berupa bahasa, tradisi, kebiasaan, adat, nilai moral, etika, gagasan-gagasan, religi, kesenian, kepercayaan, sistem kekerabatan, dan harapan-harapan hidup sebagai aspek yang mengindikasikan tinggi rendahnya suatu peradaban dan eksistensi kebudayaan itu sendiri. Seiring dengan laju modernisasi dan arus globalisasi yang terus menerpa, revitalisasi terhadap hasil-hasil kebudayaan dan peradaban Suku Dayak ini menjadi mutlak harus segera ditangani. Hal-hal yang menggembirakan juga dengan munculnya pemikiran-pemikiran baru yang memandang bahwa hasil-hasil kebudayaan itu, misalnya kearifan lokal suatu suku bangsa pada kehidupan komunal masa lalu menjadi sangat relevan untuk menjadi benteng pengaruh-pengaruh negatif budaya lain yang bertentangan dengan kebudayaan Timur.

Di samping itu, dituntut kemauan baik dan politik kebudayaan yang berpihak kepada kepentingan kebudayaan Suku Dayak secara menyeluruh. Hal ini dimungkinkan pula karena potensi sumberdaya manusia dan sumberdaya alam Kalimantan dianggap cukup memadai untuk itu. Dalam perspektif ini, budaya lokal sebagai penopang dan pemerkaya kebudayaan nasional akan semakin lestari. Dengan demikian, isu kebudayaan ini dapat menjadi sumber devisa baru yang akan menjadi potensi alternatif di masa-masa mendatang, misalnya perkampungan suku Dayak sebagai pusat studi dunia atau perpustakaan dunia dan sebagai media pembelajaran sosial budaya bagi pihak-pihak yang ingin mendalaminya lebih jauh. Berikut akan dirinci tentang bentuk-bentuk kebudayaan yang tidak berwujud (cultural immaterials) yang dihasilkan manusia suku Dayak.

3.1 Bahasa

Mencari bentuk kebudayaan Suku Dayak mungkin tidaklah terlalu sulit karena setidaknya sampai saat ini Suku Dayak masih memiliki mayoritas kesamaan secara budaya. Namun, hal tersebut akan berbeda ketika dihadapkan dengan persoalan bahasa sebagai alat komunikasi dalam kerangka transformasi kebudayaan.

Seperti telah diuraikan di atas, suku-suku Dayak di Kalimantan telah teridentifikasi setidaknya terdapat 405 suku, dengan asumsi memiliki kesamaan budaya, karena diturunkan dari satu nenek moyang (anchestral). Dari 405 suku-suku yang ada dapat pula diasumsikan terdapat kurang lebih 405 bahasa-bahasa yang berbeda satu dengan yang lainnya. Namun, sebagai sebuah suku yang cukup besar di Indonesia, suku Dayak ternyata tidak memiliki satu bahasa yang menyatukan mereka, kecuali bahasa Melayu atau bahasa Indonesia, dan sebagian lain terutama Kalimantan bagian Selatan, sebagian Kalimantan Tengah dan sebagian Kalimantan Timur yang menggunakan bahasa Banjar sebagai alat komunikasi antarsuku dan dalam dunia perniagaan. Kesulitan komunikasi antarsuku Dayak di Kalimantan ini harus menjadi perhatian, karena tidak ada bahasa Dayak, yang ada hanyalah bahasa-bahasa Dayak. Perlu adanya kongres bahasa Dayak yang akan menghasilkan kesepakatan bahasa Dayak mana yang akan dijadikan bahasa pemersatu/bahasa daerah suku Dayak di Kalimantan. Hal ini sangat penting guna memperkokoh kolektivitas dan identitas etnik suku Dayak di Kalimantan dalam memperkaya bingkai kebhinekaan NKRI.

Berbeda halnya yang terjadi di Kalimantan Tengah, bahwa peran bahasa Dayak Ngaju telah dipakai sebagai lingua franca yang dapat saja dalam dinamikanya menjadi bahasa pemersatu antarsuku Dayak. Di samping karena mayoritas penuturnya ‘menguasai’ peta kebahasaan di Kalimantan Tengah (lihat Suryanyahu, dkk.2006) dengan kurang lebih 800.000 penutur (baca Poerwadi, 1993), juga karena bahasa ini telah cukup lama diteliti dan dilakukan kodifikasi, baik dari segi struktur dan tata bahasa maupun sebagai bahasa yang sudah ditransliterasi sejak Misi Gereja Kalimantan Evangelis di Kalimantan tahun 1835. Dalam perkembangannya juga telah dibuat kamus oleh Haardeland (1859) berupa Dajaaksch-Deutsch Worterbuchs, Druck von C.A Spin& Sohn, Amsterdam dan Kamus Bahasa Dayak Ngaju—Indonesia oleh Alfred Bingan dkk. (2005).

Identifikasi bahasa yang dilakukan puluhan tahun silam, tentu sangat berbeda dengan situasi sekarang—karena bahasa selalu dinamis--yang mungkin saja ada beberapa di antaranya sudah punah dan terancam punah. Kepunahan bahasa-bahasa minor di masa lalu, secara asumtif disebabkan oleh adanya tradisi kayau sesama suku Dayak di masa itu dan secara prestise bahwa bahasa-bahasa minor itu kurang tinggi sehingga kurang dihargai oleh penuturnya dan lambat-laun ditinggalkan . Suku-suku kecil yang tidak dominan akan ‘mati’ secara drastis maupun gradual dengan alasan politik dan keamanan sehingga punah tidak terdokumentasi. Oleh karena itu, guna mengungkap kekayaan bahasa yang ada di Kalimantan perlu adanya tim bersama seluruh provinsi di Kalimantan untuk segera menginventarisir dan mengidentifikasi bahasa-bahasa Dayak mana saja yang sudah punah, akan punah, dan terancam punah,serta bahasa-bahasa yang masih bertahan dalam bentuk bahan tertulis yang terdokumentasi dengan baik (textual materials) sebagai warisan generasi mendatang. Hasilnya diharapkan akan menjadi rekomendasi kepada pemerintah daerah untuk menentukan kebijakan bahasa (laguage policy) berupa bahasa-bahasa (dan sastra) mana di daerahnya yang sesuai baik sebagai bahan ajar/muatan lokal pada tataran institusi pendidikan formal, maupun sebagai bahan ajar bagi pendatang (baca: pihak luar). Mengapa juga dibutuhkan bagi pendatang (pihak luar), hal ini berdasarkan pengamatan penulis bahwa secara kasuistik kegagalan pihak luar yang ingin mendiami dan hidup di Kalimantan merupakan sebuah kegagalan dalam mempelajari budaya lokal, khususnya bahasa sebagai alat transformasi budaya itu sendiri. Hal ini menyiratkan bahwa peroalan bahasa seolah tergampangkan, padahal di lain pihak, ia justru menjadi sarana penting pemahaman lintasbudaya (intercultural understanding). Jadi, singkatnya adaptasi linguistik (dan budaya) harus berbanding lurus dengan adaptasi sosial dalam kerangka pemahaman lintasbudaya masyarakat di Kalimantan.

Bersambung...

05 November, 2008

SEABAD KEBANGKITAN NASIONAL DAN 80 TAHUN SUMPAH PEMUDA: MASIHKAH TERSISA SEJUMPUT MAKNA NASIONALISME?

Anthony Nyahu
Nasionalisme masa kini muncul dalam realitas yang cenderung sempit, manakala berada di suatu wilayah di luar negeri atau ketika sama-sama satu nasib di negeri orang. Nasionalisme bagi sebagian masyarakat Indonesia adalah bendera Merah Putih yang berkibar dengan gagah di tiang tinggi ketika para anak bangsa berhasil memenangkan kompetisi di luar negeri. Nasionalisme juga bagi sebagian orang adalah bagaimana menegakkan kedaulatan di tengah pulau yang tidak pernah kita pelihara. Nasionalisme bagi sebagian orang adalah menggunakan produk nasional meskipun kualitasnya tidak sesuai dengan nilai yang harus dibayar. Namun, nasionalisme macam apakah yang dibutuhkan oleh negeri ini pada masa yang sudah sangat canggih ini? Mengembalikan nasionalisme sesuai zamannya adalah sesuatu yang mustahil, mission impossible. Realitas nasionalisme pada era kolonialisme tentu sangat berbeda dengan zaman pascakemerdekaan. Begitu pula realitas nasionalisme yang muncul setelah beberapa orde silih berganti hingga era reformasi ini. Mengembalikan nasionalisme dalam romantisisme nostalgik tidak akan memperbesar rasa nasionalisme itu sendiri. Di tengah hiruk-pikuk berbagai tuntutan disintegrasi yang terjadi di Indonesia (Aceh, Papua), muncullah pemikiran analitis terhadap esensi: ada apa yang sebenarnya terjadi dengan nasionalisme dalam benak sebagian besar masyarakat Indonesia? Ketidakpuasan akan situasi negeri ini tentu bukan persoalan mendasar—selain sebuah makna kemiskinan dan ketidakadilan. Apakah rasa nasionalisme kita sudah dijajah juga? Nasionalisme tidak dapat dipandang dalam perspektif sempit, di mana terbatas kepada hal-hal realistik semata seperti terlihat dalam deskripsi di atas. Nasionalisme tidak bergerak dalam ruang yang sempit dan terhimpit. Ia bergerak dalam ruang bathin yang amat luas dan beraneka ragam yang dimiliki setiap insan manusia Indonesia. Nasionalisme bagi orang kecil di pedalaman adalah kebanggaan atas negaranya, yang lahir dari dalam lubuk hatinya, bahwa ia adalah bagian dari sebuah komunitas kolektif yang terikat dalam suatu kesatuan hukum (negara) sebagai seorang warga negara (citizenship of nation). Agak berbeda dengan para politisi/calon politisi. Nasionalisme mungkin berwujud berupa terbukanya ruang-ruang politik bagi setiap orang untuk ikut melakukan pendidikan politik dan demokratisasi. Singkatnya, nasionalisme adalah perasaan kebangsaan yang mutlak harus dimiliki oleh setiap warga negara dalam satu ikatan hukum dalam wadah formal yang dikenal dengan negara. Ada apa dengan nasionalisme, di tengah carut-marutnya bermacam persoalan yang mendera bangsa yang besar yang bernama Indonesia ini? Apa yang terjadi dengan mindset masyarakat Indonesia dalam memaknai sebuah kata nasionalisme? Nasionalisme yang telah dicanangkan oleh para pendiri negara ini (founding fathers) adalah nasionalisme yang terus meluas mencari bentuk eskalatif sosiopolitik menuju Indonesia yang ideal. Nasionalisme merupakan sarana fasilitasi gerakan politik untuk mewujudkan cita-cita ideal suatu bangsa—terlepas dari era dan bentuknya yang cenderung narsistik, relatif dan utopis. Nasionalisme yang dimanifestasikan dalam jargon-jargon dan slogan politik merupakan sarana efektif yang mampu membangkitkan sense of belonging terhadap ikatan emosional pemimpin suatu negara dengan warga negaranya—dengan melepaskan atribut nostalgik dan romantisisme berlebihan, tentunya. Nasionalisme, mungkin wajar kita pertanyakan di masa kini, meskipun kita masih belum lupa warna bendera sendiri (kata Iwan Fals) tetapi mungkin sebagian sudah lupa beberapa bait lirik lagu kebangsaan atau butir Pancasila. Lalu, dalam relevansinya memperingati seabad Kebangkitan Nasional dan 80 Tahun Sumpah Pemuda, nasionalisme macam apa yang ideal ditransformasikan kepada generasi masa kini? Haruskah mereka hafal ke-36 butir Pancasila atau Lagu Indonesia Raya? Cukupkah nasionalisme itu terejawantahkan dengan kata tanpa perbuatan di tengah mirisnya solidaritas kebangsaan antar elite politik negeri ini? Guru kencing berdiri, murid kencing berlari, kata sebuah pepatah. Atau kacau balau negaraku ini, kata Slank dalam lagunya “Gosip Jalanan”. Prestasi kepemimpinan negara Indonesia mengelola sebuah negara besar yang serbamulti (etnik, agama, dan ras) merupakan sebuah prestasi yang pantas dipuji kalangan internasional, mengingat di negara besar ini tidak sebanyak negara lain yang diliputi berbagai konflik. Hal ini mungkin saja sebagai sebuah bukti bahwa ternyata NKRI itu utuh ditinjau dari ikatan emosional dan historisitas bangsa dalam bersama-sama membangun sebuah negara bangsa yang bernama Indonesia. Dapatkah situasi ini bertahan di tengah kepesatan kemajuan peradaban dunia? Terlepas dari seberapa besar rasa nasionalisme yang dimiliki masyarakat Indonesia kini, perjalanan panjang sebuah negara bangsa yang bernama Indonesia ini tidak luput dari proses trial and error dalam mencari bentuk yang ideal menuju perwujudan cita-cita ideal tadi. Pondasi nasion dan nasionalisme yang diletakkan oleh para pendiri negara di masa lalu telah direstorasi dengan berbagai macam amandemen konstitusi negara dan sistem pemerintahan. Ada beberapa catatan yang membuktikan asumsi ini,misalnya ketidakjelasan kriteria para capres, proses legislasi yang mampat pada era demokratisasi di masa lalu, dan pendidikan politik yang rendah. Lalu, dalam konteks Seabad Kebangkitan Nasional, nasionalisme seperti apa yang masih melekat di hati sanubari masyarakat Indonesia? Masyarakat Indonesia harus pantas bersyukur (karena sebagai bangsa yang besar kita selalu ‘pandai’ bersyukur) bahwa sampai detik ini nasionalisme yang begitu luas masih melekat dalam Sumpah Pemuda, yang memuat suatu ikatan emosional kebangsaan: kesatuan bangsa, tanah air dan bahasa, yaitu Indonesia! Satu hal yang amat penting memadukan kedua komponen lainnya adalah bahasa. Mengapa? Karena bahasa menjadi alat yang amat ampuh untuk menyatukan ribuan suku dalam pulau (tanah air) dan bangsa yang dikenal dengan Indonesia sampai detik ini. Bisakah kita bayangkan seandainya Indonesia tidak memiliki satu bahasa yang menyatukan ribuan suku bangsa itu? Konon, karena orang berbicara dalam satu bahasa akan dikenal asal negara di mana berada. Pepatah mengatakan, bahasa menunjukkan identitas bangsa. Nasionalisme yang dibutuhkan masyarakat dewasa ini adalah tergantung dari perspektif kita memandang makna nasionalisme itu sendiri. Terserah Anda dari sudut pandang mana. Entah dalam bentuk apapun yang dapat memajukan bangsa, bukan justru mengambrukkan bangsa. Bukan disintegrasi atau separatis, walaupun masih banyak ketidakpuasan. Tegak atau runtuhnya negara ini di masa datang terletak kepada seberapa besar rasa nasionalisme yang kita miliki saat ini. Semua keputusan ada di tangan para warga negara yang besar ini. Begitu pula harga diri dan kedaulatan bangsa di mata dunia internasional. Sebagai bangsa yang besar maka pantas pula negara ini melakukan langkah-langkah kecil menuju langkah besar dalam membenahi carut-marut persoalan bangsa dan percaturan politik dunia demi mewujudkan cita-cita bangsa ini. Nasionalisme, bagi masyarakat Dayak adalah sebuah refleksi kehidupan komunal dalam suatu kesatuan kolektif seperti tergambar dalam huma betang (rumah panjang), di mana di dalamnya terikat secara emosional untuk bersama-sama mewujudkan cita-cita luhur bangsa. Nasionalisme, bagi mereka adalah kebanggaan atas sungainya, danaunya, dan tanahnya ( di dalam satu kesatuan negara Indonesia) yang memberikan kehidupan untuk terus dan tetap bertahan hidup di tengah kepungan buldoser zaman yang terus menghimpit dan belantara korporasi yang semakin merimbun hingga hampir tak bersisa untuk ruang hidup (public sphere). Nasionalisme, bagi masyarakat Dayak adalah pengakuan atas eksistensi dan keberlangsungan hidup mereka untuk masa kini dan masa datang sebagai bagian dari suku bangsa yang hidup dan berkembang di bumi ini. Mereka tidak menuntut separatisme apalagi merdeka; yang mereka butuhkan adalah kesejajaran. Kesejajaran dalam berbagai bidang untuk bersama-sama membangun bangsa dari Tanah Dayak, untuk dan atas nama sebuah negara Indonesia. Mereka juga butuh perlindungan, perlindungan dari kejamnya belati investasi yang menikam mereka hingga tersungkur di tanah yang dulunya memberi mereka penghidupan. Selain itu, mereka juga punya hak; hak untuk menikmati kue yang bernama pembangunan; untuk dan atas nama sebuah kata keramat: keadilan. Mereka tidak butuh belas kasihan, apalagi memelas; karena itu bukan filosofi rengan tingang( keturunan Tingang) dan Tambun Bungai. Mereka punya hak untuk menikmati beras dari padi yang tumbuh di tanah mereka yang subur dan mereguk nikmatnya sebagian dari kekayaan buminya untuk sebuah tujuan: kesejahteraan bagi seluruh rakyat, masa kini dan akan datang di belahan bumi Indonesia tercinta. Dengan demikian, masyarakat Indonesia yang serbamulti ini merasakan peningkatan taraf hidup yang lebih baik, peningkatan kualitas kesejahteraan atas buah dari kekayaan alamnya; dan juga --yang lebih penting—peningkatan kualitas emosional para pemimpin yang mampu menyatukan bangsa dan mengatasi persoalan bangsanya, bukan pemimpin yang pandai menguras air mata, prihatin, dan bermain teater kehidupan di panggung yang sepi! Kalau pandai demikian, lebih baik main sinetron atau telenovela saja, jadilah tokoh protagonis, maka ibu-ibu pasti akan memilih Anda di 2009!

25 Oktober, 2008

KEBUDAYAAN DAYAK DAN MOMENTUM 80 TAHUN SUMPAH PEMUDA: APA YANG MASIH TERSISA?

Anthony Nyahu
Kebudayaan Dayak di Kalimantan merupakan salah satu kekayaan kebudayaan nasional. Kebudayaan yang telah turun temurun diwariskan oleh nenek moyang suku Dayak telah membentuk kepribadian dan karakteristik kebudayaan Dayak yang dikenal sekarang ini. Namun, seberapakah nilai-nilai kebanggaan atas warisan kebudayaan itu bagi generasi masa kini? Tidak ditemukan suatu parameter akan hal itu, namun yang jelas sejak suku bangsa ini ada dan masa-masa kelam pasang surutnya peristiwa dalam sejarah—seperti tertuang dalam Tetek Tatum (riwayat manusia suku Dayak (Ngaju)) hingga terjajah oleh kolonialis dan masa global ini, suku Dayak dikenal sebagai suku yang pandai mewarisi kebudayaannya—terutama yang bersifat lisan (oral tradition). Riwayat tentang kepahlawanan (dalam Sansana Bandar), riwayat epos Tambun Bungai, dan tentang filosofi kemanusiaan, dan kearifan tradisionalnya terhadap alam,serta ketuhanan seperti Kaharingan mengetengahkan suatu fokus pemikiran bahwa suku Dayak adalah suku yang pandai mengartikulasi semua noktah peristiwa dalam suatu konstelasi dan episode kehidupan yang amat memukau. Pandangan inilah yang semakin mempertegas karakteristik dan etos masyarakat suku ini dalam memandang hidup dan menjalani kehidupannya. Filosofi kehidupan suku Dayak yang sangat akrab dengan alamnya, tatanan sosiokultural yang melekat padanya, sampai sifat terbuka mendudukkan suku ini sebagai suatu kesatuan yang inklusif dan mampu berdampingan hidup secara egaliter dalam kelompok komunal yang lebih luas. Filosofi itu tergambar dalam kehidupan komunal di dalam huma betang (rumah panjang yang dihuni oleh puluhan keluarga) yang diilustrasikan sebagai cermin kebhinekaan. Hal ini sejalan dengan kehidupan berbangsa dan bernegara dalam konteks yang lebih luas. Namun, terlepas dari semua puja-puji tentang kepahlawanan manusia suku Dayak, kekayaan budaya dan kearifan tradisionalnya, muncullah berbagai pertanyaan yang selalu menggelitik menuntut jawab: apakah semuanya masih eksis dan bertahan dengan situasi suku Dayak di masa kini? Apakah kita telah terjebak dalam buaian-buaian lullaby narsistik yang berlebihan sehingga lupa untuk mengilhami makna kebudayaan itu? Sementara, bagaimana manifestasi dari nilai-nilai kepahlawanan para leluhur itu disikapi generasi masa kini, atau masihkah filosofi huma betang yang amat dijujung tinggi itu menjadi bagian keseharian Oloh Dayak (orang Dayak) di masa kini yang tercerai berai (mulus di luar, retak di dalam) dengan konstelasi zaman yang serba individualistik dan hedonistis ini? *********** Saya jadi teringat dengan cerita orang tua dahulu ketika saya masih kecil bahwa ada tiga orang petinggi yang menumpang sebuah perahu. Ada tamanggung, damang, dan dambung. Di tengah perjalanan, perahu mengalami kebocoran di dasarnya, lalu tidak ada yang mau menambal atau menimba air agar keluar dari perahu itu karena masing-masing merasa gengsi (maklum, sama-sama pejabat), akhirnya perahu tersebut tenggelam dan mereka masing-masing menyelamatkan diri berenang ke tepian. Sungguh, cerita itu masih terekam dengan baik di otak saya hingga kini, sampai saya mengamati dan menganalisis sendiri dalam hidup dan keseharian di tengah masyarakat suku ini,—setidaknya untuk saya yang dilahirkan dan dibesarkan di kampung di era 70-an dan bagian dari Oloh Dayak. Cerita tersebut selalu terngiang dan seolah terpampang pada papan-papan tulis di sekolah dan menyisakan berbagai penafsiran bagi saya. Betapa tidak, suku Dayak telah sangat lama membuat perbedaan status sosial: utus gantung (keturunan bangsawan; petinggi) dan utus randah/utus jipen (keturunan budak belian dan termasuk di dalamnya utus hantuen/manusia jadi-jadian yang dapat menghisap darah secara magis). Perbedaan tersebut menyisakan dua hal yang masih akrab dan bergelut dengan situasi Dayak masa kini. Pertama, berkaitan dengan cerita tadi, Oloh Dayak/orang Dayak yang kebetulan dilahirkan dengan strata sosial tinggi bertahan dengan gengsi status quo-nya, sehingga lebih baik sama-sama tenggelam dan SDM (selamatkan diri masing-masing) daripada dipandang rendah oleh koleganya yang lain; kedua, dalam konteks demikian mengapa filosofi huma betang, habaring hurung, handep hapakat kok tidak diterapkan? Atas nama perbedaan yang ada dan sudah ada tersebut mengapa tidak dipandang sebagai sebuah kekayaan/potensi untuk bersama-sama melakukan perubahan demi kepentingan dan kemajuan bersama? Lalu, apa hubungan filosofi, kearifan tradisional, dan kepahlawanan dan etos suku Dayak sebagai anak alam dengan cerita di atas dengan kebudayaan Dayak pada masa kini? Orang lain, sebagai outer group dari suku Dayak pantas bertanya-tanya. Apa yang terjadi dengan pergeseran kebudayaan dan pola pikir masyarakat suku Dayak di tengah hiruk-pikuk modernisasi di zaman yang serba canggih (sophisticated) ini? Adakah peran yang harus dimainkan untuk mencoba mereposisi pemikiran (mindset) Oloh Dayak atau generasi masa kini terhadap pola-pola yang bergeser itu? Inikah dampak dan impak dari sebuah kata ajaib yang bernama modernisasi? Apakah modernisasi itu harus meluluhlantakkan sendi-sendi budaya sehingga ia bebas lepas untuk bergeser dan menyaru menjadi budaya lain? Apakah modernisasi menuntut manusia Dayak menjadi individualistik dan hedonistis serta oprtunistis (SDM—selamatkan diri masing-masing)? Inikah refleksi dari etos generasi Tambun Bungai yang terkenal mamut menteng (gagah berani) itu?Karena alasan ekonomi kah gejala ini muncul? Mungkin masih banyak lagi pertanyaan apakah lainnya. Dalam perspektif sosiologis, suku Dayak terbagi menjadi tiga bagian berkaitan dengan pewarisan budaya yang dimilikinya. Bagian pertama, kelompok masyarakat suku Dayak yang bermukim di pedalaman, di kampung-kampung yang mungkin masih tersisa kemurnian kebudayaannya adalah bagian masyarakat yang bertahan dengan pola budaya tolong-menolong, solider, dan loyal dengan ikatan komunalnya. Bagian ini masih mewarisi budaya leluhur dan menganggap bahwa kebudayaan merupakan bagian dari pembangunan kemanusiaan (human development). Bagian ini sudah terserap modernisasi tetapi masih kuat bertahan dengan kearifan tradisionalnya ; bagian kedua adalah bagian tengah yakni bagian masyarakat yang sedang-sedang saja, artinya masih tetap bertahan dengan sebagian dari kebudayaannya namun juga sudah mulai menyerap unsur-unsur modernisasi (tidak mundur tetapi tidak juga maju; jalan di tempat), bagian ini merupakan bagian yang cenderung ambil posisi aman saja; ndak usah macam-macam; cenderung pasrah dan acuh terhadap pewarisan budayanya kepada generasi setelahnya. Bagi mereka, budaya adalah budaya, ia akan mengalami seleksi alamiah, tidak ada kewajiban yang mengharuskan untuk mewariskannya; dan bagian ketiga adalah bagian dari pucuk piramida, kaum elite dan intelektual dan berwawasan luas, menguasai teknologi dan ilmu pengetahuan namun hampir sama dengan bagian kedua, yakni mewariskan budaya menjadi bagian yang tidak terlalu penting dan harus di masa kini yang serba canggih. Hanya saja yang membedakannya adalah cara pandang dan keprihatinan mereka dalam melihat eksistensi kebudayaan dan kehidupan di masa yang akan datang. Dalam konstelasi demikian, maka peranan kaum elite dan intelektual merupakan garda depan yang harus menjadi motor penggerak masyarakat bagian tengah untuk tetap mempertahankan kebudayaan dan mereposisi perubahan pola pikir manusia suku Dayak. Kaum inilah (yang didominasi oleh kaum muda yang progresif) yang menjadi pewaris kebudayaan, sehingga maju-mundurnya kebudayaan di masa depan berada di tangan mereka. Perubahan pola pikir tidak harus serta merta menanggalkan kebudayaan, karena kebudayaan merupakan penapis/filter bagi kebudayaan lain yang tidak sesuai dengan kepribadian manusia Dayak. Jika tidak, maka yang terjadi adalah secara eskalatif muncullah gerakan eskapisme terhadap budaya sendiri: lebih bangga dengan kebudayaan lain--kebudayaan baru sebagai pengabur identitas lama—untuk dan atas nama sebuah identitas modern. Berkaitan dengan itu pula, 80 tahun setelah Sumpah Pemuda, yang dikumandangkan dan dimotori oleh kaum muda Indonesia, telah tercatat dalam tinta emas sejarah. Peranan kaum muda dalam peristiwa bersejarah Kebangkitan Nasional 1908, Sumpah Pemuda 1928, Proklamasi Kemerdekaan RI 1945, Orde Baru 1966, dan Reformasi 1998, mengingatkan kita akan peran mereka dalam maju-mundurnya perjalanan kebangsaan. Namun, mampukah kita sebagai bagian dari kaum muda Dayak menjadikan semua itu sebagai ‘kebangkitan’ soliditas dan solidaritas, serta pola pikir dan perspektif yang benar-benar baru (yang tidak terjebak dalam romantisisme etnosentris berlebihan) untuk bergandeng tangan bersama-sama berjuang mengembalikan filosofi huma betang, habaring hurung, handep hapakat kepada tempatnya untuk membebaskan suku Dayak dari kebodohan, kemiskinan, dan pemarjinalan? Apabila tidak sekarang,kapan lagi? Kalau bukan kita Oloh Dayak,lalu siapa lagi? Lalu, apalagi yang tersisa dari kebudayaan Dayak di masa depan? Mungkin perlu adanya sumpah pemuda-sumpah pemuda Dayak, yang lepas dari vested interest agar ada ikatan yang lebih solid untuk ikut membangun Tanah Dayak? Yang di dalamnya melebur ke dalam satu kesatuan yang utuh tanpa melihat perbedaan utus gantung/utus randah, oloh Kahayan, oloh Kapuas, oloh Katingan, oloh Maanyan, dan oloh-oloh lainnya, menjadi satu payung bernama Oloh Dayak Kalteng? Sanggupkah kita mengumpulkan kembali bilah-bilah lidi yang tercerai-berai ini ke dalam satu ikatan sapu lidi dan dapat menjadi satu kekuatan untuk melakukan perubahan? Sesungguhnya, kita hanya pandai membuat rencana (planner), tetapi mungkin harus belajar keras untuk memulainya, melaksanakannya (kata seorang teman yang studi di Belanda) dan membina dari apa yang telah kita lakukan. Kita harus belajar banyak untuk menjadi eksekutor, menjadi pelaksana atas apa yang telah kita rencanakan dan mengevaluasinya.Tetapi benarkah kita juga semakin pandai meratapi, menyalahkan dan memasrahkan diri atas takdir yang menimpa kita? Akankah kebudayaan Dayak seperti halnya kebudayaan Indian di Amerika yang lambat-laun akan punah? Atau mungkin kita selama ini terlalu narsis, mungkin benar, mungkin juga keliru. Hanya waktu yang akan menjawabnya…Semoga!

24 Maret, 2008

PEMBELAJARAN BAHASA DAERAH DALAM KERANGKA PEMAHAMAN LINTAS BUDAYA MASYARAKAT MULTIKULTURAL: STRATEGI PREVENTIF TERHADAP KONDISI DISHARMONI DAN MANAJEMEN PASCAKONFLIK DI KALIMANTAN TENGAH
Oleh : Anthony Nyahu
Pendahuluan
Indonesia yang terbentang dari Sabang sampai Merauke, dari Aceh hingga Papua diperkaya oleh beratus suku, bahasa dan budaya. Oleh karena itu, Indonesia hadir dengan selumbung kekayaan bahasa dan budaya. Summer Institute of Linguistics (2001) dalam The Languages of Indonesia menyebutkan bahwa paling sedikit terdapat 726 bahasa-bahasa di Indonesia. Belum lagi dialek-dialek dan subdialek yang jumlahnya mencapai ribuan pada masyarakat tutur yang dianggap minor di berbagai kepulauan baik besar maupun kecil. Kondisi bahasa dan budaya yang berbeda demikian tidak jarang menimbulkan friksi-friksi yang berkepanjangan bahkan secara faktual berbuah pada kondisi disharmoni/konflik antarmasyarakat tutur yang berbeda secara budaya. Namun perbedaan itu hendaknya tercipta sebagai sarana pengayaan pemahaman bermasyarakat dan berbangsa di bawah satu pemahaman yang lebih luas dalam sebuah wawasan nasional, yakni Wawasan Nusantara. Masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang serbamulti: multibahasa, multiagama dan multietnis dengan menggunakan satu bahasa nasional yaitu bahasa Indonesia telah merekatkan semua kalangan dan menerima semua perbedaan kebahasaan dan kebudayaan daerah sebagai kekayaan kebudayaan nasional. Jaminan negara terhadap bahasa seperti telah terjabarkan dalam Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945, Pasal 32 Ayat (1) dan (2), yang mendudukkan posisi bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional dan bahasa resmi negara. Dengan status demikian, nasionalisasi bahasa Indonesia semakin kukuh sebagai lambang jatidiri bangsa. Kecenderungan tersebut memosisikan bahasa Indonesia menjadi bahasa yang mempunyai kedudukan lebih tinggi dibanding bahasa-bahasa daerah. Hal ini akan berpengaruh dengan terhimpitnya nya ruang tutur (speech space) bagi bahasa-bahasa daerah, terutama pada ruang tutur bahasa daerah yang selama ini telah terjadi kedwibahasaan, diglosia, dan keanekabahasaan (periksa Suryanyahu, Katingan Pos Minggu II/juni 2003). Krauss (1992) dalam Mahsun (2004) mengelompokkan bahasa ke dalam tiga kelompok berdasarkan gejala umum yang terjadi pada bahasa-bahasa di dunia ,seperti jumlah penutur, prestise sosiokultural, dan dukungan pemerintah terhadap pemakaiannya, yakni: a). kelompok bahasa yang tidak lagi dikuasai dan digunakan oleh anak-anak dari penutur suatu bahasa; b). kelompok bahasa yang dalam satu/dua generasi tidak lagi dikuasai dan dipelajari oleh ketururunan penutur suatu bahasa; dan c). kelompok bahasa yang termasuk kategori aman yang masing-masing disebut moribund, endangered dan safe. Padahal di lain pihak, bahasa daerah memegang peran penting bagi perbendaharaan kosa kata bahasa Indonesia. Upaya untuk mengangkat budaya (baca: bahasa) daerah ke dalam kosa kata bahasa nasional diharapkan sebagai langkah nyata pemeliharaan bahasa-bahasa daerah, di samping itu dari sanalah kita berpijak bahwa keberagaman tercipta sebagai kekayaan bukan sebaliknya. Salah satu keputusan yang bersifat politis yang dihasilkan Seminar Politik Bahasa tahun 2000 adalah ditentukan fungsi bahasa daerah sebagai: (a) lambang kebanggaan daerah, (b) lambang identitas daerah, (c) alat perhubungan di dalam keluarga dan masyarakat daerah, (d) sarana pendukung budaya daerah dan bahasa Indonesia, (e) pendukung sastra daerah dan sastra Indonesia. Selain itu, dalam hubungannya dengan bahasa Indonesia, bahasa daerah berfungsi sebagai: (a) pendukung bahasa nasional, (b) bahasa pengantar di sekolah dasar di daerah tertentu pada tingkat permulaan untuk memperlancar pengajaran bahasa Indonesia dan mata pelajaran lain, dan (c) sumber kebahasaan untuk memperkaya bahasa Indonesia, serta (d) dalam keadaan tertentu dapat berfungsi sebagai pelengkap bahasa Inonesia di dalam penyelenggaraan pemerintahan pada tingkat daerah (Alwi dan Dendy Soegono (2000) dalam Mahsun (2004)). Berpijak dari pernyataan di atas, bahasa daerah cenderung diperhatikan setelah pembinaan terhadap bahasa Indonesia semakin massif. Dalam konsep tersebut, bahasa daerah tetap dipertahankan oleh penuturnya pada tataran komunikasi antarmasyarakat daerah dan di dalam keluarga, sebagai pemerkaya khazanah bahasa Indonesia. Hal ini semakin diperjelas dengan adanya otonomi daerah, yang di dalamnya tertuang wewenang dan kreativitas para pemimpin daerah untuk membuat politik bahasa dan perencanaan bahasa daerah di masing-masing daerah. Sehingga bahasa daerah wajib mendapatkan perlakuan yang sama dibanding kebijakan yang lain. Selama ini tidak disadari adalah kurangnya pemberdayaan bahasa daerah sesuai fungsinya, terutama pembuatan materi bahan pembelajaran bahasa daerah yang cenderung memaksakan bahasa mayor dengan mematikan bahasa minor karena bukan lingua franca, sebagai contoh bahasa Dayak Ngaju yang ‘dipaksa’ untuk diajarkan pada wilayah tutur yang berbeda. Tentu kenyataan ini tak dapat dibiarkan karena secara tidak langsung telah terjadi ‘pembunuhan bahasa’ (linguicide) terhadap bahasa minor. Bahasa minor dipertahankan hanya sampai pada tataran komunitas tutur yang lebih kecil, bahkan ada kecenderungan untuk tidak lagi bangga menggunakannya dan menurunkannya kepada generasi sesudahnya. Gejala ini muncul sebagai akibat dari kuatnya pengaruh bahasa mayor yang mempunyai prestise tinggi. Hal lain yang tak kalah pentingnya adalah kecenderungan bahasa Indonesia bergeser dari fungsinya sebagai bahasa resmi dan bahasa nasional serta bahasa pengantar dalam dunia pendidikan menjadi bahasa yang juga dipakai dalam wilayah tutur rumah tangga dan pergaulan (periksa Suryanyahu, “Sikap Bahasa dan Pilihan Bahasa Penutur Jati Bahasa Dayak Ngaju di Kota Palangka Raya, laporan penelitian pada Balai Bahasa Provinsi Kalimantan Tengah, 2005). Dari hasil penelitian tersebut ditemukan bahwa sikap bahasa masyarakat penutur jati bahasa Dayak Ngaju cenderung negatif dan tidak lagi memandang bahasa ibunya sebagai sebuah lambang identitas dan kebanggaan. Berperannya upaya alih kode dengan menggunakan bahasa bahasa lain, misalnya bahasa Banjar dan campur kode terhadap bahasa ibu justru akan semakin mengancam rusaknya tatanan bahasa ibu. Tak jarang proses campur kode itu terjadi karena di dalam bahasa Dayak Ngaju sendiri tidak ditemukan padanan katanya maupun tidak mengenal tingkatan/unda usuk bahasa, seperti pada bahasa Jawa dan Banjar. Namun biasanya dalam tindak tutur masyarakat Dayak Ngaju yang sangat egaliter, penyebutan predikat teknonimis dipandang sebagai salah satu ragam bahasa halus, misalnya pemanggilan teknonimik terhadap seseorang yang yang telah berkeluarga yang tidak lagi memanggil sebutan namanya tetapi nama anak tertua sebagai contoh: orang lebih Bapa Enon dibandingkan Cilik Riwut, Indu Lamiang, atau gelar lain dari keturunan yang lebih muda (anak/cucu) kepada orang tua dari ayah/ibu, misalnya Bue Janggut, Tambi Bitak, kepada saudara dari ayah/ibu, misalnya Mama Bakas, Mina Benteng, dll. Hal ini terjadi berdasarkan budaya turun-temurun yang menganggap bahwa pemanggilan nama seseorang yang dianggap lebih tua selain tidak sopan juga akan berakibat kualat. Dengan demikian, pembelajaran bahasa Dayak Ngaju tidak saja secara linguistis mempelajari komponen fonem ‘mahalau, lah’, sebagai [m,a,h,a,l,a,u l,a,h] sebagai kata ‘lewat, ya’ atau ‘permisi, mau lewat’ tetapi ungkapan tersebut disertai dengan membungkukan badan adalah manifestasi etika bahasa tubuh apabila melewati orang yang lebih tua. Pembelajaran unsur etika dalam pembelajaran bahasa daerah inilah yang sangat penting bagi pendidikan usia dini, terutama bagi generasi sekarang yang telah korosif oleh pengaruh budaya dari luar. Pembelajaran Bahasa sebagai Esensi Pembelajaran Budaya Pembelajaran bahasa adalah pembelajaran budaya, etika,dan moralitas. Membangkitkan kembali pembelajaran indoktrinatif tentang moralitas, etika, dan filosofi kearifan lokal melalui bahasa daerah, adalah komponen penting yang tak dapat dilepaskan dari pendidikan kognitif dan pedagogis. Konsep ini telah tertuang dalam esensi pembangunan manusia seutuhnya, yaitu pembangunan mental dan spiritual manusia Indonesia yang Pancasilais. Melalui bahasa daerah, pemahaman budaya daerah diharapkan akan berbanding lurus. Mahsun (2004) mengemukakan bahwa adanya kesepadanan adaptasi linguistik dan adaptasi sosial pada masyarakat tutur yang berbeda bahasa (Proposal Riset Unggulan bagi Kemanusiaan dan Kemasyarakatan VI). Inilah salah satu strategi bagaimana peran bahasa yang berbeda-beda pada wilayah tutur yang berdekatan dapat berterima oleh masyarakat tutur pada wilayah masing-masing. Dengan demikian, apabila dikontrastifkan dengan pengalaman faktual yang dialami Kalimantan Tengah terhadap saudara-saudara kita dari wilayah yang sama sekali berbeda bahasa dan budaya. Tentu saja ini bukan dalam rangka penyeragaman budaya, namun esensi yang ingin didapatkan adalah terciptanya pemahaman budaya yang holistik, filosofis, dan apresiatif pada masing-masing pihak. Konteks demikian menempatkan perbedaan sebagai keanekaragaman yang memperkaya wawasan nasional kita, bukan hanya dari kaca mata budaya kita sendiri. Sentimentalitas etnis dan individu harus dihindari dalam kerangka pemahaman ini. Artinya, kita menempatkan diri sebagai manusia secara universal, yang harus adaptif dengan situasi dan kondisi lingkungan sosial dengan harapan mampu diterima secara sosial dan budaya. Hal ini dilakukan bukan dalam pendekatan indoktrinatif, namun lebih sebagai pendekatan persuasif dengan mengedepankan kebersamaan secara utuh dan timbal balik. Kesalahan dalam memaknai budaya di Kalimantan Tengah pra dan pascakonflik etnis tahun 2001 telah mengakibatkan kerugian yang sangat besar. Dampak yang dirasakan tidak saja secara ekonomis, tetapi lebih secara psikologis. Ditambah lagi dengan asumsi dan spekulasi pandangan luar negeri tentang Kalimantan Tengah. Hal ini tidak dapat terus dibiarkan agar kasus tersebut diposisikan pada tempat yang proporsional. Sebagai pemicu (trigger) adalah masalah budaya, yang selama ini tidak dapat diadaptasi dan dipahami dengan baik. Pemahaman dalam memaknai budaya (daerah) tidak serta merta diiringi dengan pemahaman terhadap bahasa (daerah). Bagaimana mempelajari budaya lokal apabila tidak diiringi dengan infrastruktur bahasa lokal yang mapan dan adaptif? Filosofi di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung hanya akan menjadi slogan yang selalu digaung-gaungkan dan sia-sia tanpa adanya pemahaman budaya yang komprehensif dan apresiatif. Segencar apapun sosialisasi yang dilakukan apabila masih terjebak pada paradigma lama dalam manajemen konflik, niscaya akan menjadi api dalam sekam dan bom waktu. Apalagi penanganan startegi konflik yang parsial tidak akan serta merta menyelesaikannya menjadi kebijakan politis yang abadi. Kita, sebagai bangsa yang berlandaskan Pancasila, akan mengedepankan permusyarawatan. Sebagai manusia, siapapun berhak untuk tinggal dan menempati suatu wilayah yang dipersyaratkan dengan kondisi dan adaptasi sosial dan budaya lokal. Adaptasi sosial-budaya akan sia-sia tanpa adaptasi linguistik. Penutup Rekonsiliasi konflik tanpa pemahaman timbal balik (mutual understanding) tidak akan menghasilkan solusi yang baik dan akseptabel. Untuk melakukan rekondisi dan rehabilitasi pemahaman tentang budaya yang komprehensif dibutuhkan: 1. Pemahaman budaya daerah lebih memprioritaskan pembelajaran bahasa daerah sebagai sarana untuk belajar moralitas, filosofis, dan akseptabilitas sosial; 2. Pengajaran bahasa daerah membutuhkan infrasruktur bahasa (daerah) standar yang mapan (yang diseminarkan dan dilokakaryakan pada daerah masing-masing), bahan ajar yang sesuai GBPP, analisis kebutuhan dan kondisi daerah (yang dilokakaryakan dan diseminarkan) beserta kuantitas dan kualitas tenaga kependidikan untuk itu pada tingkat pendidikan formal (TK, SD) dan sektor nonformal; 3. Kebijakan bahasa (language policy) dari pemimpin daerah khususnya Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah terhadap bahasa-bahasa yang ada di wilayahnya dengan mempertimbangkan fungsi dan kedudukan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional; 4. Memperlakukan komponen bahasa sebagai bagian dari budaya daerah dijadikan sebagai komoditas budaya yang juga sama pentingnya dengan komoditas lain; 5. Melakukan kaji ulang terhadap manajemen pascakonflik; 6. Melakukan rehabilitasi internasional dan reposisi terhadap pandangan tentang kredibilitas budaya Dayak di mata dunia guna menarik minat investasi luar negeri, penelitian tentang budaya, dan pengembangan sumberdaya manusianya; 7. Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah harus melakukan kaji ulang terhadap analisis kebutuhan yang sesuai dengan kondisi daerah utamanya tentang analsis GBPP dan bahan ajar muatan lokal yang sesuai di daerah dengan mengelola perbedaan sebagai realitas budaya yang memperkaya kebudayaan nasiona (seperti yang telah dilakukan di Provinsi Nusa Tenggara Barat) serta sebagai fasilitator bagi penyediaan infrastruktur mapannya bahasa daerah; termasuk di dalamnya pembinaan terhadap bahasa-bahasa daerah yang hampir punah; 8. Menghidupkan kembali filosofis kearifan lokal, karakteristik dan jatidiri daerah sebagai lambang kebanggaan daerah dan nasional dalam memperkaya khazanah keindonesiaan. 9. Pemetaan bahasa dan sastra daerah, yang di dalamnya dapat juga berupa peta sosial budaya, ekonomi, politik dan pemerataan hasil-hasil pembangunan yang telah, sedang, dan akan dilakukan Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah; 10. Pemetaan sosial budaya, ekonomi, dan pembangunan dapat menjadi jendela dunia dan sarana promosi daerah dalam era globalisasi dan perdagangan bebas, serta peningkatan sumberdaya manusia Dayak dalam pergaulan baik nasional maupun internasional.

REKONSTRUKSI POSITIVISME BUDAYA DAYAK DAN BAHASA DAYAK NGAJU DI TENGAH PERGAULAN MASYARAKAT ANEKABAHASA

Oleh : Anthony Nyahu
Tulisan ini diketengahkan sebagai manifestasi dari realitas dan upaya untuk membangkitkan kembali perspektif dan apresiasi positif terhadap budaya dan bahasa Ngaju di Kalimantan Tengah. Konsep-konsep budaya atau kebudayaan yang selama ni memberikan kontribusi positif bagi pengembangan budaya lokal dalam ranah kesepahaman pemikiran masyarakat telah mendudukkan budaya Dayak ( Ngaju) mampu bersesuai dengan kondisi zaman dan peradaban kini sehingga dapat tetap bertahan. Fokus yang akan diketengahkan dalam tulisan ini meliputi dua aspek penting sebagai luaran (output) dari esensi kebudayaan, yaitu bahasa dan religi yang berproses dari hasil pikiran akal budi manusia Suku Dayak. Kebudayaan, sering disinonimkan dengan kultur, yang diambil dari bahasa Latin ‘cultura’ atau ‘culture’ dalam bahasa Inggris, atau dalam bahasa Prancis disebut sebagai ‘la culture’ dan salahsatu artinya adalah “ensemble des aspects intelectueles d’une civilisation” (serangkaian bidang intelektual sebuah peradaban) , bermakna secara umum sebagai hasil kegiatan intelektual manusia, suatu konsep mencakup berbagai komponen yang digunakan oleh manusia untuk memenuhi kebutuhan dan kepentingan hidupnya sehari-hari (Purwasito, 2003:95). Dalam perspektif Barat kebudayaan dipandang dalam perspektif di mana referens yang menjadi fokus adalah intelektual yang mencakup realitas nonfisik meliputi: kognitif, afektif, dan psikomotorik. Sedangkan dalam perspektif Timur kebudayaan dipandang sebagai ‘buddhayah’, yang dipandang sebagai akal budi manusia dalam mengasosiasikan ‘intelektual’ dan pelibatan beberapa aspek yang sama, yaitu pelibatan pancaindera manusia, baik dalam kegiatan pikiran manusia (kognitif), perasaan (afektif), maupun perilaku (psikomotorik). Purwasito (2003) mnedefinisikan bahwa kebudayaan (kultur) sebagai hasil penciptaan , perasaan, dan prakarsa manusia berupa karya yang bersifat fisik dan nonfisik. Taylor (1871) dalam Purwasito (2003:96) mempostulatkan bahwa kebudayaan (kultur) adalah keseluruhan hal yang kompleks termasuk pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, adat-istiadat, dan kemampuan serta kebiasaan yang lain yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat. Mead, seorang antropolog Amerika dalam Purwasito (2003) menyebut bahwa kultur sebagai perilaku pembelajaran masyarakat atau subkelompok. Kegiatan tersebut berlangsung ketika manusia, sebagai subjek sentral dalam kebudayaan mendayagunakan akal budinya (daya, cipta, rasa, dan karsa) untuk mengolah alam dan mengatur lingkungan hidupnya dengan menghasilkan: (1) benda-benda berwujud (cultural materials); seperti: alat-alat kerja, alat-alat pertanian, alat-alat rumah tangga, alat-alat komunikasi, alat-alat perang, dan lain-lain, (2) benda-benda yang tak berwujud (cultural immaterials); seperti bahasa, tradisi, kebiasaan, adat, nilai moral, etika, gagasan-gagasan, religi, kesenian, kepercayaan, sistem kekerabatan, dan harapan-harapan hidup. Hasil budaya imateril inilah lahir dari upaya mengolah pikiran (manusia) melahirkan filsafat dan ilmu pengetahuan yang berupa teori-teori. Konsep pemikiran tentang kebudayaan (kultur) dipandang sebagai konsep yang global, di mana keseluruhan proses yang berlangsung dalam esensi makna kebudayaan melibatkan berbagai aspek yang dihadapi manusia berkenaan dengan lingkungan masyarakatnya. Ia dapat saja berupa kedua jenis hasil kebudayaan di atas (berwujud dan tak berwujud), yang dapat dipelajari, dipertukarkan, ditransformasikan, dari generasi ke generasi pada suatu masa yang tidak dapat ditentukan. Hal yang perlu diimgat adalah kebudayaan tidak serta merta hadir dan dipaksa untuk direkayasa, namun diperoleh melalui rangkaian proses dan waktu yang lama dan perpetual. Hal ini sejalan dengan konsep pemikiran Liliweri (2002) bahwa pengertian kebudayaan dalam arti luas adalah perilaku yang tertanam, ia merupakan totalitas dari sesuatu yang dipelajari manusia, akumulasi dari pengalaman yang dialihkan secara sosial (disosialisasikan)….dalam bentuk perilaku melalui pembelajaran sosial (social learning). Unsur-unsur dalam Kebudayaan Koentjaraningrat (1990) sepakat dengan mengangkat unsur-unsur kebudayaan seperti yang diajukan Kluckhohn (1953) dalam Universal Catagories of Culture,bahwa ada tujuh unsur kebudayaan yang universal, meliputi (1) bahasa; (2) sistem pengetahuan; (3) organisasi sosial; (4) sistem peralatan hidup dan teknologi; (5) sistem mata pencarian hidup; (6) sistem religi; dan (7) kesenian. Dari ketujuh unsur tersebut, di sini unsur (1) bahasa akan lebih mendapatkan perhatian dengan tanpa mengurangi pentingnya unsur-unsur lainnya. Dasar pemikiran ini dengan alasan bahwa bahasa memegang peranan yang strategis dalam proses sosialisasi dan transformasi kebudayaan, baik melalui konteks komunikasi maupun pemahaman lintas budaya (intercultural understanding). Dua konteks di atas merupakan landasan berpikir tentang pemahaman kajian budaya (cultural studies), yang salahsatunya mengkaji tentang komunikasi multikultural yang multidisipliner, misalnya etnografi komunikasi. Komunikasi multikultural lebih menekankan kepada manusia sebagai subjek utama, kebudayaan sebagai sumber pengetahuan (referensi), masyarakat sebagai bangunan dan wahana berkomunikasi (lihat Purwasito, 2003:104). Dalam hal ini, komunikasi multikultural (anekabudaya) wajib secara bebas meminjam teori, metodologi, dan pendekatan dari displin ilmu-ilmu sosial dan cabang ilmu humaniora, mengingat dalam kajian komunikasi anekabudaya bersinggungan secara langsung dengan ilmu tentang: (1) manusia; (2) bahasa; (3) kebudayaan; (4) masyarakat; dan (5) komunikasi. Bahasa Dayak Ngaju Sebagai Kebudayaan Suku Dayak di Kalimantan Tengah Masyarakat budaya di Kalimantan Tengah, seperti halnya masyarakat-masyarakat lain di Nusantara, sangat kaya akan ragam budaya, salahsatunya bahasa. Poerwadi (1993) dalam Elbaar (1995) mengklasifikasi sebanyak tiga puluh bahasa dan dua puluh dialek (?) tersebar di Kalimantan Tengah. Satu hal yang menjadi perhatian penting adalah bahasa Ngaju. Bahasa Ngaju telah mampu menjadi bahasa pengantar (lingua franca) dan bahasa pemersatu antarsuku di Kalimantan Tengah, tidak terlepas dari kekuatan bahasa Ngaju menembus lintasetnis dan geografis. Bahasa Ngaju juga telah distandardisasi dan memiliki jumlah penutur mayoritas. Di samping itu, bahasa Ngaju memiliki kedudukan dan fungsi yang amat penting dalam sejarah perkembangan Suku Dayak di Kalimantan Tengah. Ia dipakai oleh para cendekia dan sebagai bahasa pengantar dalam kegiatan keagamaan (dalam kebaktian di gereja-gereja) dengan telah diterjemahkannya Alkitab yang berbahasa Indonesia ke dalam Surat Barasih dalam bahasa Ngaju. Menurut analisis leksikostatistik Poerwadi (1993), jumlah penutur Ngaju di Kalimantan Tengah kira-kira mencapai 800.000 orang, diikuti bahasa Maanyan 125.000 penutur, dan Lamandau sebanyak 50.000 penutur. Sisanya meliputi seuluh bahasa kecil-kecil. Bahasa Ngaju telah memegang peranan yang sangat penting dalam tindak komunikasi di Kalimantan Tengah. Diakui atau tidak, sebagai bahasa mayoritas penduduk Kalimantan Tengah, bahasa Ngaju mengalami stabilitas pemakaian yang konstan berdasarkan pemertahanan dan jumlah penuturnya yang mencapai lebih dari setengah jumlah penduduk Kalimantan Tengah (lihat Elbaar, 1995). Berpijak dari realitas demikian, sebagai ‘pemlik’ bahasa Ngaju, kita tidak harus serta-merta terbuai dengan situasi stabilitas bahasa Ngaju dalam beberapa dekade ini.Gejala-gejala ketidakstabilan akan selalu muncul, persaingan bahkan pergeseran bahasa Ngaju masa kini dan akan datang. Gejala-gejala yang dihadapi bahasa Ngaju dan penutur Ngaju adalah kecenderungan munculnya bahasa-bahasa baru yang ikut bersaing dan mengambilalih sebagian peran dari bahasa Ngaju. Bahasa-bahasa tersebut adalah bahasa Banjar yang dalam beberapa tahun belakangan ini eskalasi pemakaiannya semakin meluas (lihat Suryanyahu, “Refleksi Situasi Kebahasaan di Katingan: antara Pergeseran dan Kepunahan Bahasa, Katingan Pos, minggu I/Juni 2003). Bahasa Banjar selain dipakai sebagai bahasa pengantar bagi transaksi niaga juga digunakan oleh sebagian remaja perkotaan utnuk berkomunkasi dalam situasi informal, alih-alih bahasa Ngaju. Apabila situasi ini dibiarkan tanpa upaya yang lebih optimal, lambat-laun peran dan fungsi bahasa Ngaju yang selama ini dipakai dalam ranah tak resmi akan bergeser. Bahasa yang berikutnya potensial menggeser peran bahasa Ngaju adalah bahasa Indonesia. Namun tidaklah cukup beralasan, karena eskalasi pemakaiannya hanya merambah ranah rendah dan informal saja. Selama ini pula tidak terjadi ketimpangan pembagian peran dan distribusi fungsi antarkeduanya. Bahasa Ngaju menguasai peran pada ranah rendah (R) dan bahasa Indonesia pada fungsi dan peran tinggi (T). Keduanya telah mengalalami siatuasi diglosik yang seimbang (win-win situation) dan apabila situasinya ada ketimpangan (win-lose situation), maka yang akan terjadi adalah bergeser dan bahkan punahnya salahsatu bahasa. Upaya pemertahanan bahasa Ngaju dalam beberapa ranah dan fungsi telah dilakukan, di antaranya dengan pembelajaran bahasa Ngaju di sekolah-sekolah, dipakainya bahasa Ngaju sebagai pengantar keagamaan, dan pemasyarakatan bahasa Ngaju melalui media massa baik cetak maupun elektronik. Tentu saja dengan tidak menanggalkan peran dan fungsi bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional dan bahasa persatuan. Upaya-upaya tersebut haruslah terus digalakkan, mengingat belum adanya strategi, politik, pemertahanan, dan kebijakan bahasa di Kalimantan Tengah. Di samping itu, hal yang tak kalah pentingnya adalah peningkatan apresiasi dan sikap positif masyarakat penutur Ngaju sendiri, yang justru akan memanjangkan ‘umur’ bahasa Ngaju sehingga dapat diwariskan inter dan antargenerasi. Religi Kaharingan dalam Kebudayaan Suku Dayak di Kalimantan Tengah Kaharingan merupakan sebuah sistem religi, falsafah, dan pandangan hidup (way of life) yang menjadi pegangan moral (moral guidance) tertua bagi Suku Dayak di Kalimantan Tengah. Ia mengandung nilai-nilai, perangkat norma-norma luhur tentang pandangan Suku Dayak tentang hidup dan kehidupan, yang terejawantah dalam hubungan dwiarkis: vertikal dan horisontal. Hubungan yang bersifat vertikal, yaitu hubungan antara manusia dengan Tuhannya—dalam hal ini Ranying Hatalla Langit—dan hubugan horisontal, meliputi hubungan interpersonal (antarmanusia, antarindividu) dalam masyarakat. Kaharingan tidak dipandang dalam perspektif sempit dalam makna budaya, tetapi lebih diasosiasikan dan tidak sebagai animisme dan dinamisme, namun lebih kepada monotheisme dan monolitik yang absolut. Dalam konsep pemikiran ini, Kaharingan tidak dipandang sekadar sebagai sebuah aliran kepercayaan, tetapi lebih dilihat secara objektif dan jujur sebagai suatu agama (terlepas dari jumlah pemeluk dan sistem religiustasnya). Semua prasyarat yang mengondisikan Kaharingan menjadi sebuah agama telah terpenuhi, di antaranya sistem nilai dan norma, kitab suci, dan tatanan pelaksanaan religiusitasnya, serta yang tak kalah pentingnya adalah adanya pengakuan kepada Tuhan yang Esa. Persoalan yang akan diketengahkan di sini adalah, terjadinya kesalahkonsepsian (miskonsepsi) dan kesalahpahaman (misunderstanding) tentang Kaharingan dan budaya (baca: Dayak) secara umum oleh sebagian orang yang tidak terlalu memahami Kaharingan sebagai sebuah religi dan budaya. Mempelajari budaya (Dayak) tidak harus serta-merta secara otomatis dan praktis berarti mempelajari (memeluk) Kaharingan. Padahal tidak demikian halnya, budaya adalah budaya—sebagai luaran kebudayaan—dan religi adalah religi, yang tidak dapat dipertukarkan. Harus dapat dipisahkan antara Kaharingan sebagai agama dan budaya sebagai budaya. Budaya lebih dipandang secara universal, sebagai hasil dari daya, cipta, dan karsa manusia. Apa yang telah menjadi hasil kebudayaan—daya, cipta, dan karsa—manusia suku Dayak merupakan aset yang bernilai tinggi, dengan terlebih dulu melepaskan atribut Kaharingan sebagai agama.Hal yang tidak dapat dipungkiri adalah bahwa dalam ritualitas Kaharingan dipandang sebagai tatanan dan sistem religiusitas. Berbeda ketika adat-istiadat, pranata sosial, dan tradisi sebagai hasil kebudayaan atau kesenian. Dua hal ini yang dipandang sering mengalami miskonsepsi dan kerancuan. Mari berpkir secara analitis-sintetik, bahwa budaya harus dicermati secara parsial menuju komprehensif dan Kaharingan sebagai mazhab religiusitas, meskipun keduanya memiliki korelasi dan koherensi yang sulit untuk dipisahkan. Misalnya, kajian tentang bahasa Sangen (Sangiang) adalah murni merupakan kajian bahasa, terlepas dari unsur-unsur lain. Perkara bahasa Sangen digunakan sebagai pengantar ritualitas itu soal lain. Sehingga, pada gilirannya Kaharingan tidak selalu menjadi eksklusif tetapi inklusif dan dapat dipahami oleh semua orang meskipun bukan pemeluk Kaharingan. Atau mari memandang budaya Dayak sebagai sebagai budaya yang dimiliki secara kolektif oleh semua masyarakat suku Dayak di Kalimantan Tengah, terlepas apakah dia pemeluk Kaharingan atau bukan. Kebudayaan Dayak adalah kebudayaan mlik bersama, maka tanggung jawabnya pun secara kolektif, bukan disampirkan kepada segelintir orang Dayak pemeluk Kaharingan saja. Budaya dimiliki secara kolektif, agama dimiliki oleh penganutnya, begitu juga bahasa, kesenian, dan lain-lain.