20 Desember, 2008

REVITALISASI KEKUASAAN DAMANG DI TANAH DAYAK: UPAYA PENEGAKAN KEMBALI HEGEMONI ATAS RUANG BUDAYA DAN RUANG HIDUP SUKU DAYAK

Anthony Nyahu
Damang. Demang. Damung. Dambung. Kata arkais ini kembali menguat manakala para pengkaji tentang Dayak baik dari dalam maupun luar Dayak kembali merekonstruksi jejak-jejak kearifan lokal suku ini. Bagi masyarakat Dayak, damang merupakan ‘kekuasaan kebudayaan’ atau ‘penguasa kebudayaan’ ketika ruang hidup budaya (cultural sphere) Dayak masih belum terkontaminasi oleh budaya luar. Damang merupakan ‘penguasa’ yang bukan penguasa. Artinya, meskipun secara legal-formal bukan sebagai pemangku jabatan publik, ia menjadi sosok ‘penguasa komunitarian’ dan sangat diperhitungkan pada masa-masa keemasan menaungi masyarakat Dayak. Konon, pada masa lalu, sebagai pengambil kebijakan kolektif (pengambilan keputusan berdasarkan pakat adat/sidang adat yang beranggotakan para tetuha kampung), ia merupakan manifestasi dari sebuah kekuasaan komunitarian atas sebuah ideologi. Ideologi Dayak yang mengedepankan asas musyawarah untuk mencapai mufakat,dan ternyata setali tiga uang dengan sila keempat Pancasila yang kita kenal lewat pendidikan moral di sekolah-sekolah. Sebagai pucuk dari kekuasaan komunitarian itu, damang tidak saja memegang otoritas atas ‘kekuasaan kolektif’ namun lebih sebagai pemegang otoritas kebudayaan dan seorang penjaga perdamaian (peace keeper) yang dipandang sebagai pembawa pesan-pesan keadilan dalam tatanan perikehidupan sosio-kultural masyarakat Dayak. Dengan kekuatan atau power yang serba tak terbatas dan tak kelihatan itulah, peran damang di masa lalu menjadi sangat disegani dan dihormati. Hal ini seolah menjadi rintangan tersendiri bagi entitas lain di luar Dayak yang ingin menancapkan kuku kekuasaannya di Tanah Dayak. Para damang seolah menjadi ‘target operasi’ bagi para penakluk Dayak, baik dari Barat maupun di nusantara. Manakala, ruang hidup kebudayaan Dayak semakin sempit, mereka kemudian sengaja dilemahkan dan dimarjinalisasi oleh kekuasaan masa lalu dan kekuasaan pemodal di masa kini, demi mewujudkan berbagai mimpi: mimpi menguasai tanah dan menghancurkan kebudayaan. Peran mereka yang semakin dilemahkan tersebut menempatkan mereka kepada sebuah situasi yang terpojok: menyerah kepada kekuasaan legal-formal dan cenderung dijadikan sebagai ‘pion’ kekuasaan. Mereka menyerah kepada ketidakberdayaan atas hegemoni yang bernama kekuasaan. Sebagai pemegang otoritas kebudayaan Dayak, peran damang dalam kehidupan masyarakat Dayak masa lalu menjadi sangat vital. Selain sebagai seorang penjaga perdamaian, ia dituntut sebagai hakim yang adil yang melaksanakan aplikasi hukum adat secara murni dan konsekwen. Lalu, kekuasaan hukum positif pun mulai diperkenalkan oleh Belanda dan mereka mulai menyerap KUHP sebagai hukum positif. Hukum adatpun sebagian mulai perlahan tergantikan. Padahal kedua produk hukum tersebut dapat berjalan beriringan, bahkan peran para penegak hukum dapat teringankan karena penyelesaian perkara pidana/perdata ternyata dapat terselesaikan secara adat melalui singer/denda adat atau palas bunu/upacara perdamaian kedua pihak atas kasus pembunuhan. Kini, bergerak dari situasi yang kian menghimpit akibat hilangnya posesivitas masyarakat adat Dayak atas tanah dan hutannya (pukung-pahewan/hutan lindung, bahu-lakau/belukar cadangan) dan hegemoni kapitalis/pemilik modal yang berjubah investasi, peran para damang menjadi kembali dipentingkan. Peran mereka secara strategis diupayakan sebagai serangan balik (counter attack) untuk menjawab situasi keterhimpitan itu. Para damang sebagai pemegang otoritas publik dan budaya itu mendesak untuk direposisi agar konstelasi kebudayaan Dayak tidak tercerabut. Hal yang mengkhawatirkan juga ternyata selama ini mereka tidak terkaderisasi dengan baik, secara otodidak maupun formal. Tidak ada pendidikan khusus bagi para generasi damang masa depan (the next damang) sama seperti aset kebudayaan Dayak lainnya. Lalu, pertanyaan pun muncul: siapakah yang akan meneruskan pembawaan kearifan leluhur atas kebudayaan Dayak jika mereka sudah tidak ada lagi? Kondisi mereka yang sudah uzur sekarang membuat kita tersentak; siapkah kader yang akan menggantikan mereka, atau jabatan damang hanya akan mengisi buku-buku sejarah tentang kebudayaan Dayak di masa lalu? Ironis,memang. Para alumni sekolah hukum seolah tidak tertarik untuk menjadi damang, padahal mereka sudah dibekali dengan pengetahuan akan hukum adat Dayak. Mungkin didasari oleh berbagai alasan ketidakpastian. Ketidakpastian statusnya dalam kekuasaan formal dan yang pasti ketidakpastian penghasilannya. Namun itu bukan alasan yang signifikan bila kita mau mendedikasikan semuanya demi sebuah entitas yang bernama kebudayaan Dayak. Sebagai ruang budaya yang otonom, semestinya kebudayaan Dayak harus dikuatkan melalui infrastruktur penegakan kebudayaan itu sendiri. Tak terkecuali peran para damang menuntut untuk dilakukan revitalisasi dan reposisi. Sebagai ujung tombak penegakan entitas sebuah kebudayaan, peran mereka sangat strategis. Strategis karena pada pundak merekalah terkikis atau eksisnya sebuah kebudayaan Dayak masa kini maupun masa depan. Peran mereka juga semestinya direposisi sebagai tulang punggung kekuatan pemerintah lokal dan jelas status hierarki kepemimpinannya dalam kekuasaan formal pemerintah atas Tanah Dayak. Kepemilikan atas tanah adat yang menjadi wilayah kekuasaannya setidaknya apabila tidak dikembalikan, minimal diberikan ruang hidup kebudayaan masyarakat dan diatur secara sosial-ekonomi dalam ranah lokal untuk melestarikan hutan dan kekayaan kearifan tradisioanal yang terstigmatisasi selama ini. Sebagai salah satu komponen penegak kekuatan hukum adat dalam ruang budaya Dayak, ada baiknya para damang menempati tempat khusus dan layak, misalnya sebagai staf ahli para perancang pembangunan/penguasa di tingkat provinsi dan kabupaten/kota di Kalimantan Tengah; atau dilembagakan kembali sebagai penguasa hukum publik (termasuk hukum adat) dan mendapatkan penghasilan yang layak (minimal sama dengan jumlah penghasilan para legislator di DPRD) di tingkat lokal di Tanah Dayak Dengan demikian, mereka dapat menjadi sumber rujukan dan pertimbangan terhadap pembangunan masyarakat Dayak secara sosial,ekonomi, politik dan budaya, sehingga tidak terbentur dengan berbagai kepentingan yang sifatnya sesaat dan keuntungan politik saja. Atau paling tidak, untuk dan atas nama ‘penguasa’ kebudayaan Dayak, mereka harus mempunyai taring yang tajam untuk mengusir kepentingan kapitalis yang telah, sedang, dan akan meluluhlantakkan kebudayaan Dayak. Begitu pula ekspansi korporasi perkebunan komoditi yang tidak tidak akan pernah menyejahterakan masyarakat Dayak di Tanah Dayak yang subur dan memberi penghidupan selama ini!

Tidak ada komentar: