11 Desember, 2008

Sungai Bagi Orang Dayak di Kalimantan Tengah: Suatu Awal dari Titik Tolak Transformasi Nilai-nilai dan Kebudayaan
Anthony Nyahu
Sungai, sungai dan sungai. Kata ini akan selalu muncul manakala masyarakat dari luar Kalimantan baru pertama kali masuk ke Pulau ini, selain hutan, hutan dan hutan. Bagi masyarakat urban—dan masyarakat budaya lain di Indonesia—yang telah lama bermukim di pulau dengan sarana transportasi darat yang memadai, tentu menjadi sesuatu yang tidak terlalu menarik. Tetapi bagi masyarakat penghuni Pulau Kalimantan, makna sungai menjadi sangat penting dalam setiap jengkal kehidupan mereka. Sungai tidak saja menjadi sebuah sarana transportasi yang sangat vital, namun lebih sebagai sarana transformasi sebuah proses kehidupan bernama kebudayaan. Oleh sebab itu, keakraban orang Dayak secara ekologis dengan sungai menjadi bagian penting dalam catatan sejarah pasang-surutnya transformasi sebuah kebudayaan dari hal-hal lama ke hal-hal yang baru. Di Kalimantan Tengah, misalnya paling tidak terdapat sebelas alur sungai besar, di luar anak-anak sungai yang menghubungkan satu kampung dengan lainnya. Maka dapat dibayangkan, betapa sungai menjadi bagian yang amat penting bagi kelangsungan kehidupan, transportasi, interaksi sosial melalui bahasa, kehidupan ekonomi, dan tranformasi budaya. Sungai dalam setiap perikehidupan orang Dayak di Kalimantan menjadi sebuah sarana yang patut dijaga dan dirawat, mengingat fungsionalitasnya yang tinggi bagi kelangsungan kehidupan mereka. Hal ini mungkin agak berbeda dengan di pulau-pulau lain di Indonesia, umpamanya di Jawa yang sarana perhubungan daratnya sangat memadai (jalur perhubungan darat dimulai sejak zaman Belanda) dan sungai tidak mengemban fungsi yang sama seperti di Kalimantan. Sungai, bagi masyarakat urban di kota-kota besar telah berubah fungsi menjadi tempat sampah raksasa yang menampung semua sampah, sumpah dan limbah. Bagai mana tidak, sampah dan limbah yang meluap ketika musim hujan tiba, lalu menimbulkan sumpah dan serapah manakala banjir datang menyapu pemukiman di sepanjang bantarannya. Itulah referen sungai secara geografis sebagai sebuah keadaan kerupabumian dalam kekayaan Nusantara yang bagi sebagian masyarakat memiliki persepsi dan pemaknaan yang berbeda-beda. Namun, akan diutarakan di sini bagaimana sungai selain mengemban fungsi ekologisnya, juga mengemban misi sebagai sarana transformasi nilai dan kebudayaan bagi orang Dayak sejak beribu tahun lamanya. Penduduk Kalimantan Tengah yang terdiri dari 14 kabupaten dan 1 kota mayoritas bermukim di sepanjang pinggiran sebelas aliran sungai (bdk. www.kalteng.go.id). Hanya sekitar 20% dari total populasi yang bermukim di wilayah daratan (tanpa akses sungai, hanya akses jalan darat). Dengan demikian, 20% tersebut dapat dipastikan sebagai sebuah daerah permukiman baru sebagai hasil modifikasi pembangunan yang dapat berupa mobilisasi dan transmigrasi. Selebihnya merupakan daerah-daerah tua yang mempunyai kesejarahan yang hampir sama. Mayoritas populasi penduduk tersebut melakukan aktivitas hidup dan berkehidupannya di sungai, mulai dari aktivitas mandi, cuci dan kakus (MCK) serta air untuk memasak dan air minum. Terkecuali sejak 32 tahun lalu, intensitas fungsi sungai mulai tereduksi, di mana sarana perhubungan darat sudah mulai menembus jalur perhubungan antarkabupaten.
Dalam kerangka penyebaran kebudayaan berabad silam, sungai menjadi saksi mati sejarah, andai ia ketika dilalui dapat tergores dalam sebuah prasasti. Beribu, bahkan berjuta kali dilewati oleh para penjelajah, penjarah dan penjajah untuk melakukan misi imperialisme. Hal ini ditandai dengan masuknya Kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha dan Kerajaan-kerajaan Islam di Kalimantan hingga masuknya pendudukan Jepang (lihat Riwut:1993) dan misionari dalam rangka transformasi sebagai sebuah kebudayaan baru (kebudayaan Barat) yang dipandang maju. Lalu, muncullah goncangan budaya orang-orang Dayak. Sebagian menerima dan tidak sedikit pula yang antipati melakukan perlawanan dan migrasi ke tempat baru ke wilayah sungai lainnya atau menembus anak-anak sungai yang dirasa cukup aman. Melalui media sungai sebagai pusat kebudayaan itulah, awal dari transformasi nilai-nilai kehidupan terjadi. Silih-berganti. Yang lama tergantikan oleh hal-hal baru. Yang lama dipandang sebagai kebudayaan usang dalam kacamata paham dan dogma baru. Yang lama dipandang sebagai kebudayaan lama yang harus dibuang jauh-jauh, dari kebiadaban menuju keberadaban (lihat Kusni, 1994; Ugang 1983). Padahal sejak lama orang Dayak telah mempunyai kebudayaan sendiri yang eksis; muncul dan ada entah dipengaruhi dari mana dan hadir dalam keseharian kehidupan mereka. Orang Dayak menyebutnya Agama Helo atau Kaharingan yang mengatur hubungan triarkhi-ekotheologis: hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan antarsesama manusia dan hubungan manusia dengan alam. Segala sesuatu dalam perikehidupan manusia berdampak kepada keseimbangan alam (ekologi) yang diatur oleh Sang Pencipta, jadi ketika manusia melakukan suatu kesalahan terhadap alam yang dapat menimbulkan ketidakseimbangan makrokosmos, maka akan ada sebuah peringatan (warning) yang ditimbulkannya. Hal tersebut dapat saja tidak secara langsung berdampak nyata namun sebagian berwujud abstrak dalam setiap perikehidupan orang Dayak. Ia dapat berupa gagal panen dan wabah penyakit menular atau hal-hal lain yang menghambat kehidupan sosio-ekonomi masyarakat. Untuk mengatasi hal-hal demikian, biasanya dilakukan upacara-upacara pencucian dan penyucian; pencucian dari kesalahan diri manusia atas kelancangannya terhadap memperlakukan alam dan penyucian kesakralan alam sebagai ciptaan Tuhan dalam sebuah ekuiliblrium makrokosmos. Kesemuanya merupakan upaya pemulihan hubungan triarkhi-ekotheologis yang diyakini sebagai sebuah keseimbangan ideal dan selaras. Maka, tidak mengherankan jika secara ekolinguistik perbendaharaan kosa kata yang berkaitan dengan alam, orang Dayak sangat menguasai, hal ini dapat dilihat dari penamaan berbagai jenis flora dan fauna, keadaan alam, musim dan lingkungan (rupabumi dan meteorologi/geofisika), dan karya sastra. Terdapat banyak karya sastra lisan yang dipandang sebagai mahakarya atau masterpece bagi orang Dayak, misalnya Sansana Bandar yang mengisahkan seorang tokoh epik bernama Bandar, tidak sedikit menggunakan kata sungai dan musim; kosa kata dalam upacara pencucian diri, permohonan dan doa, misalnya dalam tampung-tawar medianya adalah beras, daun pandan, dan air. Demikian juga halnya dengan upacara tawur-manawur. Kecerdasan linguistika nenek moyang orang Dayak juga terwujud dalam proses penciptaan karya sastra, misalnya karungut (sejenis pantun yang dilagukan) dengan bait-bait aaaa-bbbb-aaaa-bbbb, yang runtun dan terpapar dengan indah. Sedemekian bermaknanya air sebagai sumber kehidupan dan penghidupan baik sosio-ekonomi maupun ssosio-kultural, membuat sungai menjadi bagian yang tak terpisahkan dari sendi kehidupan orang Dayak. Air dalam kehidupan orang Dayak dan pandangan Kaharingan merupakan sebuah esensi kehidupan atau disebut danum Kaharingan belum (air sebagai esensi yang menghidupkan dan penghidupan). Dengan demikian, nenek moyang orang Dayak sudah mengenal berbagai disiplin pengetahuan (mungkin--secara asumtif) jauh sebelum pengetahuan itu menjadi ilmu/ilmiah dan ditemukan oleh para ilmuan asing, utamanya pengetahuan tentang alam atau sekarang dikenal dengan biologi, geografi, geofisika dan metafisika, serta ilmu pengetahuan lainnya.
Namun, sayang seribu sayang, nilai fungsionalitas sebuah sungai di Kalimantan menjadi amat berkurang dewasa ini. Angin perubahan yang datang menerpa tiba-tiba dengan pusaran modernisasi dan teknologi menjadikan sungai hanya sebagai jalur kedua moda transportasi, tergantikan oleh jalur transportasi darat yang lebih efisien dan efektif. Fungsionalitas sungai jarang lagi digunakan sebagai sarana interaksi sosial (secara asumsi termasuk awal penyebaran bahasa-bahasa di Kalimantan Tengah), sarana transformasi budaya dan kehidupan sosio-ekonomi orang Dayak masa kini. Di samping itu, sungai secara ekologis telah meradang sebuah penyakit, terutama daerah hulu yang telah ditanami komoditas tanaman yang tidak bersahabat. Konon, apabila hujan air tanah bekas pemupukan dan pestisida/insektisida mengalir menuju sungai-sungai kecil di sekitarnya lalu menuju sungai yang agak besar dan seterusnya, sehingga tidak mampu lagi menjadi sumber penghidupan orang Dayak (berkurangnya populasi ikan dan biotik sungai bagi nelayan/peternakan, irigasi/pertanian). Sungai telah pula diracuni dengan air raksa akibat penambangan yang tidak terkendali. Sungai telah mulai menunjukkan kebenciannya dengan mengirim banjir setiap tahun dengan ketinggian debit air yang di luar normal atau mulai dikenalnya kosa kata perubahan iklim baru seperti banjir bandang, yang seumur-umur dalam beberapa dekade muncul hanya satu kali, dewasa ini bisa datang dua kali dalam setahun. Belum lagi persoalan pendangkalan yang tiap tahun muncul dan musim kemarau sebagai dampak perubahan iklim global, menjadikan sungai di masa-masa datang semakin parah baik fungsionalitasnya maupun vitalitas ‘hidup’nya. Berkaitan dengan persoalan tersebut, dalam rangka mengais kembali harta karun sebagai bagian dari kekayaan dan kearifan lokal nusantara, ada baiknya sungai mulai direvitalisasi. Sungai direposisi fungsinya sebagai sarana interaksi sosio-ekonomi dan ekowisata yang dapat menambah devisa dan pendapatan daerah selain sarana transportasi seiring kemajuan zaman. Melalui sungai pula dapat dijadikan sebagai proyek perintis (pilot project) dalam rangka penelitian tentang sosio-kutural, terutama pemetaan kembali bahasa-bahasa dan dialek-dialek serta pemetaan sastra di Kalimantan Tengah (11 daerah aliran sungai di Kalteng memiliki anekabahasa). Selanjutnya dapat pula dipetakan secara sosio-ekonomi dan politik daerah-daerah yang menjadi kantong-kantong kemiskinan, terutama di pedalaman agar dapat ditangani oleh Pemerintah Daerah setempat. Hal lain yang tak kalah pentingnya adalah para pembuat kebjakan baik di tingkat pusat maupun di daerah dapat dengan gratis berwisata susur-sungai ke pedalaman agar tahu dan merasakan betapa sungai benar-benar menjadi urat nadi transportasi, sarana interaksi sosial dan perekonomian serta kebersahajaan orang Dayak di Kalimantan Tengah tidak hanya dari buku atau koran saja. Masih biadab atau beradabkah orang Dayak? Dari sungailah Anda akan menemukan jawaban atas semuanya!

2 komentar:

Anonim mengatakan...

Transportasi sungai di Kabupaten Katingan terutama dari Kasongan ke Tumbang Samba praktis dinyatakan mati suri setelah dibukanya jalan darat poros Kasongan--Pendahara dan Kereng Pangi Km.30--T.Samba. Padahal lewat susur sungai betapa naturalnya alam Tanah Dayak bisa direkam dengan kasat mata. Hanya satu yang bisa diandalkan sekarang: bikin paket wisata susur sungai ke objek2 vital yang dianggap layak jual..Jangan cari laba dulu, caranya gandeng pemda setempat untuk promo ini sebagai penutup break event point cost-nya.

Grotjes,

Iwan Fauzi (NL)

Anonim mengatakan...

Ampie blog ayum tuh dia ulih oloh nenga komen le, makanya jatun atun tau komen tame...coba cek setting blog helu...