21 November, 2008

Revitalisasi Kebudayaan Dayak Bagian I

REVITALISASI KEBUDAYAAN DAYAK DI TENGAH PENETRASI GLOBALISASI: UPAYA PELESTARIAN KEARIFAN LOKAL SEBAGAI PENOPANG TEGAKNYA ENTITAS DAYAK MASA DEPAN

Artikel ini menjadi koleksi Institut Dayakologi, Pontianak. Tidak pernah dimuat dalam media cetak apapun.Pengutipan sebagian atau seluruhnya harus seizin penulis.

Oleh : Anthony Nyahu *)

Tulisan ini diketengahkan sebagai manifestasi dari realitas dan upaya untuk membangkitkan kembali perspektif dan apresiasi positif terhadap kebudayaan Dayak di Kalimantan khususnya, dan Indonesia pada umumnya. Konsep-konsep budaya atau kebudayaan yang selama ini memberikan kontribusi positif bagi pengembangan budaya lokal dalam ranah penggalian kembali kearifan lokal (local wisdom) telah mendudukkan kebudayaan Dayak yang mampu bersesuai dengan kondisi perubahan zaman dan peradaban masa kini sehingga tetap bertahan. Fokus yang akan diketengahkan dalam tulisan ini meliputi aspek-aspek penting sebagai luaran (output) dari esensi kebudayaan, yaitu benda-benda yang tak berwujud (cultural immaterials) yang meliputi bahasa, adat/istiadat dan hukum adat,religi serta kesenian yang terproses dari hasil pikiran akal budi leluhur manusia Suku Dayak yang mendesak untuk direvitalisasi sebagai sarana penapis (filter) arus budaya global demi tegaknya eksistensi dan entitas Dayak di masa depan. Kebudayaan dan manusia Dayak telah mengalami pemiskinan berstruktur,meliputi pemiskinan dalam bidang politik, ekonomi,dan sosial budaya sehingga manusia Dayak sulit untuk mengembangkan kebudayaannya sebagai modal berkompetisi dan unggul dalam kancah global.

1. Pendahuluan

Kebudayaan sering disinonimkan dengan kultur, yang diambil dari bahasa Latin ‘cultura’ atau ‘culture’ dalam bahasa Inggris, dan dalam bahasa Prancis disebut sebagai ‘la culture’, yang salah satu artinya adalah “ensemble des aspects intelectueles d’une civilisation” (serangkaian bidang intelektual sebuah peradaban), bermakna secara umum sebagai hasil kegiatan intelektual manusia, suatu konsep mencakup berbagai komponen yang digunakan oleh manusia untuk memenuhi kebutuhan dan kepentingan hidupnya sehari-hari (Purwasito, 2003:95).

Dalam perspektif Barat, kebudayaan dipandang referens dan menjadi fokusnya adalah intelektual yang mencakup realitas nonfisik, meliputi: kognitif, afektif, dan psikomotorik. Sedangkan dalam perspektif Timur, kebudayaan dipandang sebagai ‘buddhayah’, sebagai akal budi manusia dalam mengasosiasikan ‘intelektual’ dan pelibatan beberapa aspek yang sama, yaitu pelibatan pancaindera manusia, baik dalam kegiatan pikiran manusia (kognitif), perasaan (afektif), maupun perilaku (psikomotorik). Purwasito (2003) mendefinisikan bahwa kebudayaan (kultur) sebagai hasil penciptaan , perasaan, dan prakarsa manusia berupa karya yang bersifat fisik dan nonfisik. Taylor (1871) dalam Purwasito (2003:96) mempostulatkan bahwa kebudayaan (kultur) adalah keseluruhan hal yang kompleks termasuk pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, adat-istiadat, dan kemampuan serta kebiasaan lain yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat. Mead, seorang antropolog Amerika dalam Purwasito (2003) menyebut bahwa kultur sebagai perilaku pembelajaran masyarakat atau subkelompok. Kegiatan tersebut berlangsung ketika manusia, sebagai subjek sentral dalam kebudayaan mendayagunakan akal budinya (daya, cipta, rasa, dan karsa) untuk mengolah alam dan mengatur lingkungan hidupnya dengan menghasilkan:

(1) benda-benda berwujud (cultural materials); seperti: alat-alat kerja, alat-alat pertanian, alat-alat rumah tangga, alat-alat komunikasi, alat-alat perang, dan lain-lain,

(2) benda-benda yang tak berwujud (cultural immaterials); seperti bahasa, tradisi, kebiasaan, adat, nilai moral, etika, gagasan-gagasan, religi, kesenian, kepercayaan, sistem kekerabatan, dan harapan-harapan hidup. Hasil budaya imateril inilah lahir dari upaya mengolah pikiran (manusia) melahirkan filsafat dan ilmu pengetahuan yang berupa teori-teori.

Konsep pemikiran tentang kebudayaan (kultur) dipandang sebagai konsep yang global, di mana keseluruhan proses yang berlangsung dalam esensi makna kebudayaan melibatkan berbagai aspek yang dihadapi manusia berkenaan dengan lingkungan masyarakatnya. Ia dapat saja berupa kedua jenis hasil kebudayaan di atas (berwujud dan tak berwujud), yang dapat dipelajari, dipertukarkan, ditransformasikan, dari generasi ke generasi pada suatu masa yang tidak dapat ditentukan. Hal yang perlu diingat adalah kebudayaan tidak serta merta hadir dan dipaksa untuk direkayasa, namun diperoleh melalui rangkaian proses dan waktu yang lama dan perpetual.

Hal ini sejalan dengan konsep pemikiran Liliweri (2002) bahwa pengertian kebudayaan dalam arti luas adalah perilaku yang tertanam, ia merupakan totalitas dari sesuatu yang dipelajari manusia, akumulasi dari pengalaman yang dialihkan secara sosial (disosialisasikan)….dalam bentuk perilaku melalui pembelajaran sosial (social learning).

Dalam kebudayaan terdapat tujuh unsur penting yang menjadi kategori universal atau Universal Catagories of Culture seperti yang dinyatakan Kluckhohn (1953) dalam Koentjaraningrat (1990), meliputi (1) bahasa; (2) sistem pengetahuan; (3) organisasi sosial; (4) sistem peralatan hidup dan teknologi; (5) sistem mata pencarian hidup; (6) sistem religi; dan (7) kesenian.

Ketujuh unsur penting sebagai kategori universal tersebut merupakan unsur yang mutlak dimiliki oleh pemilik kebudayaan (baca: guyup suku atau bangsa/nasion), yang memegang peranan penting dalam pembelajaran sosial dan pewarisan sosial individu dari masa ke masa.

2. Suku Dayak dan Kebudayaannya di Pulau Kalimantan

Pulau Kalimantan atau dikenal sebelumnya sebagai Borneo dan Tanjung Negar. Sedangkan dalam mitologi Dayak (Ngaju) disebut dalam Tetek Tatum sebagai Pulau Goyang atau Pulau Bagawan Bawi Lewu Telo merupakan pulau terbesar yang dimiliki Indonesia (Riwut, 1993:3 dan 77). Nama Tanjung Negara pertama kali muncul dalam Atlas Nederland Indie (1938) yang digunakan jauh sebelumnya yakni sejak abad ke tiga belas semasa Kerajaan Hindu. Sedangkan, nama Kalimantan adalah nama yang lahir semasa Kerajaan Islam pada abad ke-16 ketika dipegang oleh Pangeran Samudera yang memerintah di Banjarmasin (Riwut, 1993:77).

Dalam mitologi Tetek Tatum dan Kaharingan di Kalimantan Tengah, penduduk asli Pulau Kalimantan adalah empat nenek moyang suku Dayak yang diturunkan dengan Palangka Bulau—sejenis wahana, pada empat tempat, yakni: 1) Tantan Puruk Pamatuan, hulu Sungai Kahayan dan Barito; 2) Tantan Liang Mangan Puruk Kaminting, yang terletak di sekitar Gunung Raya; 3) Datah Tangkasiang, di hulu Sungai Malahui, Kalimantan Barat; dan 4) Puruk Kambang Tanah Siang, di hulu Sungai Barito (Riwut, 1993:231).

Bersambung...

4 komentar:

Anonim mengatakan...

Sorry le, tahi dia maja... Aku istirahat total ije minggu (limbah keracunan makanan) drop stamina dan nyuhu dokter ela kuliah helu... Tuh harun ulih hingkat... Biasa lah awi panginan hajar tarus hehehe..tuntang salju nampara muhun jadi agak ekstrim cuaca ++++++++++++++++++++++++++++
Anyway, sebaiknya tulisan ini [sorry I speak Bahasa here] sambung saja ketiga-tiganya jadi untuk yang kasih rating dan komen bisa kombain untuk ketiga tulisan... Dan satu lagi Le, tolong tulisan ini dibikin dalam bentuk esai populer biar tidak kaku [dengan tetap menyebutkan kalau direduksi dari tulisan aslinya yang menjadi koleksi Dayakologi].. kalau di Dayakologi tulisan aslinya online langsung saja kasih link ke sana, artinya orang bisa baca dengan gaya ilmiah dan gaya esai populer. Saya yakin akan lebih oke punya dan memperbanyak konkordansi temuan Searching Engine-nya Google... Itu saja saran saya mengenai tulisan ini. Top dan High-rated!

Anonim mengatakan...

Sorry le, tahi dia maja... Aku istirahat total ije minggu (limbah keracunan makanan) drop stamina dan nyuhu dokter ela kuliah helu... Tuh harun ulih hingkat... Biasa lah awi panginan hajar tarus hehehe..tuntang salju nampara muhun jadi agak ekstrim cuaca ++++++++++++++++++++++++++++
Anyway, sebaiknya tulisan ini [sorry I speak Bahasa here] sambung saja ketiga-tiganya jadi untuk yang kasih rating dan komen bisa kombain untuk ketiga tulisan... Dan satu lagi Le, tolong tulisan ini dibikin dalam bentuk esai populer biar tidak kaku [dengan tetap menyebutkan kalau direduksi dari tulisan aslinya yang menjadi koleksi Dayakologi].. kalau di Dayakologi tulisan aslinya online langsung saja kasih link ke sana, artinya orang bisa baca dengan gaya ilmiah dan gaya esai populer. Saya yakin akan lebih oke punya dan memperbanyak konkordansi temuan Searching Engine-nya Google... Itu saja saran saya mengenai tulisan ini. Top dan High-rated!

Anonim mengatakan...

Aduh teori budayamu jadul amat sih pakai Koentjaraningrat. Tapi terus berkarya ya. Tabe: Marko Mahin Dayak-21

Anthony Nyahu mengatakan...

Makasih, bang Marko. Maklum, referensi teori budaya saya sangat terbatas. Tulisan tentang budaya hanya menjadi 'sambilan' di samping masalah kebahasaan. Sinde tinai, tarima kasih atas komentarnya. Tabe,