21 November, 2008

Revitalisasi Kebudayaan Dayak Bagian II

Sedangkan dalam perspektif sejarah, Niewenhuis dalam Riwut (1993:231—232) menyatakan bahwa sekitar 200 tahun sebelum Masehi telah terjadi migrasi besar-besaran Bangsa Melayu yang pertama ke Indonesia dari daerah Yunan secara bertahap mendiami sepanjang pantai/pesisir. Namun karena datangnya Melayu Muda, bangsa Melayu tua ini (Proto Melayu) terdesak ke pedalaman, kalah perang atau karena kebudayaannya lebih rendah dibandingkan dengan Melayu Muda. Bangsa Proto Melayu inilah yang dicurigai sebagai nenek moyang orang Dayak yang mendiami Pulau Kalimantan, meskipun penelitian lain juga ada yang berpendapat berbeda bahwa sebelum datangnya bangsa Melayu Tua (Proto Melayu) ke Nusantara sudah ada bangsa lain yang lebih dulu datang ke Pulau Kalimantan,yaitu bangsa Negrito dan Wedda. Terlepas dari berbagai pendapat tentang suku asli yang mendiami Pulau Kalimantan, dapat disimpulkan bahwa eksistensi suku bangsa Proto Melayu yang menjadi cikal bakal nenek moyang Suku Dayak sekarang adalah para insan yang telah meletakkan dasar-dasar kebudayaan yang dimiliki suku Dayak masa kini. Dengan demikian dapat pula dikatakan bahwa secara faktual dalam sejarah bahwa para nenek moyang inilah yang menetap dan mengolah daya, rasa, cipta, karssa dan akal budi sehingga tercipta wujud sebuah kebudayaan Dayak yang kita lihat masa kini.

Riwut (1993:235) membagi kelompok suku Dayak sebanyak 405 suku-suku yang dirinci menjadi tujuh suku besar Dayak yang terdapat di Pulau Kalimantan, yakni:

  1. Dayak Ngaju, terbagi dalam empat suku besar, empat subsuku dan 90 subsubsuku kecil,
  2. Dayak Apu Kayan, terbagi dalam tiga suku besar, tiga subsuku dan 60 subsubsuku kecil,
  3. Dayak Iban dan Heban atau Dayak Laut terbagi dalam 11 suku,
  4. Dayak Klemantan atau Dayak Darat terbagi dalam 2 suku dan 87 subsuku,
  5. Dayak Murut terbagi terbagi dalam 3 suku dan 44 subsuku,
  6. Dayak Punan terbagi dalam 4 suku dan 52 subsuku,
  7. Dayak Ot Danum yang terbagi dalam 61 suku.

Kebudayaan Suku Dayak di Kalimantan telah mengalami pasang surut dari waktu ke waktu. Hal ini berkaitan erat dengan masuknya invasi kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha ke Pulau Kalimantan dan kontak kebudayaan dengan budaya lain serta imperialisme-kolonialisme, sehingga kebudayaan Dayak telah mengalami bermacam akulturasi dari zaman ke zaman. Dalam perspektif Barat, kebudayaan Dayak pada masa lalu dinyatakan dalam labelisasi negatif sebagai “negeri para pemburu kepala”, “liar”dan “sauvage” (cf. Jean-Yves Domalain, “Panjamon. Une Experience de la Vie Sauvage” Arthaud, Paris 1971 dalam Kusni, 1994:40). Ia menjadi catatan hitam sebagai budaya primitif dan biadab/tidak beradab, karena tidak sesuai dengan cara pandang mereka (lihat Florus,dkk. ed.1994) dan sebagai ‘ragi usang’ yang harus dibuang dan diisi dengan sebuah kebudayaan baru (Kusni, 1994). Baru setelah muncul gerakan baik massif maupun laten yang dipelopori oleh gerakan kaum intelektual Dayak dengan beberapa tulisan dan penelitian, telah berangsur-angsur mereposisi dan ‘merehabilitasi’ pandangan-pandangan tersebut. Di samping itu, akses politik yang sedikit terbuka dalam eskalasi nasional membuat eksistensi Dayak sebagai suatu kelompok kolektivitas etnis mulai mengubah pandangan dunia di luar Dayak.

Kebudayaan Dayak di Kalimantan tidak lepas dari religi yang melekat padanya yakni Kaharingan. Satu catatan yang patut disimak adalah peninggalan kebudayaan yang berupa sebuah sistem religi dan pandangan hidup (way of life) yang luhur ini sebagai manifestasi budaya yang tak berwujud (cultural immaterials). Selain itu, dapat pula dijumpai bahasa, adat istiadat/kebiasaan, sistem kekerabatan, sarana ekspresi sastra dan seni suara, serta hukum adat sebagai hukum publik di masa itu. Pada kebudayaan yang berwujud (cultural materials) ditemui pula berupa alat-alat pertanian, alat-alat rumah tangga, alat dan persenjataan perang, seni ukir/pahat, alat-alat transportasi dan sebagainya.

3. Revitalisasi Kebudayaan Dayak sebagai Benteng Terakhir dalam Menghadapi Penetrasi Globalisasi

Revitalisasi kebudayaan memang bukan perkara yang mudah karena kebudayaan ruang lingkup yang sangat luas. Namun, dalam hal ini penulis hanya akan memfokuskan kepada aspek-aspek kebudayaan yang tidak berwujud (cultural immaterials) saja. Mengapa penulis batasi pada aspek ini, tidak lain karena kebudayaan yang dipandang selama ini telah keluar dari marka yang seharusnya dan terjadi penyempitan makna kebudayaan secara umum. Penyempitan makna kebudayaan, terutama dalam melihat kebudayaan dari perspektif benda berwujud semata, seperti hasil-hasil peradaban berupa alat-alat ritual, alat-alat pertanian, dan kesenian, misalnya tari-tarian saja yang mempunyai komoditi. Dengan demikian, impak kebudayaan dalam bentuk benda-benda berwujud (cultural materials) tersebut akan mendatangkan devisa yang pada gilirannya akan meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat. Sedangkan aspek kebudayaan berupa benda-benda tak berwujud (cultural immaterials) menjadi tidak terlalu dipentingkan (atau bahkan diabaikan) karena akan menghabiskan banyak biaya untuk memelihara dan mengembangkannya dan belum tentu memberikan kontribusi devisa. Oleh karena itu cara pandang (mindset) demikian harus dikaji kembali, mengingat keruntuhan suatu kebudayaan (atau peradaban)—selain berfokus kepada manusia sebagai subjek/pelaku kebudayaan, menurut hemat penulis—juga sangat ditentukan oleh bentuk kebudayaan yang tidak berwujud dan retensi ‘hidupnya’ cenderung lebih panjang dibandingkan benda-benda berwujud lainnya. Akan menjadi lebih penting lagi peran kebudayaan dalam benda-benda tak berwujud yang berupa bahasa, tradisi, kebiasaan, adat, nilai moral, etika, gagasan-gagasan, religi, kesenian, kepercayaan, sistem kekerabatan, dan harapan-harapan hidup sebagai aspek yang mengindikasikan tinggi rendahnya suatu peradaban dan eksistensi kebudayaan itu sendiri. Seiring dengan laju modernisasi dan arus globalisasi yang terus menerpa, revitalisasi terhadap hasil-hasil kebudayaan dan peradaban Suku Dayak ini menjadi mutlak harus segera ditangani. Hal-hal yang menggembirakan juga dengan munculnya pemikiran-pemikiran baru yang memandang bahwa hasil-hasil kebudayaan itu, misalnya kearifan lokal suatu suku bangsa pada kehidupan komunal masa lalu menjadi sangat relevan untuk menjadi benteng pengaruh-pengaruh negatif budaya lain yang bertentangan dengan kebudayaan Timur.

Di samping itu, dituntut kemauan baik dan politik kebudayaan yang berpihak kepada kepentingan kebudayaan Suku Dayak secara menyeluruh. Hal ini dimungkinkan pula karena potensi sumberdaya manusia dan sumberdaya alam Kalimantan dianggap cukup memadai untuk itu. Dalam perspektif ini, budaya lokal sebagai penopang dan pemerkaya kebudayaan nasional akan semakin lestari. Dengan demikian, isu kebudayaan ini dapat menjadi sumber devisa baru yang akan menjadi potensi alternatif di masa-masa mendatang, misalnya perkampungan suku Dayak sebagai pusat studi dunia atau perpustakaan dunia dan sebagai media pembelajaran sosial budaya bagi pihak-pihak yang ingin mendalaminya lebih jauh. Berikut akan dirinci tentang bentuk-bentuk kebudayaan yang tidak berwujud (cultural immaterials) yang dihasilkan manusia suku Dayak.

3.1 Bahasa

Mencari bentuk kebudayaan Suku Dayak mungkin tidaklah terlalu sulit karena setidaknya sampai saat ini Suku Dayak masih memiliki mayoritas kesamaan secara budaya. Namun, hal tersebut akan berbeda ketika dihadapkan dengan persoalan bahasa sebagai alat komunikasi dalam kerangka transformasi kebudayaan.

Seperti telah diuraikan di atas, suku-suku Dayak di Kalimantan telah teridentifikasi setidaknya terdapat 405 suku, dengan asumsi memiliki kesamaan budaya, karena diturunkan dari satu nenek moyang (anchestral). Dari 405 suku-suku yang ada dapat pula diasumsikan terdapat kurang lebih 405 bahasa-bahasa yang berbeda satu dengan yang lainnya. Namun, sebagai sebuah suku yang cukup besar di Indonesia, suku Dayak ternyata tidak memiliki satu bahasa yang menyatukan mereka, kecuali bahasa Melayu atau bahasa Indonesia, dan sebagian lain terutama Kalimantan bagian Selatan, sebagian Kalimantan Tengah dan sebagian Kalimantan Timur yang menggunakan bahasa Banjar sebagai alat komunikasi antarsuku dan dalam dunia perniagaan. Kesulitan komunikasi antarsuku Dayak di Kalimantan ini harus menjadi perhatian, karena tidak ada bahasa Dayak, yang ada hanyalah bahasa-bahasa Dayak. Perlu adanya kongres bahasa Dayak yang akan menghasilkan kesepakatan bahasa Dayak mana yang akan dijadikan bahasa pemersatu/bahasa daerah suku Dayak di Kalimantan. Hal ini sangat penting guna memperkokoh kolektivitas dan identitas etnik suku Dayak di Kalimantan dalam memperkaya bingkai kebhinekaan NKRI.

Berbeda halnya yang terjadi di Kalimantan Tengah, bahwa peran bahasa Dayak Ngaju telah dipakai sebagai lingua franca yang dapat saja dalam dinamikanya menjadi bahasa pemersatu antarsuku Dayak. Di samping karena mayoritas penuturnya ‘menguasai’ peta kebahasaan di Kalimantan Tengah (lihat Suryanyahu, dkk.2006) dengan kurang lebih 800.000 penutur (baca Poerwadi, 1993), juga karena bahasa ini telah cukup lama diteliti dan dilakukan kodifikasi, baik dari segi struktur dan tata bahasa maupun sebagai bahasa yang sudah ditransliterasi sejak Misi Gereja Kalimantan Evangelis di Kalimantan tahun 1835. Dalam perkembangannya juga telah dibuat kamus oleh Haardeland (1859) berupa Dajaaksch-Deutsch Worterbuchs, Druck von C.A Spin& Sohn, Amsterdam dan Kamus Bahasa Dayak Ngaju—Indonesia oleh Alfred Bingan dkk. (2005).

Identifikasi bahasa yang dilakukan puluhan tahun silam, tentu sangat berbeda dengan situasi sekarang—karena bahasa selalu dinamis--yang mungkin saja ada beberapa di antaranya sudah punah dan terancam punah. Kepunahan bahasa-bahasa minor di masa lalu, secara asumtif disebabkan oleh adanya tradisi kayau sesama suku Dayak di masa itu dan secara prestise bahwa bahasa-bahasa minor itu kurang tinggi sehingga kurang dihargai oleh penuturnya dan lambat-laun ditinggalkan . Suku-suku kecil yang tidak dominan akan ‘mati’ secara drastis maupun gradual dengan alasan politik dan keamanan sehingga punah tidak terdokumentasi. Oleh karena itu, guna mengungkap kekayaan bahasa yang ada di Kalimantan perlu adanya tim bersama seluruh provinsi di Kalimantan untuk segera menginventarisir dan mengidentifikasi bahasa-bahasa Dayak mana saja yang sudah punah, akan punah, dan terancam punah,serta bahasa-bahasa yang masih bertahan dalam bentuk bahan tertulis yang terdokumentasi dengan baik (textual materials) sebagai warisan generasi mendatang. Hasilnya diharapkan akan menjadi rekomendasi kepada pemerintah daerah untuk menentukan kebijakan bahasa (laguage policy) berupa bahasa-bahasa (dan sastra) mana di daerahnya yang sesuai baik sebagai bahan ajar/muatan lokal pada tataran institusi pendidikan formal, maupun sebagai bahan ajar bagi pendatang (baca: pihak luar). Mengapa juga dibutuhkan bagi pendatang (pihak luar), hal ini berdasarkan pengamatan penulis bahwa secara kasuistik kegagalan pihak luar yang ingin mendiami dan hidup di Kalimantan merupakan sebuah kegagalan dalam mempelajari budaya lokal, khususnya bahasa sebagai alat transformasi budaya itu sendiri. Hal ini menyiratkan bahwa peroalan bahasa seolah tergampangkan, padahal di lain pihak, ia justru menjadi sarana penting pemahaman lintasbudaya (intercultural understanding). Jadi, singkatnya adaptasi linguistik (dan budaya) harus berbanding lurus dengan adaptasi sosial dalam kerangka pemahaman lintasbudaya masyarakat di Kalimantan.

Bersambung...

2 komentar:

infogue mengatakan...

Artikel anda:

http://kalimantan.infogue.com/
http://kalimantan.infogue.com/revitalisasi_kebudayaan_dayak_bagian_ii

promosikan artikel anda di infoGue.com. Telah tersedia widget shareGue dan pilihan widget lainnya serta nikmati fitur info cinema untuk para netter Indonesia. Salam!

Anonim mengatakan...

terima ksh dengan adanya blog ini, saya sangat di bantu dlm mengerjakan tugas2 saya....

sekian ...

....