30 September, 2010

ETIKA KEPEMIMPINAN DAN KEARIFAN LOKAL

Telah dimuat di Harian Tabengan, Juni 2010

Oleh: Anthony Nyahu*

Kepemimpinan dan Budaya Timur

Mencari pemimpin ideal mungkin hanya utopis. Ideal dalam konteks pemimpin yang mengerti persoalan rakyat dan ideal dalam format tingkah laku (behavior) yang difigurkan rakyat. Pemimpin ideal mungkin hanyalah pemimpin imajiner yang kita temui pada berlembar-lembar komik dan buku-buku biografi atau sejarah. Kepemimpinan ideal didasari atas etic dan moral, keselarasan retorika dan tingkah laku.

Menurut Sara Boatman,”etika”adalah sistem nilai pribadi yang digunakan memutuskan apa yang benar, atau apa yang paling tepat, dalam suatu situasi tertentu; memutuskan apa yang konsisten dengan sistem nilai yang ada dalam organisasi dan diri pribadi. Sedangkan, kepemimpinan yang etik menggabungkan antara pengambilan keputusan etik dan perilaku etik; dan ini tampak dalam konteks individu dan organisasi. Tanggung jawab utama dari seorang pemimpin adalah membuat keputusan etik dan berperilaku secara etik pula, serta mengupayakan agar organisasi memahami dan menerapkannya dalam kode-kode etik (Boatman dalam lintaucommunity.blogspot.com, diakses 10 Agustus 2010). Hal yang tidak terlelu berbeda dengan manajemen suatu negara. Bahwa seorang pemimpin adalah manajer sebuah pemerintahan atau negara yang tak luput dari konsep etika kepemimpinan organisasional.

Budaya Timur mengajarkan etika dan moralitas pemimpin sebagai landasan yang kokoh bagi proses berjalannya suatu organisasi. Hal ini terindikasi dari tingkah laku (behavior), keputusan strategis (strategic decision) yang menentukan solusi tepat, dan intuisi yang mampu memprediksi masalah (predictive intuition). Keselarasan retorik harus berbanding lurus dengan etika dan tingkah laku (behavior) pemimpin yang teruji oleh waktu dan masalah. Pemimpin yang baik adalah pemimpin yang mampu memberikan legitimasi dari amanat rakyat dengan indikasi tegaknya keadilan dan kebenaran, menuju kesejahteraan dan kebermartabatan. Dengan kata lain, menurut Robby I. Chandra, pemimpin yang baik adalah seorang pemimpin yang merumuskan visi bersama dan menggerakkan orang bersamanya untuk menghasilkan transformasi ( Landasan Pacu Kepemimpinan, Robby I. Chandra, diunduh dari lead.sabda.org/_pdf/landasan_pacu_kepemimpinan.pdf).Kepemimpinan budaya Timur di dalam budaya Jawa, misalnya sebagai landasan pengambilan keputusan dikenal dengan Hasta Brata yang disimbolisasikan melalui media benda atau kondisi alam (bataviase.co.id/node/222664). Maka tidak heran, aneka simbolisasi tersebut menjadi rule of act di dalam etika kepemimpinan Jawa.

Kepemimpinan dan Pepatah Dayak Ngaju

Di dalam budaya Dayak, kepemimpinan tidak secara serta merta dilihat dalam tataran teoretis, namun teraktualisasi melalui konteks keseharian. Landasan kepemimpinan yang etis di dalam masyarakat Dayak dapat dilihat dari perspektif mereka dalam memperlakukan alam dan isinya. Manusia dititipkan alam beserta isinya untuk diperlakukan berdasarkan atas hubungan yang saling menguntungkan (mutual relationship). Hal ini tersirat dalam filosofi bahwa manusia hidup dan berdiri di atas punggung Jatha/Bungai/naga (Penguasa Alam Bawah/underworld) dan menjunjung tinggi Hatalla/Tambun/enggang (Penguasa Alam Atas/upperworld). Bahwa manusia merupakan mahluk tertinggi yang diberikan keistimewaan untuk mendiami petak sintel habalambang Tambun (bumi subur yang merupakan simbolisasi punggung naga). Untuk itu, perlu adanya keseimbangan dalam segala hal, baik relasi horisontal—sesama manusia, alam, dan lingkungan--, maupun relasi vertikal—dengan Sang Pencipta. Personifikasi natural di dalam keseharian budaya Dayak mengindikasikan bahwa adanya keseimbangan ekologis atau eco-librium (ecology equilibrium) di dalam laboratorium kehidupan. Kepemimpinan di dalam budaya Timur harus mengedepankan etika “to serve” atau melayani, bukan “served” atau dilayani.

Nila Riwut berpendapat bahwa Suku Dayak amat taat dan setia kepada pemimpin yang telah mereka akui sendiri. Di lain pihak, untuk mendapatkan pengakuan dari penduduk, seorang pemimpin harus benar-benar mampu mengayomi dan mengenal masyarakatnya dengan baik. Pemimpin suku Dayak, bukan seorang yang hanya memberi perintah atau menerima pelayanan lebih, dari masyarakat, namun justru sebaliknya. Pemimpin yang disegani ialah pemimpin yang mampu dekat dan memahami masyarakatnya antara lain : bersikap mamut menteng, maksudnya gagah perkasa dalam sikap dan perbuatan. Ia disegani bukan dari apa yang ia katakan, namun dari apa yang telah ia lakukan. Berani berbuat, berani bertanggung jawab. Dalam sikap dan perbuatan selalu adil. Apa yang diucapkan benar dan berguna. Nama baik bahkan jiwa raga dipertaruhkan demi keberpihakannya kepada warganya. Sikap mamut menteng yang dilengkapi dengan tekad isen mulang atau pantang menyerah telah mendarah daging dalam kehidupan orang Dayak. Tidak dapat dipungkiri kenyataan itu sebagai akibat kedekatan manusia Dayak dengan alam. Bagi mereka tanah adalah ibu, langit adalah ayah dan angin adalah nafas kehidupan. Dengan demikian, kemanapun pergi, di manapun berada, bila kaki telah berpijak dibumi takut dan gentar tak akan pernah mereka miliki (nilariwut.com, diakses 10 Agustus 2010).

Berbagai kearifan lokal sebagai landasan menuju pemimpin yang berlegitimasi (legitimate) dan memahami aspirasi rakyat dapat pula dilihat dalam aneka pepatah-petitih di dalam bahasa Dayak Ngaju. Indikator pemimpin yang baik salah satunya adalah pemimpin yang antisipatif. Misalnya, tambuhus pai tau injawut, tambuhus pander dia tau inangkaluli.‘Terperosok kaki dapat dicabut, terperosok bicara tidak dapat ditarik’. Jadi, seorang pemimpin juga harus memperhitungkan risiko baik atau buruk, serta mampu mengelola risiko menjadi potensi massif. Kemudian, pemimpin diharapkan dapat mendeteksi sumber masalah dan tahu bagai mana mengatasi masalah dapat dilihat pada perumpamaan ini, yakni ela mambadi binjai inumbal intu lunuk, maknanya: ‘mengatasi masalah berdasarkan jenis dan tempatnya’. Pemimpin yang sarat pengalaman dan teruji dapat menjadi inspirasi untuk menemukan solusi dari berbagai persoalan dapat dilihat pada, misalnya pepatah kejau halisang are tampayah. ‘jauh berjalan banyak penglihatan, maknanya: ‘banyak pengalaman karena lama hidup dan bergaul di luar komunitasnya’.

*) Peminat bahasa dan Sastra Dayak Ngaju, tinggal di Palangkaraya

“Aba” dan Sebuah Pengabdian Kecil untuk Indonesia

Oleh: Anthony Nyahu | Kompasiana, Jumat, 13 Agustus 2010 | 09:16

Aba. Demikian kami, anak-anaknya biasa memanggilnya. Perawakannya masih tegap seolah tak mau kalah oleh usianya yang sudah menua. Kumis tebal yang sebagian memutih seolah ukiran karisma sebagai pambakal (kepala desa) itu masih menghiasi wajahnya yang mulai renta.

Ya. Aba adalah panggilan kepada Ayah di dalam bahasa Dayak Katingan. Mungkin berasal dari kata abah atau abi, mungkin juga dari bapa. Aku tak tahu persis. Bagiku, Aba adalah sosok yang spesial, melebihi kesukaanku kepada sosok Superman atau Flash Gordon, tokoh komik di masa kecil. Aba yang mengajarkan kami—kelima puteranya—untuk selalu mensyukuri hidup. Itulah yang sangat aku kagumi dari seorang Aba. Seorang Aba yang setia selama separuh umurnya untuk sebuah pengabdian terbaik. Ya! pengabdian terbaik sebagai seorang kepala desa. Makanya Aba selalu bangga kalau ditanya berkaitan dengan ‘profesi’nya.

Konon katanya, menjadi seorang kepala desa itu seperti seorang ‘presiden’masa kini, karena dari era masa lalu hingga kini dipilih langsung oleh ‘rakyat’nya. Aba menjadi pambakal dalam rentang waktu beberapa kali ganti presiden. Dari era Pak Harto hingga era SBY ini. Dari tunjangan sebesar Rp75 ribu hingga memecahkan ‘rekor’ insentif sekarang sebesar Rp500 ribu. Itu tok. Itu pun dibayar per tiga bulan. Bisa dibayangkan, jika semata-mata bersandar kepada tunjangan sebesar itu, mungkin kami anak-anaknya sudah menderita busung lapar. Apalagi di tengah kondisi harga-harga yang terus berloncatan di awan-awan.

Untuk bisa menyekolahkan kami Aba harus rela ‘rangkap jabatan’ sebagai peladang, pengumpul rotan, atau penyadap karet. Antara ‘tugas negara’ dan tuntutan hidup haruslah beriringan, kata Aba. Beliau tetap mengabdi, mengurus masyarakatnya. Dari urusan kawin lari hingga urusan orang berperkara. Dari urusan remeh temeh sampai urusan saling bunuh. Dari hal dunia sampai ihwal akhirat. Berat memang, dan sangat tak sebanding dengan tanggung jawab yang diembankan kepadanya. Bahkan lebih berat dari lencana perak yang disemat di saku kanan seragam putihnya.

Di suatu senja di musim yang lalu (meminjam syair lagu jadul), aku memberanikan diri untuk bertanya kepadanya.”Kok mau-maunya sih Aba jadi pambakal? Di usia Aba sekarang kan rawan mendatangkan stres. Karakter masalah juga sangat berbeda dengan zaman dulu. Juga manusia sekarang ‘kan banyak yang pintar, susah diatur. Ngapain sih capek-capek ngurusin orang banyak?”

“Ah, itu ‘kan kepercayaan masyarakat. Aku tak mau mengecewakan amanat dan kepercayaan masyarakat. Aku tak pernah bisa mengabaikan panggilan hati untuk berbakti kepada bangsa, meskipun hal kecil ini saja yang bisa aku lakukan. Ingat, mengabdi dan berbakti itu kan macam-macam bentuknya. Inilah yang bisa kulakukan untuk Indonesia yang besar ini” Jawab Aba seperti kampanye seorang calon pejabat yang dipinang parpol.

Luar biasa, pikirku. Aku terkagum-kagum. Terangguk-angguk seperti orang diserang kantuk, sambil terbatuk. Aha!, nasionalisme Aba memang tak diragukan. Bukankah Indonesia itu tetap berdiri tegak juga salah satunya dari sikap dan pengabdian kecil seperti ini? “Aku bangga bisa mengaktualisasikan diriku sebagai seorang pemimpin, meskipun di kampung yang berpenduduk seratus dua ratus jiwa. Aku bangga bisa mendayagunakan pikiran dan tindakanku membantu orang kecil. Meskipun aku bukan seorang pejabat negara atau wakil rakyat”, lanjutnya berapi-api seolah akan menghanguskanku.

Kini, Aba melepaskan seragam putih dengan lencana kebanggaannya itu. Beliau bukan lagi seorang pambakal. “Biar ada penyegaran dan dipimpin oleh yang muda-muda saja” alasannya. Sekarang, beliau menjadi Aba kami yang sesungguhnya. Sesungguhnya, dalam arti bahwa beliau akan punya banyak waktu untuk bercengkerama dengan cucu-cucunya. Punya banyak waktu untuk berkumpul dengan kami anak-anaknya. Kami pun kembali menemukan sosok Aba yang nyambung berdiskusi tentang apa saja, dari soal masyarakat adat, pemerintahan, hingga situasi politik masa kini. Maklum, Aba selalu update berita, sehingga diskusi-diskusi kami tak pernah terasa garing.

Di masa tuanya, Aba tidak mewariskan apa-apa. Kami pun tak kaget. Harta tak punya. Uang pun tiada. Seperti syair lagu dangdut saja. Kalau pun ada beberapa kebun karet dan rotan, hanya semata-mata jerih payahnya ketika beliau masih muda belia. Kebun itulah yang beliau gunakan untuk menyekolahkan kami berlima. Bukan bermaksud jumawa, meski harga karet dan rotan dari zaman batu naik-turun seperti rollercoaster, cukuplah untuk menghasilkan tiga sarjana dan dua swasta. Rata-rata penghidupannya sudah tak disubsidi lagi, bukan pula subsidi silang apalagi subsidi asing. Sebuah ‘prestasi’ yang tidak berbanding lurus dengan penghasilan orang seperti Aba.

Aba pandai memanfaatkan siklus hidupnya. Konon, ceritanya ketika kecil disuka, muda produktif, masa tua bahagia. Harapannya, kelak ketika meninggal masuk surga. Hal yang terakhir mungkin menjadi harapan dan tujuan kita semua. Tetap sederhana dan tak berlebihan memang.

Satu hal (lagi) yang membuat aku bangga kepada beliau. Sebagai pemimpin—baik pemimpin masyarakat maupun rumah tangga—Aba tidak pernah mengeluh dalam hidup, apalagi berkeluh-kesah kepada rakyatnya. Betapapun beratnya. Puncaknya, ketika beliau kehilangan seseorang yang telah setia jadi pendamping hidupnya puluhan tahun. Seorang ibu dari anak-anaknya. Hingga beliau harus berkomitmen untuk menjadi single parent ketika adik-adik masih kecil. Ujian-ujian hidup dilaluinya dengan senyum ketabahan. Ketika Ibu dipanggil Yang Mahakuasa, beliau menegaskan kepada kami bahwa kematian itu sama bagi setiap orang, namun waktulah yang membedakannya. “Aku dan Ibumu tidak lahir bersama-sama, maka ketika kami dipanggil Yang Kuasa pun, kami juga tidak bersama-sama” demikian penjelasan Aba.

Aba hanya mewariskan kami sebuah makna yang luas tentang kehidupan dan nasionalisme. Tentang bagai mana menjadi Indonesia. Tentang bagai mana harus berpikir merdeka dari berbagai keterbatasan dan kekurangan. Tentang bagai mana berjuang dan berperang. Bukan angkat senjata, tetapi berjuang melawan kemiskinan dan berperang melawan kebohohan. Satu-satunya cara adalah berpikir merdeka, kata Aba. Untuk mencapai kemerdekaan yang sesungguhnya hanyalah melalui pendidikan. Kalau kalian berpendidikan, maka yang namanya kemiskinan enggan menghinggapi kalian, lanjutnya.

Sederhana memang, namun tidak gampang. Bagai manapun, pendidikan yang berkualitas bergantung kepada berapa digit angka nol di belakang lembar-lembar rupiah. Sebab, jika masih belum berpikir merdeka, pendidikan berkualitas mustahil didapat di negara yang umurnya dua tahun lebih tua dari Aba ini. Sekali lagi, kata Aba kata kuncinya adalah pendidikan. Pendidikan untuk membebaskan. Untuk menjadi manusia merdeka haruslah memiliki pendidikan yang berkualitas. Setidaknya itulah petuah dari seorang Aba, meski ia pun tahu bahwa jika berpendidikan tinggi atau berkualitas belum tentu sejahtera.Paling tidak, dalam pemikirannya yang visioner kemiskinan dan kebodohan akan menjauhi kami, anak cucunya.

“Merdeka!” Pekik Aba, mungkin karena sebentar lagi tujuh belasan.

“Merdeka, ‘Ba!” Sahutku, sambil menertawai diri sendiri. Atau mungkin juga para kompasioners sedang menertawai karanganku ini, karena mirip tugas mengarang di waktu esde.

Hmm….Aku berpikir, apakah kini aku sudah benar-benar merdeka? Kulipat dan kusimpan pertanyaan itu di saku pakaian dinasku yang mulai lusuh. *[AN]

11 Februari, 2010

Di manakah Wawasan Budaya Kita Besembunyi?

Beberapa waktu lalu, Pemko Palangka Raya telah menerbitkan kebijakan tentang penggunaan bahasa Dayak Ngaju pada hari tertentu di lingkungan dinas-dinasnya. Menariknya, kebijakan ini dianggap tepat mengingat keterdesakan bahasa ibu di tengah persaingan dengan bahasa-bahasa daerah lain dan bahasa nasional. Namun, ada juga yang bersuara miring: bahwa kebijakan itu perlu ditinjau ulang, mengingat masyarakat Palangka Raya yang heterogen. Saya justru bertanya-tanya. Apakah dengan situasi masyarakat yang heterogen itu, bahasa lokal, khususnya Dayak Ngaju menjadi pembenaran untuk dipinggirkan? Beberapa penelitian mencatat, bahwa situasi pemertahanan bahasa ibu di tingkat perkotaan/masyarakat urban dalam situasi memprihatinkan (lihat Suryanyahu, 2006; Budhiono, 2006). Satu-satunya benteng terakhir pemertahanannya berada pada wilayah perdesaan yang cenderung homogen dengan tingkat kontak budaya antarpenutur yang minim. Lalu, apanya dan di manakah yang salah? Kita tentu tidak menyangkal bahwa pengaruh bahasa-bahasa daerah lain semakin kuat melilit kita (sebagai konsekuensi dari kontak budaya). Kita juga tidak memungkiri sebuah bahasa harus bersifat dinamis (mampu bersesuai dengan zaman dan dinamika teknologi). Di tengah kondisi bahasa (penutur dan dinamikanya) yang semakin melemah, maka upaya untuk menjadikan bahasa ibu mendapatkan tempat untuk diapresiasi merupakan langkah yang sepatutnya didukung. Penentangan terhadap hak hidup bahasa ibu merupakan langkah yang kontraproduktif. Pun dengan alasan masyarakat heterogen. Sebab, jika peminggiran terhadap budaya lokal terus berlangsung maka tidak menutup kemungkinan aset budaya daerah, salah satunya bahasa Dayak Ngaju akan lambat laun punah tergantikan dengan bahasa daerah lain, atau bahasa nasional. Inikah cermin awal lahirnya budaya hibrida yang tidak matang. Lalu di mana identitas orang Dayak Ngaju sesungguhnya jika dari tutur bahasanyapun sudah tidak dikenali lagi. Jika identitas daerah sudah tidak ditemukan lagi, disebut apakah orang Dayak Ngaju karena tidak lagi berbahasa Dayak Ngaju? Sebuah pertanyaan yang membutuhkan renungan panjang. Mungkin masih banyak yang berpikir bahwa budaya (salah satunya bahasa) justru tidak penting. Coba kita lakukan untuk tidak berbicara dengan sebuah bahasa dengan siapapun dalam satu jam. Perlukah kita menggunakan bahasa isyarat? Saya rasa tidak. Sebab warisan leluhur sudah tersedia, salah satunya bahasa yang (mudah-mudahan masih) kita gunakan sekarang. Entah di mana wawasan budaya kita bersembunyi jika kita masih menganggap persoalan budaya dan bahasa dianggap tidak mendatangkan keuntungan nyata bagi daerah.(AN)

06 Januari, 2010

Kaharingan: Konsepsi Ketuhanan dan Kearifan Ekologis pada Masyarakat Dayak

Anthony Nyahu*)
Pandangan tentang agama lama (old religion; primitive religion) yang diketengahkan para peneliti Barat merupakan justifikasi atas konsepsi agama-agama baru terhadap kepercayaan Kaharingan. Asumsi Kaharingan sebagai dinamisme, animisme dan politeisme menggiring pemikiran publik dan hegemoni politik bahwa Kaharingan seolah-olah memang demikian adanya. Namun, sangat sedikit peneliti Barat yang sanggup melepaskan kosepsi awal yang tertanam secara dogmatis di dalam pemikiran mereka. Selebihnya, konsepsi tentang Kaharingan hanya bersifat parsial dan cenderung memandang dari perspektif agama-agama masa kini. Di antara sedikit itu, salah satunya Schärer yang mampu memandang konsepsi ketuhanan Kaharingan di dalam bukunya Ngaju Religion: The Conception of God Among A South Borneo People (The Hague: Martinus Nijhoff, 1963). Sebuah buku yang netral dan holistik mengungkapkan analisis tentang konsep ketuhanan masyarakat Dayak. Sebagai akibat dari pandangan-pandangan yang parsial tersebut, tidak sedikit masyarakat Dayak (baca: penganut Kaharingan) yang malu memiliki keyakinan Kaharingan. Hal ini ditambah pula pengaruh masuknya imperialisme dengan stereotipe yang negatif terhadap Kaharingan. Implikasi lain yang adalah munculnya absurditas atau tepatnya pengaburan identitas budaya pada masyarakat Dayak dalam beberapa dekade. Kekuatan represif kekuasaan dan hegemoni politik pada masa lalu telah menempatkan Kaharingan (dan penganutnya) berada pada sebuah situasi yang tidak menguntungkan.
Konsep Ketuhanan Kaharingan: Harmonisasi dan Keseimbangan Kosmis
Kaharingan memandang bahwa hidup dan tatanan kehidupan manusia tidak terlepas dari campur tangan Tuhan. Menurut Schärer, hubungan antara manusia dengan Tuhan di dalam Kaharingan merupakan hubungan yang tidak boleh tercederai. Kalaupun terjadi, maka manusia harus memberlakukan upaya-upaya restorasi dan rehabilitasi. Upaya-upaya pemeliharaan harmonisasi hubungan manusia dengan Tuhan berdampak kepada keseimbangan kosmis yang akan memberikan kemaslahatan (beneficiary) bagi umat manusia di muka bumi. Oleh karena itu, masyarakat Dayak sangat menghargai dan menghormati hadat (law, custom, right behavior) sebagai tuntunan hidup (belum bahadat) dan berperilaku di dalam masyarakat. Mereka percaya dengan taat kepada hadat dalam kehidupan mereka akan melapangkan jalan menuju surga (setelah ditiwahkan) yang disebut dengan Lewu Tatau Habaras Bulau, Habusung Hintan Hakarangan Lamiang. Singkatnya, hadat merangkumi perbuatan dan keyakinan, peradaban dan kebudayaan, hukum dan agama, etik dan dogma (Ugang, 1983:50). Di dalam konsepsi teologis Kaharingan, menurut Schärer, masyarakat Dayak mengenal adanya dualitas kekuasaan (bukan dualisme) yang dimanifestasikan ke dalam tiga ‘wilayah’ kekuasaan: Pantai Danum Sangiang (Dunia Atas) yang dikuasai oleh Allah Tertinggi (Ranying Mahatala Langit), Pantai Danum Kalunen (Dunia Manusia) dan Pantai Danum Basuhun Bulau Saramai Rabia (Dunia Bawah) yang dikuasai oleh Jatha Balawang Bulau. Dunia Atas dan Dunia Bawah merupakan dualitas yang menyatu, yakni dua aspek: maskulin dan feminin. Sebagai manusia yang menjalani dan menaati hadat, masyarakat Dayak sangat menjaga harmonisasi hubungan ketiga dunia tersebut. Apabila terjadi pelanggaran terhadap hadat yang mengatur hubungan triarkis antara manusia dengan Tuhan dan alam, maka kewajiban manusia adalah melakukan restorasi dari sistem kosmis yang dirusak dan melakukan pemulihan (recovery) sehingga keseimbangan kosmis dapat terpelihara dan memberikan kesejahteraan bagi umat manusia di muka bumi. Masyarakat Dayak Kaharingan percaya bahwa bumi yang ditempati sebagai “pinjaman” atau “dunia yang ditopang oleh kekuasaan dualitas Dunia Bawah (Jatha Balawang Bulau)” bersama-sama dan satu dengan Dunia Atas (Ranying Mahatala Langit). Oleh karenanya, masyarakat Dayak Kaharingan diwajibkan menjaga keselarasan dunia manusia (alam) dan benda-benda ciptaan-Nya. Dengan demikian, mereka dapat memperoleh kemaslahatan dari apa yang diperlakukannya kepada sesama dan alam dalam rangka menuju keselarasan hubungan dengan Tuhan. Seiring perkembangan waktu, penganut Kaharingan semakin berkurang sebagai akibat masuknya agama-agama baru yang dianggap modern. Tidak sedikit masyarakat Dayak yang memeluk beberapa agama baru, sehingga muncullah identitas budaya berbasis kepercayaan. Masyarakat Dayak yang memeluk agama Kristen disebut beberapa antropolog sebagai identitas baru dengan Dayak Kristen (lihat Mahin, 2005). Sedangkan pemeluk lama Kaharingan disebut sebagai Dayak Kaharingan. Namun, kedua identitas baru ini menimbulkan implikasi baru dengan semakin rendahnya pemertahanan budaya Dayak secara umum. Hal-hal yang menyangkut budaya yang sulit dipisahkan dengan agama sebagian mulai ditanggalkan sebagai tuntutan identitas baru. Kearifan Ekologis pada Masyarakat Dayak Seperti telah disinggung sebelumnya, masyarakat Dayak Kaharingan sangat taat kepada hadat yang menjadi pandangan hidup (way of life) mereka di dalam kehidupan. Mereka sangat menghargai alam tempat mereka hidup dan memperoleh maslahat dari alam, sehingga mereka sangat tergantung kepada alam. Di dalam mencapai misi menuju kematian sempurna setelah dilakukan upacara tiwah (good dead, Scharer 1963), mereka terlebih dulu menaati hadat melalui perbuatan baik (kepada sesama, Tuhan, dan alam). Alam merupakan “titipan atau pinjaman”dari Tuhan (Lewu Injam Tingang) yang hanya bersifat sementara. Oleh karenanya, manusia hanya mengusahai alam dengan arif dan bijaksana. Mereka tidak memiliki kekuasaan terhadap alam, sebab alam telah diciptakan dan diatur tatanannya oleh Tuhan (Ranying Mahatala Langit). Karena alam berupa “titipan atau pinjaman”, maka manusia hanya memanfaatkan alam seperlunya saja untuk kepentingan mempertahankan hidup. Hal ini tercermin dalam perilaku masyarakat Dayak di dalam menjaga agar komponen di dalam alam dapat dimanfaatkan secara berkesinambungan. Hutan, misalnya, merupakan komponen penting bagi kelangsungan hidup mereka. Di dalam memanfaatkannya tidak dilakukan dengan sembarangan dan membabi buta. Berladang sering dicitrakan sebagai pembalakan atau perladangan berpindah, padahal mereka membuka ladang setelah terjadi peremajaan hutan pada bekas ladang yang lama. Lokasi dari pemukiman pun dicari yang mudah dijangkau dan dikendalikan agar dapat memberikan hasil panen yang memadai. Di samping itu, diperlukan upacara-upacara ritual khusus, baik prapembukaan ladang, prosesi, dan pascapembukaan agar tidak merusak tatanan ekologis yang ada. Jauh sebelum adanya pemikiran tentang konservasi dan hutan lindung, masyarakat Dayak sudah mencadangkan kawasan hutan. Mereka memiliki hutan cadangan yang disebut pukung pahewan (hutan larangan; hutan cadangan). Hal ini dimaksudkan sebagai penyangga keanekaragaman hayati dan cadangan bagi generasi mendatang. Kearifan lain adalah apabila salah satu warga meninggal dunia akibat tertimpa kayu, maka tetua adat akan melakukan serangkaian upacara ritual mangayau kayu dengan maksud agar setelahnya hubungan manusia dengan alam kembali dipulihkan. Kayu dianggap secara filosofis memiliki 'roh', karena daripadanya masyarakat Dayak memperoleh manfaat bagi kehidupan. Penyucian hubungan tersebut dimaknai sebagai bagian dari upaya menjaga harmonisasi hubungan manusia dengan alam yang berimplikasi kepada keseimbangan kosmis secara menyeluruh. Sumber-sumber yang dianggap relevan untuk memahami religi masyarakat Dayak terhadap keseimbangan kosmis adalah melalui mite-mite (Ukur dalam Florus,dkk. , 1994). Termasuk di dalamnya mitos-mitos tentang hutan adat dan satwa tertentu. Perlakuan masyarakat Dayak terhadap aneka satwa, misalnya menyiratkan kearifan mereka di dalam pemenuhan kebutuhan hidup (need for life fulfillment). Mereka percaya bahwa tidak semua satwa dapat dibunuh dan dijadikan makanan. Ada beberapa jenis satwa yang dilindungi, di antaranya burung tingang atau enggang dan elang, misalnya. Burung enggang merupakan simbol penguasa Alam Atas, sedangkan burung elang dianggap sebagai burung “pemberi tanda” atau “petunjuk” (dahiang). Harmonisasi hubungan manusia dengan alam merupakan manifestasi dari bakti manusia Dayak kepada Tuhan melalui benda-benda ciptaan-Nya. Masyarakat Dayak percaya bahwa “apa yang ditabur, itulah yang dituai”. Oleh karenanya, mereka menganggap pelestarian alam adalah tanggung jawab yang harus diemban manusia.
Realitas Masa Kini dan Mendatang
Konstelasi zaman terus berubah, tidak terkecuali masyarakat Dayak. demikian pula halnya dengan ruang hidup masyarakat Dayak. Alam sebagai tempat masyarakat Dayak berpijak untuk mempertahankan hidupnya mulai terusik. Untuk dan atas nama pembangunan dan modernisasi, kawasan hutan telah berubah fungsi. Pengusahaan sumberdaya alam yang tak terkendali dan rusaknya tatanan keanekaragaman hayati, menjadi faktor utama terjadinya destruksi kebudayaan Dayak. Masyarakat Dayak harus mampu beradaptasi terhadap situasi, tidak terkecuali orientasi ekonomi (economic oriented). Orientasi ekonomi dan tuntutan hidup memberi peluang yang signifikan bagi ketergerusan nilai-nilai sosial dan budaya yang luhur terpelihara. Supremasi hadat mulai memudar tergantikan hukum positif. Pengikisan budaya diperparah dengan publikasi yang tidak proporsional terhadap masyarakat Dayak. Sebagai akibatnya, tidak sedikit generasi muda Dayak yang malu mengakui identitas dan budayanya sebagai orang Dayak. Dayak di dalam beberapa publikasi asing identik dengan “pemotong kepala”, “bar-bar”, dan seterusnya seolah menjadi justifikasi atas ketidakpantasan identitas itu. Kini, kebudayaan imateril yang dimiliki masyarakat Dayak sudah tergerus. Masyarakat Dayak generasi baru telah mengalami transformasi. Banyak unsur kebudayaan Dayak yang tidak lagi dipahami oleh mereka, apalagi yang berkaitan erat dengan Kaharingan. Agaknya, benang tipis yang memisahkan antara budaya dan agama menjadi sekat kekurangmengertian itu. Di samping itu, ketiadaan tradisi tulis pada masyarakat Dayak menjadikan jurang yang melegitimasi keadaan itu. Akibatnya, banyak generasi kini tidak lagi mengenali dan mencintai budayanya. Budaya urban yang dianggap modern telah menjadi identitas baru dianggap memiliki kelas tersendiri di dalam masyarakat. Entah seperti apa kebudayaan Dayak jika pemeluk Kaharingan sudah dalam hitungan jari saja. Kebudayaan memang akan dan terus bertransformasi, tidak terkecuali kebudayaan Dayak. Namun, mampukah masyarakat Dayak menerima transformasi itu di tengah arus modernisasi dan globalisasi yang terus mendera? Semoga.[AN] *) Anthony Nyahu, Staf Balai Bahasa Provinsi Kalimantan Tengah, pegiat literasi bahasa dan sastra Dayak Ngaju. E-mail: anthonynyahu75@yahoo.com