Anthony Nyahu*)
Pandangan tentang agama lama (old religion; primitive religion) yang diketengahkan para peneliti Barat merupakan justifikasi atas konsepsi agama-agama baru terhadap kepercayaan Kaharingan. Asumsi Kaharingan sebagai dinamisme, animisme dan politeisme menggiring pemikiran publik dan hegemoni politik bahwa Kaharingan seolah-olah memang demikian adanya. Namun, sangat sedikit peneliti Barat yang sanggup melepaskan kosepsi awal yang tertanam secara dogmatis di dalam pemikiran mereka. Selebihnya, konsepsi tentang Kaharingan hanya bersifat parsial dan cenderung memandang dari perspektif agama-agama masa kini. Di antara sedikit itu, salah satunya Schärer yang mampu memandang konsepsi ketuhanan Kaharingan di dalam bukunya Ngaju Religion: The Conception of God Among A South Borneo People (The Hague: Martinus Nijhoff, 1963). Sebuah buku yang netral dan holistik mengungkapkan analisis tentang konsep ketuhanan masyarakat Dayak.
Sebagai akibat dari pandangan-pandangan yang parsial tersebut, tidak sedikit masyarakat Dayak (baca: penganut Kaharingan) yang malu memiliki keyakinan Kaharingan. Hal ini ditambah pula pengaruh masuknya imperialisme dengan stereotipe yang negatif terhadap Kaharingan. Implikasi lain yang adalah munculnya absurditas atau tepatnya pengaburan identitas budaya pada masyarakat Dayak dalam beberapa dekade. Kekuatan represif kekuasaan dan hegemoni politik pada masa lalu telah menempatkan Kaharingan (dan penganutnya) berada pada sebuah situasi yang tidak menguntungkan.
Konsep Ketuhanan Kaharingan: Harmonisasi dan Keseimbangan KosmisKaharingan memandang bahwa hidup dan tatanan kehidupan manusia tidak terlepas dari campur tangan Tuhan. Menurut Schärer, hubungan antara manusia dengan Tuhan di dalam Kaharingan merupakan hubungan yang tidak boleh tercederai. Kalaupun terjadi, maka manusia harus memberlakukan upaya-upaya restorasi dan rehabilitasi. Upaya-upaya pemeliharaan harmonisasi hubungan manusia dengan Tuhan berdampak kepada keseimbangan kosmis yang akan memberikan kemaslahatan (beneficiary) bagi umat manusia di muka bumi. Oleh karena itu, masyarakat Dayak sangat menghargai dan menghormati hadat (law, custom, right behavior) sebagai tuntunan hidup (belum bahadat) dan berperilaku di dalam masyarakat. Mereka percaya dengan taat kepada hadat dalam kehidupan mereka akan melapangkan jalan menuju surga (setelah ditiwahkan) yang disebut dengan Lewu Tatau Habaras Bulau, Habusung Hintan Hakarangan Lamiang. Singkatnya, hadat merangkumi perbuatan dan keyakinan, peradaban dan kebudayaan, hukum dan agama, etik dan dogma (Ugang, 1983:50). Di dalam konsepsi teologis Kaharingan, menurut Schärer, masyarakat Dayak mengenal adanya dualitas kekuasaan (bukan dualisme) yang dimanifestasikan ke dalam tiga ‘wilayah’ kekuasaan: Pantai Danum Sangiang (Dunia Atas) yang dikuasai oleh Allah Tertinggi (Ranying Mahatala Langit), Pantai Danum Kalunen (Dunia Manusia) dan Pantai Danum Basuhun Bulau Saramai Rabia (Dunia Bawah) yang dikuasai oleh Jatha Balawang Bulau. Dunia Atas dan Dunia Bawah merupakan dualitas yang menyatu, yakni dua aspek: maskulin dan feminin. Sebagai manusia yang menjalani dan menaati hadat, masyarakat Dayak sangat menjaga harmonisasi hubungan ketiga dunia tersebut. Apabila terjadi pelanggaran terhadap hadat yang mengatur hubungan triarkis antara manusia dengan Tuhan dan alam, maka kewajiban manusia adalah melakukan restorasi dari sistem kosmis yang dirusak dan melakukan pemulihan (recovery) sehingga keseimbangan kosmis dapat terpelihara dan memberikan kesejahteraan bagi umat manusia di muka bumi. Masyarakat Dayak Kaharingan percaya bahwa bumi yang ditempati sebagai “pinjaman” atau “dunia yang ditopang oleh kekuasaan dualitas Dunia Bawah (Jatha Balawang Bulau)” bersama-sama dan satu dengan Dunia Atas (Ranying Mahatala Langit). Oleh karenanya, masyarakat Dayak Kaharingan diwajibkan menjaga keselarasan dunia manusia (alam) dan benda-benda ciptaan-Nya. Dengan demikian, mereka dapat memperoleh kemaslahatan dari apa yang diperlakukannya kepada sesama dan alam dalam rangka menuju keselarasan hubungan dengan Tuhan. Seiring perkembangan waktu, penganut Kaharingan semakin berkurang sebagai akibat masuknya agama-agama baru yang dianggap modern. Tidak sedikit masyarakat Dayak yang memeluk beberapa agama baru, sehingga muncullah identitas budaya berbasis kepercayaan. Masyarakat Dayak yang memeluk agama Kristen disebut beberapa antropolog sebagai identitas baru dengan Dayak Kristen (lihat Mahin, 2005). Sedangkan pemeluk lama Kaharingan disebut sebagai Dayak Kaharingan. Namun, kedua identitas baru ini menimbulkan implikasi baru dengan semakin rendahnya pemertahanan budaya Dayak secara umum. Hal-hal yang menyangkut budaya yang sulit dipisahkan dengan agama sebagian mulai ditanggalkan sebagai tuntutan identitas baru. Kearifan Ekologis pada Masyarakat Dayak Seperti telah disinggung sebelumnya, masyarakat Dayak Kaharingan sangat taat kepada hadat yang menjadi pandangan hidup (way of life) mereka di dalam kehidupan. Mereka sangat menghargai alam tempat mereka hidup dan memperoleh maslahat dari alam, sehingga mereka sangat tergantung kepada alam. Di dalam mencapai misi menuju kematian sempurna setelah dilakukan upacara tiwah (good dead, Scharer 1963), mereka terlebih dulu menaati hadat melalui perbuatan baik (kepada sesama, Tuhan, dan alam). Alam merupakan “titipan atau pinjaman”dari Tuhan (Lewu Injam Tingang) yang hanya bersifat sementara. Oleh karenanya, manusia hanya mengusahai alam dengan arif dan bijaksana. Mereka tidak memiliki kekuasaan terhadap alam, sebab alam telah diciptakan dan diatur tatanannya oleh Tuhan (Ranying Mahatala Langit). Karena alam berupa “titipan atau pinjaman”, maka manusia hanya memanfaatkan alam seperlunya saja untuk kepentingan mempertahankan hidup. Hal ini tercermin dalam perilaku masyarakat Dayak di dalam menjaga agar komponen di dalam alam dapat dimanfaatkan secara berkesinambungan. Hutan, misalnya, merupakan komponen penting bagi kelangsungan hidup mereka. Di dalam memanfaatkannya tidak dilakukan dengan sembarangan dan membabi buta. Berladang sering dicitrakan sebagai pembalakan atau perladangan berpindah, padahal mereka membuka ladang setelah terjadi peremajaan hutan pada bekas ladang yang lama. Lokasi dari pemukiman pun dicari yang mudah dijangkau dan dikendalikan agar dapat memberikan hasil panen yang memadai. Di samping itu, diperlukan upacara-upacara ritual khusus, baik prapembukaan ladang, prosesi, dan pascapembukaan agar tidak merusak tatanan ekologis yang ada. Jauh sebelum adanya pemikiran tentang konservasi dan hutan lindung, masyarakat Dayak sudah mencadangkan kawasan hutan. Mereka memiliki hutan cadangan yang disebut pukung pahewan (hutan larangan; hutan cadangan). Hal ini dimaksudkan sebagai penyangga keanekaragaman hayati dan cadangan bagi generasi mendatang. Kearifan lain adalah apabila salah satu warga meninggal dunia akibat tertimpa kayu, maka tetua adat akan melakukan serangkaian upacara ritual mangayau kayu dengan maksud agar setelahnya hubungan manusia dengan alam kembali dipulihkan. Kayu dianggap secara filosofis memiliki 'roh', karena daripadanya masyarakat Dayak memperoleh manfaat bagi kehidupan. Penyucian hubungan tersebut dimaknai sebagai bagian dari upaya menjaga harmonisasi hubungan manusia dengan alam yang berimplikasi kepada keseimbangan kosmis secara menyeluruh. Sumber-sumber yang dianggap relevan untuk memahami religi masyarakat Dayak terhadap keseimbangan kosmis adalah melalui mite-mite (Ukur dalam Florus,dkk. , 1994). Termasuk di dalamnya mitos-mitos tentang hutan adat dan satwa tertentu. Perlakuan masyarakat Dayak terhadap aneka satwa, misalnya menyiratkan kearifan mereka di dalam pemenuhan kebutuhan hidup (need for life fulfillment). Mereka percaya bahwa tidak semua satwa dapat dibunuh dan dijadikan makanan. Ada beberapa jenis satwa yang dilindungi, di antaranya burung tingang atau enggang dan elang, misalnya. Burung enggang merupakan simbol penguasa Alam Atas, sedangkan burung elang dianggap sebagai burung “pemberi tanda” atau “petunjuk” (dahiang). Harmonisasi hubungan manusia dengan alam merupakan manifestasi dari bakti manusia Dayak kepada Tuhan melalui benda-benda ciptaan-Nya. Masyarakat Dayak percaya bahwa “apa yang ditabur, itulah yang dituai”. Oleh karenanya, mereka menganggap pelestarian alam adalah tanggung jawab yang harus diemban manusia.
Realitas Masa Kini dan MendatangKonstelasi zaman terus berubah, tidak terkecuali masyarakat Dayak. demikian pula halnya dengan ruang hidup masyarakat Dayak. Alam sebagai tempat masyarakat Dayak berpijak untuk mempertahankan hidupnya mulai terusik. Untuk dan atas nama pembangunan dan modernisasi, kawasan hutan telah berubah fungsi. Pengusahaan sumberdaya alam yang tak terkendali dan rusaknya tatanan keanekaragaman hayati, menjadi faktor utama terjadinya destruksi kebudayaan Dayak. Masyarakat Dayak harus mampu beradaptasi terhadap situasi, tidak terkecuali orientasi ekonomi (economic oriented). Orientasi ekonomi dan tuntutan hidup memberi peluang yang signifikan bagi ketergerusan nilai-nilai sosial dan budaya yang luhur terpelihara. Supremasi hadat mulai memudar tergantikan hukum positif. Pengikisan budaya diperparah dengan publikasi yang tidak proporsional terhadap masyarakat Dayak. Sebagai akibatnya, tidak sedikit generasi muda Dayak yang malu mengakui identitas dan budayanya sebagai orang Dayak. Dayak di dalam beberapa publikasi asing identik dengan “pemotong kepala”, “bar-bar”, dan seterusnya seolah menjadi justifikasi atas ketidakpantasan identitas itu. Kini, kebudayaan imateril yang dimiliki masyarakat Dayak sudah tergerus. Masyarakat Dayak generasi baru telah mengalami transformasi. Banyak unsur kebudayaan Dayak yang tidak lagi dipahami oleh mereka, apalagi yang berkaitan erat dengan Kaharingan. Agaknya, benang tipis yang memisahkan antara budaya dan agama menjadi sekat kekurangmengertian itu. Di samping itu, ketiadaan tradisi tulis pada masyarakat Dayak menjadikan jurang yang melegitimasi keadaan itu. Akibatnya, banyak generasi kini tidak lagi mengenali dan mencintai budayanya. Budaya urban yang dianggap modern telah menjadi identitas baru dianggap memiliki kelas tersendiri di dalam masyarakat. Entah seperti apa kebudayaan Dayak jika pemeluk Kaharingan sudah dalam hitungan jari saja. Kebudayaan memang akan dan terus bertransformasi, tidak terkecuali kebudayaan Dayak. Namun, mampukah masyarakat Dayak menerima transformasi itu di tengah arus modernisasi dan globalisasi yang terus mendera? Semoga.[AN] *) Anthony Nyahu, Staf Balai Bahasa Provinsi Kalimantan Tengah, pegiat literasi bahasa dan sastra Dayak Ngaju. E-mail: anthonynyahu75@yahoo.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar