16 November, 2009

REVITALISASI BAHASA DAN SASTRA DAYAK NGAJU SEBAGAI LAMBANG IDENTITAS DAERAH DI TENGAH PERGAULAN MASYARAKAT HETEROGEN

Anthony Nyahu
1. Pengantar
Bahasa adalah salah satu produk budaya manusia. Sebagai sebuah produk budaya, bahasa dituntut untuk selalu dinamis sesuai dengan perkembangan kebudayaan yang ada pada masyarakat penuturnya. Dengan demikian, sebuah bahasa akan tetap adaptif terhadap kebutuhan komunikasi masyarakat pendukungnya. Selain mengemban fungsi sebagai alat komunikasi, bahasa juga merupakan sarana ekspresi dalam menuangkan gagasan-gagasan dan konsep-konsep serta sarana transformasi atas nilai-nilai kebudayaan itu sendiri. Hampir semua komponen produk kebudayaan seperti yang dinyatakan Taylor dalam Ohoiwutun (2002: 77) bahwa pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, adat, serta kemampuan dan kebiasaan lainnya membutuhkan sebuah bahasa sebagai sarana transformasinya. Upaya pemeliharaan martabat, fungsi dan peran sebuah bahasa tidak terlepas dari kebijakan bahasa (language policy) dan perencanaan bahasa (language planning) baik pada tingkat pusat maupun di daerah. Kesemua upaya tersebut bermuara kepada pemakaian bahasa (language use). Masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang serbamulti: multibahasa, multiagama dan multietnis dengan menggunakan satu bahasa nasional yaitu bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia telah merekatkan semua kalangan dan menerima semua perbedaan kebahasaan dan kebudayaan daerah sebagai kekayaan kebudayaan nasional. Jaminan negara terhadap bahasa seperti telah terjabarkan dalam Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945, Pasal 32 Ayat (1) dan (2), yang mendudukkan posisi bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional dan bahasa resmi negara. Dengan status demikian, nasionalisasi bahasa Indonesia semakin kukuh sebagai lambang jatidiri bangsa. Krauss (1992) dalam Mahsun (2004) mengelompokkan bahasa ke dalam tiga kelompok berdasarkan gejala umum yang terjadi pada bahasa-bahasa di dunia ,seperti jumlah penutur, prestise sosiokultural, dan dukungan pemerintah terhadap pemakaiannya, yakni: a). kelompok bahasa yang tidak lagi dikuasai dan digunakan oleh anak-anak dari penutur suatu bahasa; b). kelompok bahasa yang dalam satu/dua generasi tidak lagi dikuasai dan dipelajari oleh ketururunan penutur suatu bahasa; dan c). kelompok bahasa yang termasuk kategori aman yang masing-masing disebut moribund, endangered dan safe. Padahal di lain pihak, bahasa daerah memegang peran penting bagi perbendaharaan kosa kata bahasa Indonesia. Upaya untuk mengangkat budaya (baca: bahasa) daerah ke dalam kosa kata bahasa nasional diharapkan sebagai langkah nyata pemeliharaan bahasa-bahasa daerah, di samping itu dari sanalah kita berpijak bahwa keberagaman tercipta sebagai kekayaan bukan sebaliknya. Salah satu keputusan yang bersifat politis yang dihasilkan Seminar Politik Bahasa tahun 2000 adalah ditentukannya fungsi bahasa daerah sebagai: (a) lambang kebanggaan daerah, (b) lambang identitas daerah, (c) alat perhubungan di dalam keluarga dan masyarakat daerah, (d) sarana pendukung budaya daerah dan bahasa Indonesia, (e) pendukung sastra daerah dan sastra Indonesia. Selain itu, dalam hubungannya dengan bahasa Indonesia, bahasa daerah berfungsi sebagai: (a) pendukung bahasa nasional, (b) bahasa pengantar di sekolah dasar di daerah tertentu pada tingkat permulaan untuk memperlancar pengajaran bahasa Indonesia dan mata pelajaran lain, dan (c) sumber kebahasaan untuk memperkaya bahasa Indonesia, serta (d) dalam keadaan tertentu dapat berfungsi sebagai pelengkap bahasa Inonesia di dalam penyelenggaraan pemerintahan pada tingkat daerah (Alwi dan Dendy Soegono (2000) dalam Mahsun (2004)). Menyikapi kondisi kebahasaan yang terjadi di Indonesia, Sugono (2008:1) menyatakan bahwa kebijakan pemerintah dalam bidang bahasa meliputi perencanaan bahasa di Indonesia yang mencakup bahasa Indonesia, bahasa daerah dan penggunaan bahasa asing. Ketiga komponen bahasa yang ada di Indonesia membutuhkan beberapa kebijakan yang meliputi penelitian, pengembangan, pembinaan dan pelayanan di bidang kebahasaan dan kesastraan. Sedangkan kebijakan penggunaan bahasa asing meliputi pemanfaatan bahasa asing sebagai sarana pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta sebagai sumber pengayaan bahasa Indonesia. Sebagai landasan kebijakan tersebut adalah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Pasal 32 yang mengamanatkan bahwa negara menghormati dan memelihara bahasa daerah sebagai bagian dari kebudayaan nasional. Kemudian pada Pasal 36 Bab XV menjelaskan tentang tugas bahasa daerah sebagai: 1) lambang kebanggaan daerah, 2) lambang identitas daerah, 3) sarana perhubungan di dalam keluarga dan masyarakat daerah, dan 4) sarana pengembangan serta pendukung kebudayaan daerah (Chaer dan Agustina, 1995:297). Hal ini selanjutnya dipertegas dalam Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Otonomi Daerah dan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 40 tahun 2007 tentang Pedoman bagi Kepala Daerah dalam Pelestarian dan Pengembangan Bahasa Negara dan Bahasa Daerah. Di samping itu, dalam pelaksanaan tanggung jawab terhadap pemeliharaan bahasa-bahasa daerah dapat berkoordinasi dengan instansi teknis pusat yang berada di ibukota provinsi. Sebagai tindak lanjut atas pemenuhan tuntutan tersebut, upaya pemeliharaan bahasa daerah itu mencakup upaya pengembangan, pembinaan, revitalisasi, dan pendokumentasian menuju pelestarian bahasa dalam memasuki tatanan baru kehidupan masyarakat multikultural sebagai bagian dari masyarakat internasional yang heterogen. Dengan demikian, upaya pemeliharaan bahasa daerah selain tugas dan kewajiban negara, juga menjadi tanggung jawab pemerintah daerah sebagai kepanjangan tangan pemerintah pusat di daerah. Pemeliharaan bahasa daerah mencakup a) penelitian berbagai aspek kebahasaan untuk keperluan pengembangan, pembinaan, dan pendokumentasian; b) pengembangan bahasa daerah meliputi pemekaran kosakata dan pemutakhiran kodifikasi yang berupa penyempurnaan ejaan, kamus, dan tata bahasa sehingga bahasa daerah itu tetap memenuhi tuntutan keperluan masyarakat pendukungnya; dan c) pembinaan bahasa daerah meliputi upaya pemertahanan penggunaan bahasa daerah oleh masyarakat pendukungnya dan penerusan penggunaannya kepada generasi pelapis melalui proses pembelajaran bahasa daerah di lingkungan keluarga ataupun di sekolah. Di samping itu, pemeliharaan bahasa daerah meliputi upaya perlindungan bahasa daerah agar tidak punah dan merevitalisasi fungsi dan kedudukan bahasa, termasuk aksara dan sastra daerah dalam ranah-ranah penggunaannya oleh masyarakat penuturnya (Sugono 2008:2). Salah satu bahasa yang memegang peran penting bagi kehidupan komunikasi suku Dayak di Kalimantan Tengah adalah Bahasa Dayak Ngaju atau Basa Ngaju. Bahasa Dayak Ngaju menguasai hampir 50% dari total sebanyak 69 daerah pengamatan di wilayah Provinsi Kalimantan Tengah (Pusat Bahasa, 2006). Meskipun penyebarannya sporadis, bahasa ini menguasai beberapa daerah aliran sungai di Kalimantan Tengah. Hal ini disebabkan oleh penyebarannya beriringan dengan meluasnya Misi Pekabaran Injil di Kalimantan, termasuk Kalimantan Tengah pada tahun 1835 (Riwut, 1993 dan Riwut, 2004). Untuk keperluan tersebut, bahasa Indonesia kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Dayak Ngaju agar dapat dipahami secara luas. Hal ini kemudian dilakukan oleh para para misionaris yang melakukan kodifikasi, pembakuan ejaan dan kamus yang bersesuai dengan masa itu. Para tokoh yang melakukan suatu langkah besar bagi kodifikasi bahasa Dayak Ngaju adalah Hardeland mengkodifikasikannya ke dalam sebuah kamus yang diterbitkan dengan judul Wortebuch Der Ngadju Dajackisch (Druck von C. A. Spin & Sohn, 1859), Epple dengan bukunya yang berjudul Soerat Logat Basa Ngadjoe (Typ Rob. Hennemann & Co., 1922) dan Kurze Einführung in die Ngadjoe-Dajaksprache, Zendingsdrukkerij, 1933), dan Baier et.al yang menyusun kamus Wörterbuch der Priestersprache der Ngaju Dayak (Foris Publication, 1987). Bagaimanapun, peran para misionaris tersebut merupakan pondasi penting bagi pengembangan bahasa Dayak Ngaju. Karya-karya monumental mereka menjadi literatur yang sangat berharga bagi para peneliti setelahnya. Di tengah minimnya upaya penelitian bahasa ini setelah para misionaris tersebut, Usop kemudian melakukan penelitian tentang Pemerian Morfologi Bahasa Dayak Ngaju (Usop, 1976) dan Panjaitan mengkaji tentang Morfologi dan Sintaksis Bahasa Dayak Ngaju (Panjaitan, 1983) Didasari atas kegelisahan para pakar bahasa atas mendesaknya dilakukan pemutakhiran ejaan dan kaidah bahasa Dayak Ngaju, maka perlu dilakukan sebuah seminar. Seminar Bahasa Dayak Ngaju yang dilaksanakan pada tanggal 23—24 Oktober 1987 tersebut bertujuan untuk mengembangkan bahasa Dayak Ngaju antara lain dalam bentuk pembaruan ejaan dan menyepakati kaidah bahasanya . Selanjutnya, para peneliti dari Universitas Palangka Raya bekerja sama dengan Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa semakin gencar melakukan penelitian lanjutan. Hal ini dapat dilihat dari beberapa hasil penelitian, di antaranya Sintaksis Bahasa Dayak Ngaju (Dewi Mulyani, S. Dkk, 1995), Fonologi Generatif Bahasa Dayak Ngaju (Toendan, 1996), Morfologi Bahasa Dayak Ngaju (Wihadi Admodjo dkk., 1993), Analisis Leksikostatistik terhadap Bahasa-bahasa di Kalimantan Tengah (Poerwadi, dkk. 1993) dan Buku Praktis Bahasa Dayak Ngaju (Suryanyahu dkk., 2005) . Sayang sekali, berbagai hasil penelitian tersebut beredar secara terbatas, walaupun sebagian telah diterbitkan oleh Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa dan didistribusikan ke berbagai perpustakaan. Pada tingkat penerbitan, dijumpai ada beberapa buku bacaan dan kamus bahasa Dayak Ngaju, di antaranya adalah Petatah dan Petitih dalam Bahasa Dayak Ngaju oleh Iper dkk. (1996), Kamus Ungkapan Bahasa Dayak Ngaju-Indonesia oleh Usop dkk (1993), dan Kamus Dwibahasa Bahasa Dayak Ngaju–Indonesia dan Upon Ajar Basa Dayak Ngaju (Ibrahim dan Bingan, 2005). Kedua judul terakhir merupakan buku pegangan bagi pengajaran muatan lokal di sekolah-sekolah dasar di Kalimantan Tengah. Sebelumnya, bahan ajar yang dijadikan muatan lokal adalah Buku Pelajaran Bahasa Dayak Ngaju (Poerwadi, dkk., 1997) yang diterbitkan oleh Kanwil Depdikbud Provinsi Kalimantan Tengah. Kemudian, pada tingkat pemasyarakatan juga pernah dilakukan oleh Pusat Bahasa melalui Kantor Bahasa Palangka Raya bekerja sama dengan RRI Palangka Raya dalam acara “Siaran Bahasa Dayak Ngaju” yang disiarkan secara periodik selama dua tahun, yakni pada tahun 2002—2003. Meskipun telah banyak dihasilkan buku bacaan yang berhubungan dengan bahasa Dayak Ngaju, namun masih belum dapat membangkitkan gairah pemakaian bahasa itu secara maksimal oleh berbagai kalangan yang ingin belajar bahasa Dayak Ngaju terutama generasi muda. Berbagai kendala yang dihadapi dalam mempelajari bahasa ini, terutama bagi mereka yang bukan penutur asli bahasa Dayak Ngaju. Faktor penyebab hal tersebut antara lain kurangnya penerbitan buku-buku pelajaran yang dijual secara bebas dan tingkat kesadaran penutur bahasa Dayak Ngaju akan kaidah bahasanya yang rendah. Hal ini terindikasi dari karut-marutnya cara penulisan kata yang tepat dalam bahasa Dayak Ngaju, kebingungan menentukan yang mana kosakata asli bahasa Dayak Ngaju dan kosakata mana yang bukan bahasa Dayak Ngaju, serta masih banyak kendala lain yang berhubungan dengan penguasaan bahasa Dayak Ngaju, baik dalam tataran penguasaan kosakata, kalimat, maupun ungkapan-ungkapan. Tidak dapat disangkal lagi akibat majunya ilmu pengetahuan dan teknologi informasi menjadikan bahasa daerah bergerak di dalam ruang yang sempit, tak terkecuali bahasa Dayak Ngaju. Untuk itu, diperlukan penanganan secara sungguh-sungguh, terencana dan berkelanjutan oleh berbagai pemangku kepentingan (Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan masyarakat) dalam upaya untuk mengembalikan martabat bahasa Dayak Ngaju sebagai sarana pemajuan kebudayaan daerah. Dengan demikian, bahasa ini mampu menunjukkan adaptabilitasnya terhadap dinamika zaman dan tuntutan masyarakat pendukungnya. Terutama dalam hal pengayaan perbendaharaan kosakata berdasarkan tuntutan ilmu pengetahuan dan teknologi dan kemampuan daya ungkapnya sebagai bahasa yang hidup di tengah pergaulan masyarakat multibahasa.
3. Langkah-langkah Pemeliharaan Bahasa Daerah 3.1. Revitalisasi Bahasa dan Sastra Dayak Ngaju
Pemeliharaan dalam rangka revitalisasi bahasa daerah merupakan hal yang utama sebagai pemerkaya bahasa nasional. Dalam bidang bahasa yang berkaitan dengan kedudukan bahasa Dayak Ngaju sebagai bahasa mayor dan lingua franca di Kalimantan Tengah, bahasa ini perlu dilakukan penanganan yang serius dari Pemerintah Daerah dan berbagai pemangku kepentingan (lembaga/instansi terkait sesuai pembidangannya). Bahasa-bahasa daerah lain semestinya diserahkan kewenangan otonomi bagi daerah kabupaten/kota yang bahasa daerah mayoritas penuturnya bukan bahasa Dayak Ngaju. Sebagai contoh, di DAS (Daerah Aliran Sungai) Barito, harus mempertimbangkan pengajaran bahasa Dayak Ngaju yang berimbang dengan bahasa daerah setempat. Hal ini di samping bertujuan agar bahasa-bahasa minor yang bukan penutur mayoritas berbahasa Dayak Ngaju dapat bersama-sama hidup dan lestari sehingga tidak mengalami kepunahan. Dengan demikian, selain penyumbang bagi kekayaan kosakata bahasa nasional, ia juga dapat terus hidup di tengah masyarakat bahasa yang heterogen. Beberapa langkah dijabarkan dalam aspek-aspek berikut.
a. Aspek Penelitian dan Pengkajian
Seperti telah disinggung sebelumnya, bahwa upaya penelitian, pengembangan dan pembinaan bahasa Dayak Ngaju telah cukup lama dilakukan. Namun, langkah awal penelitian ini masih belum sinergis. Artinya, inventarisasi menuju arah pembakuan struktur dan tata bahasa masih jauh dari harapan. Hendaknya dilakukan reinventarisasi agar penelitian yang akan dilakukan tidak tumpang tindih dan repetitif. Kerja sama yang sinergis berbagai pemangku kepentingan semestinya lebih dimantapkan. Naskah-naskah hasil penelitian dalam tataran mikrolinguistik, misalnya fonologi, morfologi, sintaksis dan semantik dapat menjadi acuan untuk dijadikan dasar pijakan pengembangan bahasa Dayak Ngaju. Apabila hal tersebut sudah tuntas, maka hasil-hasil penelitian pada makrolinguistik akan menjadi kajian lanjutan bagi kepentingan bidang ilmu lainnya. Demikian pula menyangkut sastra daerah sehingga terwujud peta sastra daerah yang bermanfaat bagi inventarisasi sastra Dayak di Kalimantan Tengah. Inventarisasi tersebut akan didalami menuju aspek-aspek lainnya bersama-sama dengan konsep revitalisasi bahasanya. b. Aspek Pengembangan
Aspek pengembangan bahasa merupakan langkah yang tidak kalah penting bagi upaya pemeliharaan sebuah bahasa, di antaranya melalui pemutakhiran kosakata. Keraf (2007:69) menyatakan bahwa pemutakhiran kosakata adalah hal yang harus dilakukan agar suatu bahasa dapat ‘hidup’ dan sesuai dengan tuntutan kebutuhan komunikasi masyarakat pendukungnya. Pemutakhiran kosakata tersebut dapat berupa: pemutakhiran kamus, kamus sinonim dan tesaurus, pe-ngaju-an istilah asing/Indonesia. Atas dasar itulah, perbendaharaan kosakata suatu bahasa akan selalu diperkaya dan mendukung daya ungkap bahasanya. Diperlukan tim-tim yang terpadu agar hasil-hasil penelitian dapat menjadi dasar untuk menyusun pemutakhiran kodifikasi dan standardisasi bahasa, misalnya kamus, tata bahasa, buku-buku pedoman, dan ejaan. Adanya sarana pengajaran yang baku serta publikasi yang massif terhadap bahasa dan sastra Dayak Ngaju, baik cetak (buku-buku, majalah, buletin, koran) dan elektronik (penyiaran di radio dan televisi, buku elektronik/e-book, multimedia, film dan laman/website) merupakan suatu kebutuhan yang mendesak untuk dilakukan searah dengan tuntutan kemajuan IPTEK. Aneka bentuk produk untuk meningkatkan pemahaman tentang kosakata seperti, kamus, dapat dijadikan program yang digunakan dalam sistem operasi telepon genggam, buku elektronik, multimedia, dan lain-lain. Di samping itu, majunya ilmu pengetahuan dan teknologi tidak dapat dipungkiri. Hal ini berdampak pada perbendaharaan kosakata yang akan semakin jauh tertinggal. Banyaknya perbendaharaan kosakata asing, terutama dari bahasa Inggris menyebabkan bahasa daerah menyerap kosakata tersebut secara langsung. Semestinya, bahasa Dayak Ngaju memunguti kosakata tersebut melalui kosakata bahasa Indonesia terlebih dulu dalam hubungan yang saling melengkapi. Untuk itu, inventarisasi kosakata daerah juga diperlukan, selain keperluan pengayaan bahasa Indonesia, juga untuk mendokumentasikan aneka kosakata bahasa-bahasa daerah agar tidak punah. Demikian pila halnya dalam pengembangan bidang sastra daerah dapat semakin dimajukan beriring dengan tumbuhnya media televisi dan radio lokal. Acara-acara yang menampilkan bidang sastra daerah, akhir-akhir ini semakin sepi saja. Bidang-bidang sastra daerah yang sangat bermanfaat bagi pengembangan sastra secara umumnya. Kegiatan bersastra seperti mendongeng dan ber-sansana, misalnya menjadi semakin tenggelam di tengah situasi budaya dan peradaban masyarakat audiovisual masa kini. c. Aspek Pembinaan
Pembinaan merupakan aspek terakhir dalam upaya pemeliharaan bahasa. Pembinaan menyangkut manusia yang menggunakan bahasa tersebut. Aspek pembinaan yang sangat penting terlebih dulu adalah penyediaan sumber daya manusia (para guru di tingkat formal—SD, SMP, dan SMA). Oleh karena itu, diharapkan pengajaran bahasa Dayak Ngaju akan lebih berkualitas. Kualitas tersebut dapat dilihat dari penguasaan kompetensi peserta didik terhadap bahasa Dayak Ngaju yang disertai dengan penguasaan filosofi dan pengenalan kearifan lokal (local wisdom) pada budaya Dayak, termasuk di dalamnya pengajaran sastra Dayak. Bersamaan dengan itu pula, perlu kiranya upaya pengembangan kurikulum yang sesuai dengan kebutuhan pengajaran muatan lokal yang bersesuai dengan kepentingan pendidikan nasional. Materi pembelajaran multimedia dan aneka metode lain yang menyenangkan akan menumbuhkan minat serta motivasi perserta didik dalam mempelajari dan semakin mengenali bahasa dan budayanya. Aspek pembinaan tidak hanya pada tataran formal, namun pembinaan luar kelas (Sugono, 2008:7) juga mutlak diperlukan. Kegiatan ekstrakurikuler merupakan sarana yang tepat untuk pengayaan dan penguasaan aneka bidang kesastraan dan kesenian Dayak. Berpijak dari pernyataan di atas, bahasa daerah cenderung diperhatikan setelah pembinaan terhadap bahasa Indonesia semakin massif. Dalam konsep tersebut, bahasa daerah tetap dipertahankan oleh penuturnya pada tataran komunikasi antarmasyarakat daerah dan di dalam keluarga, sebagai pemerkaya khazanah bahasa Indonesia. Hal ini semakin diperjelas dengan adanya otonomi daerah, yang di dalamnya tertuang wewenang dan kreativitas para pemimpin daerah untuk membuat politik bahasa dan perencanaan bahasa daerah di masing-masing daerah. Sehingga bahasa daerah wajib mendapatkan perlakuan yang sama dibanding kebijakan yang lain. Hal lain yang tak kalah pentingnya adalah kecenderungan bahasa Indonesia mulai secara epistemologis ‘menggeser’ fungsi bahasa daerah dalam lingkungan rumah tangga, selain penggunaan bahasa daerah lain (Banjar) dalam lingkungan pergaulan remaja (Suryanyahu, 2005). Dari hasil penelitian tersebut ditemukan bahwa sikap bahasa masyarakat penutur jati bahasa Dayak Ngaju cenderung negatif dan tidak lagi memandang bahasa ibunya sebagai sebuah lambang identitas dan kebanggaan. Masuknya unsur alih kode dengan menggunakan bahasa bahasa lain, misalnya bahasa Banjar dan campur kode terhadap bahasa ibu justru akan semakin mengancam rusaknya tatanan bahasa ibu. Tak jarang proses campur kode itu terjadi karena di dalam bahasa Dayak Ngaju sendiri tidak ditemukan padanan katanya maupun tidak mengenal tingkatan/unda usuk bahasa, seperti pada bahasa Jawa dan Banjar. Namun biasanya dalam tindak tutur masyarakat Dayak Ngaju yang sangat egaliter, penyebutan predikat teknonimis dipandang sebagai salah satu ragam bahasa halus, misalnya pemanggilan teknonimis terhadap seseorang yang yang telah berkeluarga yang tidak lagi memanggil sebutan namanya tetapi nama anak tertua sebagai contoh: orang lebih mengenal Bapa Enon dibandingkan Cilik Riwut dalam konteks genealogis Dayak, Indu Lamiang, atau sapaan teknonimi lain dari keturunan yang lebih muda (anak/cucu) kepada orang tua dari ayah/ibu, misalnya Bue Janggut, Tambi Bitak, kepada saudara dari ayah/ibu, misalnya Mama Bakas, Mina Benteng, dll. Hal ini terjadi berdasarkan budaya turun-temurun yang menganggap bahwa pemanggilan nama seseorang yang dianggap lebih tua selain tidak sopan juga akan berakibat kualat. Beranjak dari kenyataan tersebut, materi dan metode pembelajaran bahasa Dayak Ngaju tidak saja secara linguistis mempelajari kata atau kalimat ‘mahalau, lah’, sebagai struktur fonem /m/,/a/,/h/,/a/,/l/,/a/,/u/ /l/,/a/,/h/ terjemahan kata ‘lewat, ya’ atau ‘permisi, mau lewat’ tetapi lebih kepada muatan filosofis budaya daerah. Sehingga, sebagai contoh bahwa ungkapan tersebut disertai dengan membungkukan badan adalah manifestasi etika bahasa tubuh apabila melewati orang yang lebih tua. Pemuatan unsur etika dan moralitas berbahasa melalui pembelajaran bahasa daerah menjadi salah satu bagian penting dari muatan lokal tersebut nantinya. Dengan demikian peserta didik akan memahami kebudayaan daerah, sadar akan jati dirinya sebagai anak bangsa dan bagian integral dari pemahaman holistik terhadap kebudayaan nasional yang beragam. Hal yang penting lagi bahwa kebudayaan daerah, termasuk di dalamnya bahasa daerah, merupakan sarana transformasi dan penapis (filter) bagi masuknya kebudayaan dari luar yang tidak sesuai dengan perikehidupan berbudaya, berbangsa, dan bermasyarakat. 4. Pengembangan Masyarakat Dayak Ngaju menuju Masyarakat yang Berbudaya Baca dan Tulis (Reading and Writing Society) Tak dapat dipungkiri bahwa pada kebudayaan Dayak yang tidak dilatarbelakangi oleh tradisi tulis menyebabkan terbatasnya penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi. Budaya baca dan tulis bukan semata-mata berarti kompetensi membaca dan menulis saja. Peralihan dari budaya dengar-lisan menuju budaya baca-tulis sudah semestinya digalakkan. Dalam kondisi demikian, perlu ditumbuhkannya budaya membaca dan budaya menulis bagi masyarakat Dayak. Seperti diketahui bahwa budaya baca dan budaya tulis masyarakat Dayak masih sangat rendah, khususnya pada masyarakat pedalaman. Pembiasaan menulis tentang tradisi lisan, kegiatan bersastra dan pengetahuan lokal, misalnya pengetahuan berladang, berburu, dan seni menganyam, merupakan pembiasaan yang positif, terutama pewarisan pengetahuan terhadap kearifan lokal kepada generasi Dayak di masa depan. Namun demikian, bukan berarti bahwa kebudayaan Dayak pada umumnya kurang bermartabat. Hal ini terlihat dari kecerdasan linguitik dan kecerdasan bersastra masyarakat Dayak dalam kekayaan khasanah sastra lokal. Wujudnya berupa aneka bentuk sastra lisan: sansana, deder, karungut, ngendau, marung, pepatah-petitih,tanding tampengan, dan lain-lain (lihat Riwut, 1993: 477-478; Suryanyahu, 2003). Aktivitas bersastra sebagai suatu apresiasi saja harus ditingkatkan dalam bentuk pengemasan sarana dan suasana belajar mengajar yang menyenangkan, komunikatif, penjiwaan dan penyadaran kolektif yang berkelanjutan. Aneka bentuk kekayaan satra lisan tersebut lambat laun akan punah jika tidak dilakukan inventarisasi dan penelitian dan pengkajian yang menyeluruh. Hasil-hasil tentang penelitian sastra Dayak Ngaju akan dijadikan sebagai muatan lokal, termasuk penumbuhan minat peserta didik untuk menguasainya. Di samping itu, pengenalan figur-figur sastrawan Dayak dan informasi yang menyangkut kiprah mereka, baik di dalam maupun di luar negeri. Selain dalam bidang sastra tersebut, perlu didirikan beberapa sentra perpustakaan, baik di tingkat kecamatan maupun tingkat desa. Pendirian perpustakaan-perpustakaan itu dimaksudkan untuk mengatasi kerumpangan terhadap pesatnya kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, khususnya dalam bidang pertanian, perkebunan, peternakan, perikanan, ekonomi, dan lain-lain. Di samping itu, muara dari pembiasaan budaya baca adalah peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui aplikasi teknologi tepat guna yang diperoleh dari bahan-bahan bacaan yang sesuai dengan pola kehidupan mereka. Bersambung..... Daftar Bacaan
Anonim, 2008. Hasil Rapat Koordinasi Pemasyarakatan Bahasa dengan Pemerintah Provinsi Seluruh Indonesia. Jakarta, 16—18 Juli 2008. Pusat Bahasa. Departemen Pendidikan Nasional Campbell, Lyle. 1998. Historical Linguistics: An Introduction. Edinburgh: Edinburgh University Press. Chaer, Abdul. 2007. Leksikologi dan Leksikografi Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta Chaer, Abdul dan Leoni Agustina. 1995. Sosiolinguistik: Suatu Perkenalan Awal. Jakarta: Rineka Cipta Fasold, Ralph. 1999. The Sociolinguistics of Language. Oxford: Blackwell Publisher. Keraf, Gorys 2007. Diksi dan Gaya Bahasa. Cetakan ke-17. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama Ohoiwutun, Paul. 2007. Sosiolinguistik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Majelis Sinode GKE Banjarmasin 1988. “Prosiding Hasil Seminar Bahasa Dayak Ngaju, 23—24 Oktober 1987”. Palangka Raya. Tidak Diterbitkan. Mahsun, 2004. Metode dan Teknik Penelitian Bahasa. Jakarta: Raja Grafindo Persada Poedjosoedarmo, Soepomo, 2003. Filsafat Bahasa. Surakarta: UMS Press Perwadi, Petrus, Meriyedi, dan Dunis Iper. 1997. Buku Pelajaran Bahasa Dayak Ngaju. Palangka Raya: Kantor Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Kalimantan Tengah Poerwadi, Petrus, Yohanes Kalamper, dan Albertus Purwaka. 1993 “Analisis Leksikostatistik Bahasa-bahasa di Kalimantan Tengah. Laporan Penelitian. Palangka Raya: Balai Penelitian Universitas Palangka Raya Riwut, Tjilik 1993. Kalimantan Membangun: Alam dan Kebudayaan.Yogyakarta: Tiara Wacana Riwut, Nila 2003. Maneser Panatau Tatu Hiang. Palangka Raya: Pusaka Lima Sugono, Dendy. 2008. “ Kebijakan Bahasa Daerah di Indonesia” dalam Suar Betang vol. III, No. 2 Desember p. 1—7. Palangka Raya: Balai Bahasa Provinsi Kalimantan Tengah Summer Institutes of Linguistics (SIL), 2001. Languages of Indonesia. Second Edition. Jakarta: SIL International Indonesia Branch. Suryanyahu, Anthony. 2003. ”Situasi Kebahasaan di Kabupaten Katingan: Antara Pergeseran Bahasa (Language Shift) dan Prakondisi Kepunahan Bahasa”. Katingan Pos, Minggu I/Juni 2003). Suryanyahu, Anthony dkk. 2005. “Buku Praktis Bahasa Dayak Ngaju”. Laporan Penelitian. Palangka Raya: Balai Bahasa Provinsi Kalimantan Tengah Suryanyahu, Anthony. 2005. “Sikap Bahasa dan Pilihan Bahasa Penutur Jati Bahasa Dayak Ngaju di Kota Palangka Raya”. Laporan Penelitian. Palangka Raya:Balai Bahasa Provinsi Kalimantan Tengah

Tidak ada komentar: