14 Mei, 2012

Perspektif Etnoreligi Kaharingan pada Masyarakat Dayak Ngaju: Sebuah Catatan Etnografis

 Oleh Anthony Nyahu



Mite Penciptaan Dunia dan Manusia
Masyarakat Dayak Ngaju Kaharingan percaya bahwa alam semesta tidak terjadi begitu saja. Ada kekuatan mahadahsyat yang menciptakannya. Begitu pula halnya dengan manusia. Di dalam mite penciptaan (Ukur, tt:35—38) menyatakan bahwa pada awalnya Ranying Mahatala Langit dan Jata Balawang Bulau sepakat untuk menciptakan dunia. Ranying mulai dengan melemparkan lawung-nya (sejenis ikat kepala) yang terbuat dari emas dan bertatahkan intan, lalu jadilah sebuah pohon yang disebut batang garing atau pohon kehidupan. Pohon ini berdaun dan berbuahkan segala macam permata, seperti emas, intan, batu-batu mulia dan yang serupa. Lalu Jata melepaskan burung tingang (enggang—pen) dari dalam sangkar emasnya dan hinggap lalu menikmati buahnya. Melihat kejadian itu, Ranying lalu melemparkan keris emasnya yang kemudian menjelma menjadi burung tingang jantan yang disebut dengan tambarirang. Burung ini pun hinggap dan menikmati buah dari pohon tersebut. Kehadiran kedua burung ini mengakibatkan kecemburuan dan perkelahian sehingga terjadilah perang suci. Perang mahadahsyat ini mengakibatkan hancurnya batang garing. Kepingan akibat hancurnya batang garing ini menjadikan ciptaan lainnya, yakni terciptanya dua anak manusia dan terjelma juga dua buah kapal (bahtera—pen) yang terbuat dari emas dan intan. Bahtera emas atau banama bulau yang dilayari oleh wanita pertama bernama Putir Kahukup Bungking Garing. Bahtera kedua, yakni banama hintan (bahtera intan) ditumpangi oleh seorang laki-laki pertama yang bernama Manyamei Limut Garing Balua Unggom Tingang.Kedua manusia pertama tersebut berada pada masing-masing bahtera dan mengembara di tengah laut, yang menjadi sumber segala sesuatu yang mengalir. Akhirnya, si pria meminta kepada si wanita agar menjadi istrinya, yang diterima oleh si wanita dengan syarat: agar diberikan sebuah daratan untuk ditempati dan di atas tanah didirikan rumah tempat tinggal. Permintaan tersebut dipenuhi oleh Ranying dan Jata. Lalu keduanya menjadi pasangan suami isteri yang melahirkan berbagai macam binatang. Setelah itu lahirlah keturunan manusia yakni (1) Maharaja Sangiang; (2) Maharaja Sangen; dan (3) Maharaja Bunu. Ketiga putera ini kelak kemudian memperebutkan sebuah senjata yang diciptakan orang tua mereka, yang mematikan yaitu sanaman leteng milik Maharaja Bunu. Akhirnya dipisahkanlah ketiganya. Maharaja Sangiang dikembalikan ke Dunia Atas tempat Ranying tinggal, yang menjadi asal segala Sangiang. Maharaja Sangen tetap tinggal di suatu pulau kediaman mereka yang disebut Batu Nindan Tarung Liang Angkar Batilung Nyaring, kelak menjadi sumber kisah kepahlawanan. Serta Maharaja Bunu dikirim ke bumi menjadi moyang manusia yang tinggal di bumi. Dengan demikian menurut Ukur bahwa terdapat jelas asal-usul manusia dan Sangiang yang pada awalnya satu alam. Hubungan antara dunia manusia dan dunia para ilah tidak pernah terputus, setiap kali manusia memohon bantuan kepada para sanaknya (saudaranya—pen) di Dunia Atas. Dari sini pula dapat dibangun pengertian bahwa sebutan bagi manusia yang meninggal dunia disebut buli, yang berarti pulang –kembali ke asal—pen. Di dalam perspektif etnoreligi Kaharingan, konsepsi ketuhanan dapat dilihat dari konteks pembagian kekuasaan. Schärer (1963:18) menyatakan bahwa ada dua kekuasaan pada alam semesta dalam konsepsi ketuhanan Kaharingan. Kekuasaan Dunia Atas (upperworld) yang direpresentasikan sebagai Ranying Mahatala Langit dengan simbolisasi burung enggang dan Jata Balawang Bulau sebagai penguasa Dunia Bawah (underworld) dan disimbolisasikan dengan naga atau tambun. Kedua representasi ini merupakan dwitunggal, sekaligus ambivalen yang merupakan satu kesatuan divinitas. Kedua penguasa dwitunggal ini memiliki ilah-ilah perantara (lihat Ukur, tt:30—32) yang menjaga ketertiban kosmos dalam perikehidupan manusia. Para perantara tersebut adalah: 1) Raja Pali, disebut juga Nyaru atau ilah-kilat, yang bertindak apabila terjadi pelanggaran hadat atau hukum pali (tabu). Biasanya ia ambil bagian dalam persidangan-persidangan adat serta memberikan keputusannya melalui perantaraan Kepala Adat yang mengetuai pengadilan/persidangan adat. Ia akan menurunkan wabah dan bencana baik kepada individu maupun seluruh kampung. Ia tinggal di Dunia Atas; 2) Raja Untung atau Raja Mandurut Bulau Batuang Hintan, Raja Balawang Bulau, Kanarohan Bapager Hintan. Ia memberikan rejeki, kemakmuran, dan kekayaan. Tinggal di sebuah sungai Banyahu Bulau, Bakilat Hintan di Dunia Atas. Oleh karenanya ada ritus Balian Balaku Untung atau Ritual Memohon Rejeki; 3) Raja Sial atau Tamang Tarai Bulan, Tambun Pantun Garantung. Tinggal di Bukit Handut Nyahu, Kereng Tatabat Kilat. Tugasnya mendatangkan kesialan, kekejaman, kecelakaan, dan kerugian bahkan kematian; 4) Raja Hantuen atau Raja Haramaung Batulang Bunu, Balikur Talawang. Ia merupakan sumber petaka dan kerusuhan yang memperalat manusia yang hidup sebagai keturunan hantuen, mengganggu manusia dengan meminum darah manusia; 5) Raja Peres atau Raja Puru. Tugasnya menyebarkan segala macam penyakit dan wabah. Kesemua ilah perantara tersebut memiliki peran sebagai representasi kekuasaan divinitas, baik Dunia Atas maupun Dunia Bawah.
Masyarakat Dayak Ngaju merangkumi semua tatanan etik dan perilaku ke dalam sebuah pandangan hidup (way of life). Seperti dipaparkan sebelumnya, Kaharingan sebagai etnoreligi menjadi poin fokus (focal point) dalam menjelajahi struktur dalam atau deep structure dari kebudayaan Dayak Ngaju itu sendiri. Kaharingan di satu pihak sebagai etnoreligi memegang peran penting bagi terbentuknya hadat sebagai tatanan perilaku sosial. Schärer (1963) mendefinisikan bahwa hadat sebagai berikut
“hadat rules a whole of life and thought, and relation between man and the cosmos.It is the guide through life, and only if a man constantly orients himself by it does he step surely and go through life as true man who submits himself obediently to the godhead and carries out its will, and thus receive well-being for himself and the entire of cosmos”
Hadat  tidak semata-mata mengatur hubungan perilaku antarsesama manusia di bumi, akan tetapi merupakan upaya mempertahankan harmonisasi dan keseimbangan alam semesta (kosmos). Hadat memiliki peran sentral sebagai aturan hukum tak tertulis dan pandangan hidup yang merangkumi semua perikehidupan masyarakat Dayak Ngaju--dari prosesi ritual kelahiran, perkawinan, bermasyarakat hingga kematian. Oleh karenanya, ritus-ritus sebagai bagian dari pemenuhan hadat dan pemenuhan etnoreligi dalam konteks harmonisasi kosmos, mutlak untuk dilakukan. Hadat tidak saja memuat tentang konsep etik, tetapi juga menyangkut amal baik sebagai bagian dari ibadat. Konsepsi ini mempersyaratkan bahwa apabila terjadi kelalaian pemenuhan hadat diyakini akan terjadi disharmoni kosmos. Hal ini dapat dilihat pada terminologi seperti manantarang hadat ‘melanggar adat’, malawan hadat ‘menentang adat’, dan mangarak hadat ‘menghancurkan adat’. Jika kondisi ini terjadi, upaya pemulihan harmonisasi kosmos harus dilakukan perbaikan tatanan—restoration of order. Apabila diabaikan maka diyakini akan munculnya bencana, wabah, dan kutukan sebagai hukuman (punishment) dari Sang Pencipta. Dengan kata lain, seluruh manusia Dayak Ngaju yang tahu hadat akan berperilaku sesuai apa yang dipersyaratkan oleh hadat agar terjadi keseimbangan hubungan sesama manusia (horizontal) dan kepada Sang Pencipta (vertikal). Hadat juga secara kongkret berperan sebagai regulator  dan katalisator sosial bagi masyarakat Dayak Ngaju. Dengan demikian, semua tatanan sosial tersebut diharapkan berjalan sesuai hadat, sehingga manusia Dayak (Ngaju) dapat menjadi manusia—yang menurut Schärer—sebagai sacred people who lived in the sacred land and get a sacred death, which belongs to a sacred place (lewu tatau/sorga).
Ritus Kehidupan (Kelahiran, Perkawinan, dan Sosial)
Kebudayaan Dayak Ngaju adalah sebuah kesatuan dari seluruh rangkaian berpikir, hidup, dan berperilaku. Masyarakat Dayak Ngaju memandang bahwa kehidupan dan kematian merupakan anugerah dari Pencipta yang harus disyukuri. Dalam perspektif etnoreligi Kaharingan, seluruh kesatuan perilaku, hidup, dan etik terangkum dalam tatanan keseharian yang dikenal dengan hadat atau adat. Ada banyak ritus-ritus lain yang menjadi bagian dari kehidupan masyarakat Dayak Ngaju, tetapi hanya bagian-bagian penting yang dipaparkan di sini.  

a.       Ritus Kelahiran
Kelahiran merupakan langkah awal manusia hidup di bumi. Oleh sebab itu, pengucapan syukur kepada Pencipta harus dilakukan. Ritual pemberian nama bayi dan pendudusan (pembaptisan) dikenal dengan nahunan. Prosesi nahunan dimulai dengan pembacaan doa-doa oleh bidan kampung atau tetua adat dengan menjejakkan kaki si bayi ke tanah sebagai ‘bakti bumi’. Bumi sebagai perwujudan petak sintel habalambang tambun  dan memandikan bayi tersebut di sungai agar kelak ia dapat menjaga dua hal: bumi dan air sebagai unsur yang memberikan kelangsungan kehidupan baginya di masa datang.

b. Ritus Perkawinan
Perkawinan merupakan upaya pembentukan manusia baru. Agar kelak manusia baru tersebut dapat menjadi manusia yang tahu hadat, maka perkawinan adalah hal yang sakral bagi masyarakat Dayak Ngaju. Perkawinan yang sakral dan agung hanya boleh dilakukan apabila kedua belah pihak (laki-laki dan perempuan) memiliki garis keturunan yang sejajar/tidak sumbang. Artinya, perkawinan hanya boleh dilakukan ketika pertalian hubungan darah dari keturunan ke tiga (sepupu dua kali) atau lebih. Perkawinan yang dilarang adalah perkawinan incest dan sala hurui, yakni perkawinan dengan garis keturunan lebih tinggi atau lebih rendah, misalnya antara paman-keponakan, kakek-cucu atau sebaliknya. Apabila ini terjadi maka disebut dengan manantarang hadat dengan konsekuensi harus melakukan ritual restoration of order dengan berbagai persayaratan berat—dari makan di dulang babi hingga diusir dan diisolir dari kampung. Ada banyak persyaratan peminangan dan pra-perkawinan yang harus dipenuhi, di antaranya yang bersifat material tertuang dalam Surat Pisek dan Jalan Hadat. Kesemuanya dirangkum dalam prosesi yang cukup melelahkan dan harus dimulai dari tahap ke tahap hingga selesainya prosesi. Prosesi lengkap di dalam pembahasan lain.

c. Berladang
Berladang atau mamalan-manana merupakan salah satu ritual penting dalam kehidupan masyarakat Dayak Ngaju. Berladang dalam konsep pemikiran dan budaya Dayak Ngaju dan Dayak pada umumnya bukan persoalan pembalakan hutan atau peladangan berpindah seperti yang distigmakan. Berladang dalam kebudayaan Dayak Ngaju adalah proses untuk mengembangbiakkan padi sebagai perwujudan Dewi Sri atau Dewi Padi. Padi awalnya sebagai makanan para Sangiang yang dicuri oleh Puteri Jampa dari Mahatala karena si Puteri iba melihat kehidupan manusia di bumi. Oleh karenanya tidak dibenarkan menyia-nyiakan padi, beras, atau nasi karena ia memiliki roh yang disebut gana. Gana adalah roh penguasa atas benda-benda alam. Gana tidak memiliki kekuasaan langsung sebagai perantara ilah-ilah atau raja-raja. Roh yang terdapat di dalam padi disebut ganan parei atau bawin parei. Dengan demikian selain bertujuan sebagai upaya untuk penyediaan bahan pangan, berladang merupakan suatu kewajiban manusia Dayak Ngaju untuk terus mengembangbiakkan tumbuhan surgawi itu di bumi agar tidak punah. Di dalam ritual berladang setidaknya ada beberapa tahap yang harus dilakukan agar tidak mengalami gagal panen (diambil dari Agama tuntang Hadat Katingan Wajah Malan, R. Univ. Biblioteek, Leiden), antara lain: 1)  Gawi Mite Patendu atau Penentuan Musim; 2)Gawi Mambagi Eka Malan atau Penentuan Lokasi dan ukuran; 3) Gawi Sahelu Bara Mandirik atau ritual sebelum menebas pohon perdu; 4) Gawi Mamanggul atau memohon izin agar penguasa (gana) tanah setempat berpindah ke tempat lain; 5) Gawi Tamparan Dirik atau dimulainya pembukaan ladang dengan melihat petunjuk mimpi-mimpi; 6) Gawi Maneweng atau menebang; 7) Gawi Maentai Tana inusul atau menunggu musim yang tepat untuk membakar agar tidak menjalar dan terjadinya kebakaran hutan; 8) Gawi Manusul Tana atau Membakar. Terlebih dulu membuat ‘sekat api’ atau parit-parit kecil di sekeliling ladang agar tidak merembet ke lahan lainnya; 9) Gawi Lius Manusul atau membersihkan sisa-sisa bakaran; 10) Gawi Manugal atau musim tanam/tugal; 11) Gawi Katika Ngidam Parei (Tihin Hatue); dan 12) Gawi Manggetem atau musim panen.
Ada puluhan ritual yang menjadi prasyarat dari prosesi di atas sehingga proses berladang atau membuat ladang bukanlah proses yang sederhana dan sembarangan. Kesemuanya tidak dilakukan secara individual tetapi dengan konsep ‘pinjam-bayar tenaga’ atau disebut dengan handep.
Ritus Kematian
Menurut Schärer (1963) ada dua jenis kematian di dalam masyarakat Dayak Ngaju (di dalam Kaharingan), yang pertama adalah matei masak (mature dead), yaitu kematian yang sempurna dari golongan utus gantung; dan matei manta (premature dead) yakni kematian yang tidak sempurna dari golongan utus randah ‘golongan budak’ dan uluh hantuen (keturunan pengisap darah). Orang-orang dari utus gantung termasuk orang-orang yang taat terhadap hadat. Hanya mereka inilah yang berhak menuju lewu liau dan ditiwahkan. Mereka dikuburkan di tempat yang selayaknya, sementara utus randah dan golongan hantuen dikuburkan di hilir kampung dan tidak dilakukan upacara selayaknya utus gantung.
Ritus kematian yang pertama adalah penguburan si mati. Penguburan ini hanya mengantarkan roh si mati atau liau menuju sebuah tempat sementara yaitu bukit pasahan raung. Di sanalah liau menanti ritus kedua yakni tiwah yang mengantarkannya menuju lewu tatau. Kematian menurut perspektif Kaharingan adalah ‘keberangkatan’ menuju alam baka yang disebut lewu liau. Lewu Liau tidak sama dengan Lewu Tatau. Lewu tatau adalah imajiner (imaginary) dari sorga sebagai tujuan akhir kehidupan kekal. Sedangkan lewu liau adalah bangunan imajiner atas alam baka, yang serba terbalik dan bersifat sementara.  Mahin[1] mendefinisikan bahwa lewu liau sebagai alam kematian secara keseluruhan, sementara lewu tatau adalah sorga. Semua orang di dalam konsepsi ketuhanan Kaharingan masuk ke lewu liau, tetapi tidak semua orang masuk ke dalam lewu tatau, kecuali yang sudah ditiwahkan saja.
Konsepsi Kaharingan telah jelas dalam memandang kehidupan, kematian, dan kehidupan kekal setelah kematian. Pada dasarnya, kematian dalam pandangan Kaharingan hanya proses perpindahan ‘kehidupan’. Pengharapan eskatologis di dalam Kaharingan tentang tujuan hidup setelah kematian secara jelas terlihat dalam tiga hal menurut Ukur (tt:42—50): a) Tanggapan tentang jiwa; b)  pandangan terhadap lewu liau atau alam baka; dan c) makna ritus kematian. Hardeland (dalam Ukur, tt:42) mempostulatkan jiwa di dalam tubuh manusia menurut Kaharingan adalah 1) Hambaruan, yaitu daya hidup atau Lebenskraft yang kembali kepada keilahian setelah manusia meninggal dunia. Oleh Ilah Pencipta, hambaruan ini diolah dan dicampur dengan tujuh macam zat sehingga dapat menjadi manusia kembali; 2) Panyalumpuk Liau atau Liau Pertama setelah manusia meninggal dunia lalu terus menuju ke Lewu Liau (alam baka); dan 3) Liau Karahang atau disebut Liau Kedua, yang merupakan jiwa dari tulang-tulang, rambut, dan kuku. Liau Kedua ini tinggal berdiam di peti mati sampai diadakannya ritus kematian. Sedangkan Zimmermann berpandangan lain yakni jiwa dalam pandangan masyarakat Dayak Ngaju ada lima: 1) hambaruan, saat kematian ia pergi meninggalkan tubuh kepada Sang Pencipta. Hambaruan ini kemudian dicampur dengan tujuh macam zat yaitu: a) kapas (kapas); b) parei (padi); c) sanaman (besi); d) salaka (perak); e) bulau (emas); f) hintan (intan); dan g) bakal-bereng itah (bahan tubuh) untuk dapat menjadi manusia baru kelak; 2) panyalumpuk liau, disebut sebagai liau pertama yang tinggal di dalam peti mati. Liau ini dapat bergerak bebas dan dapat mengganggu orang yang masih hidup; 3) Liau Pantung Lawin Balau Silu, disebut juga liau kedua, yang pergi ke Bukit Pasahan Raung, tempat ia tinggal sampai diadakannya upacara kematian; 4) Liau Karahang Tulang, yakni sebagai substansi rohaniah dari tubuh itu sendiri dan dianggap menetap dalam tubuh mayat sampai upacara kematian diadakan. Pada waktunya, dengan percikan danum kaharingan ia hidup dan kembali kepada Sang Pencipta; dan 5) Liau Hampatung Mate atau Panyalumpuk Mate. Liau ini kembali ke Mahatala dengan diantar Tempun Telun setelah melalui penyucian di laut api. Api penyucian ini dimaksudkan untuk menyucikan manusia dari dosa.
Konsepsi Kaharingan tentang jiwa dan roh sangat lengkap dan oleh karenanya, ketika dilakukan ritus kematian terakhir yakni tiwah sebenarnya adalah proses ritual pemulangan jiwa-jiwa atau liau itu kembali kepada Sang Pencipta. Jiwa-jiwa yang masih ‘berpencar’ tersebut dikumpulkan kembali oleh tukang hanteran dalam balian agar menempati tempat semula di mana ia berasal untuk dikembalikan kepada Ranying Mahatala Langit. Oleh Ranying Mahatala Langit lalu dicampur lagi dengan tujuh macam zat untuk dihidupkan kembali menjadi manusia baru yang akan menempati tempat terakhir yang disebut Lewu Tatau (Lewu Tatau Habaras Bulau Habusung Hintan Hakarangan Lamiang)’Negeri Kaya Raya Berpasir Emas Bergundukan Intan dan Berkerikilkan Manikam’ atau  sorga itu.
Tiwah sebagai ritus terakhir kematian dalam etnoreligi Kaharingan menyiratkan bahwa pada dasarnya  narai je belum uras buli ‘sesuatu yang hidup harus kembali’. Kembali atau pulang kepada Yang Memiliki, Yang Menciptakan. Tiwah bukan hanya prosesi mengumpulkan kembali tulang-belulang si mati lalu memindahkannya ke dalam sandung, akan tetapi sebagai prasyarat agar si mati dapat menikmati kehidupan kekal di dalam sorga dengan melewati sebuah prosesi panjang. Prosesi ritual ini dapat menghabiskan waktu satu hari, tujuh hari atau sebulan penuh tanpa henti tergantung di daerah mana Kaharingan dianut. Misalnya terdapat perbedaan prosedur dan cara ritual pada masing-masing daerah antara Kahayan dan Katingan. Akan tetapi hal tersebut tidak mengurangi substansi dari esensi tiwah itu sendiri.
*) Anthony Nyahu, peminat Budaya Dayak dan Bahasa Dayak Ngaju, tinggal di Palangka Raya. Email: asnyahu@yahoo.com

Referensi: 
Anonim, tt. Agama tuntang Hadat Katingan Wajah Malan. R. Univ. Biblioteek. Leiden
Endraswara, Suwardi. Metodologi Penelitian Kebudayaan. 2006. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Mahin, Marko. 2005. Tamanggong Ambo Nikodemus Djajanegara: Menyusuri Sejarah Sunyi Seorang Temenggung Dayak. Banjarmasin: Lembaga Studi Dayak-21
Riwut, Tjilik. 2003. Maneser Panatau Tatu Hiang: Menyelami Kekayaan Leluhur. Palangka Raya: Pusakalima
Schärer, Hans. 1963. Ngaju Religion: A Conception of God among A South Borneo People. The Hague: Martinus Nijhoff
Shri-Ahimsa Putra, Heddy. 2009. Strukturalisme Levi-Strauss: Mitos dan Karya Sastra. Yogyakarta: Keppel Press
 Spradley, James P. 1997. Metode Etnografi. Terjemahan dari The Ethnographic Interview oleh Misbach Zulfa. Yogyakarta: Tiara Wacana
Ugang, Hermogenes. 1983. Menelusuri Jalur-jalur Keluhuran. Jakarta: BPK Gunung Mulia 
 Ukur, Fridolin. tt. Tantang-Djawab Suku Dajak. Jakarta: BPK Gunung Mulia
 


[1] Marko Mahin, wawancara pribadi tanggal 9 Mei 2012

02 Mei, 2012

ABAD KELAM DAN TONGGAK LITERASI DAYAK DI KALIMANTAN TENGAH


Oleh: Anthony Nyahu*


Masyarakat Dayak yang mendiami Kalimantan Tengah pada awal dikenal adalah masyarakat yang hidup dalam tradisi lisan (oral tradition). Hal ini menjadi ciri khas masyarakat adat di Nusantara. Adat, kebiasaan dan tradisi termanifestasi dalam kehidupan sehari-hari yang dijalankan dengan penuh tanggung jawab tersebut membimbing masyarakat Dayak menuju masyarakat Dayak yang dikenal sekarang. Pada awalnya, kehidupan sosial budaya masyarakat Dayak tak pernah terpublikasi. Jauh sebelum kedatangan agama-agama samawi, masyarakat Dayak telah mengenal agama bumi, yang dikenal dengan Kaharingan. Masyarakat Dayak—dalam pandangan teologi Barat—dianggap sebagai pagan. Padahal mereka telah jauh mengenal tatanan religiusitas dan bimbingan moral yang terpelihara. Kaharingan sebagai agama dan hadat sebagai bimbingan moral belum mampu dipahami secara holistik oleh kaum cerdik-cendikia, terutama periode awal kedatangan misionar di Kalimantan.
Sebagai masyarakat yang iliterasi, masyarakat Dayak tidak memiliki hubungan historis dengan keberaksaraan dan pendidikan formal pada abad-abad sebelum masuknya misi Pekabaran Injil. Meskipun demikian, bukan sebuah alasan pembenaran bahwa masyarakatnya tak beradat dan tak beradab. Pendidikan nonformal yang diwariskan secara home schooling—salah satunya dalam bentuk tanding tampengan (peribahasa)—dan pembangunan karakter sejak dini. Dengan demikian, anak-anak telah diajarkan dari dalam lingkungan rumah tangga untuk mengenal etika, moralitas, dan sosial budaya, termasuk di dalamnya soal hadat. Fenomena tradisi dan adat ini sempat terekam dalam bentuk tulis oleh Mallinckrodt (1928) dalam bukunya Het Adatrecht van Borneo. 
Ketika berbicara soal hadat atau adat, Schärer (1963) dalam bukunya Ngaju Religion: A Conception of God Among A South Borneo People (Martinus Nijhoff, The Hague) mendefinisikan bahwa: “...hadat rules the whole of life and thought, and relations between man and the cosmos. It is the guide through life, and only if man constantly orients himself by it does he step surely and go through life as the true man who submits himself obediently to the godhead and carries out its will, and thus receive well-being for himself and for the entire of cosmos.”(1965:98). Dengan kata lain, bahwa hadat merupakan “tuntunan bagi segenap kehidupan manusia (Dayak), dan manusia harus diarahkan olehnya (dan dapat mengarahkan dirinya) supaya ia tidak tersesat dari jalan yang benar” (lihat Ugang, Menelusuri Jalur-Jalur Keluhuran, BPK Gunung Mulia, 1983:51).
Sebagai tuntunan dan pandangan hidup (way of life), hadat merangkumi semua perikehidupan masyarakat Dayak—dari prosesi kelahiran, perkawinan, bermasyarakat hingga kematian. Hadat memiliki peran sentral sebagai aturan hukum baik normatif dan etik tak tertulis yang dijadikan sebagai kerangka berbudaya masyarakat Dayak. Semua diharapkan berjalan sesuai hadat, sehingga manusia Dayak dapat menjadi manusia yang menurut Schärer sebagai: sacred people who live in the sacred land and get a sacred death which belongs to a “lewu tatau”. Manusia Dayak yang mampu menjalankan hadat dan belum bahadat adalah manusia Dayak yang telah mengakui adat dan menyerahkan dirinya diatur oleh adat, sehingga ia akan menempatkan diri dan bersedia diarahkan oleh adat dalam setiap perikehidupannya (baik secara horisontal sesama manusia, maupun secara vertikal kepada Pencipta) menuju kesucian guna memperoleh kekekalan setelah kematian (surga).
Hadat tidak saja mengatur hubungan manusia dengan manusia lain secara sosial, namun untuk mencapai harmonisasi kosmos yang berimplikasi terhadap hubungan vertikal dengan Pencipta. Oleh karenanya, apabila terjadi pelanggaran terhadap hadat, manusia wajib untuk melakukan restorasi tatanan—restoration of order  (Schärer, 1963:100) dengan tujuan agar mengembalikan harmonisasi antarhubungan tersebut. Sebab jika tak dilakukan restorasi tatanan yang sudah dilanggar, manusia Dayak diyakini akan menuai kutukan, baik berupa bencana kultural, bencana sosial maupun bencana kosmos. Karenanya, ada beberapa terminologi yang menurut Scharer sebagai upaya pelanggaran hadat adalah: manantarang hadat, mahalau adat, dan malawan hadat. Oleh karenanya, berbicara soal iliterasi kita serta merta harus menilik lebih jauh mengenal tradisi yang dikenal sebelumnya.
Sebagai manusia yang lebih dulu mengenal dan tunduk terhadap hukum adat yang termaktub di dalam hadat, literasi menjadi kebutuhan penting dalam periodisasi kehidupan masyarakat Dayak di Kalimantan Tengah. Sejarah pekabaran Injil di Kalimantan tahun 1835 merupakan tonggak baru literasi di Tanah Dayak. Meskipun sebelumnya, Daniel Beekman, seorang perwira Inggris pernah menulis sebuah risalah yang mengisahkan tentang ekspedisinya di Kalimantan pada tahun 1718 (lihat Ukur, Tantang-Djawab Suku Dayak, tt:87, BPK Gunung Mulia).  Bahwa pada abad ke-17 tersebut telah masuk seorang Portugis yang berhasil masuk sampai ke pedalaman Kalimantan. Namun hal yang jauh lebih penting sebagai dasar historis adalah masuknya misionar Barnstein pada tahun 1835 tersebut. Langkah ini dianggap sebagai tonggak baru bagi misi penginjilan di Kalimantan melalui Rheinische Missiongesselschaft (RMG).
Kedatangan misionar dari RMG ini berimplikasi terhadap dua poin penting. Pertama, secara politis, masuknya pengaruh agama baru dan pengenalan teologi Kristen yang kelak dalam terminologi Mahin sebagai Dayak Kristen untuk menyebut identitas Dayak yang takluk terhadap agama baru ini (lihat Tamanggong Ambo Nikodemus Djajanegara: Menyusuri Sejarah Sunyi Seorang Temenggung Dayak, Lembaga Studi Dayak-21, Banjarmasin 2005). Hal ini sekaligus menjadi titik awal invasi politik asing terhadap Indonesia, salah satunya terhadap masyarakat Dayak. Kedua, secara linguistis, titik awal ini menjadi tonggak keberaksaraan bagi masyarakat Dayak. Masyarakat Dayak dihadapkan dengan literasi sehingga mutlak membutuhkan pendidikan. Banyak di antara para pemuka adat ‘diberaksarakan’ di dalam sekolah-sekolah atau stasi-stasi milik misionaris. Para pemuka ini kelak digolongkan sebagai masyarakat terdidik dan menghimpun kekuatan untuk melakukan pergerakan menentang penjajahan. Masa-masa ini menggiring masyarakat Dayak menuju sebuah periode transisi tradisi, dari tradisi lisan menuju tradisi tulis (written tradition) meski belum seluruhnya melek aksara. Selain diajarkan aksara Latin di pedalaman-pedalaman Kalimantan, mereka juga diajarkan menggunakan Bahasa Melayu sebagai bahasa kaum terdidik pada masa itu.
Pada tahun 1845—1846 (oleh Ukur dimasukkan dalam Periode I 1835--1920),  telah diterbitkan berbagai bahan cetakan perpustakaan Kristen berbahasa Dayak Ngaju, antara lain: Kamus Bahasa Dayak Ngaju, Perdjandjian Baru, Kitab A.B.C Suatu Peladjaran Membatja, kesemuanya oleh Hardeland dan Becker, Cerita-cerita Alkitab (sebagian karangan Zahn dan diterjemahkan oleh Becker), Perdjandjian Baru dan Lama oleh Hardeland yang secara khusus bekerja untuk Lembaga Alkitab Indonesia (Ukur tt:89). Meskipun penerjemahan ini dilakukan dengan tujuan pekabaran Injil, periode ini mengenalkan Bahasa Dayak Ngaju dalam bentuk tulis. Sekaligus juga menaikkan prestise bahasa ini sebagai bahasa ragam keagamaan. Dengan demikian, statusnya pun menjadi bergengsi selain dipakai oleh kaum cerdik-pandai.
Abad-abad kelam telah berakhir. Sebagian besar masyarakat Dayak dengan segala dinamikanya perlahan mampu menerima kehadiran para misionar. Menerima sebuah tabengan (jembatan) baru. Terang dunia dan terang literasi. Perlahan namun pasti pula kaum iliterasi semakin banyak yang diberaksarakan hingga jauh ke pedalaman. Semakin banyak pula kaum cerdik-cendekia yang menjadi pengajar dan pendidik. Namun kenyataan ini tidak membuat masyarakat Dayak berpuas diri. Ia layak menjadi agen perubahan itu sendiri: perubahan indeks kemanusiaannya dengan satu kata kunci: pendidikan. Selamat Hari Pendidikan Nasional, saudaraku di mana pun kau berada hingga jauh di perbatasan!

*) Anthony Nyahu, peminat Budaya Dayak dan Bahasa Dayak Ngaju, tinggal di Palangka Raya. Email: asnyahu@yahoo.com.