02 Mei, 2012

ABAD KELAM DAN TONGGAK LITERASI DAYAK DI KALIMANTAN TENGAH


Oleh: Anthony Nyahu*


Masyarakat Dayak yang mendiami Kalimantan Tengah pada awal dikenal adalah masyarakat yang hidup dalam tradisi lisan (oral tradition). Hal ini menjadi ciri khas masyarakat adat di Nusantara. Adat, kebiasaan dan tradisi termanifestasi dalam kehidupan sehari-hari yang dijalankan dengan penuh tanggung jawab tersebut membimbing masyarakat Dayak menuju masyarakat Dayak yang dikenal sekarang. Pada awalnya, kehidupan sosial budaya masyarakat Dayak tak pernah terpublikasi. Jauh sebelum kedatangan agama-agama samawi, masyarakat Dayak telah mengenal agama bumi, yang dikenal dengan Kaharingan. Masyarakat Dayak—dalam pandangan teologi Barat—dianggap sebagai pagan. Padahal mereka telah jauh mengenal tatanan religiusitas dan bimbingan moral yang terpelihara. Kaharingan sebagai agama dan hadat sebagai bimbingan moral belum mampu dipahami secara holistik oleh kaum cerdik-cendikia, terutama periode awal kedatangan misionar di Kalimantan.
Sebagai masyarakat yang iliterasi, masyarakat Dayak tidak memiliki hubungan historis dengan keberaksaraan dan pendidikan formal pada abad-abad sebelum masuknya misi Pekabaran Injil. Meskipun demikian, bukan sebuah alasan pembenaran bahwa masyarakatnya tak beradat dan tak beradab. Pendidikan nonformal yang diwariskan secara home schooling—salah satunya dalam bentuk tanding tampengan (peribahasa)—dan pembangunan karakter sejak dini. Dengan demikian, anak-anak telah diajarkan dari dalam lingkungan rumah tangga untuk mengenal etika, moralitas, dan sosial budaya, termasuk di dalamnya soal hadat. Fenomena tradisi dan adat ini sempat terekam dalam bentuk tulis oleh Mallinckrodt (1928) dalam bukunya Het Adatrecht van Borneo. 
Ketika berbicara soal hadat atau adat, Schärer (1963) dalam bukunya Ngaju Religion: A Conception of God Among A South Borneo People (Martinus Nijhoff, The Hague) mendefinisikan bahwa: “...hadat rules the whole of life and thought, and relations between man and the cosmos. It is the guide through life, and only if man constantly orients himself by it does he step surely and go through life as the true man who submits himself obediently to the godhead and carries out its will, and thus receive well-being for himself and for the entire of cosmos.”(1965:98). Dengan kata lain, bahwa hadat merupakan “tuntunan bagi segenap kehidupan manusia (Dayak), dan manusia harus diarahkan olehnya (dan dapat mengarahkan dirinya) supaya ia tidak tersesat dari jalan yang benar” (lihat Ugang, Menelusuri Jalur-Jalur Keluhuran, BPK Gunung Mulia, 1983:51).
Sebagai tuntunan dan pandangan hidup (way of life), hadat merangkumi semua perikehidupan masyarakat Dayak—dari prosesi kelahiran, perkawinan, bermasyarakat hingga kematian. Hadat memiliki peran sentral sebagai aturan hukum baik normatif dan etik tak tertulis yang dijadikan sebagai kerangka berbudaya masyarakat Dayak. Semua diharapkan berjalan sesuai hadat, sehingga manusia Dayak dapat menjadi manusia yang menurut Schärer sebagai: sacred people who live in the sacred land and get a sacred death which belongs to a “lewu tatau”. Manusia Dayak yang mampu menjalankan hadat dan belum bahadat adalah manusia Dayak yang telah mengakui adat dan menyerahkan dirinya diatur oleh adat, sehingga ia akan menempatkan diri dan bersedia diarahkan oleh adat dalam setiap perikehidupannya (baik secara horisontal sesama manusia, maupun secara vertikal kepada Pencipta) menuju kesucian guna memperoleh kekekalan setelah kematian (surga).
Hadat tidak saja mengatur hubungan manusia dengan manusia lain secara sosial, namun untuk mencapai harmonisasi kosmos yang berimplikasi terhadap hubungan vertikal dengan Pencipta. Oleh karenanya, apabila terjadi pelanggaran terhadap hadat, manusia wajib untuk melakukan restorasi tatanan—restoration of order  (Schärer, 1963:100) dengan tujuan agar mengembalikan harmonisasi antarhubungan tersebut. Sebab jika tak dilakukan restorasi tatanan yang sudah dilanggar, manusia Dayak diyakini akan menuai kutukan, baik berupa bencana kultural, bencana sosial maupun bencana kosmos. Karenanya, ada beberapa terminologi yang menurut Scharer sebagai upaya pelanggaran hadat adalah: manantarang hadat, mahalau adat, dan malawan hadat. Oleh karenanya, berbicara soal iliterasi kita serta merta harus menilik lebih jauh mengenal tradisi yang dikenal sebelumnya.
Sebagai manusia yang lebih dulu mengenal dan tunduk terhadap hukum adat yang termaktub di dalam hadat, literasi menjadi kebutuhan penting dalam periodisasi kehidupan masyarakat Dayak di Kalimantan Tengah. Sejarah pekabaran Injil di Kalimantan tahun 1835 merupakan tonggak baru literasi di Tanah Dayak. Meskipun sebelumnya, Daniel Beekman, seorang perwira Inggris pernah menulis sebuah risalah yang mengisahkan tentang ekspedisinya di Kalimantan pada tahun 1718 (lihat Ukur, Tantang-Djawab Suku Dayak, tt:87, BPK Gunung Mulia).  Bahwa pada abad ke-17 tersebut telah masuk seorang Portugis yang berhasil masuk sampai ke pedalaman Kalimantan. Namun hal yang jauh lebih penting sebagai dasar historis adalah masuknya misionar Barnstein pada tahun 1835 tersebut. Langkah ini dianggap sebagai tonggak baru bagi misi penginjilan di Kalimantan melalui Rheinische Missiongesselschaft (RMG).
Kedatangan misionar dari RMG ini berimplikasi terhadap dua poin penting. Pertama, secara politis, masuknya pengaruh agama baru dan pengenalan teologi Kristen yang kelak dalam terminologi Mahin sebagai Dayak Kristen untuk menyebut identitas Dayak yang takluk terhadap agama baru ini (lihat Tamanggong Ambo Nikodemus Djajanegara: Menyusuri Sejarah Sunyi Seorang Temenggung Dayak, Lembaga Studi Dayak-21, Banjarmasin 2005). Hal ini sekaligus menjadi titik awal invasi politik asing terhadap Indonesia, salah satunya terhadap masyarakat Dayak. Kedua, secara linguistis, titik awal ini menjadi tonggak keberaksaraan bagi masyarakat Dayak. Masyarakat Dayak dihadapkan dengan literasi sehingga mutlak membutuhkan pendidikan. Banyak di antara para pemuka adat ‘diberaksarakan’ di dalam sekolah-sekolah atau stasi-stasi milik misionaris. Para pemuka ini kelak digolongkan sebagai masyarakat terdidik dan menghimpun kekuatan untuk melakukan pergerakan menentang penjajahan. Masa-masa ini menggiring masyarakat Dayak menuju sebuah periode transisi tradisi, dari tradisi lisan menuju tradisi tulis (written tradition) meski belum seluruhnya melek aksara. Selain diajarkan aksara Latin di pedalaman-pedalaman Kalimantan, mereka juga diajarkan menggunakan Bahasa Melayu sebagai bahasa kaum terdidik pada masa itu.
Pada tahun 1845—1846 (oleh Ukur dimasukkan dalam Periode I 1835--1920),  telah diterbitkan berbagai bahan cetakan perpustakaan Kristen berbahasa Dayak Ngaju, antara lain: Kamus Bahasa Dayak Ngaju, Perdjandjian Baru, Kitab A.B.C Suatu Peladjaran Membatja, kesemuanya oleh Hardeland dan Becker, Cerita-cerita Alkitab (sebagian karangan Zahn dan diterjemahkan oleh Becker), Perdjandjian Baru dan Lama oleh Hardeland yang secara khusus bekerja untuk Lembaga Alkitab Indonesia (Ukur tt:89). Meskipun penerjemahan ini dilakukan dengan tujuan pekabaran Injil, periode ini mengenalkan Bahasa Dayak Ngaju dalam bentuk tulis. Sekaligus juga menaikkan prestise bahasa ini sebagai bahasa ragam keagamaan. Dengan demikian, statusnya pun menjadi bergengsi selain dipakai oleh kaum cerdik-pandai.
Abad-abad kelam telah berakhir. Sebagian besar masyarakat Dayak dengan segala dinamikanya perlahan mampu menerima kehadiran para misionar. Menerima sebuah tabengan (jembatan) baru. Terang dunia dan terang literasi. Perlahan namun pasti pula kaum iliterasi semakin banyak yang diberaksarakan hingga jauh ke pedalaman. Semakin banyak pula kaum cerdik-cendekia yang menjadi pengajar dan pendidik. Namun kenyataan ini tidak membuat masyarakat Dayak berpuas diri. Ia layak menjadi agen perubahan itu sendiri: perubahan indeks kemanusiaannya dengan satu kata kunci: pendidikan. Selamat Hari Pendidikan Nasional, saudaraku di mana pun kau berada hingga jauh di perbatasan!

*) Anthony Nyahu, peminat Budaya Dayak dan Bahasa Dayak Ngaju, tinggal di Palangka Raya. Email: asnyahu@yahoo.com.



Tidak ada komentar: