30 September, 2010

“Aba” dan Sebuah Pengabdian Kecil untuk Indonesia

Oleh: Anthony Nyahu | Kompasiana, Jumat, 13 Agustus 2010 | 09:16

Aba. Demikian kami, anak-anaknya biasa memanggilnya. Perawakannya masih tegap seolah tak mau kalah oleh usianya yang sudah menua. Kumis tebal yang sebagian memutih seolah ukiran karisma sebagai pambakal (kepala desa) itu masih menghiasi wajahnya yang mulai renta.

Ya. Aba adalah panggilan kepada Ayah di dalam bahasa Dayak Katingan. Mungkin berasal dari kata abah atau abi, mungkin juga dari bapa. Aku tak tahu persis. Bagiku, Aba adalah sosok yang spesial, melebihi kesukaanku kepada sosok Superman atau Flash Gordon, tokoh komik di masa kecil. Aba yang mengajarkan kami—kelima puteranya—untuk selalu mensyukuri hidup. Itulah yang sangat aku kagumi dari seorang Aba. Seorang Aba yang setia selama separuh umurnya untuk sebuah pengabdian terbaik. Ya! pengabdian terbaik sebagai seorang kepala desa. Makanya Aba selalu bangga kalau ditanya berkaitan dengan ‘profesi’nya.

Konon katanya, menjadi seorang kepala desa itu seperti seorang ‘presiden’masa kini, karena dari era masa lalu hingga kini dipilih langsung oleh ‘rakyat’nya. Aba menjadi pambakal dalam rentang waktu beberapa kali ganti presiden. Dari era Pak Harto hingga era SBY ini. Dari tunjangan sebesar Rp75 ribu hingga memecahkan ‘rekor’ insentif sekarang sebesar Rp500 ribu. Itu tok. Itu pun dibayar per tiga bulan. Bisa dibayangkan, jika semata-mata bersandar kepada tunjangan sebesar itu, mungkin kami anak-anaknya sudah menderita busung lapar. Apalagi di tengah kondisi harga-harga yang terus berloncatan di awan-awan.

Untuk bisa menyekolahkan kami Aba harus rela ‘rangkap jabatan’ sebagai peladang, pengumpul rotan, atau penyadap karet. Antara ‘tugas negara’ dan tuntutan hidup haruslah beriringan, kata Aba. Beliau tetap mengabdi, mengurus masyarakatnya. Dari urusan kawin lari hingga urusan orang berperkara. Dari urusan remeh temeh sampai urusan saling bunuh. Dari hal dunia sampai ihwal akhirat. Berat memang, dan sangat tak sebanding dengan tanggung jawab yang diembankan kepadanya. Bahkan lebih berat dari lencana perak yang disemat di saku kanan seragam putihnya.

Di suatu senja di musim yang lalu (meminjam syair lagu jadul), aku memberanikan diri untuk bertanya kepadanya.”Kok mau-maunya sih Aba jadi pambakal? Di usia Aba sekarang kan rawan mendatangkan stres. Karakter masalah juga sangat berbeda dengan zaman dulu. Juga manusia sekarang ‘kan banyak yang pintar, susah diatur. Ngapain sih capek-capek ngurusin orang banyak?”

“Ah, itu ‘kan kepercayaan masyarakat. Aku tak mau mengecewakan amanat dan kepercayaan masyarakat. Aku tak pernah bisa mengabaikan panggilan hati untuk berbakti kepada bangsa, meskipun hal kecil ini saja yang bisa aku lakukan. Ingat, mengabdi dan berbakti itu kan macam-macam bentuknya. Inilah yang bisa kulakukan untuk Indonesia yang besar ini” Jawab Aba seperti kampanye seorang calon pejabat yang dipinang parpol.

Luar biasa, pikirku. Aku terkagum-kagum. Terangguk-angguk seperti orang diserang kantuk, sambil terbatuk. Aha!, nasionalisme Aba memang tak diragukan. Bukankah Indonesia itu tetap berdiri tegak juga salah satunya dari sikap dan pengabdian kecil seperti ini? “Aku bangga bisa mengaktualisasikan diriku sebagai seorang pemimpin, meskipun di kampung yang berpenduduk seratus dua ratus jiwa. Aku bangga bisa mendayagunakan pikiran dan tindakanku membantu orang kecil. Meskipun aku bukan seorang pejabat negara atau wakil rakyat”, lanjutnya berapi-api seolah akan menghanguskanku.

Kini, Aba melepaskan seragam putih dengan lencana kebanggaannya itu. Beliau bukan lagi seorang pambakal. “Biar ada penyegaran dan dipimpin oleh yang muda-muda saja” alasannya. Sekarang, beliau menjadi Aba kami yang sesungguhnya. Sesungguhnya, dalam arti bahwa beliau akan punya banyak waktu untuk bercengkerama dengan cucu-cucunya. Punya banyak waktu untuk berkumpul dengan kami anak-anaknya. Kami pun kembali menemukan sosok Aba yang nyambung berdiskusi tentang apa saja, dari soal masyarakat adat, pemerintahan, hingga situasi politik masa kini. Maklum, Aba selalu update berita, sehingga diskusi-diskusi kami tak pernah terasa garing.

Di masa tuanya, Aba tidak mewariskan apa-apa. Kami pun tak kaget. Harta tak punya. Uang pun tiada. Seperti syair lagu dangdut saja. Kalau pun ada beberapa kebun karet dan rotan, hanya semata-mata jerih payahnya ketika beliau masih muda belia. Kebun itulah yang beliau gunakan untuk menyekolahkan kami berlima. Bukan bermaksud jumawa, meski harga karet dan rotan dari zaman batu naik-turun seperti rollercoaster, cukuplah untuk menghasilkan tiga sarjana dan dua swasta. Rata-rata penghidupannya sudah tak disubsidi lagi, bukan pula subsidi silang apalagi subsidi asing. Sebuah ‘prestasi’ yang tidak berbanding lurus dengan penghasilan orang seperti Aba.

Aba pandai memanfaatkan siklus hidupnya. Konon, ceritanya ketika kecil disuka, muda produktif, masa tua bahagia. Harapannya, kelak ketika meninggal masuk surga. Hal yang terakhir mungkin menjadi harapan dan tujuan kita semua. Tetap sederhana dan tak berlebihan memang.

Satu hal (lagi) yang membuat aku bangga kepada beliau. Sebagai pemimpin—baik pemimpin masyarakat maupun rumah tangga—Aba tidak pernah mengeluh dalam hidup, apalagi berkeluh-kesah kepada rakyatnya. Betapapun beratnya. Puncaknya, ketika beliau kehilangan seseorang yang telah setia jadi pendamping hidupnya puluhan tahun. Seorang ibu dari anak-anaknya. Hingga beliau harus berkomitmen untuk menjadi single parent ketika adik-adik masih kecil. Ujian-ujian hidup dilaluinya dengan senyum ketabahan. Ketika Ibu dipanggil Yang Mahakuasa, beliau menegaskan kepada kami bahwa kematian itu sama bagi setiap orang, namun waktulah yang membedakannya. “Aku dan Ibumu tidak lahir bersama-sama, maka ketika kami dipanggil Yang Kuasa pun, kami juga tidak bersama-sama” demikian penjelasan Aba.

Aba hanya mewariskan kami sebuah makna yang luas tentang kehidupan dan nasionalisme. Tentang bagai mana menjadi Indonesia. Tentang bagai mana harus berpikir merdeka dari berbagai keterbatasan dan kekurangan. Tentang bagai mana berjuang dan berperang. Bukan angkat senjata, tetapi berjuang melawan kemiskinan dan berperang melawan kebohohan. Satu-satunya cara adalah berpikir merdeka, kata Aba. Untuk mencapai kemerdekaan yang sesungguhnya hanyalah melalui pendidikan. Kalau kalian berpendidikan, maka yang namanya kemiskinan enggan menghinggapi kalian, lanjutnya.

Sederhana memang, namun tidak gampang. Bagai manapun, pendidikan yang berkualitas bergantung kepada berapa digit angka nol di belakang lembar-lembar rupiah. Sebab, jika masih belum berpikir merdeka, pendidikan berkualitas mustahil didapat di negara yang umurnya dua tahun lebih tua dari Aba ini. Sekali lagi, kata Aba kata kuncinya adalah pendidikan. Pendidikan untuk membebaskan. Untuk menjadi manusia merdeka haruslah memiliki pendidikan yang berkualitas. Setidaknya itulah petuah dari seorang Aba, meski ia pun tahu bahwa jika berpendidikan tinggi atau berkualitas belum tentu sejahtera.Paling tidak, dalam pemikirannya yang visioner kemiskinan dan kebodohan akan menjauhi kami, anak cucunya.

“Merdeka!” Pekik Aba, mungkin karena sebentar lagi tujuh belasan.

“Merdeka, ‘Ba!” Sahutku, sambil menertawai diri sendiri. Atau mungkin juga para kompasioners sedang menertawai karanganku ini, karena mirip tugas mengarang di waktu esde.

Hmm….Aku berpikir, apakah kini aku sudah benar-benar merdeka? Kulipat dan kusimpan pertanyaan itu di saku pakaian dinasku yang mulai lusuh. *[AN]

Tidak ada komentar: