05 November, 2008

SEABAD KEBANGKITAN NASIONAL DAN 80 TAHUN SUMPAH PEMUDA: MASIHKAH TERSISA SEJUMPUT MAKNA NASIONALISME?

Anthony Nyahu
Nasionalisme masa kini muncul dalam realitas yang cenderung sempit, manakala berada di suatu wilayah di luar negeri atau ketika sama-sama satu nasib di negeri orang. Nasionalisme bagi sebagian masyarakat Indonesia adalah bendera Merah Putih yang berkibar dengan gagah di tiang tinggi ketika para anak bangsa berhasil memenangkan kompetisi di luar negeri. Nasionalisme juga bagi sebagian orang adalah bagaimana menegakkan kedaulatan di tengah pulau yang tidak pernah kita pelihara. Nasionalisme bagi sebagian orang adalah menggunakan produk nasional meskipun kualitasnya tidak sesuai dengan nilai yang harus dibayar. Namun, nasionalisme macam apakah yang dibutuhkan oleh negeri ini pada masa yang sudah sangat canggih ini? Mengembalikan nasionalisme sesuai zamannya adalah sesuatu yang mustahil, mission impossible. Realitas nasionalisme pada era kolonialisme tentu sangat berbeda dengan zaman pascakemerdekaan. Begitu pula realitas nasionalisme yang muncul setelah beberapa orde silih berganti hingga era reformasi ini. Mengembalikan nasionalisme dalam romantisisme nostalgik tidak akan memperbesar rasa nasionalisme itu sendiri. Di tengah hiruk-pikuk berbagai tuntutan disintegrasi yang terjadi di Indonesia (Aceh, Papua), muncullah pemikiran analitis terhadap esensi: ada apa yang sebenarnya terjadi dengan nasionalisme dalam benak sebagian besar masyarakat Indonesia? Ketidakpuasan akan situasi negeri ini tentu bukan persoalan mendasar—selain sebuah makna kemiskinan dan ketidakadilan. Apakah rasa nasionalisme kita sudah dijajah juga? Nasionalisme tidak dapat dipandang dalam perspektif sempit, di mana terbatas kepada hal-hal realistik semata seperti terlihat dalam deskripsi di atas. Nasionalisme tidak bergerak dalam ruang yang sempit dan terhimpit. Ia bergerak dalam ruang bathin yang amat luas dan beraneka ragam yang dimiliki setiap insan manusia Indonesia. Nasionalisme bagi orang kecil di pedalaman adalah kebanggaan atas negaranya, yang lahir dari dalam lubuk hatinya, bahwa ia adalah bagian dari sebuah komunitas kolektif yang terikat dalam suatu kesatuan hukum (negara) sebagai seorang warga negara (citizenship of nation). Agak berbeda dengan para politisi/calon politisi. Nasionalisme mungkin berwujud berupa terbukanya ruang-ruang politik bagi setiap orang untuk ikut melakukan pendidikan politik dan demokratisasi. Singkatnya, nasionalisme adalah perasaan kebangsaan yang mutlak harus dimiliki oleh setiap warga negara dalam satu ikatan hukum dalam wadah formal yang dikenal dengan negara. Ada apa dengan nasionalisme, di tengah carut-marutnya bermacam persoalan yang mendera bangsa yang besar yang bernama Indonesia ini? Apa yang terjadi dengan mindset masyarakat Indonesia dalam memaknai sebuah kata nasionalisme? Nasionalisme yang telah dicanangkan oleh para pendiri negara ini (founding fathers) adalah nasionalisme yang terus meluas mencari bentuk eskalatif sosiopolitik menuju Indonesia yang ideal. Nasionalisme merupakan sarana fasilitasi gerakan politik untuk mewujudkan cita-cita ideal suatu bangsa—terlepas dari era dan bentuknya yang cenderung narsistik, relatif dan utopis. Nasionalisme yang dimanifestasikan dalam jargon-jargon dan slogan politik merupakan sarana efektif yang mampu membangkitkan sense of belonging terhadap ikatan emosional pemimpin suatu negara dengan warga negaranya—dengan melepaskan atribut nostalgik dan romantisisme berlebihan, tentunya. Nasionalisme, mungkin wajar kita pertanyakan di masa kini, meskipun kita masih belum lupa warna bendera sendiri (kata Iwan Fals) tetapi mungkin sebagian sudah lupa beberapa bait lirik lagu kebangsaan atau butir Pancasila. Lalu, dalam relevansinya memperingati seabad Kebangkitan Nasional dan 80 Tahun Sumpah Pemuda, nasionalisme macam apa yang ideal ditransformasikan kepada generasi masa kini? Haruskah mereka hafal ke-36 butir Pancasila atau Lagu Indonesia Raya? Cukupkah nasionalisme itu terejawantahkan dengan kata tanpa perbuatan di tengah mirisnya solidaritas kebangsaan antar elite politik negeri ini? Guru kencing berdiri, murid kencing berlari, kata sebuah pepatah. Atau kacau balau negaraku ini, kata Slank dalam lagunya “Gosip Jalanan”. Prestasi kepemimpinan negara Indonesia mengelola sebuah negara besar yang serbamulti (etnik, agama, dan ras) merupakan sebuah prestasi yang pantas dipuji kalangan internasional, mengingat di negara besar ini tidak sebanyak negara lain yang diliputi berbagai konflik. Hal ini mungkin saja sebagai sebuah bukti bahwa ternyata NKRI itu utuh ditinjau dari ikatan emosional dan historisitas bangsa dalam bersama-sama membangun sebuah negara bangsa yang bernama Indonesia. Dapatkah situasi ini bertahan di tengah kepesatan kemajuan peradaban dunia? Terlepas dari seberapa besar rasa nasionalisme yang dimiliki masyarakat Indonesia kini, perjalanan panjang sebuah negara bangsa yang bernama Indonesia ini tidak luput dari proses trial and error dalam mencari bentuk yang ideal menuju perwujudan cita-cita ideal tadi. Pondasi nasion dan nasionalisme yang diletakkan oleh para pendiri negara di masa lalu telah direstorasi dengan berbagai macam amandemen konstitusi negara dan sistem pemerintahan. Ada beberapa catatan yang membuktikan asumsi ini,misalnya ketidakjelasan kriteria para capres, proses legislasi yang mampat pada era demokratisasi di masa lalu, dan pendidikan politik yang rendah. Lalu, dalam konteks Seabad Kebangkitan Nasional, nasionalisme seperti apa yang masih melekat di hati sanubari masyarakat Indonesia? Masyarakat Indonesia harus pantas bersyukur (karena sebagai bangsa yang besar kita selalu ‘pandai’ bersyukur) bahwa sampai detik ini nasionalisme yang begitu luas masih melekat dalam Sumpah Pemuda, yang memuat suatu ikatan emosional kebangsaan: kesatuan bangsa, tanah air dan bahasa, yaitu Indonesia! Satu hal yang amat penting memadukan kedua komponen lainnya adalah bahasa. Mengapa? Karena bahasa menjadi alat yang amat ampuh untuk menyatukan ribuan suku dalam pulau (tanah air) dan bangsa yang dikenal dengan Indonesia sampai detik ini. Bisakah kita bayangkan seandainya Indonesia tidak memiliki satu bahasa yang menyatukan ribuan suku bangsa itu? Konon, karena orang berbicara dalam satu bahasa akan dikenal asal negara di mana berada. Pepatah mengatakan, bahasa menunjukkan identitas bangsa. Nasionalisme yang dibutuhkan masyarakat dewasa ini adalah tergantung dari perspektif kita memandang makna nasionalisme itu sendiri. Terserah Anda dari sudut pandang mana. Entah dalam bentuk apapun yang dapat memajukan bangsa, bukan justru mengambrukkan bangsa. Bukan disintegrasi atau separatis, walaupun masih banyak ketidakpuasan. Tegak atau runtuhnya negara ini di masa datang terletak kepada seberapa besar rasa nasionalisme yang kita miliki saat ini. Semua keputusan ada di tangan para warga negara yang besar ini. Begitu pula harga diri dan kedaulatan bangsa di mata dunia internasional. Sebagai bangsa yang besar maka pantas pula negara ini melakukan langkah-langkah kecil menuju langkah besar dalam membenahi carut-marut persoalan bangsa dan percaturan politik dunia demi mewujudkan cita-cita bangsa ini. Nasionalisme, bagi masyarakat Dayak adalah sebuah refleksi kehidupan komunal dalam suatu kesatuan kolektif seperti tergambar dalam huma betang (rumah panjang), di mana di dalamnya terikat secara emosional untuk bersama-sama mewujudkan cita-cita luhur bangsa. Nasionalisme, bagi mereka adalah kebanggaan atas sungainya, danaunya, dan tanahnya ( di dalam satu kesatuan negara Indonesia) yang memberikan kehidupan untuk terus dan tetap bertahan hidup di tengah kepungan buldoser zaman yang terus menghimpit dan belantara korporasi yang semakin merimbun hingga hampir tak bersisa untuk ruang hidup (public sphere). Nasionalisme, bagi masyarakat Dayak adalah pengakuan atas eksistensi dan keberlangsungan hidup mereka untuk masa kini dan masa datang sebagai bagian dari suku bangsa yang hidup dan berkembang di bumi ini. Mereka tidak menuntut separatisme apalagi merdeka; yang mereka butuhkan adalah kesejajaran. Kesejajaran dalam berbagai bidang untuk bersama-sama membangun bangsa dari Tanah Dayak, untuk dan atas nama sebuah negara Indonesia. Mereka juga butuh perlindungan, perlindungan dari kejamnya belati investasi yang menikam mereka hingga tersungkur di tanah yang dulunya memberi mereka penghidupan. Selain itu, mereka juga punya hak; hak untuk menikmati kue yang bernama pembangunan; untuk dan atas nama sebuah kata keramat: keadilan. Mereka tidak butuh belas kasihan, apalagi memelas; karena itu bukan filosofi rengan tingang( keturunan Tingang) dan Tambun Bungai. Mereka punya hak untuk menikmati beras dari padi yang tumbuh di tanah mereka yang subur dan mereguk nikmatnya sebagian dari kekayaan buminya untuk sebuah tujuan: kesejahteraan bagi seluruh rakyat, masa kini dan akan datang di belahan bumi Indonesia tercinta. Dengan demikian, masyarakat Indonesia yang serbamulti ini merasakan peningkatan taraf hidup yang lebih baik, peningkatan kualitas kesejahteraan atas buah dari kekayaan alamnya; dan juga --yang lebih penting—peningkatan kualitas emosional para pemimpin yang mampu menyatukan bangsa dan mengatasi persoalan bangsanya, bukan pemimpin yang pandai menguras air mata, prihatin, dan bermain teater kehidupan di panggung yang sepi! Kalau pandai demikian, lebih baik main sinetron atau telenovela saja, jadilah tokoh protagonis, maka ibu-ibu pasti akan memilih Anda di 2009!

Tidak ada komentar: