20 Desember, 2008

MANUSIA SUKU DAYAK MASA DEPAN: LANDLESS ATAU STRANGERS IN PARADISE?

Anthony Nyahu
Manusia Suku Dayak memang telah sejak lama sebagai manusia landless, di samping juga banyak less-less yang lain. Issu tentang landless padahal sejak jauh hari dikumandangkan dan diwanti-wanti oleh seorang pahlawan kharismatik Dayak, Tjilik Riwut dengan jargon: Ela Sampai Tempun Petak Manana Sare, Tempun Kajang Babisa Puat, Tempun Uyah Batawah Belai (Jangan sampai yang punya tanah berladang di pinggiran, yang punya atap justru kebasahan,dan yang punya garam justru hambar rasa). Jargon tersebut ternyata baik secara fisik maupun nonfisik, telah terbukti terjadi dalam kehidupan dan kebudayaan suku Dayak. Justru pemarjinalan yang terjadi menempatkan suku Dayak menjadi asing di tanahnya sendiri, menjadi penonton atas pembabatan hutan secara massif. Sementara, selama ini mereka dikekang dan dibatasi dalam mengusahakan hutan untuk kehidupan, misalnya untuk kebutuhan pangan. Mereka justru menjadi kambing hitam atas perusakan dan pembabatan hutan, dianggap sebagai peladang berpindah, pembalak dan seterusnya. Padahal, kearifan tradisionalnya tidak pernah diekspos ke permukaan,betapa mereka sangat arif dalam menjaga keseimbangan ekologis, yang menjadi sendi perikehidupan dan tulang punggung sosial-ekonomi suku Dayak. Imperialisme jilid baru bersampul investasi telah menjadi akar dari peluluhlantakan kebudayaan suku ini. Betapa tidak, pembalakan hutan secara besar-besaran untuk dan atas nama investasi dan slogan politik membuat akar budaya porak-poranda, kebudayaan baru dicekoki kepada masyarakat dengan mengenalkan tanaman komoditi yang seumur-umur tidak terdapat dalam kosa kata agraris mereka. Mereka sangat tahu dan paham bahwa ada beberapa komoditi tanaman tertentu yang sangat tidak bersahabat dengan ekologi, juga ekosistem yang ada. Mereka sangat tahu dan paham bahwa komoditi yang merusak itu tidak akan membuat mereka lepas dari kerangkeng yang bernama kemiskinan. Tapi apa daya, semua memang sudah telanjur, sudah tidak ada pilihan lain selain mencoba mengakrabi dan perubahan dengan teater modernisasi telah ditayangkan. Kita dengan terkesima menjadi penonoton dan para sutradara tersenyum puas sambil mengencangkan ikat pundi-pundi bersiap keluar dari pintu belakang! Runtuhnya akar sendi budaya dan moralitas diindikasi dengan merebaknya peredaran narkoba dan obat terlarang yang menghujam generasi putus sekolah, angka pengangguran laten yang meningkat, terkikisnya kedigdayaan hukum adat dan pelecehan atasnya, serta pergaulan bebas urban yang mulai merangsek hingga pedalaman, hingga berbagai persoalan lain yang kronis. Kita harus secara obyektif menilai diri dan kedirian suku ini. Issu tentang landless, bukan hal yang baru, terlebih dari kacamata hukum, dan terutama hukum lingkungan. Terbukti, dengan tidak terakomodirnya hukum agraria yang mengakui secara legal kepemilikan publik atas wilayah-wilayah adat, misalnya pukung-pahewan, sebagai kawasan cagar budaya adat yang dipelihara sejak zaman leluhur suku Dayak mendiami pulau Kalimantan. Hukum agraria yang notabene sebagai warisan dari Hindia Belanda sampai kini masih belum memihak kepada kepentingan masyarakat suku Dayak secara umum. Hal ini merupakan rumpang-rumpang kosong yang sengaja dipelihara oleh pemerintah (untuk dan atas nama negara) untuk berbagai kepentingan, termasuk kepentingan yang berkaitan erat dengan investasi dan hegemoni domestik dan asing atas kekayaan alam Kalimantan. Pembatasan kepemilikan tanah adat merupakan langkah yang membatasi ruang hidup (life sphere) masyarakat suku Dayak untuk mengolah dan mengusahakan tanahnya demi kepentingan hidup dan kehidupan baik untuk kepentingan sesamanya dan kebudayaannya di masa kini maupun masa datang. Tidaklah mengherankan, jika dalam setiap kasus yang berkaitan dengan persoalan tanah, akan menimbulkan kerawanan sosial yang sangat rentan. Hal ini tidak saja berlaku di pulau ini, tetapi hampir di seluruh wilayah Indonesia. Masyarakat selaku pemilik tanah, secara de facto tidak akan pernah sejahtera dari tanah yang diusahakannya sendiri. Dengan alasan lahan tak terurus dan alasan-alasan lainnya, maka investasi--dalam baju apapun--dengan leluasa melenggang masuk dengan terlebih dulu lewat pintu ini-itu. Dengan demikian, harapan untuk menyejahterakan masyarakat di sekitar investasi tersebut dapat terwujud. Namun, apa lacur, harapan hanya tinggal harapan kosong. Data dapat diperoleh di Walhi, seberapa sejahteranya angka masyarakat yang berada di kawasan ini? Semua memang akan berpulang kepada dua sisi mata uang: untung-rugi, positif-negatif, kuasa-tidak berkuasa, kaya-miskin, baik-buruk, benar-salah, dan sejuta yin-yang lainnya. Masyarakat suku Dayak tetaplah masyarakat suku Dayak yang lebih banyak miskin dan termarjinalkan, selalu jadi penonton. Toh, kalaupun dilibatkan, itupun masih dikebiri: dan hampir tidak ada yang mau jadi kuli, pekerja kasar, atau antek perusahaan untuk menundukkan warganya agar mau welcome atas hegemoni kekuasaan pemodal. Untuk kasus Gunung Mas, buat saya tidaklah terlalu mengejutkan kalaupun mereka bakalan landless. Nasib mereka hampir setipe-sejenis-sebanding dengan penderitaan yang dialami warga lainnya di kabupaten-kabupaten lain di Kalteng. Bagi saya, setelah landless, less-less apalagi yang akan menjadi 'kekayaan' yang dimiliki suku ini. Homeless, assetless, powerless, voiceless, dan mungkin sejuta less-less lainnya, selain ngeles aja. Dalam hal ini, masyarakat selalu menjadi korban, menjadi victims dari semua yang bernama kekuasaan. Sedangkan semua pihak tidak mau menjadi yang dipersalahkan, yang bertanggung jawab. Sesungguhnya, siapa dan apa yang salah? Salah pemerintah dengan kebijakannya, salah masyarakat yang tetap status quo, atau salah pemodal? Atau salah sistem yang ada di negara ini? Salah-benar, saya pikir bukanlah solusi. Solusi yang urgent adalah menata kembali pemikiran,kebijakan, penguatan masayarakat suku ini dalam menghadapi tantangan ke depan yang semakin menghimpit dan memarjinalkan. Atau mungkin itu juga bukan sebuah solusi bagi sebagian besar warga masyarakat kita yang sudah terhimpit. Terhimpit dengan situasi ekonomi, dengan kemiskinan yang semakin akrab dan mendera, atau terhimpit dengan kebijakan yang tidak memihak. Maka, secara naluriah muncul secara massif, masyarakat mematok tanah-tanah kosong berhektar-hektar lalu mengklaimnya kepada investor demi kepentingan sesaat atau menyambung hidup(?) atau juga munculnya eskalatif sosiologis--daripada kita toh juga tidak mendapatkan apa-apa, lebih baik tidak memiliki apa-apa lagi? Di samping memang tuntutan-tuntutan lain dalam pola kehidupan dan pemikiran suku Dayak yang telah sebagian mulai tergeser. Rekan-rekan bisa membayangkan--dari jauh, tentu saja, bukan mengalami--apa yang sesungguhnya mereka miliki selama ini? Hasil berkebun saja berupa rotan, masih dianggap bukan hasil bumi tetapi hasil hutan (bukan hasil budidaya) dengan harga yang dapat ditukar 25kg beras saja per kuintalnya, bahkan kurang. Mampukah mereka sejahtera? Boro-boro, untuk makan saja kurang! (lihat Katingan), belum sektor ekonomi lainnya. Berladang untuk kebutuhan pangan sehari-hari (bukan bisnis seperti di Jawa), dianggap pembabatan hutan dan semakin dilarang, mencari kayu untuk peralatan rumah saja di samping susah, juga ndak boleh. Lalu mau apa? Sementara harga komoditas hidup lainnya semakin melangit di awan. Lalu mau usaha apa? Menambang emas, dianggap PETI dan dirazia sewaktu-waktu. Lalu mau jadi apa masyarakat suku ini? Mau gigit jari saja? Jadi, kembali lagi ke persoalan Gumas. Dalam pandangan saya selaku bagian dari suku ini, sesungguhnya ada sesuatu yang salah, sesuatu yang ndak beres dengan Kalimantan ini, terutama Kalteng masa kini. Bukan, bukan saya mengagitasi untuk melakukan sesuatu atau apapun, tapi kita sebagai bagian dari suku Dayak harus melakukan langkah dan langkah itu dimulai dari hal-hal kecil untuk mencapai langkah yang besar. Keprihatinan saja ndak cukup, mas, mbak! Atau kalau tidak ada langkah kecil ada baiknya ilmu eskapisme dijalankan: lari sejauh-jauhnya dari kenyataan! dan menjadi kilau tanding (maaf) asu mangang kalingee! Jangan pernah mau menjadi bagian dari suku ini (yang sangat tidak diinginkan dan disetujui oleh rekan-rekan yang sudah punya nama di rantau orang!). Siapa, apa, dan bagaimana persoalan yang dihadapi suku Dayak merupakan persoalan yang holistik, komprehensif, dan cenderung kompleks. Jadi, semoga saja persoalan ini dapat ditindaklanjuti (bahasa politiknya) dan dikaji mana kepentingan prioritas yang harus ditangani. Jangan sampai masyarakat suku ini menjadi pengembara dan asing di tanah yang didiaminya sendiri atau stranger in paradise. Selama ini yang terjadi dan akan terus terjadi adalah uluh kuman lauke, arep inenga uluh tulange! Karakteristik masyarakat suku yang keleh uluh bara sama arep karena alasan ekonomis harus segera ditinjau ulang, daripada sama arep kemee, keleh uluh sasinde merupakan langkah eskapistik yang muncul sebagai akibat dari hegemoni atas kekuasaan yang dihadapi dengan ketidakkuasaan. Setidaknya, dalam hemat saya, kita sebagai bagian dari suku ini harus membeli lebih banyak cermin agar kita semakin tahu betapa banyak luka di sekujur tubuh kita, atau bila perlu belilah lup/kaca pembesar agar lebih detil kita amati. Betapa kita sesungguhnya luka, dan luka itu tetap menjadi buhit yang kita garuk maka akan muncul sensasi-sensasi lain (enjoyment of pain) sebagai bagian dari keakraban kita dengan penyakit yang bernama penderitaan, kebodohan , dan kemiskinan yang selama ini mengakrabi kita (atau kami) saban hari! Kiranya persoalan ini, mungkin hanya sebagian kecil dari warga suku ini yang merasa prihatin atau miris, atau langkah-langkah kongkrit pressure lainnya, dengan tidak mengurangi peran tiap orang, tentunya. Tapi bagaimana dengan saudara-saudara kita yang menjadi korban? Di sana, nun jauh di jantung pedalaman sana, masih setia dengan ritualnya sehari-hari: mengusahakan sesuatu apapun demi sesuap nasi! jauh dari mimpi-mimpi tentang pembebasan dari kebodohan, kemiskinan, dan penderitaan; jauh dari bayang-bayang kesejahteraan yang utopis, jauh dari riuh gemuruh teknologi (bahkan saat e-mail ini ditulis mungkin saja mereka masih akrab dan bersenda gurau dengan ketiga kata kunci di atas; masih sibuk dengan apa dan bagaimana cara menyambung hidupnya!). So, kita solah mengahadapi kebakaran, padahal dapur di sana nun jauh di pedalaman masih berusaha ngebul agar tetap hidup esok pagi, kebakaran ide, dan tentu saja mungkin sebagian dari kita--yang lelaki tentu saja--kebakaran janggut! Ah, mungkin pelik, rumit atau apapun namanya. Tapi, memang itulah realita yang harus dihadapi jika mau dan berniat suku ini tetap eksis dan punya power agar tidak selalu diperkaya dengan sejuta less lainnya! Semoga!

1 komentar:

Anonim mengatakan...

Dayak akan landless, especially in
Sarawak, oleh sebab tanah Dayak dicuri oleh pemerintah