24 Maret, 2008

PEMBELAJARAN BAHASA DAERAH DALAM KERANGKA PEMAHAMAN LINTAS BUDAYA MASYARAKAT MULTIKULTURAL: STRATEGI PREVENTIF TERHADAP KONDISI DISHARMONI DAN MANAJEMEN PASCAKONFLIK DI KALIMANTAN TENGAH
Oleh : Anthony Nyahu
Pendahuluan
Indonesia yang terbentang dari Sabang sampai Merauke, dari Aceh hingga Papua diperkaya oleh beratus suku, bahasa dan budaya. Oleh karena itu, Indonesia hadir dengan selumbung kekayaan bahasa dan budaya. Summer Institute of Linguistics (2001) dalam The Languages of Indonesia menyebutkan bahwa paling sedikit terdapat 726 bahasa-bahasa di Indonesia. Belum lagi dialek-dialek dan subdialek yang jumlahnya mencapai ribuan pada masyarakat tutur yang dianggap minor di berbagai kepulauan baik besar maupun kecil. Kondisi bahasa dan budaya yang berbeda demikian tidak jarang menimbulkan friksi-friksi yang berkepanjangan bahkan secara faktual berbuah pada kondisi disharmoni/konflik antarmasyarakat tutur yang berbeda secara budaya. Namun perbedaan itu hendaknya tercipta sebagai sarana pengayaan pemahaman bermasyarakat dan berbangsa di bawah satu pemahaman yang lebih luas dalam sebuah wawasan nasional, yakni Wawasan Nusantara. Masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang serbamulti: multibahasa, multiagama dan multietnis dengan menggunakan satu bahasa nasional yaitu bahasa Indonesia telah merekatkan semua kalangan dan menerima semua perbedaan kebahasaan dan kebudayaan daerah sebagai kekayaan kebudayaan nasional. Jaminan negara terhadap bahasa seperti telah terjabarkan dalam Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945, Pasal 32 Ayat (1) dan (2), yang mendudukkan posisi bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional dan bahasa resmi negara. Dengan status demikian, nasionalisasi bahasa Indonesia semakin kukuh sebagai lambang jatidiri bangsa. Kecenderungan tersebut memosisikan bahasa Indonesia menjadi bahasa yang mempunyai kedudukan lebih tinggi dibanding bahasa-bahasa daerah. Hal ini akan berpengaruh dengan terhimpitnya nya ruang tutur (speech space) bagi bahasa-bahasa daerah, terutama pada ruang tutur bahasa daerah yang selama ini telah terjadi kedwibahasaan, diglosia, dan keanekabahasaan (periksa Suryanyahu, Katingan Pos Minggu II/juni 2003). Krauss (1992) dalam Mahsun (2004) mengelompokkan bahasa ke dalam tiga kelompok berdasarkan gejala umum yang terjadi pada bahasa-bahasa di dunia ,seperti jumlah penutur, prestise sosiokultural, dan dukungan pemerintah terhadap pemakaiannya, yakni: a). kelompok bahasa yang tidak lagi dikuasai dan digunakan oleh anak-anak dari penutur suatu bahasa; b). kelompok bahasa yang dalam satu/dua generasi tidak lagi dikuasai dan dipelajari oleh ketururunan penutur suatu bahasa; dan c). kelompok bahasa yang termasuk kategori aman yang masing-masing disebut moribund, endangered dan safe. Padahal di lain pihak, bahasa daerah memegang peran penting bagi perbendaharaan kosa kata bahasa Indonesia. Upaya untuk mengangkat budaya (baca: bahasa) daerah ke dalam kosa kata bahasa nasional diharapkan sebagai langkah nyata pemeliharaan bahasa-bahasa daerah, di samping itu dari sanalah kita berpijak bahwa keberagaman tercipta sebagai kekayaan bukan sebaliknya. Salah satu keputusan yang bersifat politis yang dihasilkan Seminar Politik Bahasa tahun 2000 adalah ditentukan fungsi bahasa daerah sebagai: (a) lambang kebanggaan daerah, (b) lambang identitas daerah, (c) alat perhubungan di dalam keluarga dan masyarakat daerah, (d) sarana pendukung budaya daerah dan bahasa Indonesia, (e) pendukung sastra daerah dan sastra Indonesia. Selain itu, dalam hubungannya dengan bahasa Indonesia, bahasa daerah berfungsi sebagai: (a) pendukung bahasa nasional, (b) bahasa pengantar di sekolah dasar di daerah tertentu pada tingkat permulaan untuk memperlancar pengajaran bahasa Indonesia dan mata pelajaran lain, dan (c) sumber kebahasaan untuk memperkaya bahasa Indonesia, serta (d) dalam keadaan tertentu dapat berfungsi sebagai pelengkap bahasa Inonesia di dalam penyelenggaraan pemerintahan pada tingkat daerah (Alwi dan Dendy Soegono (2000) dalam Mahsun (2004)). Berpijak dari pernyataan di atas, bahasa daerah cenderung diperhatikan setelah pembinaan terhadap bahasa Indonesia semakin massif. Dalam konsep tersebut, bahasa daerah tetap dipertahankan oleh penuturnya pada tataran komunikasi antarmasyarakat daerah dan di dalam keluarga, sebagai pemerkaya khazanah bahasa Indonesia. Hal ini semakin diperjelas dengan adanya otonomi daerah, yang di dalamnya tertuang wewenang dan kreativitas para pemimpin daerah untuk membuat politik bahasa dan perencanaan bahasa daerah di masing-masing daerah. Sehingga bahasa daerah wajib mendapatkan perlakuan yang sama dibanding kebijakan yang lain. Selama ini tidak disadari adalah kurangnya pemberdayaan bahasa daerah sesuai fungsinya, terutama pembuatan materi bahan pembelajaran bahasa daerah yang cenderung memaksakan bahasa mayor dengan mematikan bahasa minor karena bukan lingua franca, sebagai contoh bahasa Dayak Ngaju yang ‘dipaksa’ untuk diajarkan pada wilayah tutur yang berbeda. Tentu kenyataan ini tak dapat dibiarkan karena secara tidak langsung telah terjadi ‘pembunuhan bahasa’ (linguicide) terhadap bahasa minor. Bahasa minor dipertahankan hanya sampai pada tataran komunitas tutur yang lebih kecil, bahkan ada kecenderungan untuk tidak lagi bangga menggunakannya dan menurunkannya kepada generasi sesudahnya. Gejala ini muncul sebagai akibat dari kuatnya pengaruh bahasa mayor yang mempunyai prestise tinggi. Hal lain yang tak kalah pentingnya adalah kecenderungan bahasa Indonesia bergeser dari fungsinya sebagai bahasa resmi dan bahasa nasional serta bahasa pengantar dalam dunia pendidikan menjadi bahasa yang juga dipakai dalam wilayah tutur rumah tangga dan pergaulan (periksa Suryanyahu, “Sikap Bahasa dan Pilihan Bahasa Penutur Jati Bahasa Dayak Ngaju di Kota Palangka Raya, laporan penelitian pada Balai Bahasa Provinsi Kalimantan Tengah, 2005). Dari hasil penelitian tersebut ditemukan bahwa sikap bahasa masyarakat penutur jati bahasa Dayak Ngaju cenderung negatif dan tidak lagi memandang bahasa ibunya sebagai sebuah lambang identitas dan kebanggaan. Berperannya upaya alih kode dengan menggunakan bahasa bahasa lain, misalnya bahasa Banjar dan campur kode terhadap bahasa ibu justru akan semakin mengancam rusaknya tatanan bahasa ibu. Tak jarang proses campur kode itu terjadi karena di dalam bahasa Dayak Ngaju sendiri tidak ditemukan padanan katanya maupun tidak mengenal tingkatan/unda usuk bahasa, seperti pada bahasa Jawa dan Banjar. Namun biasanya dalam tindak tutur masyarakat Dayak Ngaju yang sangat egaliter, penyebutan predikat teknonimis dipandang sebagai salah satu ragam bahasa halus, misalnya pemanggilan teknonimik terhadap seseorang yang yang telah berkeluarga yang tidak lagi memanggil sebutan namanya tetapi nama anak tertua sebagai contoh: orang lebih Bapa Enon dibandingkan Cilik Riwut, Indu Lamiang, atau gelar lain dari keturunan yang lebih muda (anak/cucu) kepada orang tua dari ayah/ibu, misalnya Bue Janggut, Tambi Bitak, kepada saudara dari ayah/ibu, misalnya Mama Bakas, Mina Benteng, dll. Hal ini terjadi berdasarkan budaya turun-temurun yang menganggap bahwa pemanggilan nama seseorang yang dianggap lebih tua selain tidak sopan juga akan berakibat kualat. Dengan demikian, pembelajaran bahasa Dayak Ngaju tidak saja secara linguistis mempelajari komponen fonem ‘mahalau, lah’, sebagai [m,a,h,a,l,a,u l,a,h] sebagai kata ‘lewat, ya’ atau ‘permisi, mau lewat’ tetapi ungkapan tersebut disertai dengan membungkukan badan adalah manifestasi etika bahasa tubuh apabila melewati orang yang lebih tua. Pembelajaran unsur etika dalam pembelajaran bahasa daerah inilah yang sangat penting bagi pendidikan usia dini, terutama bagi generasi sekarang yang telah korosif oleh pengaruh budaya dari luar. Pembelajaran Bahasa sebagai Esensi Pembelajaran Budaya Pembelajaran bahasa adalah pembelajaran budaya, etika,dan moralitas. Membangkitkan kembali pembelajaran indoktrinatif tentang moralitas, etika, dan filosofi kearifan lokal melalui bahasa daerah, adalah komponen penting yang tak dapat dilepaskan dari pendidikan kognitif dan pedagogis. Konsep ini telah tertuang dalam esensi pembangunan manusia seutuhnya, yaitu pembangunan mental dan spiritual manusia Indonesia yang Pancasilais. Melalui bahasa daerah, pemahaman budaya daerah diharapkan akan berbanding lurus. Mahsun (2004) mengemukakan bahwa adanya kesepadanan adaptasi linguistik dan adaptasi sosial pada masyarakat tutur yang berbeda bahasa (Proposal Riset Unggulan bagi Kemanusiaan dan Kemasyarakatan VI). Inilah salah satu strategi bagaimana peran bahasa yang berbeda-beda pada wilayah tutur yang berdekatan dapat berterima oleh masyarakat tutur pada wilayah masing-masing. Dengan demikian, apabila dikontrastifkan dengan pengalaman faktual yang dialami Kalimantan Tengah terhadap saudara-saudara kita dari wilayah yang sama sekali berbeda bahasa dan budaya. Tentu saja ini bukan dalam rangka penyeragaman budaya, namun esensi yang ingin didapatkan adalah terciptanya pemahaman budaya yang holistik, filosofis, dan apresiatif pada masing-masing pihak. Konteks demikian menempatkan perbedaan sebagai keanekaragaman yang memperkaya wawasan nasional kita, bukan hanya dari kaca mata budaya kita sendiri. Sentimentalitas etnis dan individu harus dihindari dalam kerangka pemahaman ini. Artinya, kita menempatkan diri sebagai manusia secara universal, yang harus adaptif dengan situasi dan kondisi lingkungan sosial dengan harapan mampu diterima secara sosial dan budaya. Hal ini dilakukan bukan dalam pendekatan indoktrinatif, namun lebih sebagai pendekatan persuasif dengan mengedepankan kebersamaan secara utuh dan timbal balik. Kesalahan dalam memaknai budaya di Kalimantan Tengah pra dan pascakonflik etnis tahun 2001 telah mengakibatkan kerugian yang sangat besar. Dampak yang dirasakan tidak saja secara ekonomis, tetapi lebih secara psikologis. Ditambah lagi dengan asumsi dan spekulasi pandangan luar negeri tentang Kalimantan Tengah. Hal ini tidak dapat terus dibiarkan agar kasus tersebut diposisikan pada tempat yang proporsional. Sebagai pemicu (trigger) adalah masalah budaya, yang selama ini tidak dapat diadaptasi dan dipahami dengan baik. Pemahaman dalam memaknai budaya (daerah) tidak serta merta diiringi dengan pemahaman terhadap bahasa (daerah). Bagaimana mempelajari budaya lokal apabila tidak diiringi dengan infrastruktur bahasa lokal yang mapan dan adaptif? Filosofi di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung hanya akan menjadi slogan yang selalu digaung-gaungkan dan sia-sia tanpa adanya pemahaman budaya yang komprehensif dan apresiatif. Segencar apapun sosialisasi yang dilakukan apabila masih terjebak pada paradigma lama dalam manajemen konflik, niscaya akan menjadi api dalam sekam dan bom waktu. Apalagi penanganan startegi konflik yang parsial tidak akan serta merta menyelesaikannya menjadi kebijakan politis yang abadi. Kita, sebagai bangsa yang berlandaskan Pancasila, akan mengedepankan permusyarawatan. Sebagai manusia, siapapun berhak untuk tinggal dan menempati suatu wilayah yang dipersyaratkan dengan kondisi dan adaptasi sosial dan budaya lokal. Adaptasi sosial-budaya akan sia-sia tanpa adaptasi linguistik. Penutup Rekonsiliasi konflik tanpa pemahaman timbal balik (mutual understanding) tidak akan menghasilkan solusi yang baik dan akseptabel. Untuk melakukan rekondisi dan rehabilitasi pemahaman tentang budaya yang komprehensif dibutuhkan: 1. Pemahaman budaya daerah lebih memprioritaskan pembelajaran bahasa daerah sebagai sarana untuk belajar moralitas, filosofis, dan akseptabilitas sosial; 2. Pengajaran bahasa daerah membutuhkan infrasruktur bahasa (daerah) standar yang mapan (yang diseminarkan dan dilokakaryakan pada daerah masing-masing), bahan ajar yang sesuai GBPP, analisis kebutuhan dan kondisi daerah (yang dilokakaryakan dan diseminarkan) beserta kuantitas dan kualitas tenaga kependidikan untuk itu pada tingkat pendidikan formal (TK, SD) dan sektor nonformal; 3. Kebijakan bahasa (language policy) dari pemimpin daerah khususnya Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah terhadap bahasa-bahasa yang ada di wilayahnya dengan mempertimbangkan fungsi dan kedudukan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional; 4. Memperlakukan komponen bahasa sebagai bagian dari budaya daerah dijadikan sebagai komoditas budaya yang juga sama pentingnya dengan komoditas lain; 5. Melakukan kaji ulang terhadap manajemen pascakonflik; 6. Melakukan rehabilitasi internasional dan reposisi terhadap pandangan tentang kredibilitas budaya Dayak di mata dunia guna menarik minat investasi luar negeri, penelitian tentang budaya, dan pengembangan sumberdaya manusianya; 7. Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah harus melakukan kaji ulang terhadap analisis kebutuhan yang sesuai dengan kondisi daerah utamanya tentang analsis GBPP dan bahan ajar muatan lokal yang sesuai di daerah dengan mengelola perbedaan sebagai realitas budaya yang memperkaya kebudayaan nasiona (seperti yang telah dilakukan di Provinsi Nusa Tenggara Barat) serta sebagai fasilitator bagi penyediaan infrastruktur mapannya bahasa daerah; termasuk di dalamnya pembinaan terhadap bahasa-bahasa daerah yang hampir punah; 8. Menghidupkan kembali filosofis kearifan lokal, karakteristik dan jatidiri daerah sebagai lambang kebanggaan daerah dan nasional dalam memperkaya khazanah keindonesiaan. 9. Pemetaan bahasa dan sastra daerah, yang di dalamnya dapat juga berupa peta sosial budaya, ekonomi, politik dan pemerataan hasil-hasil pembangunan yang telah, sedang, dan akan dilakukan Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah; 10. Pemetaan sosial budaya, ekonomi, dan pembangunan dapat menjadi jendela dunia dan sarana promosi daerah dalam era globalisasi dan perdagangan bebas, serta peningkatan sumberdaya manusia Dayak dalam pergaulan baik nasional maupun internasional.

2 komentar:

wishnu singapari mengatakan...
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
wishnu singapari mengatakan...

Saya sangat tertarik dengan photo riam Tumbang Mirah-nya. Kalau berkenan tolong kirimi saya foto tersebut melalui email. Sebelumnya diucapkan banyak terima kasih.