24 Maret, 2008

‘KEMERDEKAAN’ ORANG DAYAK (NGAJU) DAN PENCARIAN IDENTITAS BUDAYA YANG HILANG

Tulisan ini juga dimuat di Harian Kalteng Pos oleh: Anthony Nyahu*)
Tulisan ini diketengahkan didasari atas keprihatinan yang mendalam terhadap situasi degradatif budaya dan moralitas Dayak (Ngaju) sebagai kesatuan etnisitas dan salah satu identitas kolektivitas budaya di Indonesia. Dalam konteks budaya yang lebih luas, budaya termanifestasi sebagai citra perilaku normatif yang adaptif searah kemajuan zaman dengan tanpa kehilangan identitas sebagai karakteristik budaya bangsa. Dalam proses tersebut, budaya Indonesia pun berada di sebuah persimpangan. Seperti apakah wujud dari sebuah budaya Indonesia? Padahal, budaya Indonesia yang dikenal beragam tidak serta merta harus menonjolkan keseragaman. Karena beragamnya suku dan budaya itulah, Indonesia menjadi sebuah kesatuan nasional dengan semua esensi yang terkandung di dalamnya, termasuk keberagaman budaya dan yang tak kalah penting, persoalan bahasa sebagai manifestasi budaya manusia. Artikel ini diharapkan mendudukkan kembali persoalan ’kemerdekaan’ budaya Dayak (Ngaju) selama ini dipandang telah kehilangan identitasnya, terutama persoalan bahasa daerah yang semakin termarjinalisasi di tengah himpitan budaya luar dan penetrasi arus globalisasi. Persoalan kebudayaan menjadi topik sentral pada Seminar yang dilaksanakan di Jakarta, beberapa waktu lalu dengan tajuk ”Meletakkan Posisi Kebudayaan dalam Proses Menjadi Indonesia” yang diselenggarakan oleh Lingkar Budaya bekerja sama dengan Harian Kompas. Banyak pihak menilai kegamangan dan pesimistis tentang keterancaman budaya nasional. Terlepas dari institusi yang diperdebatkan untuk mengurusi kebudayaan, ada satu esensi yang dianggap sangat krusial menjadi isu prioritas pada seminar tersebut adalah bagaimana budaya Indonesia mencari bentuknya, atau ber-reinkarnasi menjadi budaya baru yang globalistis, hedonis, dan cenderung konsumtif. Indikator kemapanan, life style dan perilaku hedonistis lainnya dipandang sebagai suatu bentuk budaya baru yang menjadikan manusia Indonesia lebih ’Indonesia’. Dimensi perilaku yang realitasnya muncul dalam keseharian adalah berbentuk dalam sebuah bahasa (Ninuk Pambudy ” dalam Kompas, 31 Juli 2006 hal. 38). Belum kelar permasalahan budaya dan bentuk normatif serta cara pandang konkret terhadap kebudayaan di Indonesia, kita terus dihadapkan dengan carut-marutnya persoalan bahasa Indonesia dan bahasa-bahasa daerah di Indonesia, salah satunya bahasa (Dayak) Ngaju. Politik bahasa nasional menggariskan tiga hal penting tentang bagaimana peran bahasa daerah, bahasa nasional dan bahasa asing di Indonesia (lihat Sugono dalam Mahsun, 2004). Peran bahasa daerah sebagai pemerkaya bahasa nasional dan sarana komunikasi masyarakat daerah, bahasa nasional sebagai ciri dan identitas budaya nasional serta bahasa resmi negara, serta bahasa asing sebagai sarana komunikasi antarbangsa dalam pergaulan internasional. Kewenangan penyelenggara negara dalam hal kebudayaan dan bahasa daerah diurus lebih gencar oleh Pemerintah Provinsi masing-masing bekerja sama dengan Pemerintah Pusat sesuai dengan tugas dan tanggung jawab negara melindungi dan memajukan budaya dan bahasa nasional dan daerah. Dalam konteks kebudayaan secara khusus di Kalimantan Tengah, esensi kebudayaan cenderung dipandang dari segi material, padahal setidaknya ada tiga dimensi dalam kebudayaan, yakni dimensi ide, dimensi material dan dimensi perilaku menurut Ninuk Pambudy. Dimensi material cenderung menyempitkan makna budaya secara umum, terlihat pada bidang seni dan bentuk-bentuk peninggalan masa lalu, seperti karya arsitektur, prasasti dan bangunan candi. Sedangkan dimensi ide menyangkut nilai-nilai kehidupan, tujuan-tujuan, dan cita-cita yang cenderung utopis dan dikemukakan sebagai suatu arahan untuk bergerak maju. Sudut pandang yang sempit terhadap kebudayaan dari dimensi material cenderung meninggalkan dimensi lain yang tak kalah penting, yakni dimensi perilaku. Eksistensi budaya dilihat sebagai unsur komoditas telah menyepelekan dimensi perilaku dan dimensi ide yang tumbuh dan selalu dinamis dalam kehidupan sosio-kultural. Dalam beberapa dekade perhatian budaya di Kalimantan Tengah masih terjebak dalam paradigma lama, yaitu bagaimana dimensi budaya meninggalkan dimensi ide dan perilaku (baca: bahasa). Kebudayaan sebagai objek komoditas yang berujung pada feedback untuk menuai investasi dan pendapatan daerah tetapi melupakan bagaimana dimensi ide sebagai subjek yang harus tetap dikembangkan berdasarkan perilaku dari pelaku dan pemilik kebudayaan itu sendiri. Persoalan nation and character building atau pembangunan watak dan bangsa menjadi isu sentral yang seolah tak pernah kering dalam membangun dimensi kebudayaan, terutama kebudayaan Dayak di Kalimantan Tengah. Dalam hubungannya dengan bahasa sebagai dimensi perilaku dalam kebudayaan, oloh itah sebagai ungkapan aksioma pemilik kebudayaan (di Kalimantan Tengah) telah mengalami degradasi yang signifikan. Perilaku berbahasa masyarakat Kalimantan Tengah (baca: oloh Ngaju), justru secara epistemologis telah kehilangan identitas. Perilaku tersebut telah menggeser jati diri dan identitas orang Ngaju yang tidak lagi memiliki kebanggaan akan bahasanya (language pride) yang bermuara pada ketidaksetiaan berbahasa (language inloyalty) (periksa Suryanyahu, 2005, ”Situasi Kebahasaan Penutur Jati Bahasa Ngaju di Kota Palangka Raya”, laporan penelitian pada Balai Bahasa Provinsi Kalimantan Tengah) dan ”Situasi Kebahasaan di Kabupaten Katingan: Antara Pergeseran (Language Shift) dan Prakondisi Kepunahan Bahasa ”, Katingan Pos, Minggu I/Juni 2003). Oloh Ngaju cenderung lebih bangga dengan identitas lain (baca: bahasa lain) yang menuntut cara pandang sosial baru dengan menanggalkan identitasnya. Cara pandang sosial baru yang dianggap lebih bergengsi inilah yang kemudian mengaburkan identitasnya. Fauzi dalam Banjarmasin Pos, Juni 2004 mengetengahkan bahwa persoalan kebanggaan berbahasa terkait dengan terminologi Ngaju sebagai alasan utama, karena terikat dengan wilayah geografis dan identik dengan cara pandang yang ’terbelakang/udik’. Padahal dalam realitasnya, oloh Ngaju- suka atau tidak- menjadi orang-orang yang unggul di dalam berbagai bidang bagi sumbangsih pembangunan Kalimantan Tengah dengan tidak mengurangi peran suku-suku lain tentunya, itulah kenyataan yang harus diterima sebagai kekayaan dan identitas Kalimantan Tengah, khususnya budaya Dayak. Bayangkan ketika tamu dari luar Kalimantan Tengah bertanya-tanya, apa ciri khas daerah ini? Kita selalu merujuk preferensi kepada sebuah dimensi material dari sebuah budaya. Dimensi ide, meskipun abstraktif dan dimensi perilaku (bahasa) menjadi terlupakan. Jarang kita temui bahasa daerah sebagai ciri khas dan identitas budaya menempati tempat yang layak dan semestinya di provinsi berjuluk Tambun Bungai ini. Khalayak luar pun jadi bertanya-tanya tanpa meninggalkan impresi yang mendalam tentang Kalimantan Tengah, kecuali tarian, patung dan dimensi material lainnya. Politik bahasa daerah di Kalimantan Tengah menjadi prioritas yang kesekian dibanding infrastruktur politik lainnya. Bandingkan dengan di Jogjakarta, dengan kebanggaan budaya lokalnya, terutama bahasa. Nama-nama tempat dan jalan menempati urutan kedua tentunya setelah bahasa Indonesia agar mudah dipahami oleh orang luar, selanjutnya bahasa asing menjadi urutan ketiga dalam ruang publik, atau lebih jauh Jepang dengan kebanggaan terhadap bahasa dan budayanya. Melalui bahasa sebagai gerbang pengenalan budaya secara umum, pemahaman lintas budaya akan semakin tinggi dan pemahaman terhadap ke-bhinneka-an pun semakin diperkaya. Mau tidak mau, suka tidak suka, oloh itah harus digugah dengan politik bahasa dan penyadaran publik (public awareness) terhadap kebanggaan berbahasanya, yang bermuara pada kebanggaan budaya dengan strategi perencanaan dan politik bahasa (language planning and language policy) yang mengedepankan pembangunan dimensi ide dan dimensi perilaku dari kebudayaan. Esensi tersebut meliputi pembangunan karakter dan moralitas manusia Dayak yang lebih beradat, bermartabat, dan intelek pada pergaulan nasional dan internasional. Pembangunan moralitas dan karakter manusia Dayak sejak dini dalam pergaulan, pendidikan, dan sosial, konkretnya, misalnya berupa pendidikan muatan lokal bahasa Ngaju pada pendidikan 9 tahun yang mencakup pendidikan moral dan filosofi luhur bagi peserta didik. Belum lagi persoalan eksistensi hukum adat yang semakin rapuh karena tidak berjalan seiring dengan hukum publik, sehingga orang mudah saja untuk melecehkan budaya lain. Petuah-petuah dan filosifi usang yang dianggap tidak relevan dengan perkembangan zaman, padahal itulah warisan budaya leluhur yang ampuh menjdadi moral guidance dalam menghadapi penetrasi budaya luar dan globalisasi. Indonesia telah merdeka selama 62 tahun namun ’kemerdekaan’ itu belum mutlak dimiliki dan dirasakan oleh orang Dayak (Ngaju). Tendensi oloh Ngaju lebih bangga dengan identitas budaya (bahasa) lain merupakan indikator bahwa orang Dayak (Ngaju) belum merdeka dan belum siap bangga untuk menjadi diri sendiri. Mengapa harus menjadi orang lain, bukankah bahasa menunjukkan bangsa? Kalau memang harus berbeda, kenapa tidak? Dari perjalanan dan pemahaman lintas budaya, kita seharusnya semakin sadar dan bangga bahwa bahasa dan budaya kita adalah kekayaan yang kita miliki dan tidak ada DUA-nya di dunia. Bukankah perbedaan adalah kekayaan yang menjadikan Indonesia itu ada? Itulah kita--dengan segala kekurangan dan kelebihan sebagai manusia-- mengapa harus secara artifisial bangga menjadi orang lain dengan segala perilaku budayanya? Hingga detik ini pun, orang Dayak (Ngaju) masih ragu-ragu dan malu-malu kucing untuk berteriak merdeka ”JITE LAH AKU, OLOH NGAJU! BUHEN KUAM??” yang artinya ” ITULAH AKU, ORANG (DAYAK) NGAJU. MEMANG KENAPA?? MERDEKA!!!

Tidak ada komentar: