24 Maret, 2008

BUDAYA KECOLONGAN DAN KECOLONGAN BUDAYA: REFLEKSI DAN PENYEGARAN KEMBALI PEMIKIRAN SUKU DAYAK (NGAJU)

Oleh: Anthony Nyahu*)
Tulisan ini dihadirkan dengan maksud untuk tidak saling menyalahkan dan mencari kambing hitam atas beberapa situasi ‘kecolongan’ yang telah terjadi pada berbagai aspek terhadap keberadaan Suku dayak secara umum.Tulisan ini semata-mata untuk sekedar pencerahan (enlightment,reintrospeksi,) dan penyegaran kembali pemikiran Oloh Itah.
Menarik sekali tulisan Sdr. Rony Teguh pada kolom opini Kalteg Pos (5/3/05) yang telah mengetengahkan persoalan ‘kecolongan’ beberapa benda purbakala ritus Suku Dayak. Saya sebagai oloh itah tergelitik untuk ikut sekedar urun rembug. ‘Kecolongan’ demi ‘kecolongan’ telah, sedang, dan akan tejadi—yang kita tahu dan terjadi di depan pelupuk mata kita—seolah-olah tidak kita sadari atau memang berpura-pura untuk tidak kita sadari. Kita seolah hanya bisa meratapi terhadap ‘sesuatu’ yang hilang tanpa ada upaya kolektif –atau setidaknya mengembangkan kembali solidaritas etnis—untuk berupaya melakukan tindakan preventif agar tidak terulang. Kita dihadapkan dengan suatu paradigma baru, di mana kadar kedar kebanggaan kita ‘nasion’ atau ‘etnis’ dan budaya sendiri telah mengalami degradasi. Tidak mustahil gejala dari paradigma ini akan mengalami eskalasi yang tak terbendung di masa yang akan datang. Oloh Itah akan semakin rapuh dalam mengahadapi berbagai situasi yang terjadi secara invatif. Dalam kondisi seperti itu, kita mudah sekali disusupi, diprovokasi, dan ‘diperbodoh’akibat rendahnya ikatan persatuan dan kesatuan sesama suku. Seolah kita terlalu sibuk untuk memperhatikan dan peduli dengan berbagai ‘kecolongan’ tersebut dan menjadi hal yang ‘biasa’. Bahkan secara hiperbolik, pakaian di badanpun bisa ‘kecolongan’. Suku Dayak (Ngaju) telah mengalami begitu banyak kehilangan. Budaya dan kearifan tradisional telah terkontaminasi. Kita selalu dihadapkan dengan persoalan yang sama: pasrah dan apatis terhadap keadaan. Padahal tidak sedikit Oloh Itah yang telah menjadi tokoh nasional, cendekiawan dan berpengaruh yang dapat bersuara lantang atas situasi yang membelit sekarang ini.Akankah harus menunggu figur seperti Tjilik Riwut-Tjilik Riwut baru untuk mengatasi keadaan di Bumi Tambun Bungai ini? Tokoh yang dinanti-nantikan masyarakat Suku Dayak—seperti dalam kultur Jawa: ‘satrio piningit’—itu masih sumir (absurd). Tolong tanyakan kasus kecolongan di atas, siapakah yang paling merasa kehilangan? Tentu kita jumpai beragam jawaban pembenaran dan saling lepas tangan, terkecuali bagi yang masih merasa bahwa Dayak adalah sukunya dan leluhurnya ada di Bumi Tambun Bungai ini. Saling lepas tangan bukanlah suatu solusi, namun yang terpenting adalah bagaimana mengurut benang yang sudah mulai kusut ini. Kita tidak membutuhkan justifikasi atas ketidakberwenangannya kita tetapi hal yang harus dicermati adalah faktor penyebab dan institusi yang menangani hal tersebut dan dituntut pertanggungjawabannya di depan publik, terutama Suku Dayak secara umum. ’Kecolongan’ kita tidak hanya semat-mata dalam bentuk fisik. Beberapa HAKI (meminjam istilah Sdr. Rony) kita tidak pernah dipatenkan untuk mendapatkan sertifikasi secara kolektif. Lebih-lebih lagi, tidak adanya regulasi untuk tidak mengomersilkannya untuk kepentingan pribadi atau golongan dengan alasan apapun. Kalau dirunut, kehilangan kita telah banyak dalam senarai ingatan kita. Kita telah kehilangan kekuasaan sebagai pemangku wilayah adat (kaleka dan pukung-pahewan), kehilangan integritas kita sebagai masyarakat yang arif terhadap alam (illegal logging , PETI, dll.), kehilangan aset budaya (seperti yang baru saja kita alami), dan menurut asumsi penulis, lambat-laun kita akan kehilangan identitas –misalnya, bahasa (Basa Ngaju) yang semakin terdesak oleh bahasa Banjar. Para generasi muda kita lebih suka dan bangga menggunakan bahasa dan identitas lain yang bukan identitasnya (bdk. Suryanyahu dalam Katingan Pos, Minggu I/ Mei 2003).Akankah kita—sekali lagi—meratapi semuanya? Tidak menutup kemungkinan untuk masa yang akan datang kita belajar budaya dan filsafat Dayak di Leiden untuk menggali identitas yang hilang. Kita seolah dininabobokkan oleh euforia dan konstelasi politik, ekonomi, dan hiruk-pikuknya deru pembangunan. Kita seolah memosisikan diri sebagai penontan, pasif, dan menjadi generasi yang apatis. Kita tidak harus menjadi tokoh apabila kita ingin menggulirkan perubahan demi kemaslahatan Suku Dayak. Kita tidak harus serta merta menjadi nomor satu apabila kapabilitas kita secara jujur kita akui menjadi nomor sepuluh. Kita tidak harus menjadi panglima apabila keterampilan kita hanya sebatas ‘upas’. Yang terpengting adalah bagaimana cara kita ikut memeberikan kontribusi positif dengan tidak saling menyalahkan. Kita dibanggakan dengan beragam labelisasi dari pihak lain. Lalu muncul ‘pangkalima’, dan ’pangeran’, yang tidak jelas indikatornya untuk maksud apa. Labelisasi yang tidak dikenal oleh para orang tua kita bahkan para leluhur kita. Secara implikasional, labelisasi semacam itu justru mengaburkan identitas kita sendiri dengan lebih bangga menggunakan identitas yang lain. Pemakaian gelar tamanggung juga tidak jelas pemerolehannya baik secara genetika maupun pengaruh dan kewibawaannya. Secara moralitas kita dicerca. Stigmatisasi demi stigmatisasi kita tuai. Kita justru menepuk dada dengan ‘kemenangan’, dan jargon panji-panji perang: “kita telah menegakkan entitas etnis”. Untuk hal ini –kalau posisi kita terpojok dan terpaksa—kita bahu-membahu di baris depan. Baru bertindak kalau sudah melewati ambang batas. Mengapa tidak kita aplikasikan untuk bahu-membahu membangun Bumi tambun Bungai ini? Kita terjebak dalam lubang yang kita gali sendiri. Analogi tengelamnya perahu karena masing-masing tidak ada yang mau mengalah hanya karena derajat dan pangkat dan masih lekat dengan konsep pemikiran yang (sebagian) masih primordial. Agaknya kita perlu brainstorming dan brainwashing sebagai solusinya guna menyegarkan kembali pemikiran dan filsafat Suku Dayak yang hakiki. Untuk itu diperlukan lokakarya, seminar, bahkan kongres Masyarakat Dayak yang lebih menyentuh berbagai aspek kepentingan Suku Dayak menyangkut budaya dan sistem nilai yang dikandungnya, dengan melepaskan berbagai konflik kepentingan baik politik dan agama. Satu hal yang layak menjadi perhatian kita adalah perlu dilakukan pembenahan sikap secara kolektif,menyangkut aspek kognitif untuk dapat mengakui secara jujur ketidakmampuan dan siap dikritik apabila salah agar hadir pemikiran dan konsep berpikir yang logis dan bertanggungjawab dalam horizon baru. Ketidakmampuan kita tidak serta merta harus maksa arep dan membenarkan kesalahan tetapi lebih memacu kita untuk memperbaiki diri dan terus belajar. Kontribusi moral dan sumbangsih pemikiran yang segar sangat dibutuhkan demi Suku Dayak yang ideal di masa depan. Semua tergantung dari apa yang telah, sedang, dan akan kita lakukan. Terkait dengan kenyataan berbagai persoalan Suku Dayak seperti dipaparkan Sdr. Rony, bahwa ada institusi yang salahkonsep (miskonsepsi) terhadap budaya (baca: Kaharingan) tentunya harus ada klarifikasi yang bersifat institusional dan mendasar dari berbagai elemen yang ‘merasa’ cakap dalam hal tersebut. Tidak sedikit ‘pakar’ budaya Dayak yang kita punya, bahkan para tokoh intelektual yang pernah mengecap pendidikan dalam dan luar negeri. Kita beri dulu kesempatan kepada mereka untuk memberikan kontribusi pemikirannya demi kemaslahatan dan keberlangsungan hidup Suku Dayak yang lebih bermartabat. Akhirnya, dengan segala kerendahan hati penulis mengajak semua elemen yang masih ‘memiliki’ Dayak dan sebagai sukunya untuk urun rembug, berdiskusi, dan pumpung hapakat. Sumbangsih ide dan pemikiran Anda sangat dibutuhkan. Dari berbagai kegiatan tersebut dapat diletakkan dasar dan kerangka berpikir yang benar-benar segar dalam konsep Suku Dayak yang ideal di masa depan. Semuanya tersampir di pundak kita, mau ke mana dan jadi apa Suku Dayak kelak. Semoga!

Tidak ada komentar: