24 Maret, 2008

REKONSTRUKSI POSITIVISME BUDAYA DAYAK DAN BAHASA DAYAK NGAJU DI TENGAH PERGAULAN MASYARAKAT ANEKABAHASA

Oleh : Anthony Nyahu
Tulisan ini diketengahkan sebagai manifestasi dari realitas dan upaya untuk membangkitkan kembali perspektif dan apresiasi positif terhadap budaya dan bahasa Ngaju di Kalimantan Tengah. Konsep-konsep budaya atau kebudayaan yang selama ni memberikan kontribusi positif bagi pengembangan budaya lokal dalam ranah kesepahaman pemikiran masyarakat telah mendudukkan budaya Dayak ( Ngaju) mampu bersesuai dengan kondisi zaman dan peradaban kini sehingga dapat tetap bertahan. Fokus yang akan diketengahkan dalam tulisan ini meliputi dua aspek penting sebagai luaran (output) dari esensi kebudayaan, yaitu bahasa dan religi yang berproses dari hasil pikiran akal budi manusia Suku Dayak. Kebudayaan, sering disinonimkan dengan kultur, yang diambil dari bahasa Latin ‘cultura’ atau ‘culture’ dalam bahasa Inggris, atau dalam bahasa Prancis disebut sebagai ‘la culture’ dan salahsatu artinya adalah “ensemble des aspects intelectueles d’une civilisation” (serangkaian bidang intelektual sebuah peradaban) , bermakna secara umum sebagai hasil kegiatan intelektual manusia, suatu konsep mencakup berbagai komponen yang digunakan oleh manusia untuk memenuhi kebutuhan dan kepentingan hidupnya sehari-hari (Purwasito, 2003:95). Dalam perspektif Barat kebudayaan dipandang dalam perspektif di mana referens yang menjadi fokus adalah intelektual yang mencakup realitas nonfisik meliputi: kognitif, afektif, dan psikomotorik. Sedangkan dalam perspektif Timur kebudayaan dipandang sebagai ‘buddhayah’, yang dipandang sebagai akal budi manusia dalam mengasosiasikan ‘intelektual’ dan pelibatan beberapa aspek yang sama, yaitu pelibatan pancaindera manusia, baik dalam kegiatan pikiran manusia (kognitif), perasaan (afektif), maupun perilaku (psikomotorik). Purwasito (2003) mnedefinisikan bahwa kebudayaan (kultur) sebagai hasil penciptaan , perasaan, dan prakarsa manusia berupa karya yang bersifat fisik dan nonfisik. Taylor (1871) dalam Purwasito (2003:96) mempostulatkan bahwa kebudayaan (kultur) adalah keseluruhan hal yang kompleks termasuk pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, adat-istiadat, dan kemampuan serta kebiasaan yang lain yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat. Mead, seorang antropolog Amerika dalam Purwasito (2003) menyebut bahwa kultur sebagai perilaku pembelajaran masyarakat atau subkelompok. Kegiatan tersebut berlangsung ketika manusia, sebagai subjek sentral dalam kebudayaan mendayagunakan akal budinya (daya, cipta, rasa, dan karsa) untuk mengolah alam dan mengatur lingkungan hidupnya dengan menghasilkan: (1) benda-benda berwujud (cultural materials); seperti: alat-alat kerja, alat-alat pertanian, alat-alat rumah tangga, alat-alat komunikasi, alat-alat perang, dan lain-lain, (2) benda-benda yang tak berwujud (cultural immaterials); seperti bahasa, tradisi, kebiasaan, adat, nilai moral, etika, gagasan-gagasan, religi, kesenian, kepercayaan, sistem kekerabatan, dan harapan-harapan hidup. Hasil budaya imateril inilah lahir dari upaya mengolah pikiran (manusia) melahirkan filsafat dan ilmu pengetahuan yang berupa teori-teori. Konsep pemikiran tentang kebudayaan (kultur) dipandang sebagai konsep yang global, di mana keseluruhan proses yang berlangsung dalam esensi makna kebudayaan melibatkan berbagai aspek yang dihadapi manusia berkenaan dengan lingkungan masyarakatnya. Ia dapat saja berupa kedua jenis hasil kebudayaan di atas (berwujud dan tak berwujud), yang dapat dipelajari, dipertukarkan, ditransformasikan, dari generasi ke generasi pada suatu masa yang tidak dapat ditentukan. Hal yang perlu diimgat adalah kebudayaan tidak serta merta hadir dan dipaksa untuk direkayasa, namun diperoleh melalui rangkaian proses dan waktu yang lama dan perpetual. Hal ini sejalan dengan konsep pemikiran Liliweri (2002) bahwa pengertian kebudayaan dalam arti luas adalah perilaku yang tertanam, ia merupakan totalitas dari sesuatu yang dipelajari manusia, akumulasi dari pengalaman yang dialihkan secara sosial (disosialisasikan)….dalam bentuk perilaku melalui pembelajaran sosial (social learning). Unsur-unsur dalam Kebudayaan Koentjaraningrat (1990) sepakat dengan mengangkat unsur-unsur kebudayaan seperti yang diajukan Kluckhohn (1953) dalam Universal Catagories of Culture,bahwa ada tujuh unsur kebudayaan yang universal, meliputi (1) bahasa; (2) sistem pengetahuan; (3) organisasi sosial; (4) sistem peralatan hidup dan teknologi; (5) sistem mata pencarian hidup; (6) sistem religi; dan (7) kesenian. Dari ketujuh unsur tersebut, di sini unsur (1) bahasa akan lebih mendapatkan perhatian dengan tanpa mengurangi pentingnya unsur-unsur lainnya. Dasar pemikiran ini dengan alasan bahwa bahasa memegang peranan yang strategis dalam proses sosialisasi dan transformasi kebudayaan, baik melalui konteks komunikasi maupun pemahaman lintas budaya (intercultural understanding). Dua konteks di atas merupakan landasan berpikir tentang pemahaman kajian budaya (cultural studies), yang salahsatunya mengkaji tentang komunikasi multikultural yang multidisipliner, misalnya etnografi komunikasi. Komunikasi multikultural lebih menekankan kepada manusia sebagai subjek utama, kebudayaan sebagai sumber pengetahuan (referensi), masyarakat sebagai bangunan dan wahana berkomunikasi (lihat Purwasito, 2003:104). Dalam hal ini, komunikasi multikultural (anekabudaya) wajib secara bebas meminjam teori, metodologi, dan pendekatan dari displin ilmu-ilmu sosial dan cabang ilmu humaniora, mengingat dalam kajian komunikasi anekabudaya bersinggungan secara langsung dengan ilmu tentang: (1) manusia; (2) bahasa; (3) kebudayaan; (4) masyarakat; dan (5) komunikasi. Bahasa Dayak Ngaju Sebagai Kebudayaan Suku Dayak di Kalimantan Tengah Masyarakat budaya di Kalimantan Tengah, seperti halnya masyarakat-masyarakat lain di Nusantara, sangat kaya akan ragam budaya, salahsatunya bahasa. Poerwadi (1993) dalam Elbaar (1995) mengklasifikasi sebanyak tiga puluh bahasa dan dua puluh dialek (?) tersebar di Kalimantan Tengah. Satu hal yang menjadi perhatian penting adalah bahasa Ngaju. Bahasa Ngaju telah mampu menjadi bahasa pengantar (lingua franca) dan bahasa pemersatu antarsuku di Kalimantan Tengah, tidak terlepas dari kekuatan bahasa Ngaju menembus lintasetnis dan geografis. Bahasa Ngaju juga telah distandardisasi dan memiliki jumlah penutur mayoritas. Di samping itu, bahasa Ngaju memiliki kedudukan dan fungsi yang amat penting dalam sejarah perkembangan Suku Dayak di Kalimantan Tengah. Ia dipakai oleh para cendekia dan sebagai bahasa pengantar dalam kegiatan keagamaan (dalam kebaktian di gereja-gereja) dengan telah diterjemahkannya Alkitab yang berbahasa Indonesia ke dalam Surat Barasih dalam bahasa Ngaju. Menurut analisis leksikostatistik Poerwadi (1993), jumlah penutur Ngaju di Kalimantan Tengah kira-kira mencapai 800.000 orang, diikuti bahasa Maanyan 125.000 penutur, dan Lamandau sebanyak 50.000 penutur. Sisanya meliputi seuluh bahasa kecil-kecil. Bahasa Ngaju telah memegang peranan yang sangat penting dalam tindak komunikasi di Kalimantan Tengah. Diakui atau tidak, sebagai bahasa mayoritas penduduk Kalimantan Tengah, bahasa Ngaju mengalami stabilitas pemakaian yang konstan berdasarkan pemertahanan dan jumlah penuturnya yang mencapai lebih dari setengah jumlah penduduk Kalimantan Tengah (lihat Elbaar, 1995). Berpijak dari realitas demikian, sebagai ‘pemlik’ bahasa Ngaju, kita tidak harus serta-merta terbuai dengan situasi stabilitas bahasa Ngaju dalam beberapa dekade ini.Gejala-gejala ketidakstabilan akan selalu muncul, persaingan bahkan pergeseran bahasa Ngaju masa kini dan akan datang. Gejala-gejala yang dihadapi bahasa Ngaju dan penutur Ngaju adalah kecenderungan munculnya bahasa-bahasa baru yang ikut bersaing dan mengambilalih sebagian peran dari bahasa Ngaju. Bahasa-bahasa tersebut adalah bahasa Banjar yang dalam beberapa tahun belakangan ini eskalasi pemakaiannya semakin meluas (lihat Suryanyahu, “Refleksi Situasi Kebahasaan di Katingan: antara Pergeseran dan Kepunahan Bahasa, Katingan Pos, minggu I/Juni 2003). Bahasa Banjar selain dipakai sebagai bahasa pengantar bagi transaksi niaga juga digunakan oleh sebagian remaja perkotaan utnuk berkomunkasi dalam situasi informal, alih-alih bahasa Ngaju. Apabila situasi ini dibiarkan tanpa upaya yang lebih optimal, lambat-laun peran dan fungsi bahasa Ngaju yang selama ini dipakai dalam ranah tak resmi akan bergeser. Bahasa yang berikutnya potensial menggeser peran bahasa Ngaju adalah bahasa Indonesia. Namun tidaklah cukup beralasan, karena eskalasi pemakaiannya hanya merambah ranah rendah dan informal saja. Selama ini pula tidak terjadi ketimpangan pembagian peran dan distribusi fungsi antarkeduanya. Bahasa Ngaju menguasai peran pada ranah rendah (R) dan bahasa Indonesia pada fungsi dan peran tinggi (T). Keduanya telah mengalalami siatuasi diglosik yang seimbang (win-win situation) dan apabila situasinya ada ketimpangan (win-lose situation), maka yang akan terjadi adalah bergeser dan bahkan punahnya salahsatu bahasa. Upaya pemertahanan bahasa Ngaju dalam beberapa ranah dan fungsi telah dilakukan, di antaranya dengan pembelajaran bahasa Ngaju di sekolah-sekolah, dipakainya bahasa Ngaju sebagai pengantar keagamaan, dan pemasyarakatan bahasa Ngaju melalui media massa baik cetak maupun elektronik. Tentu saja dengan tidak menanggalkan peran dan fungsi bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional dan bahasa persatuan. Upaya-upaya tersebut haruslah terus digalakkan, mengingat belum adanya strategi, politik, pemertahanan, dan kebijakan bahasa di Kalimantan Tengah. Di samping itu, hal yang tak kalah pentingnya adalah peningkatan apresiasi dan sikap positif masyarakat penutur Ngaju sendiri, yang justru akan memanjangkan ‘umur’ bahasa Ngaju sehingga dapat diwariskan inter dan antargenerasi. Religi Kaharingan dalam Kebudayaan Suku Dayak di Kalimantan Tengah Kaharingan merupakan sebuah sistem religi, falsafah, dan pandangan hidup (way of life) yang menjadi pegangan moral (moral guidance) tertua bagi Suku Dayak di Kalimantan Tengah. Ia mengandung nilai-nilai, perangkat norma-norma luhur tentang pandangan Suku Dayak tentang hidup dan kehidupan, yang terejawantah dalam hubungan dwiarkis: vertikal dan horisontal. Hubungan yang bersifat vertikal, yaitu hubungan antara manusia dengan Tuhannya—dalam hal ini Ranying Hatalla Langit—dan hubugan horisontal, meliputi hubungan interpersonal (antarmanusia, antarindividu) dalam masyarakat. Kaharingan tidak dipandang dalam perspektif sempit dalam makna budaya, tetapi lebih diasosiasikan dan tidak sebagai animisme dan dinamisme, namun lebih kepada monotheisme dan monolitik yang absolut. Dalam konsep pemikiran ini, Kaharingan tidak dipandang sekadar sebagai sebuah aliran kepercayaan, tetapi lebih dilihat secara objektif dan jujur sebagai suatu agama (terlepas dari jumlah pemeluk dan sistem religiustasnya). Semua prasyarat yang mengondisikan Kaharingan menjadi sebuah agama telah terpenuhi, di antaranya sistem nilai dan norma, kitab suci, dan tatanan pelaksanaan religiusitasnya, serta yang tak kalah pentingnya adalah adanya pengakuan kepada Tuhan yang Esa. Persoalan yang akan diketengahkan di sini adalah, terjadinya kesalahkonsepsian (miskonsepsi) dan kesalahpahaman (misunderstanding) tentang Kaharingan dan budaya (baca: Dayak) secara umum oleh sebagian orang yang tidak terlalu memahami Kaharingan sebagai sebuah religi dan budaya. Mempelajari budaya (Dayak) tidak harus serta-merta secara otomatis dan praktis berarti mempelajari (memeluk) Kaharingan. Padahal tidak demikian halnya, budaya adalah budaya—sebagai luaran kebudayaan—dan religi adalah religi, yang tidak dapat dipertukarkan. Harus dapat dipisahkan antara Kaharingan sebagai agama dan budaya sebagai budaya. Budaya lebih dipandang secara universal, sebagai hasil dari daya, cipta, dan karsa manusia. Apa yang telah menjadi hasil kebudayaan—daya, cipta, dan karsa—manusia suku Dayak merupakan aset yang bernilai tinggi, dengan terlebih dulu melepaskan atribut Kaharingan sebagai agama.Hal yang tidak dapat dipungkiri adalah bahwa dalam ritualitas Kaharingan dipandang sebagai tatanan dan sistem religiusitas. Berbeda ketika adat-istiadat, pranata sosial, dan tradisi sebagai hasil kebudayaan atau kesenian. Dua hal ini yang dipandang sering mengalami miskonsepsi dan kerancuan. Mari berpkir secara analitis-sintetik, bahwa budaya harus dicermati secara parsial menuju komprehensif dan Kaharingan sebagai mazhab religiusitas, meskipun keduanya memiliki korelasi dan koherensi yang sulit untuk dipisahkan. Misalnya, kajian tentang bahasa Sangen (Sangiang) adalah murni merupakan kajian bahasa, terlepas dari unsur-unsur lain. Perkara bahasa Sangen digunakan sebagai pengantar ritualitas itu soal lain. Sehingga, pada gilirannya Kaharingan tidak selalu menjadi eksklusif tetapi inklusif dan dapat dipahami oleh semua orang meskipun bukan pemeluk Kaharingan. Atau mari memandang budaya Dayak sebagai sebagai budaya yang dimiliki secara kolektif oleh semua masyarakat suku Dayak di Kalimantan Tengah, terlepas apakah dia pemeluk Kaharingan atau bukan. Kebudayaan Dayak adalah kebudayaan mlik bersama, maka tanggung jawabnya pun secara kolektif, bukan disampirkan kepada segelintir orang Dayak pemeluk Kaharingan saja. Budaya dimiliki secara kolektif, agama dimiliki oleh penganutnya, begitu juga bahasa, kesenian, dan lain-lain.

Tidak ada komentar: