Anthony Nyahu*
“...metoh toh ikei lagi kuman. En ketun hekau nahu narai?”
Itulah kalimat pendek sebagai penutup dialog yang membuat saya terperangah. Dialog yang dilakukan oleh seorang ibu parobaya dengan salah satu anggota keluarganya dalam telepon genggam. Hal itu terjadi di suatu rumah makan lesehan. Sengaja tidak saya muat dialog pembukaan yang awalnya cukup simpatik. Jika sedang minum, mungkin saya akan tersedak-sedak kaget diberondong oleh aneka pertanyaan menohok. Beginikah cara komunikasi seorang tua dengan keluarganya di telepon genggam? Inikah ‘kekerasan bahasa’ seorang tua di tengah para cucu dan anak-menantunya—yang bersama-sama dengannya?
Sengaja pula saya tebalkan kata nahu pada kalimat di atas, yang merupakan tuturan colloquial untuk kata manahu. Mengapa saya sebut ‘kekerasan bahasa’ untuk sekadar menggantinya dengan ‘kekasaran berbahasa’? Saya yakin orang Dayak Ngaju atau Oloh Ngaju yang baik tentu tidak akan menggunakan bahasa-nya tidak sesuai pada tempat dan situasinya. Rupanya tidak berlaku kepada sang ibu itu ketika berdialog dengan ‘keluarganya’. Pun itu dilakukan di tempat umum, di tengah-tengah para anak-cucu-menantu dan orang lain yang mungkin sebahasa dengannya.
Kata kerja nahu atau manahu bermakna ‘memberi makan/memberi sesajen kepada makhluk halus’. Kelas kata nominanya menjadi panahu, sedangkan kegiatan/tindakan yang melingkupi makna verba nahu atau manahu dilakukan pada sebuah tempat sakral berupa rumah-rumahan kecil bertiang yang disebut patahu, karamat, atau tempat menaruh sesajen pada anyaman bambu yang disebut ancak. Untuk menyimbolkan kata kerja ‘makan’ terdapat sinonimi dalam Basa Ngaju yakni kuman, kinan (ragam halus atau netral) dan mandurak, manyombol, manocoh dan manahu (ragam kasar). Penggunaan ragam kasar cenderung dihindari atau tabu; dapat digunakan dalam kondisi instabilitas emosional dan kata manahu atau nahu hanya dibatasi untuk konteks ‘memberi makan makhluk halus/memberi sesajen’.
Saya tertegun, meski kejadian ini hanya sebuah gejala. Mungkinkah gejala demikian menunjukkan betapa parahnya gejala pemakaian Basa Ngaju di masa kini telah jauh bergeser atau memang si penuturnya tidak pernah mengenal ragam bahasa halus untuk berkomunikasi dengan siapapun—termasuk di lingkungan keluarga sendiri? Atau inikah prakondisi ‘kekurangajaran berbahasa’ gaya baru yang harus didengar oleh orang lain? Saya justru mempertanyakan lagi apakah si penutur itu pernah mengenyam kehidupan budaya Dayak Ngaju, atau lebih parahnya lagi—setahu saya—mungkin ia adalah orang gila dan menjadi gila karena ucapannya sendiri (jika dalam kamus Oxford bertanda seru di dalam segitiga—tabu) dan itu harus didengar orang lain yang mungkin mengerti tuturan bahasanya.
***
Suku Dayak Ngaju atau dikenal dengan Oloh Ngaju mempunyai sejarah panjang tentang tradisi lisan di Kalimantan Tengah. Meskipun mereka bukan hidup dalam tradisi tulis, dahulu bukan berarti mereka kurang bermartabat. Hal ini dapat dilihat dari berbagai kecerdasan lingusitik mereka dalam menggunakan bahasa-nya dan ‘menganyam’ kata-kata pada berbagai bentuk karya sastra lisan. Perbendaharaan kosakata (vocabularies) Basa Ngaju pada dasarnya sangat kaya. Seseorang yang menggunakan bahasanya dengan baik menunjukkan betapa bermartabatnya si penutur. Memang, dalam konteks Basa Ngaju tidak mengenal unda-usuk bahasa, namun bukan berarti si penutur dapat menggunakan diksi bahasanya dengan seenaknya. Ada semacam konvensi yang boleh dan tidak boleh digunakan dalam berkomunikasi antarsesama penutur Basa Ngaju. Dengan kayanya sinonimi, maka pilihan kata atau diksi sangat mutlak untuk dikuasai, sehingga baik dalam konteks verbal maupun literal, si penutur tidak dianggap kurang bermartabat. Selain kosa kata di atas, masih banyak lagi kosa kata lain yang menyiratkan aneka bentuk dan ragam. Misalnya, kata ‘kawin’ dalam bahasa Indonesia, di dalam Basa Ngaju dapat digunakan kata manduan akan kabalie, hinje amak, manampa kabali-baloh (ragam halus) dan kawin (netral), serta masawe (laki-laki)-babane (perempuan)(ragam kasar—namun pada beberapa tempat dianggap netral—AN). Selain itu, oloh Ngaju juga mampu menyusun kosa kata-kosa kata indah dalam peribahasa sebagai bimbingan moral (moral guidance). Hal ini dapat dilihat dari aneka pepatah-petitih, tanding-tampengan, dan lain-lain.
Di dalam dunia sastra lisan, kecerdasan linguistika oloh Ngaju telah terbukti. Ada beberapa jenis yang masih belum punah, misalnya sansana, deder, dan karungut. Selain ketiga yang disebutkan itu, ada puluhan jenis lainnya yang menunjukkan kepada kita betapa para leluhur sangat pandai ‘bermain indah’ dengan bahasanya. Mereka pandai menyajikan rima kata-kata pada deder dan karungut-nya. Mereka juga pandai melagukannya sehingga menjadi media penghibur di suatu musim dalam konstelasi kehidupan budaya mereka.
***
Demikianlah kenyataannya. Jika kita kembali kepada kalimat dialog di atas. Saya serta merta membayangkan entah kata apalagi yang lebih kasar digunakan oleh para cucu yang mendengar percakapan itu. Di kemudian hari, perilaku berbahasa itu secara alamiah akan ‘diwariskan’. Sungguh, sebagai oloh Ngaju--dalam terminologi saya adalah “oloh Ngaju/kaum yang selalu di depan/maju” merasa miris dan prihatin. Inilah gejala baru yang akan ‘membunuh’ kemartabatan Basa Ngaju atau inikah penyakit iliterasi yang telah menggerogoti jantung bahasa kita? Memang di dalam berbahasa tidak ada polisi yang mengaturnya; tidak ada perda yang akan mengikat seseorang penutur (Basa Ngaju)untuk bertutur secara sopan dan etis di muka umum. Akan tetapi, semuanya bermula dari kita (para penutur) dalam memberikan contoh kemartabatan berbahasa itu. Kita sepantasnya malu--sebagaimana kita menggunakan bahasa-bahasa lain: Indonesia dan Asing—sebagai penutur, kita tidak cukup arif dalam menentukan pilihan kata (diksi) Basa Ngaju di tengah ‘belantara’ kekayaan kosa katanya. Sehingga sebuah pertanyaan selayaknya diajukan: masihkah kecerdasan linguistik kita di masa lalu, baik dalam berbahasa maupun bersastra dijadikan sebagai dasar indikator betapa kurang bermartabatnya kita oloh Ngaju sebagai “orang maju” di masa kini? Bahasa menunjukkan bangsa, kata orang bijak. Tentu kurang bijak apabila dalam hal berbahasa pun kita tidak mampu menunjukkan betapa bermartabatnya kita, utus Dayak Ngaju itu. [*AN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar