Anthony Nyahu
Telepon genggam saya meronta sore itu. Seorang teman yang sedang menyelesaikan disertasi doktoralnya di sebuah universitas ibukota negara ini, menelepon. Dia meminta saya untuk menggantikan peran seorang pakar untuk memberikan catatan atas sebuah draft buku. ‘Buku’ yang konon tebalnya empat puluhan halaman. Saya terpana. Antara ya dan tidak, saya berpikir. Saya bukan pakar, jawab saya. Disiplin ilmu saya memang mempelajari masalah bahasa. Tapi, bagi saya tetap tokoh yang akan saya gantikan itu, tentu bukanlah setaraf dengan saya. Saya merasa bukan apa-apa kalau dibandingkan dengan tokoh tersebut. Pun, persoalan buku yang akan ‘didiskusikan’ itu ditulis oleh seorang yang selama ini dijadikan rujukan tentang folklor lokal. Namun, tak satupun metode ilmiah ilmu folklor termaktub di dalamnya. Rupanya karyanya selama ini dianggap sebagai “chef d’ oefre”, “tak terbantahkan”, “tak ada duanya” 1) .
Karya-karyanya, tentu saja bukan sebuah “par excellence”. Saya dan orang banyak tidak menyangkal terhadap apa yang telah dilakukannya selama sekitar seperempat abad dalam bidangnya. Untuk itu, saya kira pantas angkat jempol, namun bukan berarti karya-karya itu menjadi lepas dan tidak boleh dikritisi.
Satu hal lagi, saya katakan bahwa beliau adalah orang tua, apa nanti tidak akan membuat friksi-friksi? Naluri keseganan saya pun muncul. Saya mencoba memberikan gambaran kepada teman saya itu. Jangan-jangan kita nanti dianggap ‘kurang ajar’ terhadap orang tua, saya bersikukuh. Dia berusaha menyemangati dan meyakinkan saya, “Anda seorang linguis”. Jadi, berikan pemikiran-pemikiran linguis dan “pengayaan-pengayaan” karena dalam bidang itu Anda saya anggap kapabel. Atau Anda tidak malu dan tenang-tenang saja ketika bahasa yang Anda pahami diporakporandakan dengan aneka bahasa vulgar yang sangat menjelekkan citra Dayak? Ini dunia ilmiah. Jadi, tidak ada istilah tua-muda, ewuh-pakewuh, yang penting kita mengutarakan kebenaran dan aturan. Ia terus memberikan argumennya. Saya tahu, teman saya ini terbiasa hidup di dunia ilmiah, namun di tengah budaya kita yang tidak terbiasa, bisa saja masukan dianggap sebagai sebuah celaan atas ‘jerih payah’ orang lain. Bukan justru dianggap sebagai pengayaan, dan mengutip kata-kata Dr. J.J. Kusni, seorang sastrawan Dayak yang menyebut “pembaca memiliki kedaulatan atas sebuah karya yang sudah dibuat. Ia akan menempuh jalannya sendiri” 2)
Akhirnya, di tengah berkecamuknya aneka perasaan—kasihan, dianggap nanti saya kurang ajar (walaupun sedikit ‘ilmiah’)--saya terpaksa membersediakan diri.
Vonis pun diketok: menyiapkan bahan presentasi untuk keesokan harinya, sesuai dengan kapasitas saya. Bagaimanapun, saya masih terus berpikir bahwa ‘hasil tulisan’ merupakan “apparatus criticus”, apalagi yang akan diusung adalah tema-tema tentang Dayak, dan akan ‘dibaca’ oleh dunia.
***
Apa yang saya pikirkan sebelumnya memang terjadi benar adanya. Diskusi yang “dianggap” semacam “bedah buku” itu terlaksana juga. Diskusi yang cukup membosankan di tengah “kerumpangan” dan “gap” antara “orang tua” dan ‘dunia’ “anak-anak muda”. Antara “kritisi sebuah karya”, “pengayaan konstruktif” dan pemikiran status quo menjadi tidak nyambung dengan gaya masing-masing. Sebuah waktu yang tersia untuk memupuk etika keilmuan. Padahal, justru di situlah momentum untuk kita membuka diri dan menerima kritik atas apa yang kita lakukan dan meminta perbaikan-perbaikan yang dianggap konstruktif dan bermanfaat. Serta yang paling penting adalah bagaimana sikap ilmiah kita—sebagai sesama penulis—ketika ‘berbicara’ tentang Dayak. Apapun bidangnya, kita harus menjadi “mercusuar” Dayak untuk dunia. Sehingga apabila kita keliru, kita diingatkan oleh penulis lain/pembaca/kritikus—sebagai tanda sayang. Apalagi untuk sebuah nilai filosofi kedayakan. Bukan berarti kita yang paling tahu segalanya. Dunia ilmiah berpedoman bahwa “ di atas langit, masih ada langit”.
Hakikat ilmu pengetahuan hanya sementara ditemukan—silih berganti—kemudian muncul yang lebih baru dan seterusnya. Ada pengujian atas teori-teori, ada data yang terus berubah, dinamis. Tidak ada yang stagnan. Tidak ada kebenaran hakiki—dan esensi ilmu pengetahuan hanyalah “menyingkap” sebagian dari rahasia hakiki kebenaran itu. Yang Mahabenar hanya milik Tuhan. Manusia, siapapun dia, semua memiliki kelemahan dan kekurangan. Manusia lain menutupinya. Saling mengisi. Tiada yang sempurna. Itulah tujuan awal dan gagasan yang saya usung ke “diskusi” itu. Dan, kembali, saya merasa sebagai manusia paling “garing” dalam event itu. Merupakan pengalaman berharga. Lagi-lagi, seolah saya dan teman—kandidat doktor—itu menjadi “mesin penunjuk kesalahan” atau “hakim-hakim yang mengadili terdakwa” dengan “segala pembelaannya(baca:kengototan)”—yang sungguh tidak “nyambung”. “Diskusi”pun bak sebuah debat kusir di meja hijau. Alamak, kata orang Medan.
***
Sebagai salah seorang anak Dayak Ngaju, maka wajar apabila saya ‘marah’. ‘Marah’ saya yang pertama adalah mengapa etika keilmuan kita sebagai sesama orang Dayak menyepelekan sumber-sumber ? 3)
Apakah kita pantas “tidak menghargai” informan kita atas informasi berharga yang telah diberikan? Walaupun folklor menjadi milik kolektif dan komunal (Danandjaya, 1986), bukan berarti sumber tuturan lisan itu diperoleh tanpa informan 4) .
Kedua, sebagai sesama Dayak, kita cenderung untuk tidak menaati konsensus yang kita buat. Bahasa memiliki seperangkat aturan dan norma/kaidah. Kita harus menjunjung tinggi dan mengaplikasikan konsensus-konsensus itu. Kalau tidak, maka akan jalan sendiri-sendiri dan seenaknya. Kaidah-kaidah yang telah dibuat bukan sebuah “de gustibus non est disputandum”. Muaranya, sebuah bahasa pun akan porak-poranda oleh kita sendiri. Bukankah martabat bahasa menunjukkan martabat penuturnya? Terus terang, saya keberatan apabila saya juga dianggap kurang bermartabat hanya karena ketidakpatuhan akan kaidah bahasa (disobedience of norm of language) yang dilakukan baik sadar atau tidak, dan saya membiarkannya. Kemudian, ada kecenderungan untuk membuat gado-gado bahasa dengan masuknya aneka kosa kata bahasa daerah lain di tengah makmurnya perbendaharaan kosa kata lokal.
Dalam kesamaan kasusnya dengan kondisi bahasa lokal, beberapa pakar dan peneliti bahasa Indonesia menyebut gejala berbahasa masa kini sebagai bahasa Indonenglish 5)
atau bahasa gado-gado. Untuk ranah pemakaian bahasa dayak Ngaju, saya melihatnya dalam beberapa kasus yang menyiratkan bahwa bahasa Banjar telah ‘merangsek’ hingga ke tuturan sehari-hari (colloquial speech) ke dalam ranah pemakaian bahasa Indonesia dan bahasa Dayak Ngaju. Misalnya, seperti yang pernah saya dengar sendiri sebuah dialog antara seorang nenek dengan cucunya. Si Nenek bertanya kepada cucunya: “Siapa yang menghidupkan (maksudnya membuka) kran ini?”Jawab cucunya:” Tahu, Ikam aja kalo tadi, Mbi”. Maksud si cucu: tidak tahu, ikam=kamu;setara (bahasa Banjar) aja kalo tadi (bahasa Indonesia), dan Mbi (sapaan teknonimis untuk nenek—bahasa Dayak Ngaju). Bisa dibayangkan, saya sampai berdiri bulu kuduk mendengarnya. Bukan karena betapa ‘enaknya’ ‘menggado-gadoi’ beberapa bahasa, tetapi kenihilan aspek kesantunan dan nilai rasa penyampaiannya terhadap lawan tutur. Kata ikam sangat tidak berterima untuk menyapa orang/pembicara yang lebih tua—alih-alih sebagai ganti kata pian; juga dianggap kurang ajar dalam budaya Banjar. Namun dalam konteks bahasa Dayak mungkin sedikit berterima (ada yang lebih santun lagi, misalnya dapat menggunakan konteks kalimat seperti ini: “Saya tidak tahu, nek. Mungkin nenek yang membukanya tadi”(bahasa Indonesia); atau “Kada tahu ulun, ni ai. Pian haja kalu tadi nang mambukanya”(bahasa Banjar);atau “Dia kutawa te Mbi, Tambi ih elesku mambukae”(bahasa Dayak Ngaju). Unsur sapaan teknonimis sudah semakin tergerus, kemudian minimnya upaya untuk taat kaidah. Bandingkan kondisi kegado-gadoan lainnya saya temukan dalam konteks verbal bahasa Dayak Ngaju, misalnya: “Sorry, le lah aku dia sampet ngobrol dengam awi dia tau connect ampie. Kebetulan kea hape-ku lowbatt”. Dari kalimat-kalimat itu saya sebut saja dengan istilah: Ingajuindo (bahasa -Inggris-Dayak Ngaju- Indonesia) atau dalam terminologi saya--dalam bahasa lokal--sebagai Kutak Kakulak Baluh-Jawau (bahasa kolak labu kuning dan singkong). Selanjutnya, ketiga, sebagian besar kita tidak dibiasakan hidup di dalam dunia ilmiah yang sehat. Kita dicekoki dengan berbagai jargon yang mengungkung, apapun namanya—dari tidak enak sama orang-orang tua, mencela pekerjaan orang tua, hingga sok pintar, padahal masih hijau, bisa kualat, sama arep 6) , dst.
—yang membuat kita tidak bisa memilah: ilmiah atau emotif. Ini saya kira sebagai batu sandungan untuk kita hidup secara sehat dalam dunia keilmuan agar maju dan kondusif bagi tumbuhnya pemikir-pemikir muda lokal. Sebagian besar dari kita hidup dalam ruang yang antikritik dan cenderung tertutup untuk melakukan self-defense atas nama kebenaran semu yang belum tentu benar dan valid, sehingga akan mengaburkan sebagian makna tentang kebenaran itu sendiri.
***
Bagaimanapun, waktu terus berjalan tanpa mampu kita hentikan. Seiring itu pula, akan tumbuh tunas-tunas baru dan akan mengalir arus-arus yang bukan mainstream, akan muncul antitesis-antitesis, dan seterusnya. Hal ini alamiah dan wajar. Roda akan terus berputar, namun sudahkah kita mewariskan sesuatu “kebenaran” tentang Dayak yang pantas diberikan kepada generasi mendatang? “Kebenaran” macam apa itu? Apakah “kebenaran-kebenaran” status quo yang tegak bak sebuah menara gading dan stagnan? Jika itu yang terjadi, maka jangan heran apabila anak-anak Dayak masa depan akan terus terkungkung. Mereka hanya akan menjadi menara gading-menara gading baru yang antikritik dalam dunia ilmiah semu dan mungkin semakin tidak sehat![*AN].
Catatan Kaki:
1)Istilah J.J. Kusni yang saya kutip dari jurnal todoppuli.wordpress.com/posting
2) ibid
3) Mencantumkan sumber-sumber lisan dan tulisan merupakan salah satu etika penulisan. Tidak mencantumkan sumber-sumber baik lisan maupun tertulis dapat dikategorikan sebagai upaya plagiat. Lihat Marko Mahin, MA: Menapak Jejak Bungai Tambun di Bumi Tambun Bungai: Catatan Kritis atas Buku Ot Danum From Tumbang Miri until Tumbang Rungan (Based on Tatum) Their Histories and Legends,27 April 2009, hal.11
4) Prof. Dr. James Danandjaya merupakan pakar folklor di Indonesia. Ia adalah guru besar folklor lulusan Universitas California, Berkeley, USA. Lihat salah satu karyanya, Folklor Indonesia, 1986:191—207 terbitan Grafiti Pers, tentang Metode Pengumpulan dan Tatacara Pengarsipan Folklor.
5) Lihat “Bahasa Indonesia vs Bahasa Gado-Gado” dalam Nakita, No. 522/TH. X/30 Maret—5 April 2009, halaman 26. Seorang pakar bahasa mengestimasi sekitar 20 tahun lagi bahasa Indonesia terancam hilang dari Bumi Pertiwi untuk selamanya apabila bahasa Indonenglish ini semakin menguat. Contohnya: “Bentar ye, saya meeting dulu neh” , “Ane bete nih, kita hang out yuk!” atau “So far, kamu punya skill ok juga”.
6)Bahasa Dayak Ngaju yang berarti “sesama kita; masih (dianggap) keluarga sendiri”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar