06 Mei, 2009

"TIGA SOSOK BERPADU TAKDIR" 1): ANTARA GELISAH DI KAYU MANIS DAN PERJUANGAN TIADA HENTI

Anthony Nyahu
Menyebut "trivium", “tiga serangkai” atau “tiga sosok berpadu takdir” adalah meyebut jumlah. Dalam hitungan mungkin tidaklah dapat kita berharap mendapatkan jumlah banyak. Waktu yang membawa serta segala kemujuran dan nasib yang menentukan suatu pertemuan kepada nama ketiga orang yang saya sebut sebagai "trivium" atau “tiga sosok berpadu takdir” itu. Dari perkenalan singkat pada sebuah acara, saya sempatkan berjabat tangan mengulurkan tali perkenalan kepada seorang tokoh yang selama ini hanya saya kenal dari karya-karya besarnya. Seorang Kusni--sang anak Dayak sama seperti saya—yang punya nama besar namun sederhana, yang kontras dengan bayangan saya tentangnya. Hangat, ia sambut tabe 2)saya. Saya sempat menyebutkan asal, dan ia pun terkesan kaget. Hanya dialog pendek yang sempat terucap waktu itu. Pertemuan kedua, secara informal dan akrab di suatu tempat yang sudah ditentukan Mina Nila Riwut (salah seorang yang juga punya nama besar dan banyak menulis tentang kebudayaan Dayak), kami bertemu lagi. Bersama teman-teman dan sahabat-sahabat Mina, di sela-sela pertemuan itu sempat juga mengobrol sebentar dengan keduanya. Hangat dan penuh keakraban. Bukan karena kami kebetulan dari suatu daerah yang sama nun jauh di pinggir kali Katingan sana, tetapi sebagai sesama pribadi yang memiliki pemikiran yang tidak terlalu jauh berbeda dalam memandang sebuah entitas kebudayaan Dayak dan Indonesia. Menyebut nama Mina Nila, berarti juga menyebut salah satu dari nama besar itu. Bukan. Bukan karena ia adalah seorang puteri pahlawan nasional Tjilik Riwut atau Bapa Enon. Menyebutnya, mengingatkanku tentang upaya-upaya tak kenal lelahnya juga dalam mengenalkan dan membesarkan kebudayaan Dayak di mata dunia. Tentu, yang lebih berkesan bagiku adalah bagaimana ia menyatukan para pemikir muda yang terserak. Dan itu bukan perkara yang mudah. Menyebutkan namanya, juga mengingatkanku atas peran pengganti seorang ibu: yang pandai menabur kasih dan pintar memintal sayang. Sementara menyebut nama yang di awal: Dr. Jean-Jaques Kusni, seolah membawa imajiku menyusuri bertebing-tebing pekerjaan yang harus dilakukan untuk sebuah entitas bernama Dayak. Ia mengajakku menyisir lembah dan dataran yang terhampar sabana puisi. Ya! Ialah setahuku sastrawan dari Tanah Dayak yang sangat besar dan berpengaruh. Ia menjadi disegani dalam dunianya. Karya-karya besarnya seolah kurang terdengar gaungnya di tengah pengajaran sastra dan budaya lokal. Dipolitisir? Entahlah, menurut penilaianku ia kurang terlalu dikenal oleh para siswa di berbagai tataran formal (SD, SMP, dan SMA). Namun, ia bukanlah seorang jago kandang, hal ini telah dibuktikannya pada berbagai kancah nasional dan internasional. Di samping itu—sebagai orang Dayak-- bagiku ia begitu bersahaja. Ia adalah seorang ilmuan yang memiliki multitalenta. Sejarawan, budayawan, ekonom, dosen, sastrawan, penulis, dan lain-lain. Tidak terbersit dari gaya hidupnya sebagai seorang besar, akan tetapi yang menonjol adalah gaya eksentrik seorang sastrawan. Dan ia adalah figur yang sangat rendah hati. Begitu pula nama ketiga: Marko Mahin. Ia menjadi salah seorang antropolog yang layak untuk dijadikan rujukan tentang agama asli Dayak Ngaju: Kaharingan. Ia juga menjadi seorang yang multitalenta: dari antropolog, penulis, budayawan, hingga pendeta. Profesi terakhirnya menjadi jarang kami diskusikan pada saat-saat bertemu. Pernah suatu ketika aku meminjam materi candaan seorang teman: bisakah ia memberikan gelar "honoris causa" kepadaku? Ia tertawa. Sebab, setahuku selain fasih sekali menuturkan tentang apa dan bagaimana Kaharingan, ia juga mengajar di universitas dan sekolah tinggi. Rupanya dijelaskannya padaku bahwa profesi itulah yang menjadi profesi utamanya hingga kini. Pengetahuannya tentang Kaharingan, bagiku melebihi pengetahuan para penggiat Kaharingan sendiri-meski ia tak akan pernah bisa menjadi Kaharingan . Tidak berlebihan dan sungguh layak apabila masyarakat Kaharingan menobatinya sebagai “orang yang berjasa” setelah Damang Salilah dan Dr. Hans Scharer. Aku juga berniat mengusulkannya sebagai “mantir“—, sehingga inisial namanya menjadi MMM atau “triple M”—dan semoga beberapa basir 3) menyetujui itu, atas usahanya dalam memajukan dan semakin mengenalkan Kaharingan, tentu juga tak terlepas dari upaya masyarakat Kaharingan sendiri. Tentu ada banyak nama lain yang kukenal—juga besar, namun aku tidak begitu dekat dengan mereka. Ada banyak nama yang tidak memiliki pintu dan jendela yang selalu terbuka. Pintu dan jendela yang selalu terbuka untuk curah-pendapat, sintesis-sintesis, dan aneka bentuk keberbagian (sharing) lainnya. Bagiku, selain mereka memiliki banyak pintu dan jendela yang selalu terbuka, mereka juga memiliki ruang-ruang yang lapang untuk berdiskusi. Mungkin sebagian dari pesan para leluhur sudah mereka sampaikan: bahwa memberikan sebanyak-banyaknya kebenaran tentang Utus Dayak bagi dunia. Memberikan warisan yang luhur bagi perubahan pola pikir generasi masa depan tentang apa dan bagaimana menjadi Dayak yang sesungguhnya. Duduk di antara ketiga tokoh besar itu tidak membuatku terkesan asing karena kebersahajaan mereka. Duduk di antara ketiganya seolah menempatkanku pada suatu bidang dunia: ada pohon yang memberikan keteduhan dan perlindungan, ada tanah yang memberikan kesuburan, dan ada hamparan rumput hijau yang memberikan sejuta keindahan! Membuatku memandang Dayak menjadi lebih luas dan bermakna. Dan aku berharap bisa lebih memahami apa, siapa, dan harus bagai mana menjadi seorang Dayak. Ah, alangkah indahnya hidup itu bila dihiasi dengan perjuangan. Perjuangan memang tidak pernah mengenal bentuk dan garis akhir. Ya!, perjuangan akan selalu bertumbuh dalam setiap sendi kehidupan menuju perubahan. Tiada yang tidak berubah, kecuali perubahan itu sendiri, kata orang bijak. Hanya waktu dan zamanlah yang akan berbeda. [*AN]
Catatan
1)Dipinjam dari istilah untuk menyebutkan ketiga sastrawan di Kalimantan Tengah, yakni M.H Anwar, Andi Burhanudin, dan Badar Sulaiman Usin.
2)Bahasa Dayak Ngaju yang artinya “jabat tangan” atau “salam”.
3) Basir berarti “pemimpin upacara ritual Kaharingan atau imam”

Tidak ada komentar: