17 Februari, 2009

"HUMA BETANG": FILOSOFI, EKSISTENSI DAN RELEVANSINYA DI TENGAH ARUS KEKINIAN

Anthony Nyahu
Huma Betang atau rumah Betang merupakan rumah yang panjangnya rata-rata 30—150 meter, dengan material hampir seluruhnya terbuat dari kayu dengan resistensi tinggi terhadap cuaca. Tinggi tiangnya mencapai 2—3 meter dari permukaan tanah. Ia dihuni oleh 100—200 orang (Depdikbud 1978). Pada masa lalu, huma betang telah mengemban fungsi ideal sebagai tempat berlindung (shelter) bagi masyarakat suku Dayak. Selain fungsi tersebut, ia juga merupakan sarana pemupukan nilai-nilai budaya komunal dengan ikatan solidaritas dan toleransi yang tinggi bagi sesama penghuninya. Didirikannya huma betang (Kalimantan Tengah) atau lamin (Kalimantan Timur), atau uma dadoq (Kalimantan Barat) secara analitis setidaknya atas dasar naluriah manusiawi manusia akan kebutuhan terhadap rasa aman dari berbagai ancaman eksternal. Ancaman eksternal tersebut berupa serangan binatang buas—untuk itu didirikan agak tinggi, 2—3m, serangan cuaca (banjir), lebih mudah memantau serangan musuh (bdk. Coomans 1987; Depdikbud 1978) (asang dan kayau), dan pemerolehan sirkulasi udara pada kolong rumah yang memadai. Di samping itu, pada bagian kolongnya yang tinggi tersebut tercermin berbagai kegiatan komunal yang terpadu, misalnya sebagai tempat anak-anak bermain, para ibu bercengkerama dan sebagai tempat pengolahan hasil pertanian manakala musim panen tiba. Proses hidup dan berkehidupan berawal dari huma betang, yang di dalamnya telah diatur sedemikian rupa agar tercipta kehidupan yang selaras, serasi dan seimbang, antara sesama penghuni, dengan masyarakat lainnya, dengan alam, serta dengan Sang Pencipta. Ruang-ruang komunal yang tercipta mengedepankan transformasi nilai-nilai etik dan kebudayaan yang egaliter. Hal ini dapat dilihat dari fungsionalitas interior yang diperuntukkan bagi kebutuhan tersebut, misalnya terdapat ruang untuk bermusyawarah dan berinteraksi (ruang publik), kamar-kamar penghuni (ruang privat), los-los serta bagian dapur sebagai tempat pemenuhan kebutuhan penghuninya. Di dalamnya terdapat aturan-aturan (biasanya tidak tertulis) dan berupa pantangan-pantangan (pamali) sebagai bimbingan moral (moral guidance) yang mendorong penghuninya harus sadar untuk melakukan dan tidak boleh melakukan sesuatu yang melanggar norma-norma yang luhur dan menjunjung tinggi nilai moral dan etika. Huma Betang tidak saja sebagai simbol kebudayaan Dayak atas transformasi nilai-nilai dan kebudayaan yang diwarisi kepada generasi kini, ia sekaligus merupakan kearifan tradisional masa lalu yang memberikan sumbangsih bagi tatanan dan refleksi atas pengelolaan sistem kehidupan yang majemuk pada masa kini. Bagai manapun, memaksa masyarakat Dayak masa kini untuk mendirikan dan mendiami huma betang adalah hal yang mustahil, berkaitan dengan terpenuhinya rasa aman dan kebutuhan akan privasi individual serta perwujudan status sosial di tengah masyarakat lainnya. Zaman dan peradaban yang hiruk-pikuk telah mengharuskan manusia Dayak untuk mengikuti arusnya agar tetap bersesuai dengan tanpa menanggalkan kearifan yang terpatri pada kebudayaan itu sendiri. Seiring dengan majunya peradaban, terpenuhinya sebagian atas rasa aman, dan kebutuhan akan privasi individual manusia itulah, eksistensi Huma Betang telah menjadi warisan masa lalu yang keberadaanya mulai punah. Di Kalimantan Tengah, tercatat tiga hingga empat unit yang masih tersisa. Ia seolah menjadi bagian yang terlupakan atas kearifan lokal masa lalu. Keberadaannya yang sudah langka tersebut menyiratkan bahwa huma betang seolah rumah yang asing di tengah rumah tunggal-rumah tunggal semi-modern yang menghimpitnya. Begitu pula tataran pemikiran yang juga mulai bergeser, antara kebutuhan komunal menuju kehidupan individual yang berdampak kepada relasi sosio-ekonomi masyarakat Dayak. Kini, huma betang hanya akan menjadi museum yang hidup dan filosofinya mengingatkan kita kepada filosofi bhinneka tunggal ika—sebuah cara pandang tentang keindonesiaan—di mana berbeda tetapi satu di tengah situasi nasionalisme yang cenderung kian pudar. Demikianlah, terdapat kemiripan dalam budaya Dayak dalam memandang perbedaan sebagai mozaik bagi kekayaan—kekayaan huma betang yang multidimensi dengan aneka latar belakang, agama, dan status sosial penghuninya. Kehidupan yang tiada membeda-bedakan, egaliter, dan perspektif gender yang telah dahulu kala didengungkan. Filosofi huma betang yang diartikan sebagai ‘di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung’ tentu tidaklah terlalu tepat untuk menjadi definisinya—untuk tidak menyebutnya salah. Mungkin sedikit mengena manakala diredefinisikan sebagai kebersamaan di dalam perbedaan (togetherness in diversity), artinya ada semangat persatuan, etos kerja dan elan yang tinggi untuk mengelola secara bersama-sama perbedaan itu dan berkompetisi secara jujur, sehingga tidak akan menjadi jurang yang memisahkan—sekaligus menghancurkan. Hendaknya semangat Dayak itulah yang patut kita warisi dan junjung tinggi. Untuk dan atas nama kebersamaan di kehidupan yang lebih luas—di dalam mengelola sebuah ‘huma betang’ yang lebih besar bernama Indonesia.(*as)

Tidak ada komentar: