Anthony NyahuSub-subsuku Dayak di Kalimantan Tengah cenderung heterogen. Hal ini tercermin dari daerah-daerah aliran sungai di mana mereka bermukim. Penamaan daerah-daerah aliran sungai tempat subsuku-subsuku tempat bermukin tersebut menunjukkan daerah pakai bahasa sebagai lambang identitasnya dan pola kebudayaan yang cenderung sama. Misalnya, menyebut sungai Katingan, berarti mayoritas penduduknya sebagai sub-subsuku Dayak Katingan yang menuturkan bahasa Katingan yang dikenal sebagai oloh Katingan, sebagai bagian dari subsuku Dayak Ngaju, juga menginduk kepada suku Dayak secara umum. Begitu pula manakala menyebut sungai Kahayan, dikenal sebagai oloh Kahayan, secara tidak langsung merujuk kepada daerah pakai penutur bahasa Kahayan yang secara de yure dikenal sebagai bahasa Dayak Ngaju, lingua franca subsuku Dayak di Kalimantan Tengah, dan seterusnya. Asumsi di atas setidaknya menyisakan beberapa tanya yang mungkin sebagian belum terjawab dan memang sangat dibutuhkan jawaban. Paling tidak, sebagian jawaban kebenarannya mungkin akan terkuak. Sebab selama ini belum dilakukan penggolongan etnisitas sub-subsuku Dayak di Kalimantan Tengah selain yang dilakukan oleh Malinkcrodt dan Riwut (lihat Riwut, 1993) yang telah menggolongkan suku Dayak di Kalimantan secara umum dari sisi antropologis. Dari perspektif kebahasaan, Hudson menggolongkan suku Dayak di Kalimantan Tengah berdasarkan analisis bahasa penuturnya yang disebutnya sebagai Keluarga Bahasa Barito terkelompok dalam tujuh isolek, yakni isolek Barito Barat Daya, Barito Tenggara, Barito-Mahakam, Barito Barat Laut, Barito Timur Laut, Barito Timur Tengah, dan Melayu-Pantai (“The Barito Isolects of Borneo: A Classification Based on Comparative Reconstruction and Lexicostatistics”, 1967:11). Agak berbeda dari penelitian Hudson—yang selama kurun waktu empat dekade tidak tergoyahkan hasil temuannya, Pusat Bahasa melalui Tim Pemetaan dan Kekerabatan Bahasa-bahasa Daerah di Indonesia, menemukan setidaknya terdapat 22 bahasa dan 5 dialek yang ada di Kalimantan Tengah sejauh ini (Laporan Penelitian Tim Pemetaan dan Kekerabatan Bahasa-bahasa Daerah Kalteng, Balai Bahasa Kalimantan Tengah 2006). Dengan demikian, untuk sementara dapat diasumsikan bahwa setidaknya terdapat 7 sub-subsuku yang mendiami Kalimantan Tengah, antara lain: (1) Sub-suku Dayak Ngaju dengan mayoritas penguasaan daerah pakai bahasa di Kalimantan Tengah, (2) Sub-suku Dayak Maanyan, (3) Sub-suku Dayak Dusun, (4) Sub-suku Ot Danum, (5) Sub-suku Melayu, (6) Sub-suku Dayak Katingan, (7) serta Sub-suku Dayak Bakumpai. Asumsi klasifikasi etnisitas ini semata-mata ditinjau dari perspektif linguistik, jadi bukan merupakan penelitian antropologi yang komprehensif. Berpijak dari realitas tersebut, maka tidak mudah untuk menentukan bahasa mana yang tepat untuk menyatukan sub-subsuku Dayak di Kalimantan Tengah. Semuanya tergantung dari politik bahasa (language policy) dari Pemerintah daerah setempat atas kesepakatan masyarakat penutur bahasa-bahasa yang ada. Namun demikian, semuanya justru tidak harus memposisikan eksistensi dan entitas Dayak menjadi abu-abu karena heterogenitas di dalam maupun di luar, di tengah pergaulan masyarakat Dayak dengan suku-suku lainnya di Kalimantan Tengah dan Indonesia. Identitas dan entitas Dayak seolah-olah larut dalam keruhnya heterogenitas masyarakat Kalimantan Tengah yang multietnik ini. Masih malu-malu dan cenderung sebagai identitas yang abu-abu. Lantas, jika hal ini terus dibiarkan maka tidak menutup kemungkinan para pewaris generasi tidak mustahil akan mengaburkan identitas itu: identitas Dayak yang berpandangan lurus ke depan dan mantap dengan jati diri kebudayaanya sebagai bagian yang tak kalah pentingnya dengan suku-suku dan kebudayaan lainnya di Indonesia (bdk. Kusni, 1994). Kepercayaan diri dan kemantapan identitas sangat dibutuhkan untuk mengisi dan memperjuangkan pembangunan bagi sebuah bangsa yang besar: Indonesia. Bertalian dengan hal tersebut pula, persoalan bahasa sebagai penegas identitas dan jati diri hendaknya menjadi persoalan yang layak untuk dijadikan agenda dalam rangka rencana pelaksanaan Kongres Rakyat Kalimantan Tengah ke IV di Palangka Raya, Juni mendatang. Pemberian nama sebagai Kongres Rakyat Kalimantan Tengah pun agak taksa/ambigu—meskipun persoalan nama menjadi hal yang tidak terlalu penting. Mengapa? Pertama, rakyat yang mana? Apakah maksudnya seluruh perwakilan masyarakat yang mendiami Kalimantan Tengah, dari suku/bangsa apapun atau maksudnya rakyat Dayak yang mendiami Kalimantan Tengah yang berkongres seperti halnya “Kongres Rakyat Papua”. Mengapa tidak “Kongres Rakyat Dayak Kalimantan Tengah” atau “Pumpung Hai Ungkup Dayak Kalimantan Tengah”, seperti halnya Aruh Ganal Bubuhan Banjar di Kalimantan Selatan yang sangat bangga dengan bahasa daerahnya? Kedua, dengan tidak mengurangi rasa hormat saya kepada penyelenggara--inikah wujud dari kekaburan (absurditas) atas heterogenitas Dayak yang masih malu-malu dan abu-abu sebagai Dayak itu? Ah, mungkin ‘bungkusnya’ tidak terlalu penting,yang penting ‘isinya’. Apapun namanya, hal kecil yang selama ini kita anggap remeh dan sepele kadang berpengaruh terhadap hal yang lebih besar, termasuk persoalan pemakaian bahasa daerah yang menjadi simbol identitas dan kebanggaan daerah. Bangga saja pakai malu segala.(*as).
23 Februari, 2009
IDENTITAS DAN ENTITAS DAYAK KALIMANTAN TENGAH DI TENGAH PERGAULAN MASYARAKAT MULTIETNIK: SEBUAH CATATAN MENJELANG KONGRES RAKYAT KALTENG KE IV
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
1 komentar:
Salam kenal.
Blog abang bagus dan sudah lama saya cari2, karena link ke blog ini telah di tiada dikalteng net.
Bang, aku tau ngocopy ornamen dayak melai blog mu dia ??
Thanks
Posting Komentar