20 Januari, 2009

Tukul, wong ndeso, katro’ dan kembali ke laptop: Sebuah Catatan atas Fenomena Kebahasaan dan Kepribadian Bangsa sebagai Renungan di Awal Tahun

Oleh Anthony Nyahu
Dasar wong ndeso! Katro’,kembali ke laptop. Kosa kosa kata tersebut seolah menjadi trend di sepanjang tahun 2008 terkait dengan salah satu acara talkshow di sebuah teve swasta. Beberapa kosa kata tersebut seolah mengukuhkan peran dan posisi seorang Tukul, penghibur yang selama ini belum punya jam terbang yang banyak sebagai presenter. Kalaulah boleh disandingkan popularitasnya, mungkin tidak kalah dengan Peterpan (alm) yang menjadi ikon papan atas musik pop negeri ini. Ya! Kita memang tidak secara khusus membahas Tukul dengan popularitasnya, atau Peterpan yang sudah almarhum dengan persoalannya yang menjadi topik laris sepanjang tahun lalu. Kita hanya mencoba mengulik kembali ketiga kosa kata Tukul tersebut berkaitan dengan fenomena sosial dan budaya Indonesia. Mengapa saya sengaja memunculkan ketiga kosa kata tersebut, hanya persoalan yang tidak terlalu serius. Atau hanya sebagai sebuah ‘perbincangan warung kopi’. Namun, setidaknya ada beberapa hal yang patut dipetik berdasarkan kisah panjang dan berliku seorang Tukul dan ‘peluncuran’ kosa kata tersebut hingga sedemikian populernya. Di sini saya juga tidak akan mengisahkannya, karena yang lebih tahu pasti para tim kreatifnya. Orang-orang yang tergabung di dalam tim yang pandai menyuguhkan suasana baru. Suasana segar, dan keluar dari ‘patron’ kekinian, di mana arus globalisasi informasi dan gaya hidup ‘harus’ mengusung sesuatu yang canggih (sophisticated), menguasai teknologi (hi-tech), dan kebanggaan artifisial lainnya. Wong ndeso dan katro’ sengaja dibaurkan dengan kembali ke laptop. Kalaulah boleh kosa kata wong ndeso dan katro’ tersebut disandingkan dengan kembali ke laptop, mungkin ia akan menjadi kosa kata yang berseberangan (opposite). Ketiganya mungkin tidak akan pernah ketemu. Masing-masing bergerak dalam sebuah lingkaran setan. Bagaimana mungkin, seorang yang ndeso dan katro’ kok bisa dan biasa menguasai teknologi—dengan kembali ke laptop. Ah, mungkin ada-ada saja. Atau kata mereka sebagai ‘sesuatu yang ora umum’. Ya. Itulah fenomena ora umum tersebut. Namun, seperti yang sudah saya sebutkan di atas, ada beberapa hal yang pantas menjadi catatan refleksi kita pada awal tahun ini. Pertama, kita, sebagai bangsa yang besar (selama ini) ternyata mudah untuk menyaru, berkosmetik, dan berkamuflase dengan kebudayaan lain untuk menunjukkan bahwa kita mempunyai prestise. Atributnya: berupa gaya hidup yang (mungkin) hedonistik, oportunis, dan sok canggih menggunakan bahasa asing yang campur aduk, untuk mendapatkan pengakuan sosial bahwa kita sudah modern atau maju. Padahal, kita sesungguhnya sangat tidak nyaman dengan kondisi tersebut. Bayangkan. Kedua, bahwa ternyata sesuatu yang ndeso dan katro’ semakin dicari dan digali. Ia bukan sebagai suatu aib yang harus ditutupi secara artifisial dengan kemasan glamor dan mentereng. Ia juga bukan sebagai representasi sebuah ‘kebodohan’. Sejujurnya, kita masih nyaman dan suka di posisi ini. Ia mungkin juga sebagai sebuah prakondisi.Sebuah fenomena yang menjadikan kita selalu membumi—kembali ke alam, kata orang bule sebagai back to nature atau down to earth. Tidak melupakan akar budaya Indonesia, meskipun menguasai ilmu dan teknologi. Tetap sederhana sesuai butir-butir Pancasila (yang mungkin sebagian kita telah lupa) dan hidup dengan kepribadian yang mengindonesia. Karena di sanalah telaga yang bernama kearifan lokal atau local wisdom itu berada. Sejujurnya, kita masih merindui kearifan-kearifan lokal tersebut. Menginginkannya hadir di dalam keseharian kita. Menjadi napas di kehidupan berbangsa kita. Di pihak lain, kita tidak kalah dengan kemajuan teknologi bangsa lain. Hanya kita, sebagai sebuah bangsa yang besar masih belum mampu menempatkan diri. Paling tidak dari segi bahasa. Kita justru lebih bangga menggunakan sebuah gaya bahasa Inggronesia (kata seorang pemerhati bahasa); bahasa Indonesia yang ‘kawin-silang’ dengan bahasa Inggris. Lirik-lirik lagu pop kita menggunakan judul asing tapi isinya bahasa Indonesia. Atau sebaliknya. Semua berlomba-lomba ikut-ikutan membuat lirik ‘gado-gado’, lirik Inggronesia. Inikah fenomena alenasi kultural pada masyarakat kita? Kita menjadi asing dengan budaya sendiri. Menggelikan dan membuat saya tergelinjang karenanya. Inikah fenomena gaya hidup yang katanya modern dan canggih itu? Atau inikah sebuah pembenaran proses seni yang bernama kreativitas? Sadarkah kita bahwasanya kita telah membunuh bahasa kita secara perlahan-lahan? Atau demi sebuah kreativitas dan selera pasar kita harus merelakan bahasa kita—bahasa Indonesia—menjadi bahasa gado-gado,bahasa yang kurang bermartabat? Inilah fenomena kebahasaan kita. Dan kita sungguh—sekali lagi—tidak nyaman atas kondisi itu. Namun, kita seolah berusaha terbiasa dengan keadaan yang serba tidak nyaman tersebut. Apakah sesuatu yang berbau modern selalu demikian? Apakah sesuatu yang blasteran/indo itu lebih baik dari hal yang lokal? Tiap detik, menit dan jam kita selalu disuguhkan dengan sesuatu yang membuat kita tidak nyaman—meskipun enak: disodorkan makanan cepat-saji, padahal kita tahu dari dulu aneka cita rasa Indonesia lebih alami, sehat, serta organik. Gaya berbahasa kita bagi sebagian orang tidak dianggap bergengsi apabila tidak menyisipkan satu-dua kosa kata asing—meskipun maknanya kadang susah dimengerti diri sendiri atau orang lain. Terselip di manakah rasa nasionalisme kita? Kembali ke laptop. Back to laptop. Kata Tukul dengan keterbataannya dalam sepatah-dua kata bahasa Inggris. Lalu penontonpun terbahak, manakala ucapannya salah. Tapi sadarkah kita, apabila kita juga harus malu manakala mengucapkan bahasa sendiri—bahasa Indonesia yang salah? Ah, itu mah biasa. Padahal kita juga tidak merasa nyaman atas hal-hal yang kita anggap biasa itu. Bagi kita, persoalan kesalahan berbahasa menjadi tidak terlalu penting. Yang penting isinya, peduli apa kemasannya. Amplop mau putih atau merah jambu, tidak penting. Yang penting isinya, tebal apa tidak. Iya, bukan? Sungguh. Tukul tidak salah sebagi ikon, sebagai simbol dari sebuah tema tentang kesederhanaan. Dan memang lebih mengindonesia. Lebih membumi. Agar menjadi cermin. Betapa kita sangat nyaman dengan kondisi realitas keindonesiaan kita yang sesungguhnya sederhana. Maka wajarlah Ia menjadi amat disukai sebagai salah satu presenter pendatang (baru) masa itu. Tayangan tersebut mempunyai angka tonton atau rating yang tinggi serta memperoleh penghargaan pula. Dan orang Indonesiapun merasa sangat cocok dan nyaman dengan kondisi itu. Itulah realitas. Di dalam realitas terdapat banyak pilihan. Ingin menjadi canggih tetapi tercerabut dari akar budaya dan kehilangan identitas diri atau menjadi katro’ tetapi menguasai kebudayaan sendiri dan teknologi, hanya pilihan lain yang harus dipilih. Untuk menjadikan bahasa kita—bahasa Indonesia—dan kebudayaan nasionalnya tetap mendapatkan tempat yang tinggi sebagai kepribadian bangsa, kita harus mempunyai kemauan dan prinsip kuat yang bermula dari sebuah kesederhanaan dan kearifan lokal yang juga amat bernilai tinggi. Berpikir global, bertindak lokal, kata sorang pakar. Ah. Sayapun jadi tergelinjang. (*an)

Tidak ada komentar: