Telah dimuat di Harian Tabengan, Juni 2010
Oleh: Anthony Nyahu*
Kepemimpinan dan Budaya Timur
Mencari pemimpin ideal mungkin hanya utopis. Ideal dalam konteks pemimpin yang mengerti persoalan rakyat dan ideal dalam format tingkah laku (behavior) yang difigurkan rakyat. Pemimpin ideal mungkin hanyalah pemimpin imajiner yang kita temui pada berlembar-lembar komik dan buku-buku biografi atau sejarah. Kepemimpinan ideal didasari atas etic dan moral, keselarasan retorika dan tingkah laku.
Menurut Sara Boatman,”etika”adalah sistem nilai pribadi yang digunakan memutuskan apa yang benar, atau apa yang paling tepat, dalam suatu situasi tertentu; memutuskan apa yang konsisten dengan sistem nilai yang ada dalam organisasi dan diri pribadi. Sedangkan, kepemimpinan yang etik menggabungkan antara pengambilan keputusan etik dan perilaku etik; dan ini tampak dalam konteks individu dan organisasi. Tanggung jawab utama dari seorang pemimpin adalah membuat keputusan etik dan berperilaku secara etik pula, serta mengupayakan agar organisasi memahami dan menerapkannya dalam kode-kode etik (Boatman dalam lintaucommunity.blogspot.com, diakses 10 Agustus 2010). Hal yang tidak terlelu berbeda dengan manajemen suatu negara. Bahwa seorang pemimpin adalah manajer sebuah pemerintahan atau negara yang tak luput dari konsep etika kepemimpinan organisasional.
Budaya Timur mengajarkan etika dan moralitas pemimpin sebagai landasan yang kokoh bagi proses berjalannya suatu organisasi. Hal ini terindikasi dari tingkah laku (behavior), keputusan strategis (strategic decision) yang menentukan solusi tepat, dan intuisi yang mampu memprediksi masalah (predictive intuition). Keselarasan retorik harus berbanding lurus dengan etika dan tingkah laku (behavior) pemimpin yang teruji oleh waktu dan masalah. Pemimpin yang baik adalah pemimpin yang mampu memberikan legitimasi dari amanat rakyat dengan indikasi tegaknya keadilan dan kebenaran, menuju kesejahteraan dan kebermartabatan. Dengan kata lain, menurut Robby I. Chandra, pemimpin yang baik adalah seorang pemimpin yang merumuskan visi bersama dan menggerakkan orang bersamanya untuk menghasilkan transformasi ( Landasan Pacu Kepemimpinan, Robby I. Chandra, diunduh dari lead.sabda.org/_pdf/landasan_pacu_kepemimpinan.pdf).Kepemimpinan budaya Timur di dalam budaya Jawa, misalnya sebagai landasan pengambilan keputusan dikenal dengan Hasta Brata yang disimbolisasikan melalui media benda atau kondisi alam (bataviase.co.id/node/222664). Maka tidak heran, aneka simbolisasi tersebut menjadi rule of act di dalam etika kepemimpinan Jawa.
Kepemimpinan dan Pepatah Dayak Ngaju
Di dalam budaya Dayak, kepemimpinan tidak secara serta merta dilihat dalam tataran teoretis, namun teraktualisasi melalui konteks keseharian. Landasan kepemimpinan yang etis di dalam masyarakat Dayak dapat dilihat dari perspektif mereka dalam memperlakukan alam dan isinya. Manusia dititipkan alam beserta isinya untuk diperlakukan berdasarkan atas hubungan yang saling menguntungkan (mutual relationship). Hal ini tersirat dalam filosofi bahwa manusia hidup dan berdiri di atas punggung Jatha/Bungai/naga (Penguasa Alam Bawah/underworld) dan menjunjung tinggi Hatalla/Tambun/enggang (Penguasa Alam Atas/upperworld). Bahwa manusia merupakan mahluk tertinggi yang diberikan keistimewaan untuk mendiami petak sintel habalambang Tambun (bumi subur yang merupakan simbolisasi punggung naga). Untuk itu, perlu adanya keseimbangan dalam segala hal, baik relasi horisontal—sesama manusia, alam, dan lingkungan--, maupun relasi vertikal—dengan Sang Pencipta. Personifikasi natural di dalam keseharian budaya Dayak mengindikasikan bahwa adanya keseimbangan ekologis atau eco-librium (ecology equilibrium) di dalam laboratorium kehidupan. Kepemimpinan di dalam budaya Timur harus mengedepankan etika “to serve” atau melayani, bukan “served” atau dilayani.
Nila Riwut berpendapat bahwa Suku Dayak amat taat dan setia kepada pemimpin yang telah mereka akui sendiri. Di lain pihak, untuk mendapatkan pengakuan dari penduduk, seorang pemimpin harus benar-benar mampu mengayomi dan mengenal masyarakatnya dengan baik. Pemimpin suku Dayak, bukan seorang yang hanya memberi perintah atau menerima pelayanan lebih, dari masyarakat, namun justru sebaliknya. Pemimpin yang disegani ialah pemimpin yang mampu dekat dan memahami masyarakatnya antara lain : bersikap mamut menteng, maksudnya gagah perkasa dalam sikap dan perbuatan. Ia disegani bukan dari apa yang ia katakan, namun dari apa yang telah ia lakukan. Berani berbuat, berani bertanggung jawab. Dalam sikap dan perbuatan selalu adil. Apa yang diucapkan benar dan berguna. Nama baik bahkan jiwa raga dipertaruhkan demi keberpihakannya kepada warganya. Sikap mamut menteng yang dilengkapi dengan tekad isen mulang atau pantang menyerah telah mendarah daging dalam kehidupan orang Dayak. Tidak dapat dipungkiri kenyataan itu sebagai akibat kedekatan manusia Dayak dengan alam. Bagi mereka tanah adalah ibu, langit adalah ayah dan angin adalah nafas kehidupan. Dengan demikian, kemanapun pergi, di manapun berada, bila kaki telah berpijak dibumi takut dan gentar tak akan pernah mereka miliki (nilariwut.com, diakses 10 Agustus 2010).
Berbagai kearifan lokal sebagai landasan menuju pemimpin yang berlegitimasi (legitimate) dan memahami aspirasi rakyat dapat pula dilihat dalam aneka pepatah-petitih di dalam bahasa Dayak Ngaju. Indikator pemimpin yang baik salah satunya adalah pemimpin yang antisipatif. Misalnya, tambuhus pai tau injawut, tambuhus pander dia tau inangkaluli.‘Terperosok kaki dapat dicabut, terperosok bicara tidak dapat ditarik’. Jadi, seorang pemimpin juga harus memperhitungkan risiko baik atau buruk, serta mampu mengelola risiko menjadi potensi massif. Kemudian, pemimpin diharapkan dapat mendeteksi sumber masalah dan tahu bagai mana mengatasi masalah dapat dilihat pada perumpamaan ini, yakni ela mambadi binjai inumbal intu lunuk, maknanya: ‘mengatasi masalah berdasarkan jenis dan tempatnya’. Pemimpin yang sarat pengalaman dan teruji dapat menjadi inspirasi untuk menemukan solusi dari berbagai persoalan dapat dilihat pada, misalnya pepatah kejau halisang are tampayah. ‘jauh berjalan banyak penglihatan, maknanya: ‘banyak pengalaman karena lama hidup dan bergaul di luar komunitasnya’.
*) Peminat bahasa dan Sastra Dayak Ngaju, tinggal di Palangkaraya