25 Mei, 2011

Bahasa Dayak Ngaju 40 Tahun Kemudian

Februari 24, 2011 oleh baritobasin Oleh: Nasrullah Banyak cara yang dapat dilakukan untuk melestarikan bahasa daerah, di antaranya dengan menerbitkan buku. Cara inilah yang dilakukan oleh Anthony Nyahu dalam bukunya Ayo Belajar Bahasa Dayak Ngaju. Dari judul buku sudah dapat diketahui ajakan untuk belajar bahasa Dayak. Kebhinnekaan Indonesia yang terdiri dari ratusan dan ribuan sub-suku bangsa, membuat bahasa yang digunakan pun beragam. Masing-masing daerah memiliki bahasa sendiri. Bahkan sering terjadi, malah hanya dalam satu daerah yang secara geografis tidak begitu luas dan besar, bahasa yang digunaka justru sangat banyak. Namun demikian, tidak semua bahasa popular secara nasional, bahkan sudah mulai ditinggalkan penggunanya dengan berbagai alas an. Bahasa daerah tertentu sering tidak mampu membendung pengaruh bahasa nasional atau yang datang dari wilayah lain. Sebaliknya, pengaruh bahasa daerah ke dalam bahasa nasional juga berlangsung. Berbagai kata dalam bahasa Indonesia berasal dari bahasa daerah yang diserap. Hanya pengaruh itu didominasi oleh bahasa-bahasa “besar” seperti Jawa dan Sunda, atau bahasa Banjar, Bugis, dan Minang dalam bahasa tertentu (Abdullah, 2006:95). Bahasa-bahasa daerah yang menasional itu jika dikerucutkan hanya bahasa Jawa, Sunda, Betawi dan Minang. Selain didukung oleh penuturnya yang berjumlah banyak dan dominan, produk budaya pop seperti sinetron, film, dan lagu, turut menjadikan bahasa-bahasa dominan. Penyebaran penutur bahasa-bahasa dominan melalui transmigrasi pun membuat mereka kian digjaya. Dayak dari segi bahasa harus diakui kurang begitu terdengar gaungnya secara nasional. Dayak lebih dikenal melalui persoalan-persoalan sosial. Buku Ayo Berbahasa Dayak Ngaju ini tentu ingin menepis anggapan itu. Mengenal budaya Dayak dapat dimulai dari belajar bahasa Dayak. Meski Anthony Nyahu bukanlah orang pertama menulis tentang bahasa Dayak Ngaju, karena dahulu telah terbit kamus Dayak Jerman oleh Hardeland, tahun 1859. Kemudian, tahun 1922, K.D Epple telah membuat daftar kata dan petunjuk/tata bahasa dalam Soerat Loegat Basa Ngadjoe. Pada tahun 1933, diterbitkan pula Kurze Einfuhrung In die Ngadjoe-Dajakprache. Tahun 1970, putra daerah, Tjilik Riwut menulis Peladjaran Bahasa Dayak Ngaju (h. 3). Jika melihat rentang waktu penulisan bahasa Dayak Ngaju di atas, hingga terbit buku ini tahun 2010, ada yang terasa aneh. Kita seolah dibangunkan dari tidur panjang selama 40 tahun. Berarti selama itu pula, persoalan bahasa Dayak Ngaju menjadi kurang diperhatikan. Meskipun tahun 1987 diadakan rapat tentang ejaan bahasa Dayak Ngaju, rupanya belum betul-betul membuat tersentak dari tidur panjang. Buku yang terdiri dari enam bab ini, mengungkapkan tentang ejaan bahasa Dayak Ngaju, Jenis-jenis kata dalam bahasa Dayak Ngaju, Afiksasi dan reduplikasi dalam bahasa Dayak Ngaju, Kalimat dalam bahasa Dayak Ngaju, Istilah-istilah dalam bahasa Dayak Ngaju, Peribahasa Dayak Ngaju yang terkandung juga cerita rakyat Kalimantan Tengah. Setiap pembaca buku ini tentu dapat melihat dari sudut pandang berbeda. Kalangan peminat bahasa akan melihat dari persoalan kebahasaan. Bahasa dapat juga menjadi pengikat hubungan orang tua dan anak, melalui cerita-cerita berbahasa daerah. Dari sudut pandang lain, dapat dilihat bahasa alat pengembangan kecerdasan emosional dan intelektual yang dapat ditemukan dari ungkapan rasa senang, sedih, benci dan sebagainya hingga dalam peribahasa atau ungkapan lokal. Itulah sebabnya, menurut Sibarani (2004:77) kebudayaan menjadi wadah suatu bahasa sangat menentukan pusat perasaan dalam masyarakat itu yakni sumber-sumber ungkapan yang menyatakan perasaan dalam suatu bahasa. Dengan kata lain, pusat perasaan di sini adalah pusat ungkapan perasaan. Buku ini akan menjadi lebih menarik jika memuat keunikan bahasa Dayak Ngaju dan contoh di masa sekarang. Keunikan bahasa termasuk juga istilah yang jarang dipakai. Selain itu, salah satu kelebihan kelompok bahasa Ngaju adalah istilah untuk kata sakit, yakni haban dan kapehe. Jika haban berarti suatu keadaan sakit secara umum atau mempengaruhi seluruh badan, tapi kapehe adalah sakit yang terjadi pada anggota tubuh tertentu saja. Contoh di masa sekarang dapat dijadikan jawaban terhadap kegagalan bahasa daerah merespon kebutuhan komunikasi global yang ditandai masuknya “bahasa teknologi” melalui teknologi produksi sejak tahun 1970-an hingga teknologi media tahun 1990-an. Persoalan seperti ini mengingatkan kita pada bahasa-bahasa daerah yang mulai terisolir, seperti bahasa Uski di Papua yang hanya dituturkan oleh sekitar 20 orang atau Kosare, Taori-So dan Taoqwe yang hanya memiliki 50-an penutur (Abdullah, 2006). Namun, yang terpenting dalam melestarikan bahasa tidak lain adalah rasa percaya diri atau tidak malu berbahasa daerah. Judul buku : Ayo Belajar Bahasa Dayak Ngaju Penulis : Anthony Nyahu Penerbit : Pintu Cerdas Halaman : 150+xiii Tahun Terbit : 2010 Sumber: baritobasin.wordpress.com

01 Februari, 2011

PELANGGARAN “HADAT”: SINGER ATAU JIPEN?

Oleh: Anthony Nyahu*

pernah dimuat di Harian Tabengan, Januari 2011

Kasus Prof. Dr. Tamrin Amal Tomagola (TAT) cukup mengegerkan dan menuai kecaman masyarakat suku Dayak di berbagai daerah. TAT dianggap melecehkan sakralnya lembaga perkawinan dan bentuk dari penistaan budaya Dayak dalam memandang harkat entitas manusia Dayak. Berbagai reaksi mulai dari demo di beberapa daerah di Kalimantan dan di Jakarta menunjukkan bahwa entitas Dayak itu ada dan sekaligus dilupakan oleh entitas lain di negeri ini. Mengapa dilupakan? Dayak di dalam pemahaman sebagian entitas budaya lain masih primitif dan lawless. Dayak masih melekat dalam bayang-bayang gelap stigma masa lalu. Dayak masih erat dengan pandangan terbelakang dan tak beradat. Dayak masih berada pada situasi yang sangat tidak menguntungkan selama hampir setengah abad lamanya. Hal ini menunjukkan bahwa masih sedikitnya media publikasi yang berimbang terhadap eksistensinya. Selama ini, media massa (terutama Jakarta) dianggap masih belum mampu memahami apa dan bagaimana entitas Dayak sebagai bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia ini. Realitasnya adalah diakui tetapi tidak dipahami secara holistik.

Saya tidak akan merunut apa, siapa dan bagai mana entitas Dayak. Biarlah itu merupakan kajian para antropolog atau Dayakolog saja. Namun, sebagai entitas awal yang menghuni Pulau Borneo ini, masyarakat Dayak adalah manusia biasa. Artinya, ia tidak lepas dari pengaruh waktu dan dinamika yang bernama perubahan. Sebagai manusia biasa, Dayak atau oleh peneliti asing prakolonial sebagai Dyak, ia juga sama seperti entitas lainnya di nusantara memiliki adat. Sementara, akan lebih relevan menurut saya jika kita belajar lagi memahami apa makna dari “adat” atau “hadat” ini. Kamus Besar Bahasa Indonesia mendefinisikan kata “adat” dengan kelas kata benda/nomina, sebagai: 1) aturan (perbuatan dsb) yang lazim diturut atau dilakukan sejak dulu kala, 2) cara (kelakuan dsb) yang sudah menjadi kebiasaan; kebiasaan; 3) wujud gagasan kebudayaan yang terdiri atas nilai-nilai budaya, norma, hukum, dan aturan yang satu dengan lainnya berkaitan menjadi suatu sistem... dst (Balai Pustaka, 2001:7). Manusia Dayak bukan orangutan (pongo pygmaeus) atau bangsa yang diturunkan oleh spesies langka ini. Secara genealogis, manusia Dayak yang masih eksis sampai saat ini bukan dari keturunan incest atau pun lahir dari “persenggamaan tanpa ikatan perkawinan” seperti statemen TAT ini. Di dalam membedakannya dengan orangutan, masyarakat Dayak (oleh mereka sendiri dan diatur menurut hukum tradisional) disebut sebagai identitas manusia yang “belum bahadat” atau hidup sebagai manusia yang memiliki adat. Scharer dalam bukunya “Ngaju Religion: A Conception of God Among A South Borneo People” (Martinus Nijhoff, The Hague)menyatakan bahwa: “...hadat rules the whole of life and thought, and relations between man and the cosmos. It is the guide through life, and only if man constantly orients himself by it does he step surely and go through life as the true man who submits himself obediently to the godhead and carries out its will, and thus receive well-being for himself and for the entire of cosmos.”(1965:98). Dengan kata lain, bahwa hadat merupakan “tuntunan bagi segenap kehidupan manusia (Dayak), dan manusia harus diarahkan olehnya (dan dapat mengarahkan dirinya) supaya ia tidak tersesat dari jalan yang benar” (lihat Ugang, “Menelusuri Jalur-Jalur Keluhuran”, BPK Gunung Mulia, 1983:51).

Sebagai tuntunan dan pandangan hidup (way of life), hadat merangkumi semua perikehidupan masyarakat Dayak—dari prosesi kelahiran, perkawinan, bermasyarakat hingga kematian. Hadat memiliki peran sentral sebagai aturan hukum baik normatif dan etik tak tertulis yang dijadikan sebagai kerangka berbudaya masyarakat Dayak. Semua diharapkan berjalan sesuai hadat, sehingga manusia Dayak dapat menjadi manusia yang menurut Scharer sebagai: sacred people who live in the sacred land and get a sacred death which belongs to a “lewu tatau”. Manusia Dayak yang mampu menjalankan hadat dan belum bahadat adalah manusia Dayak yang telah mengakui adat dan menyerahkan dirinya diatur oleh adat, sehingga ia akan menempatkan diri dan bersedia diarahkan oleh adat dalam setiap perikehidupannya (baik secara horisontal sesama manusia, maupun secara vertikal kepada Pencipta) menuju kesucian guna memperoleh kekekalan setelah kematian (surga).

Hadat tidak saja mengatur hubungan manusia dengan manusia lain secara sosial, namun untuk mencapai harmonisasi kosmos yang berimplikasi terhadap hubungan vertikal dengan Pencipta. Oleh karenanya, apabila terjadi pelanggaran terhadap hadat, manusia wajib untuk melakukan restorasi tatanan—restoration of order (Scharer, 1963:100) dengan tujuan agar mengembalikan harmonisasi antarhubungan tersebut. Sebab jika tak dilakukan restorasi tatanan yang sudah dilanggar, manusia Dayak diyakini akan menuai kutukan, baik berupa bencana kultural, bencana sosial maupun bencana kosmos. Karenanya, ada beberapa terminologi yang menurut Scharer sebagai upaya pelanggaran hadat adalah: manantarang hadat, mahalau adat, dan malawan hadat. Kita dapat menyimpulkan berada di mana kasus TAT ini, dipandang dari perspektif hadat baik sebagai tatanan normatif maupun etik.

Singer atau Jipen?

Denda adat sebelum Perjanjian Damai Tumbang Anoi 1894 masih berupa benda-benda berharga maupun hewan/binatang peliharaan yang memiliki nilai tinggi. Denda adat masih belum dikonversikan ke dalam bentuk alat tukar. Denda adat inilah yang disebut singer atau para pemuka adat yang menjatuhkan singer berdasarkan sidang adat dalam basara hadat. Para pemuka adat ini akan manyinger seseorang jika terjadi pelanggaran terhadap hadat. Besaran nilai singer yang dikenakan inilah yang disebut jipen. Jipen merupakan polisemi, yakni dapat berarti budak dan satuan dari konversi pelanggaran atas hadat atau besaran denda adat/singer. Singer yang dijatuhi dapat berupa jipen 1, 2 hingga jipen 15, tergantung dari berat/ringannya pelamnggaran hadat yang dilakukan. Maka ketika TAT ‘tersungkur’ meminta maaf dan bersedia membayar denda adat, namun masih meragukan juga berapa besaran nominalnya (sangat naif sebagai seorang sosiolog), TAT menganggap bahwa denda adat itu seolah-olah sesuatu yang musykil bagi ukuran dirinya (lihat “ Thamrin Tak Sanggup Bayar Jipen” Harian Banjarmasin Post, 13 Januari 2011, hal. 21). Sebagai seorang sosiolog ia masih perlu belajar hadat Dayak, di mana sebuah perdamaian bisa saja dijadikan momentum untuk menjadi bagian dari inti persaudaraan. Ada prosesi unik yang sangat elegan dan bermartabat di dalam hadat Dayak (Ngaju) adalah “hatunding daha” atau “angkat saudara”, yakni pengakuan akan perdamaian hakiki dan bagian dari keluarga inti, jika bermasalah dengan sesama individu. Prosesi ini merupakan bagian dari restorasi—manusia, alam dan Pencipta—sebagai mana dimaksudkan Scharer di atas. Selain pemenuhan sisi normatif dan etik tentu saja, prosesi ini akan menghapuskan dendam dan memulai hidup yang baru.

Tidak sembarang orang selain pemuka adat yang diputuskan melalui kerapatan adat di dalam proses basara dapat menjatuhkan besaran singer terhadap suatu pelanggaran hadat. Singer adalah vonis yang dijatuhkan kepada pelanggar hadat dalam konteks bukan hanya sesama manusia secara sosial namun perlakuan terhadap alam/kosmos. Oleh karenanya singer berbeda secara konsep dengan jipen. Jipen dapat memuat makna etis dan moral misalnya di dalam penunaian prosesi perkawinan, yakni pemenuhan ”jalan hadat”. Jika kita sejenak menoleh besaran jipen yang dikenakan di dalam prosesi perkawinan pada masyarakat Dayak, maka jipen itu dapat bernilai tinggi—selain aset, juga nilai konversinya berupa uang—maka dalam hubungannya dengan tesis TAT adalah tesis yang “ngawur”. Bagaimana tidak, jangankan untuk melakukan “persenggamaan tanpa ikatan perkawinan”, untuk bertamu tanpa ada pihak ketiga (baik laki-laki atau perempuan) adalah sebuah pelanggaran adat. Singer dalam bagian “jalan hadat” juga dapat dikenakan di dalam prosesi perkawinan jika pihak laki-laki melakukan pelanggaran hadat sebelum resminya dikukuhkan dalam lembaga perkawinan yang sakral.

Maka kita janganlah latah mengiukuti TAT ini. Apalagi sebagai pemilik hadat tidak mampu membedakan antara singer dan jipen. Singer adalah pelanggaran, sementara jipen dalam konteks ini adalah besaran/satuan nilai dari pelanggaran tersebut. Saya tidak akan ikut-ikutan menggeneralisasi terminologi maupun besaran nilai denda pelanggaran terhadap “hadat” atau adat ini. Dari tujuh suku besar (Riwut, 2004:63), suku Dayak memiliki terminologi yang dapat saja berbeda-beda, baik besaran/satuan nilai maupun prosesinya. Harapan kita hal ini tidak akan menimbulkan polemik baru yang akan blunder dan mengaburkan substansi persoalan. Namun semua bermuara pada satu napas dan semangat yang sama, terlepas dari perbedaan-perbedaan tersebut. Setidaknya, sebagai entitas Dayak yang beradap, hukum adat Dayak haruslah ditegakkan. Ini akan memberikan pelajaran berharga di masa depan agar tidak terulang. Satu hal yang patut dicatat adalah sebagai masyarakat yang beradat bukan hanya beradap, masyarakat Dayak sangat mencintai kedamaian dan perdamaian. Bisa saja kecerobohan intelektual seperti yang dilakukan TAT ini menjadi momentum baru bagi introspeksi kita sebagai bagian dari entitas Dayak. Maka mari kita bertanya kepada diri sendiri: sudah banyakkah kita menulis tentang apa yang kita miliki untuk dibaca dunia? Karenanya kita sebagai bagian dari anak bangsa harus mampu menunjukkan keberadaan dan keberadatan kita dalam memandang entitas lain di nusantara ini.[AN]

*) Peminat Budaya dan Bahasa Dayak Ngaju

30 September, 2010

ETIKA KEPEMIMPINAN DAN KEARIFAN LOKAL

Telah dimuat di Harian Tabengan, Juni 2010

Oleh: Anthony Nyahu*

Kepemimpinan dan Budaya Timur

Mencari pemimpin ideal mungkin hanya utopis. Ideal dalam konteks pemimpin yang mengerti persoalan rakyat dan ideal dalam format tingkah laku (behavior) yang difigurkan rakyat. Pemimpin ideal mungkin hanyalah pemimpin imajiner yang kita temui pada berlembar-lembar komik dan buku-buku biografi atau sejarah. Kepemimpinan ideal didasari atas etic dan moral, keselarasan retorika dan tingkah laku.

Menurut Sara Boatman,”etika”adalah sistem nilai pribadi yang digunakan memutuskan apa yang benar, atau apa yang paling tepat, dalam suatu situasi tertentu; memutuskan apa yang konsisten dengan sistem nilai yang ada dalam organisasi dan diri pribadi. Sedangkan, kepemimpinan yang etik menggabungkan antara pengambilan keputusan etik dan perilaku etik; dan ini tampak dalam konteks individu dan organisasi. Tanggung jawab utama dari seorang pemimpin adalah membuat keputusan etik dan berperilaku secara etik pula, serta mengupayakan agar organisasi memahami dan menerapkannya dalam kode-kode etik (Boatman dalam lintaucommunity.blogspot.com, diakses 10 Agustus 2010). Hal yang tidak terlelu berbeda dengan manajemen suatu negara. Bahwa seorang pemimpin adalah manajer sebuah pemerintahan atau negara yang tak luput dari konsep etika kepemimpinan organisasional.

Budaya Timur mengajarkan etika dan moralitas pemimpin sebagai landasan yang kokoh bagi proses berjalannya suatu organisasi. Hal ini terindikasi dari tingkah laku (behavior), keputusan strategis (strategic decision) yang menentukan solusi tepat, dan intuisi yang mampu memprediksi masalah (predictive intuition). Keselarasan retorik harus berbanding lurus dengan etika dan tingkah laku (behavior) pemimpin yang teruji oleh waktu dan masalah. Pemimpin yang baik adalah pemimpin yang mampu memberikan legitimasi dari amanat rakyat dengan indikasi tegaknya keadilan dan kebenaran, menuju kesejahteraan dan kebermartabatan. Dengan kata lain, menurut Robby I. Chandra, pemimpin yang baik adalah seorang pemimpin yang merumuskan visi bersama dan menggerakkan orang bersamanya untuk menghasilkan transformasi ( Landasan Pacu Kepemimpinan, Robby I. Chandra, diunduh dari lead.sabda.org/_pdf/landasan_pacu_kepemimpinan.pdf).Kepemimpinan budaya Timur di dalam budaya Jawa, misalnya sebagai landasan pengambilan keputusan dikenal dengan Hasta Brata yang disimbolisasikan melalui media benda atau kondisi alam (bataviase.co.id/node/222664). Maka tidak heran, aneka simbolisasi tersebut menjadi rule of act di dalam etika kepemimpinan Jawa.

Kepemimpinan dan Pepatah Dayak Ngaju

Di dalam budaya Dayak, kepemimpinan tidak secara serta merta dilihat dalam tataran teoretis, namun teraktualisasi melalui konteks keseharian. Landasan kepemimpinan yang etis di dalam masyarakat Dayak dapat dilihat dari perspektif mereka dalam memperlakukan alam dan isinya. Manusia dititipkan alam beserta isinya untuk diperlakukan berdasarkan atas hubungan yang saling menguntungkan (mutual relationship). Hal ini tersirat dalam filosofi bahwa manusia hidup dan berdiri di atas punggung Jatha/Bungai/naga (Penguasa Alam Bawah/underworld) dan menjunjung tinggi Hatalla/Tambun/enggang (Penguasa Alam Atas/upperworld). Bahwa manusia merupakan mahluk tertinggi yang diberikan keistimewaan untuk mendiami petak sintel habalambang Tambun (bumi subur yang merupakan simbolisasi punggung naga). Untuk itu, perlu adanya keseimbangan dalam segala hal, baik relasi horisontal—sesama manusia, alam, dan lingkungan--, maupun relasi vertikal—dengan Sang Pencipta. Personifikasi natural di dalam keseharian budaya Dayak mengindikasikan bahwa adanya keseimbangan ekologis atau eco-librium (ecology equilibrium) di dalam laboratorium kehidupan. Kepemimpinan di dalam budaya Timur harus mengedepankan etika “to serve” atau melayani, bukan “served” atau dilayani.

Nila Riwut berpendapat bahwa Suku Dayak amat taat dan setia kepada pemimpin yang telah mereka akui sendiri. Di lain pihak, untuk mendapatkan pengakuan dari penduduk, seorang pemimpin harus benar-benar mampu mengayomi dan mengenal masyarakatnya dengan baik. Pemimpin suku Dayak, bukan seorang yang hanya memberi perintah atau menerima pelayanan lebih, dari masyarakat, namun justru sebaliknya. Pemimpin yang disegani ialah pemimpin yang mampu dekat dan memahami masyarakatnya antara lain : bersikap mamut menteng, maksudnya gagah perkasa dalam sikap dan perbuatan. Ia disegani bukan dari apa yang ia katakan, namun dari apa yang telah ia lakukan. Berani berbuat, berani bertanggung jawab. Dalam sikap dan perbuatan selalu adil. Apa yang diucapkan benar dan berguna. Nama baik bahkan jiwa raga dipertaruhkan demi keberpihakannya kepada warganya. Sikap mamut menteng yang dilengkapi dengan tekad isen mulang atau pantang menyerah telah mendarah daging dalam kehidupan orang Dayak. Tidak dapat dipungkiri kenyataan itu sebagai akibat kedekatan manusia Dayak dengan alam. Bagi mereka tanah adalah ibu, langit adalah ayah dan angin adalah nafas kehidupan. Dengan demikian, kemanapun pergi, di manapun berada, bila kaki telah berpijak dibumi takut dan gentar tak akan pernah mereka miliki (nilariwut.com, diakses 10 Agustus 2010).

Berbagai kearifan lokal sebagai landasan menuju pemimpin yang berlegitimasi (legitimate) dan memahami aspirasi rakyat dapat pula dilihat dalam aneka pepatah-petitih di dalam bahasa Dayak Ngaju. Indikator pemimpin yang baik salah satunya adalah pemimpin yang antisipatif. Misalnya, tambuhus pai tau injawut, tambuhus pander dia tau inangkaluli.‘Terperosok kaki dapat dicabut, terperosok bicara tidak dapat ditarik’. Jadi, seorang pemimpin juga harus memperhitungkan risiko baik atau buruk, serta mampu mengelola risiko menjadi potensi massif. Kemudian, pemimpin diharapkan dapat mendeteksi sumber masalah dan tahu bagai mana mengatasi masalah dapat dilihat pada perumpamaan ini, yakni ela mambadi binjai inumbal intu lunuk, maknanya: ‘mengatasi masalah berdasarkan jenis dan tempatnya’. Pemimpin yang sarat pengalaman dan teruji dapat menjadi inspirasi untuk menemukan solusi dari berbagai persoalan dapat dilihat pada, misalnya pepatah kejau halisang are tampayah. ‘jauh berjalan banyak penglihatan, maknanya: ‘banyak pengalaman karena lama hidup dan bergaul di luar komunitasnya’.

*) Peminat bahasa dan Sastra Dayak Ngaju, tinggal di Palangkaraya

“Aba” dan Sebuah Pengabdian Kecil untuk Indonesia

Oleh: Anthony Nyahu | Kompasiana, Jumat, 13 Agustus 2010 | 09:16

Aba. Demikian kami, anak-anaknya biasa memanggilnya. Perawakannya masih tegap seolah tak mau kalah oleh usianya yang sudah menua. Kumis tebal yang sebagian memutih seolah ukiran karisma sebagai pambakal (kepala desa) itu masih menghiasi wajahnya yang mulai renta.

Ya. Aba adalah panggilan kepada Ayah di dalam bahasa Dayak Katingan. Mungkin berasal dari kata abah atau abi, mungkin juga dari bapa. Aku tak tahu persis. Bagiku, Aba adalah sosok yang spesial, melebihi kesukaanku kepada sosok Superman atau Flash Gordon, tokoh komik di masa kecil. Aba yang mengajarkan kami—kelima puteranya—untuk selalu mensyukuri hidup. Itulah yang sangat aku kagumi dari seorang Aba. Seorang Aba yang setia selama separuh umurnya untuk sebuah pengabdian terbaik. Ya! pengabdian terbaik sebagai seorang kepala desa. Makanya Aba selalu bangga kalau ditanya berkaitan dengan ‘profesi’nya.

Konon katanya, menjadi seorang kepala desa itu seperti seorang ‘presiden’masa kini, karena dari era masa lalu hingga kini dipilih langsung oleh ‘rakyat’nya. Aba menjadi pambakal dalam rentang waktu beberapa kali ganti presiden. Dari era Pak Harto hingga era SBY ini. Dari tunjangan sebesar Rp75 ribu hingga memecahkan ‘rekor’ insentif sekarang sebesar Rp500 ribu. Itu tok. Itu pun dibayar per tiga bulan. Bisa dibayangkan, jika semata-mata bersandar kepada tunjangan sebesar itu, mungkin kami anak-anaknya sudah menderita busung lapar. Apalagi di tengah kondisi harga-harga yang terus berloncatan di awan-awan.

Untuk bisa menyekolahkan kami Aba harus rela ‘rangkap jabatan’ sebagai peladang, pengumpul rotan, atau penyadap karet. Antara ‘tugas negara’ dan tuntutan hidup haruslah beriringan, kata Aba. Beliau tetap mengabdi, mengurus masyarakatnya. Dari urusan kawin lari hingga urusan orang berperkara. Dari urusan remeh temeh sampai urusan saling bunuh. Dari hal dunia sampai ihwal akhirat. Berat memang, dan sangat tak sebanding dengan tanggung jawab yang diembankan kepadanya. Bahkan lebih berat dari lencana perak yang disemat di saku kanan seragam putihnya.

Di suatu senja di musim yang lalu (meminjam syair lagu jadul), aku memberanikan diri untuk bertanya kepadanya.”Kok mau-maunya sih Aba jadi pambakal? Di usia Aba sekarang kan rawan mendatangkan stres. Karakter masalah juga sangat berbeda dengan zaman dulu. Juga manusia sekarang ‘kan banyak yang pintar, susah diatur. Ngapain sih capek-capek ngurusin orang banyak?”

“Ah, itu ‘kan kepercayaan masyarakat. Aku tak mau mengecewakan amanat dan kepercayaan masyarakat. Aku tak pernah bisa mengabaikan panggilan hati untuk berbakti kepada bangsa, meskipun hal kecil ini saja yang bisa aku lakukan. Ingat, mengabdi dan berbakti itu kan macam-macam bentuknya. Inilah yang bisa kulakukan untuk Indonesia yang besar ini” Jawab Aba seperti kampanye seorang calon pejabat yang dipinang parpol.

Luar biasa, pikirku. Aku terkagum-kagum. Terangguk-angguk seperti orang diserang kantuk, sambil terbatuk. Aha!, nasionalisme Aba memang tak diragukan. Bukankah Indonesia itu tetap berdiri tegak juga salah satunya dari sikap dan pengabdian kecil seperti ini? “Aku bangga bisa mengaktualisasikan diriku sebagai seorang pemimpin, meskipun di kampung yang berpenduduk seratus dua ratus jiwa. Aku bangga bisa mendayagunakan pikiran dan tindakanku membantu orang kecil. Meskipun aku bukan seorang pejabat negara atau wakil rakyat”, lanjutnya berapi-api seolah akan menghanguskanku.

Kini, Aba melepaskan seragam putih dengan lencana kebanggaannya itu. Beliau bukan lagi seorang pambakal. “Biar ada penyegaran dan dipimpin oleh yang muda-muda saja” alasannya. Sekarang, beliau menjadi Aba kami yang sesungguhnya. Sesungguhnya, dalam arti bahwa beliau akan punya banyak waktu untuk bercengkerama dengan cucu-cucunya. Punya banyak waktu untuk berkumpul dengan kami anak-anaknya. Kami pun kembali menemukan sosok Aba yang nyambung berdiskusi tentang apa saja, dari soal masyarakat adat, pemerintahan, hingga situasi politik masa kini. Maklum, Aba selalu update berita, sehingga diskusi-diskusi kami tak pernah terasa garing.

Di masa tuanya, Aba tidak mewariskan apa-apa. Kami pun tak kaget. Harta tak punya. Uang pun tiada. Seperti syair lagu dangdut saja. Kalau pun ada beberapa kebun karet dan rotan, hanya semata-mata jerih payahnya ketika beliau masih muda belia. Kebun itulah yang beliau gunakan untuk menyekolahkan kami berlima. Bukan bermaksud jumawa, meski harga karet dan rotan dari zaman batu naik-turun seperti rollercoaster, cukuplah untuk menghasilkan tiga sarjana dan dua swasta. Rata-rata penghidupannya sudah tak disubsidi lagi, bukan pula subsidi silang apalagi subsidi asing. Sebuah ‘prestasi’ yang tidak berbanding lurus dengan penghasilan orang seperti Aba.

Aba pandai memanfaatkan siklus hidupnya. Konon, ceritanya ketika kecil disuka, muda produktif, masa tua bahagia. Harapannya, kelak ketika meninggal masuk surga. Hal yang terakhir mungkin menjadi harapan dan tujuan kita semua. Tetap sederhana dan tak berlebihan memang.

Satu hal (lagi) yang membuat aku bangga kepada beliau. Sebagai pemimpin—baik pemimpin masyarakat maupun rumah tangga—Aba tidak pernah mengeluh dalam hidup, apalagi berkeluh-kesah kepada rakyatnya. Betapapun beratnya. Puncaknya, ketika beliau kehilangan seseorang yang telah setia jadi pendamping hidupnya puluhan tahun. Seorang ibu dari anak-anaknya. Hingga beliau harus berkomitmen untuk menjadi single parent ketika adik-adik masih kecil. Ujian-ujian hidup dilaluinya dengan senyum ketabahan. Ketika Ibu dipanggil Yang Mahakuasa, beliau menegaskan kepada kami bahwa kematian itu sama bagi setiap orang, namun waktulah yang membedakannya. “Aku dan Ibumu tidak lahir bersama-sama, maka ketika kami dipanggil Yang Kuasa pun, kami juga tidak bersama-sama” demikian penjelasan Aba.

Aba hanya mewariskan kami sebuah makna yang luas tentang kehidupan dan nasionalisme. Tentang bagai mana menjadi Indonesia. Tentang bagai mana harus berpikir merdeka dari berbagai keterbatasan dan kekurangan. Tentang bagai mana berjuang dan berperang. Bukan angkat senjata, tetapi berjuang melawan kemiskinan dan berperang melawan kebohohan. Satu-satunya cara adalah berpikir merdeka, kata Aba. Untuk mencapai kemerdekaan yang sesungguhnya hanyalah melalui pendidikan. Kalau kalian berpendidikan, maka yang namanya kemiskinan enggan menghinggapi kalian, lanjutnya.

Sederhana memang, namun tidak gampang. Bagai manapun, pendidikan yang berkualitas bergantung kepada berapa digit angka nol di belakang lembar-lembar rupiah. Sebab, jika masih belum berpikir merdeka, pendidikan berkualitas mustahil didapat di negara yang umurnya dua tahun lebih tua dari Aba ini. Sekali lagi, kata Aba kata kuncinya adalah pendidikan. Pendidikan untuk membebaskan. Untuk menjadi manusia merdeka haruslah memiliki pendidikan yang berkualitas. Setidaknya itulah petuah dari seorang Aba, meski ia pun tahu bahwa jika berpendidikan tinggi atau berkualitas belum tentu sejahtera.Paling tidak, dalam pemikirannya yang visioner kemiskinan dan kebodohan akan menjauhi kami, anak cucunya.

“Merdeka!” Pekik Aba, mungkin karena sebentar lagi tujuh belasan.

“Merdeka, ‘Ba!” Sahutku, sambil menertawai diri sendiri. Atau mungkin juga para kompasioners sedang menertawai karanganku ini, karena mirip tugas mengarang di waktu esde.

Hmm….Aku berpikir, apakah kini aku sudah benar-benar merdeka? Kulipat dan kusimpan pertanyaan itu di saku pakaian dinasku yang mulai lusuh. *[AN]

11 Februari, 2010

Di manakah Wawasan Budaya Kita Besembunyi?

Beberapa waktu lalu, Pemko Palangka Raya telah menerbitkan kebijakan tentang penggunaan bahasa Dayak Ngaju pada hari tertentu di lingkungan dinas-dinasnya. Menariknya, kebijakan ini dianggap tepat mengingat keterdesakan bahasa ibu di tengah persaingan dengan bahasa-bahasa daerah lain dan bahasa nasional. Namun, ada juga yang bersuara miring: bahwa kebijakan itu perlu ditinjau ulang, mengingat masyarakat Palangka Raya yang heterogen. Saya justru bertanya-tanya. Apakah dengan situasi masyarakat yang heterogen itu, bahasa lokal, khususnya Dayak Ngaju menjadi pembenaran untuk dipinggirkan? Beberapa penelitian mencatat, bahwa situasi pemertahanan bahasa ibu di tingkat perkotaan/masyarakat urban dalam situasi memprihatinkan (lihat Suryanyahu, 2006; Budhiono, 2006). Satu-satunya benteng terakhir pemertahanannya berada pada wilayah perdesaan yang cenderung homogen dengan tingkat kontak budaya antarpenutur yang minim. Lalu, apanya dan di manakah yang salah? Kita tentu tidak menyangkal bahwa pengaruh bahasa-bahasa daerah lain semakin kuat melilit kita (sebagai konsekuensi dari kontak budaya). Kita juga tidak memungkiri sebuah bahasa harus bersifat dinamis (mampu bersesuai dengan zaman dan dinamika teknologi). Di tengah kondisi bahasa (penutur dan dinamikanya) yang semakin melemah, maka upaya untuk menjadikan bahasa ibu mendapatkan tempat untuk diapresiasi merupakan langkah yang sepatutnya didukung. Penentangan terhadap hak hidup bahasa ibu merupakan langkah yang kontraproduktif. Pun dengan alasan masyarakat heterogen. Sebab, jika peminggiran terhadap budaya lokal terus berlangsung maka tidak menutup kemungkinan aset budaya daerah, salah satunya bahasa Dayak Ngaju akan lambat laun punah tergantikan dengan bahasa daerah lain, atau bahasa nasional. Inikah cermin awal lahirnya budaya hibrida yang tidak matang. Lalu di mana identitas orang Dayak Ngaju sesungguhnya jika dari tutur bahasanyapun sudah tidak dikenali lagi. Jika identitas daerah sudah tidak ditemukan lagi, disebut apakah orang Dayak Ngaju karena tidak lagi berbahasa Dayak Ngaju? Sebuah pertanyaan yang membutuhkan renungan panjang. Mungkin masih banyak yang berpikir bahwa budaya (salah satunya bahasa) justru tidak penting. Coba kita lakukan untuk tidak berbicara dengan sebuah bahasa dengan siapapun dalam satu jam. Perlukah kita menggunakan bahasa isyarat? Saya rasa tidak. Sebab warisan leluhur sudah tersedia, salah satunya bahasa yang (mudah-mudahan masih) kita gunakan sekarang. Entah di mana wawasan budaya kita bersembunyi jika kita masih menganggap persoalan budaya dan bahasa dianggap tidak mendatangkan keuntungan nyata bagi daerah.(AN)

06 Januari, 2010

Kaharingan: Konsepsi Ketuhanan dan Kearifan Ekologis pada Masyarakat Dayak

Anthony Nyahu*)
Pandangan tentang agama lama (old religion; primitive religion) yang diketengahkan para peneliti Barat merupakan justifikasi atas konsepsi agama-agama baru terhadap kepercayaan Kaharingan. Asumsi Kaharingan sebagai dinamisme, animisme dan politeisme menggiring pemikiran publik dan hegemoni politik bahwa Kaharingan seolah-olah memang demikian adanya. Namun, sangat sedikit peneliti Barat yang sanggup melepaskan kosepsi awal yang tertanam secara dogmatis di dalam pemikiran mereka. Selebihnya, konsepsi tentang Kaharingan hanya bersifat parsial dan cenderung memandang dari perspektif agama-agama masa kini. Di antara sedikit itu, salah satunya Schärer yang mampu memandang konsepsi ketuhanan Kaharingan di dalam bukunya Ngaju Religion: The Conception of God Among A South Borneo People (The Hague: Martinus Nijhoff, 1963). Sebuah buku yang netral dan holistik mengungkapkan analisis tentang konsep ketuhanan masyarakat Dayak. Sebagai akibat dari pandangan-pandangan yang parsial tersebut, tidak sedikit masyarakat Dayak (baca: penganut Kaharingan) yang malu memiliki keyakinan Kaharingan. Hal ini ditambah pula pengaruh masuknya imperialisme dengan stereotipe yang negatif terhadap Kaharingan. Implikasi lain yang adalah munculnya absurditas atau tepatnya pengaburan identitas budaya pada masyarakat Dayak dalam beberapa dekade. Kekuatan represif kekuasaan dan hegemoni politik pada masa lalu telah menempatkan Kaharingan (dan penganutnya) berada pada sebuah situasi yang tidak menguntungkan.
Konsep Ketuhanan Kaharingan: Harmonisasi dan Keseimbangan Kosmis
Kaharingan memandang bahwa hidup dan tatanan kehidupan manusia tidak terlepas dari campur tangan Tuhan. Menurut Schärer, hubungan antara manusia dengan Tuhan di dalam Kaharingan merupakan hubungan yang tidak boleh tercederai. Kalaupun terjadi, maka manusia harus memberlakukan upaya-upaya restorasi dan rehabilitasi. Upaya-upaya pemeliharaan harmonisasi hubungan manusia dengan Tuhan berdampak kepada keseimbangan kosmis yang akan memberikan kemaslahatan (beneficiary) bagi umat manusia di muka bumi. Oleh karena itu, masyarakat Dayak sangat menghargai dan menghormati hadat (law, custom, right behavior) sebagai tuntunan hidup (belum bahadat) dan berperilaku di dalam masyarakat. Mereka percaya dengan taat kepada hadat dalam kehidupan mereka akan melapangkan jalan menuju surga (setelah ditiwahkan) yang disebut dengan Lewu Tatau Habaras Bulau, Habusung Hintan Hakarangan Lamiang. Singkatnya, hadat merangkumi perbuatan dan keyakinan, peradaban dan kebudayaan, hukum dan agama, etik dan dogma (Ugang, 1983:50). Di dalam konsepsi teologis Kaharingan, menurut Schärer, masyarakat Dayak mengenal adanya dualitas kekuasaan (bukan dualisme) yang dimanifestasikan ke dalam tiga ‘wilayah’ kekuasaan: Pantai Danum Sangiang (Dunia Atas) yang dikuasai oleh Allah Tertinggi (Ranying Mahatala Langit), Pantai Danum Kalunen (Dunia Manusia) dan Pantai Danum Basuhun Bulau Saramai Rabia (Dunia Bawah) yang dikuasai oleh Jatha Balawang Bulau. Dunia Atas dan Dunia Bawah merupakan dualitas yang menyatu, yakni dua aspek: maskulin dan feminin. Sebagai manusia yang menjalani dan menaati hadat, masyarakat Dayak sangat menjaga harmonisasi hubungan ketiga dunia tersebut. Apabila terjadi pelanggaran terhadap hadat yang mengatur hubungan triarkis antara manusia dengan Tuhan dan alam, maka kewajiban manusia adalah melakukan restorasi dari sistem kosmis yang dirusak dan melakukan pemulihan (recovery) sehingga keseimbangan kosmis dapat terpelihara dan memberikan kesejahteraan bagi umat manusia di muka bumi. Masyarakat Dayak Kaharingan percaya bahwa bumi yang ditempati sebagai “pinjaman” atau “dunia yang ditopang oleh kekuasaan dualitas Dunia Bawah (Jatha Balawang Bulau)” bersama-sama dan satu dengan Dunia Atas (Ranying Mahatala Langit). Oleh karenanya, masyarakat Dayak Kaharingan diwajibkan menjaga keselarasan dunia manusia (alam) dan benda-benda ciptaan-Nya. Dengan demikian, mereka dapat memperoleh kemaslahatan dari apa yang diperlakukannya kepada sesama dan alam dalam rangka menuju keselarasan hubungan dengan Tuhan. Seiring perkembangan waktu, penganut Kaharingan semakin berkurang sebagai akibat masuknya agama-agama baru yang dianggap modern. Tidak sedikit masyarakat Dayak yang memeluk beberapa agama baru, sehingga muncullah identitas budaya berbasis kepercayaan. Masyarakat Dayak yang memeluk agama Kristen disebut beberapa antropolog sebagai identitas baru dengan Dayak Kristen (lihat Mahin, 2005). Sedangkan pemeluk lama Kaharingan disebut sebagai Dayak Kaharingan. Namun, kedua identitas baru ini menimbulkan implikasi baru dengan semakin rendahnya pemertahanan budaya Dayak secara umum. Hal-hal yang menyangkut budaya yang sulit dipisahkan dengan agama sebagian mulai ditanggalkan sebagai tuntutan identitas baru. Kearifan Ekologis pada Masyarakat Dayak Seperti telah disinggung sebelumnya, masyarakat Dayak Kaharingan sangat taat kepada hadat yang menjadi pandangan hidup (way of life) mereka di dalam kehidupan. Mereka sangat menghargai alam tempat mereka hidup dan memperoleh maslahat dari alam, sehingga mereka sangat tergantung kepada alam. Di dalam mencapai misi menuju kematian sempurna setelah dilakukan upacara tiwah (good dead, Scharer 1963), mereka terlebih dulu menaati hadat melalui perbuatan baik (kepada sesama, Tuhan, dan alam). Alam merupakan “titipan atau pinjaman”dari Tuhan (Lewu Injam Tingang) yang hanya bersifat sementara. Oleh karenanya, manusia hanya mengusahai alam dengan arif dan bijaksana. Mereka tidak memiliki kekuasaan terhadap alam, sebab alam telah diciptakan dan diatur tatanannya oleh Tuhan (Ranying Mahatala Langit). Karena alam berupa “titipan atau pinjaman”, maka manusia hanya memanfaatkan alam seperlunya saja untuk kepentingan mempertahankan hidup. Hal ini tercermin dalam perilaku masyarakat Dayak di dalam menjaga agar komponen di dalam alam dapat dimanfaatkan secara berkesinambungan. Hutan, misalnya, merupakan komponen penting bagi kelangsungan hidup mereka. Di dalam memanfaatkannya tidak dilakukan dengan sembarangan dan membabi buta. Berladang sering dicitrakan sebagai pembalakan atau perladangan berpindah, padahal mereka membuka ladang setelah terjadi peremajaan hutan pada bekas ladang yang lama. Lokasi dari pemukiman pun dicari yang mudah dijangkau dan dikendalikan agar dapat memberikan hasil panen yang memadai. Di samping itu, diperlukan upacara-upacara ritual khusus, baik prapembukaan ladang, prosesi, dan pascapembukaan agar tidak merusak tatanan ekologis yang ada. Jauh sebelum adanya pemikiran tentang konservasi dan hutan lindung, masyarakat Dayak sudah mencadangkan kawasan hutan. Mereka memiliki hutan cadangan yang disebut pukung pahewan (hutan larangan; hutan cadangan). Hal ini dimaksudkan sebagai penyangga keanekaragaman hayati dan cadangan bagi generasi mendatang. Kearifan lain adalah apabila salah satu warga meninggal dunia akibat tertimpa kayu, maka tetua adat akan melakukan serangkaian upacara ritual mangayau kayu dengan maksud agar setelahnya hubungan manusia dengan alam kembali dipulihkan. Kayu dianggap secara filosofis memiliki 'roh', karena daripadanya masyarakat Dayak memperoleh manfaat bagi kehidupan. Penyucian hubungan tersebut dimaknai sebagai bagian dari upaya menjaga harmonisasi hubungan manusia dengan alam yang berimplikasi kepada keseimbangan kosmis secara menyeluruh. Sumber-sumber yang dianggap relevan untuk memahami religi masyarakat Dayak terhadap keseimbangan kosmis adalah melalui mite-mite (Ukur dalam Florus,dkk. , 1994). Termasuk di dalamnya mitos-mitos tentang hutan adat dan satwa tertentu. Perlakuan masyarakat Dayak terhadap aneka satwa, misalnya menyiratkan kearifan mereka di dalam pemenuhan kebutuhan hidup (need for life fulfillment). Mereka percaya bahwa tidak semua satwa dapat dibunuh dan dijadikan makanan. Ada beberapa jenis satwa yang dilindungi, di antaranya burung tingang atau enggang dan elang, misalnya. Burung enggang merupakan simbol penguasa Alam Atas, sedangkan burung elang dianggap sebagai burung “pemberi tanda” atau “petunjuk” (dahiang). Harmonisasi hubungan manusia dengan alam merupakan manifestasi dari bakti manusia Dayak kepada Tuhan melalui benda-benda ciptaan-Nya. Masyarakat Dayak percaya bahwa “apa yang ditabur, itulah yang dituai”. Oleh karenanya, mereka menganggap pelestarian alam adalah tanggung jawab yang harus diemban manusia.
Realitas Masa Kini dan Mendatang
Konstelasi zaman terus berubah, tidak terkecuali masyarakat Dayak. demikian pula halnya dengan ruang hidup masyarakat Dayak. Alam sebagai tempat masyarakat Dayak berpijak untuk mempertahankan hidupnya mulai terusik. Untuk dan atas nama pembangunan dan modernisasi, kawasan hutan telah berubah fungsi. Pengusahaan sumberdaya alam yang tak terkendali dan rusaknya tatanan keanekaragaman hayati, menjadi faktor utama terjadinya destruksi kebudayaan Dayak. Masyarakat Dayak harus mampu beradaptasi terhadap situasi, tidak terkecuali orientasi ekonomi (economic oriented). Orientasi ekonomi dan tuntutan hidup memberi peluang yang signifikan bagi ketergerusan nilai-nilai sosial dan budaya yang luhur terpelihara. Supremasi hadat mulai memudar tergantikan hukum positif. Pengikisan budaya diperparah dengan publikasi yang tidak proporsional terhadap masyarakat Dayak. Sebagai akibatnya, tidak sedikit generasi muda Dayak yang malu mengakui identitas dan budayanya sebagai orang Dayak. Dayak di dalam beberapa publikasi asing identik dengan “pemotong kepala”, “bar-bar”, dan seterusnya seolah menjadi justifikasi atas ketidakpantasan identitas itu. Kini, kebudayaan imateril yang dimiliki masyarakat Dayak sudah tergerus. Masyarakat Dayak generasi baru telah mengalami transformasi. Banyak unsur kebudayaan Dayak yang tidak lagi dipahami oleh mereka, apalagi yang berkaitan erat dengan Kaharingan. Agaknya, benang tipis yang memisahkan antara budaya dan agama menjadi sekat kekurangmengertian itu. Di samping itu, ketiadaan tradisi tulis pada masyarakat Dayak menjadikan jurang yang melegitimasi keadaan itu. Akibatnya, banyak generasi kini tidak lagi mengenali dan mencintai budayanya. Budaya urban yang dianggap modern telah menjadi identitas baru dianggap memiliki kelas tersendiri di dalam masyarakat. Entah seperti apa kebudayaan Dayak jika pemeluk Kaharingan sudah dalam hitungan jari saja. Kebudayaan memang akan dan terus bertransformasi, tidak terkecuali kebudayaan Dayak. Namun, mampukah masyarakat Dayak menerima transformasi itu di tengah arus modernisasi dan globalisasi yang terus mendera? Semoga.[AN] *) Anthony Nyahu, Staf Balai Bahasa Provinsi Kalimantan Tengah, pegiat literasi bahasa dan sastra Dayak Ngaju. E-mail: anthonynyahu75@yahoo.com

16 November, 2009

REVITALISASI BAHASA DAN SASTRA DAYAK NGAJU SEBAGAI LAMBANG IDENTITAS DAERAH DI TENGAH PERGAULAN MASYARAKAT HETEROGEN

Anthony Nyahu
1. Pengantar
Bahasa adalah salah satu produk budaya manusia. Sebagai sebuah produk budaya, bahasa dituntut untuk selalu dinamis sesuai dengan perkembangan kebudayaan yang ada pada masyarakat penuturnya. Dengan demikian, sebuah bahasa akan tetap adaptif terhadap kebutuhan komunikasi masyarakat pendukungnya. Selain mengemban fungsi sebagai alat komunikasi, bahasa juga merupakan sarana ekspresi dalam menuangkan gagasan-gagasan dan konsep-konsep serta sarana transformasi atas nilai-nilai kebudayaan itu sendiri. Hampir semua komponen produk kebudayaan seperti yang dinyatakan Taylor dalam Ohoiwutun (2002: 77) bahwa pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, adat, serta kemampuan dan kebiasaan lainnya membutuhkan sebuah bahasa sebagai sarana transformasinya. Upaya pemeliharaan martabat, fungsi dan peran sebuah bahasa tidak terlepas dari kebijakan bahasa (language policy) dan perencanaan bahasa (language planning) baik pada tingkat pusat maupun di daerah. Kesemua upaya tersebut bermuara kepada pemakaian bahasa (language use). Masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang serbamulti: multibahasa, multiagama dan multietnis dengan menggunakan satu bahasa nasional yaitu bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia telah merekatkan semua kalangan dan menerima semua perbedaan kebahasaan dan kebudayaan daerah sebagai kekayaan kebudayaan nasional. Jaminan negara terhadap bahasa seperti telah terjabarkan dalam Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945, Pasal 32 Ayat (1) dan (2), yang mendudukkan posisi bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional dan bahasa resmi negara. Dengan status demikian, nasionalisasi bahasa Indonesia semakin kukuh sebagai lambang jatidiri bangsa. Krauss (1992) dalam Mahsun (2004) mengelompokkan bahasa ke dalam tiga kelompok berdasarkan gejala umum yang terjadi pada bahasa-bahasa di dunia ,seperti jumlah penutur, prestise sosiokultural, dan dukungan pemerintah terhadap pemakaiannya, yakni: a). kelompok bahasa yang tidak lagi dikuasai dan digunakan oleh anak-anak dari penutur suatu bahasa; b). kelompok bahasa yang dalam satu/dua generasi tidak lagi dikuasai dan dipelajari oleh ketururunan penutur suatu bahasa; dan c). kelompok bahasa yang termasuk kategori aman yang masing-masing disebut moribund, endangered dan safe. Padahal di lain pihak, bahasa daerah memegang peran penting bagi perbendaharaan kosa kata bahasa Indonesia. Upaya untuk mengangkat budaya (baca: bahasa) daerah ke dalam kosa kata bahasa nasional diharapkan sebagai langkah nyata pemeliharaan bahasa-bahasa daerah, di samping itu dari sanalah kita berpijak bahwa keberagaman tercipta sebagai kekayaan bukan sebaliknya. Salah satu keputusan yang bersifat politis yang dihasilkan Seminar Politik Bahasa tahun 2000 adalah ditentukannya fungsi bahasa daerah sebagai: (a) lambang kebanggaan daerah, (b) lambang identitas daerah, (c) alat perhubungan di dalam keluarga dan masyarakat daerah, (d) sarana pendukung budaya daerah dan bahasa Indonesia, (e) pendukung sastra daerah dan sastra Indonesia. Selain itu, dalam hubungannya dengan bahasa Indonesia, bahasa daerah berfungsi sebagai: (a) pendukung bahasa nasional, (b) bahasa pengantar di sekolah dasar di daerah tertentu pada tingkat permulaan untuk memperlancar pengajaran bahasa Indonesia dan mata pelajaran lain, dan (c) sumber kebahasaan untuk memperkaya bahasa Indonesia, serta (d) dalam keadaan tertentu dapat berfungsi sebagai pelengkap bahasa Inonesia di dalam penyelenggaraan pemerintahan pada tingkat daerah (Alwi dan Dendy Soegono (2000) dalam Mahsun (2004)). Menyikapi kondisi kebahasaan yang terjadi di Indonesia, Sugono (2008:1) menyatakan bahwa kebijakan pemerintah dalam bidang bahasa meliputi perencanaan bahasa di Indonesia yang mencakup bahasa Indonesia, bahasa daerah dan penggunaan bahasa asing. Ketiga komponen bahasa yang ada di Indonesia membutuhkan beberapa kebijakan yang meliputi penelitian, pengembangan, pembinaan dan pelayanan di bidang kebahasaan dan kesastraan. Sedangkan kebijakan penggunaan bahasa asing meliputi pemanfaatan bahasa asing sebagai sarana pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta sebagai sumber pengayaan bahasa Indonesia. Sebagai landasan kebijakan tersebut adalah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Pasal 32 yang mengamanatkan bahwa negara menghormati dan memelihara bahasa daerah sebagai bagian dari kebudayaan nasional. Kemudian pada Pasal 36 Bab XV menjelaskan tentang tugas bahasa daerah sebagai: 1) lambang kebanggaan daerah, 2) lambang identitas daerah, 3) sarana perhubungan di dalam keluarga dan masyarakat daerah, dan 4) sarana pengembangan serta pendukung kebudayaan daerah (Chaer dan Agustina, 1995:297). Hal ini selanjutnya dipertegas dalam Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Otonomi Daerah dan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 40 tahun 2007 tentang Pedoman bagi Kepala Daerah dalam Pelestarian dan Pengembangan Bahasa Negara dan Bahasa Daerah. Di samping itu, dalam pelaksanaan tanggung jawab terhadap pemeliharaan bahasa-bahasa daerah dapat berkoordinasi dengan instansi teknis pusat yang berada di ibukota provinsi. Sebagai tindak lanjut atas pemenuhan tuntutan tersebut, upaya pemeliharaan bahasa daerah itu mencakup upaya pengembangan, pembinaan, revitalisasi, dan pendokumentasian menuju pelestarian bahasa dalam memasuki tatanan baru kehidupan masyarakat multikultural sebagai bagian dari masyarakat internasional yang heterogen. Dengan demikian, upaya pemeliharaan bahasa daerah selain tugas dan kewajiban negara, juga menjadi tanggung jawab pemerintah daerah sebagai kepanjangan tangan pemerintah pusat di daerah. Pemeliharaan bahasa daerah mencakup a) penelitian berbagai aspek kebahasaan untuk keperluan pengembangan, pembinaan, dan pendokumentasian; b) pengembangan bahasa daerah meliputi pemekaran kosakata dan pemutakhiran kodifikasi yang berupa penyempurnaan ejaan, kamus, dan tata bahasa sehingga bahasa daerah itu tetap memenuhi tuntutan keperluan masyarakat pendukungnya; dan c) pembinaan bahasa daerah meliputi upaya pemertahanan penggunaan bahasa daerah oleh masyarakat pendukungnya dan penerusan penggunaannya kepada generasi pelapis melalui proses pembelajaran bahasa daerah di lingkungan keluarga ataupun di sekolah. Di samping itu, pemeliharaan bahasa daerah meliputi upaya perlindungan bahasa daerah agar tidak punah dan merevitalisasi fungsi dan kedudukan bahasa, termasuk aksara dan sastra daerah dalam ranah-ranah penggunaannya oleh masyarakat penuturnya (Sugono 2008:2). Salah satu bahasa yang memegang peran penting bagi kehidupan komunikasi suku Dayak di Kalimantan Tengah adalah Bahasa Dayak Ngaju atau Basa Ngaju. Bahasa Dayak Ngaju menguasai hampir 50% dari total sebanyak 69 daerah pengamatan di wilayah Provinsi Kalimantan Tengah (Pusat Bahasa, 2006). Meskipun penyebarannya sporadis, bahasa ini menguasai beberapa daerah aliran sungai di Kalimantan Tengah. Hal ini disebabkan oleh penyebarannya beriringan dengan meluasnya Misi Pekabaran Injil di Kalimantan, termasuk Kalimantan Tengah pada tahun 1835 (Riwut, 1993 dan Riwut, 2004). Untuk keperluan tersebut, bahasa Indonesia kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Dayak Ngaju agar dapat dipahami secara luas. Hal ini kemudian dilakukan oleh para para misionaris yang melakukan kodifikasi, pembakuan ejaan dan kamus yang bersesuai dengan masa itu. Para tokoh yang melakukan suatu langkah besar bagi kodifikasi bahasa Dayak Ngaju adalah Hardeland mengkodifikasikannya ke dalam sebuah kamus yang diterbitkan dengan judul Wortebuch Der Ngadju Dajackisch (Druck von C. A. Spin & Sohn, 1859), Epple dengan bukunya yang berjudul Soerat Logat Basa Ngadjoe (Typ Rob. Hennemann & Co., 1922) dan Kurze Einführung in die Ngadjoe-Dajaksprache, Zendingsdrukkerij, 1933), dan Baier et.al yang menyusun kamus Wörterbuch der Priestersprache der Ngaju Dayak (Foris Publication, 1987). Bagaimanapun, peran para misionaris tersebut merupakan pondasi penting bagi pengembangan bahasa Dayak Ngaju. Karya-karya monumental mereka menjadi literatur yang sangat berharga bagi para peneliti setelahnya. Di tengah minimnya upaya penelitian bahasa ini setelah para misionaris tersebut, Usop kemudian melakukan penelitian tentang Pemerian Morfologi Bahasa Dayak Ngaju (Usop, 1976) dan Panjaitan mengkaji tentang Morfologi dan Sintaksis Bahasa Dayak Ngaju (Panjaitan, 1983) Didasari atas kegelisahan para pakar bahasa atas mendesaknya dilakukan pemutakhiran ejaan dan kaidah bahasa Dayak Ngaju, maka perlu dilakukan sebuah seminar. Seminar Bahasa Dayak Ngaju yang dilaksanakan pada tanggal 23—24 Oktober 1987 tersebut bertujuan untuk mengembangkan bahasa Dayak Ngaju antara lain dalam bentuk pembaruan ejaan dan menyepakati kaidah bahasanya . Selanjutnya, para peneliti dari Universitas Palangka Raya bekerja sama dengan Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa semakin gencar melakukan penelitian lanjutan. Hal ini dapat dilihat dari beberapa hasil penelitian, di antaranya Sintaksis Bahasa Dayak Ngaju (Dewi Mulyani, S. Dkk, 1995), Fonologi Generatif Bahasa Dayak Ngaju (Toendan, 1996), Morfologi Bahasa Dayak Ngaju (Wihadi Admodjo dkk., 1993), Analisis Leksikostatistik terhadap Bahasa-bahasa di Kalimantan Tengah (Poerwadi, dkk. 1993) dan Buku Praktis Bahasa Dayak Ngaju (Suryanyahu dkk., 2005) . Sayang sekali, berbagai hasil penelitian tersebut beredar secara terbatas, walaupun sebagian telah diterbitkan oleh Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa dan didistribusikan ke berbagai perpustakaan. Pada tingkat penerbitan, dijumpai ada beberapa buku bacaan dan kamus bahasa Dayak Ngaju, di antaranya adalah Petatah dan Petitih dalam Bahasa Dayak Ngaju oleh Iper dkk. (1996), Kamus Ungkapan Bahasa Dayak Ngaju-Indonesia oleh Usop dkk (1993), dan Kamus Dwibahasa Bahasa Dayak Ngaju–Indonesia dan Upon Ajar Basa Dayak Ngaju (Ibrahim dan Bingan, 2005). Kedua judul terakhir merupakan buku pegangan bagi pengajaran muatan lokal di sekolah-sekolah dasar di Kalimantan Tengah. Sebelumnya, bahan ajar yang dijadikan muatan lokal adalah Buku Pelajaran Bahasa Dayak Ngaju (Poerwadi, dkk., 1997) yang diterbitkan oleh Kanwil Depdikbud Provinsi Kalimantan Tengah. Kemudian, pada tingkat pemasyarakatan juga pernah dilakukan oleh Pusat Bahasa melalui Kantor Bahasa Palangka Raya bekerja sama dengan RRI Palangka Raya dalam acara “Siaran Bahasa Dayak Ngaju” yang disiarkan secara periodik selama dua tahun, yakni pada tahun 2002—2003. Meskipun telah banyak dihasilkan buku bacaan yang berhubungan dengan bahasa Dayak Ngaju, namun masih belum dapat membangkitkan gairah pemakaian bahasa itu secara maksimal oleh berbagai kalangan yang ingin belajar bahasa Dayak Ngaju terutama generasi muda. Berbagai kendala yang dihadapi dalam mempelajari bahasa ini, terutama bagi mereka yang bukan penutur asli bahasa Dayak Ngaju. Faktor penyebab hal tersebut antara lain kurangnya penerbitan buku-buku pelajaran yang dijual secara bebas dan tingkat kesadaran penutur bahasa Dayak Ngaju akan kaidah bahasanya yang rendah. Hal ini terindikasi dari karut-marutnya cara penulisan kata yang tepat dalam bahasa Dayak Ngaju, kebingungan menentukan yang mana kosakata asli bahasa Dayak Ngaju dan kosakata mana yang bukan bahasa Dayak Ngaju, serta masih banyak kendala lain yang berhubungan dengan penguasaan bahasa Dayak Ngaju, baik dalam tataran penguasaan kosakata, kalimat, maupun ungkapan-ungkapan. Tidak dapat disangkal lagi akibat majunya ilmu pengetahuan dan teknologi informasi menjadikan bahasa daerah bergerak di dalam ruang yang sempit, tak terkecuali bahasa Dayak Ngaju. Untuk itu, diperlukan penanganan secara sungguh-sungguh, terencana dan berkelanjutan oleh berbagai pemangku kepentingan (Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan masyarakat) dalam upaya untuk mengembalikan martabat bahasa Dayak Ngaju sebagai sarana pemajuan kebudayaan daerah. Dengan demikian, bahasa ini mampu menunjukkan adaptabilitasnya terhadap dinamika zaman dan tuntutan masyarakat pendukungnya. Terutama dalam hal pengayaan perbendaharaan kosakata berdasarkan tuntutan ilmu pengetahuan dan teknologi dan kemampuan daya ungkapnya sebagai bahasa yang hidup di tengah pergaulan masyarakat multibahasa.
3. Langkah-langkah Pemeliharaan Bahasa Daerah 3.1. Revitalisasi Bahasa dan Sastra Dayak Ngaju
Pemeliharaan dalam rangka revitalisasi bahasa daerah merupakan hal yang utama sebagai pemerkaya bahasa nasional. Dalam bidang bahasa yang berkaitan dengan kedudukan bahasa Dayak Ngaju sebagai bahasa mayor dan lingua franca di Kalimantan Tengah, bahasa ini perlu dilakukan penanganan yang serius dari Pemerintah Daerah dan berbagai pemangku kepentingan (lembaga/instansi terkait sesuai pembidangannya). Bahasa-bahasa daerah lain semestinya diserahkan kewenangan otonomi bagi daerah kabupaten/kota yang bahasa daerah mayoritas penuturnya bukan bahasa Dayak Ngaju. Sebagai contoh, di DAS (Daerah Aliran Sungai) Barito, harus mempertimbangkan pengajaran bahasa Dayak Ngaju yang berimbang dengan bahasa daerah setempat. Hal ini di samping bertujuan agar bahasa-bahasa minor yang bukan penutur mayoritas berbahasa Dayak Ngaju dapat bersama-sama hidup dan lestari sehingga tidak mengalami kepunahan. Dengan demikian, selain penyumbang bagi kekayaan kosakata bahasa nasional, ia juga dapat terus hidup di tengah masyarakat bahasa yang heterogen. Beberapa langkah dijabarkan dalam aspek-aspek berikut.
a. Aspek Penelitian dan Pengkajian
Seperti telah disinggung sebelumnya, bahwa upaya penelitian, pengembangan dan pembinaan bahasa Dayak Ngaju telah cukup lama dilakukan. Namun, langkah awal penelitian ini masih belum sinergis. Artinya, inventarisasi menuju arah pembakuan struktur dan tata bahasa masih jauh dari harapan. Hendaknya dilakukan reinventarisasi agar penelitian yang akan dilakukan tidak tumpang tindih dan repetitif. Kerja sama yang sinergis berbagai pemangku kepentingan semestinya lebih dimantapkan. Naskah-naskah hasil penelitian dalam tataran mikrolinguistik, misalnya fonologi, morfologi, sintaksis dan semantik dapat menjadi acuan untuk dijadikan dasar pijakan pengembangan bahasa Dayak Ngaju. Apabila hal tersebut sudah tuntas, maka hasil-hasil penelitian pada makrolinguistik akan menjadi kajian lanjutan bagi kepentingan bidang ilmu lainnya. Demikian pula menyangkut sastra daerah sehingga terwujud peta sastra daerah yang bermanfaat bagi inventarisasi sastra Dayak di Kalimantan Tengah. Inventarisasi tersebut akan didalami menuju aspek-aspek lainnya bersama-sama dengan konsep revitalisasi bahasanya. b. Aspek Pengembangan
Aspek pengembangan bahasa merupakan langkah yang tidak kalah penting bagi upaya pemeliharaan sebuah bahasa, di antaranya melalui pemutakhiran kosakata. Keraf (2007:69) menyatakan bahwa pemutakhiran kosakata adalah hal yang harus dilakukan agar suatu bahasa dapat ‘hidup’ dan sesuai dengan tuntutan kebutuhan komunikasi masyarakat pendukungnya. Pemutakhiran kosakata tersebut dapat berupa: pemutakhiran kamus, kamus sinonim dan tesaurus, pe-ngaju-an istilah asing/Indonesia. Atas dasar itulah, perbendaharaan kosakata suatu bahasa akan selalu diperkaya dan mendukung daya ungkap bahasanya. Diperlukan tim-tim yang terpadu agar hasil-hasil penelitian dapat menjadi dasar untuk menyusun pemutakhiran kodifikasi dan standardisasi bahasa, misalnya kamus, tata bahasa, buku-buku pedoman, dan ejaan. Adanya sarana pengajaran yang baku serta publikasi yang massif terhadap bahasa dan sastra Dayak Ngaju, baik cetak (buku-buku, majalah, buletin, koran) dan elektronik (penyiaran di radio dan televisi, buku elektronik/e-book, multimedia, film dan laman/website) merupakan suatu kebutuhan yang mendesak untuk dilakukan searah dengan tuntutan kemajuan IPTEK. Aneka bentuk produk untuk meningkatkan pemahaman tentang kosakata seperti, kamus, dapat dijadikan program yang digunakan dalam sistem operasi telepon genggam, buku elektronik, multimedia, dan lain-lain. Di samping itu, majunya ilmu pengetahuan dan teknologi tidak dapat dipungkiri. Hal ini berdampak pada perbendaharaan kosakata yang akan semakin jauh tertinggal. Banyaknya perbendaharaan kosakata asing, terutama dari bahasa Inggris menyebabkan bahasa daerah menyerap kosakata tersebut secara langsung. Semestinya, bahasa Dayak Ngaju memunguti kosakata tersebut melalui kosakata bahasa Indonesia terlebih dulu dalam hubungan yang saling melengkapi. Untuk itu, inventarisasi kosakata daerah juga diperlukan, selain keperluan pengayaan bahasa Indonesia, juga untuk mendokumentasikan aneka kosakata bahasa-bahasa daerah agar tidak punah. Demikian pila halnya dalam pengembangan bidang sastra daerah dapat semakin dimajukan beriring dengan tumbuhnya media televisi dan radio lokal. Acara-acara yang menampilkan bidang sastra daerah, akhir-akhir ini semakin sepi saja. Bidang-bidang sastra daerah yang sangat bermanfaat bagi pengembangan sastra secara umumnya. Kegiatan bersastra seperti mendongeng dan ber-sansana, misalnya menjadi semakin tenggelam di tengah situasi budaya dan peradaban masyarakat audiovisual masa kini. c. Aspek Pembinaan
Pembinaan merupakan aspek terakhir dalam upaya pemeliharaan bahasa. Pembinaan menyangkut manusia yang menggunakan bahasa tersebut. Aspek pembinaan yang sangat penting terlebih dulu adalah penyediaan sumber daya manusia (para guru di tingkat formal—SD, SMP, dan SMA). Oleh karena itu, diharapkan pengajaran bahasa Dayak Ngaju akan lebih berkualitas. Kualitas tersebut dapat dilihat dari penguasaan kompetensi peserta didik terhadap bahasa Dayak Ngaju yang disertai dengan penguasaan filosofi dan pengenalan kearifan lokal (local wisdom) pada budaya Dayak, termasuk di dalamnya pengajaran sastra Dayak. Bersamaan dengan itu pula, perlu kiranya upaya pengembangan kurikulum yang sesuai dengan kebutuhan pengajaran muatan lokal yang bersesuai dengan kepentingan pendidikan nasional. Materi pembelajaran multimedia dan aneka metode lain yang menyenangkan akan menumbuhkan minat serta motivasi perserta didik dalam mempelajari dan semakin mengenali bahasa dan budayanya. Aspek pembinaan tidak hanya pada tataran formal, namun pembinaan luar kelas (Sugono, 2008:7) juga mutlak diperlukan. Kegiatan ekstrakurikuler merupakan sarana yang tepat untuk pengayaan dan penguasaan aneka bidang kesastraan dan kesenian Dayak. Berpijak dari pernyataan di atas, bahasa daerah cenderung diperhatikan setelah pembinaan terhadap bahasa Indonesia semakin massif. Dalam konsep tersebut, bahasa daerah tetap dipertahankan oleh penuturnya pada tataran komunikasi antarmasyarakat daerah dan di dalam keluarga, sebagai pemerkaya khazanah bahasa Indonesia. Hal ini semakin diperjelas dengan adanya otonomi daerah, yang di dalamnya tertuang wewenang dan kreativitas para pemimpin daerah untuk membuat politik bahasa dan perencanaan bahasa daerah di masing-masing daerah. Sehingga bahasa daerah wajib mendapatkan perlakuan yang sama dibanding kebijakan yang lain. Hal lain yang tak kalah pentingnya adalah kecenderungan bahasa Indonesia mulai secara epistemologis ‘menggeser’ fungsi bahasa daerah dalam lingkungan rumah tangga, selain penggunaan bahasa daerah lain (Banjar) dalam lingkungan pergaulan remaja (Suryanyahu, 2005). Dari hasil penelitian tersebut ditemukan bahwa sikap bahasa masyarakat penutur jati bahasa Dayak Ngaju cenderung negatif dan tidak lagi memandang bahasa ibunya sebagai sebuah lambang identitas dan kebanggaan. Masuknya unsur alih kode dengan menggunakan bahasa bahasa lain, misalnya bahasa Banjar dan campur kode terhadap bahasa ibu justru akan semakin mengancam rusaknya tatanan bahasa ibu. Tak jarang proses campur kode itu terjadi karena di dalam bahasa Dayak Ngaju sendiri tidak ditemukan padanan katanya maupun tidak mengenal tingkatan/unda usuk bahasa, seperti pada bahasa Jawa dan Banjar. Namun biasanya dalam tindak tutur masyarakat Dayak Ngaju yang sangat egaliter, penyebutan predikat teknonimis dipandang sebagai salah satu ragam bahasa halus, misalnya pemanggilan teknonimis terhadap seseorang yang yang telah berkeluarga yang tidak lagi memanggil sebutan namanya tetapi nama anak tertua sebagai contoh: orang lebih mengenal Bapa Enon dibandingkan Cilik Riwut dalam konteks genealogis Dayak, Indu Lamiang, atau sapaan teknonimi lain dari keturunan yang lebih muda (anak/cucu) kepada orang tua dari ayah/ibu, misalnya Bue Janggut, Tambi Bitak, kepada saudara dari ayah/ibu, misalnya Mama Bakas, Mina Benteng, dll. Hal ini terjadi berdasarkan budaya turun-temurun yang menganggap bahwa pemanggilan nama seseorang yang dianggap lebih tua selain tidak sopan juga akan berakibat kualat. Beranjak dari kenyataan tersebut, materi dan metode pembelajaran bahasa Dayak Ngaju tidak saja secara linguistis mempelajari kata atau kalimat ‘mahalau, lah’, sebagai struktur fonem /m/,/a/,/h/,/a/,/l/,/a/,/u/ /l/,/a/,/h/ terjemahan kata ‘lewat, ya’ atau ‘permisi, mau lewat’ tetapi lebih kepada muatan filosofis budaya daerah. Sehingga, sebagai contoh bahwa ungkapan tersebut disertai dengan membungkukan badan adalah manifestasi etika bahasa tubuh apabila melewati orang yang lebih tua. Pemuatan unsur etika dan moralitas berbahasa melalui pembelajaran bahasa daerah menjadi salah satu bagian penting dari muatan lokal tersebut nantinya. Dengan demikian peserta didik akan memahami kebudayaan daerah, sadar akan jati dirinya sebagai anak bangsa dan bagian integral dari pemahaman holistik terhadap kebudayaan nasional yang beragam. Hal yang penting lagi bahwa kebudayaan daerah, termasuk di dalamnya bahasa daerah, merupakan sarana transformasi dan penapis (filter) bagi masuknya kebudayaan dari luar yang tidak sesuai dengan perikehidupan berbudaya, berbangsa, dan bermasyarakat. 4. Pengembangan Masyarakat Dayak Ngaju menuju Masyarakat yang Berbudaya Baca dan Tulis (Reading and Writing Society) Tak dapat dipungkiri bahwa pada kebudayaan Dayak yang tidak dilatarbelakangi oleh tradisi tulis menyebabkan terbatasnya penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi. Budaya baca dan tulis bukan semata-mata berarti kompetensi membaca dan menulis saja. Peralihan dari budaya dengar-lisan menuju budaya baca-tulis sudah semestinya digalakkan. Dalam kondisi demikian, perlu ditumbuhkannya budaya membaca dan budaya menulis bagi masyarakat Dayak. Seperti diketahui bahwa budaya baca dan budaya tulis masyarakat Dayak masih sangat rendah, khususnya pada masyarakat pedalaman. Pembiasaan menulis tentang tradisi lisan, kegiatan bersastra dan pengetahuan lokal, misalnya pengetahuan berladang, berburu, dan seni menganyam, merupakan pembiasaan yang positif, terutama pewarisan pengetahuan terhadap kearifan lokal kepada generasi Dayak di masa depan. Namun demikian, bukan berarti bahwa kebudayaan Dayak pada umumnya kurang bermartabat. Hal ini terlihat dari kecerdasan linguitik dan kecerdasan bersastra masyarakat Dayak dalam kekayaan khasanah sastra lokal. Wujudnya berupa aneka bentuk sastra lisan: sansana, deder, karungut, ngendau, marung, pepatah-petitih,tanding tampengan, dan lain-lain (lihat Riwut, 1993: 477-478; Suryanyahu, 2003). Aktivitas bersastra sebagai suatu apresiasi saja harus ditingkatkan dalam bentuk pengemasan sarana dan suasana belajar mengajar yang menyenangkan, komunikatif, penjiwaan dan penyadaran kolektif yang berkelanjutan. Aneka bentuk kekayaan satra lisan tersebut lambat laun akan punah jika tidak dilakukan inventarisasi dan penelitian dan pengkajian yang menyeluruh. Hasil-hasil tentang penelitian sastra Dayak Ngaju akan dijadikan sebagai muatan lokal, termasuk penumbuhan minat peserta didik untuk menguasainya. Di samping itu, pengenalan figur-figur sastrawan Dayak dan informasi yang menyangkut kiprah mereka, baik di dalam maupun di luar negeri. Selain dalam bidang sastra tersebut, perlu didirikan beberapa sentra perpustakaan, baik di tingkat kecamatan maupun tingkat desa. Pendirian perpustakaan-perpustakaan itu dimaksudkan untuk mengatasi kerumpangan terhadap pesatnya kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, khususnya dalam bidang pertanian, perkebunan, peternakan, perikanan, ekonomi, dan lain-lain. Di samping itu, muara dari pembiasaan budaya baca adalah peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui aplikasi teknologi tepat guna yang diperoleh dari bahan-bahan bacaan yang sesuai dengan pola kehidupan mereka. Bersambung..... Daftar Bacaan
Anonim, 2008. Hasil Rapat Koordinasi Pemasyarakatan Bahasa dengan Pemerintah Provinsi Seluruh Indonesia. Jakarta, 16—18 Juli 2008. Pusat Bahasa. Departemen Pendidikan Nasional Campbell, Lyle. 1998. Historical Linguistics: An Introduction. Edinburgh: Edinburgh University Press. Chaer, Abdul. 2007. Leksikologi dan Leksikografi Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta Chaer, Abdul dan Leoni Agustina. 1995. Sosiolinguistik: Suatu Perkenalan Awal. Jakarta: Rineka Cipta Fasold, Ralph. 1999. The Sociolinguistics of Language. Oxford: Blackwell Publisher. Keraf, Gorys 2007. Diksi dan Gaya Bahasa. Cetakan ke-17. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama Ohoiwutun, Paul. 2007. Sosiolinguistik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Majelis Sinode GKE Banjarmasin 1988. “Prosiding Hasil Seminar Bahasa Dayak Ngaju, 23—24 Oktober 1987”. Palangka Raya. Tidak Diterbitkan. Mahsun, 2004. Metode dan Teknik Penelitian Bahasa. Jakarta: Raja Grafindo Persada Poedjosoedarmo, Soepomo, 2003. Filsafat Bahasa. Surakarta: UMS Press Perwadi, Petrus, Meriyedi, dan Dunis Iper. 1997. Buku Pelajaran Bahasa Dayak Ngaju. Palangka Raya: Kantor Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Kalimantan Tengah Poerwadi, Petrus, Yohanes Kalamper, dan Albertus Purwaka. 1993 “Analisis Leksikostatistik Bahasa-bahasa di Kalimantan Tengah. Laporan Penelitian. Palangka Raya: Balai Penelitian Universitas Palangka Raya Riwut, Tjilik 1993. Kalimantan Membangun: Alam dan Kebudayaan.Yogyakarta: Tiara Wacana Riwut, Nila 2003. Maneser Panatau Tatu Hiang. Palangka Raya: Pusaka Lima Sugono, Dendy. 2008. “ Kebijakan Bahasa Daerah di Indonesia” dalam Suar Betang vol. III, No. 2 Desember p. 1—7. Palangka Raya: Balai Bahasa Provinsi Kalimantan Tengah Summer Institutes of Linguistics (SIL), 2001. Languages of Indonesia. Second Edition. Jakarta: SIL International Indonesia Branch. Suryanyahu, Anthony. 2003. ”Situasi Kebahasaan di Kabupaten Katingan: Antara Pergeseran Bahasa (Language Shift) dan Prakondisi Kepunahan Bahasa”. Katingan Pos, Minggu I/Juni 2003). Suryanyahu, Anthony dkk. 2005. “Buku Praktis Bahasa Dayak Ngaju”. Laporan Penelitian. Palangka Raya: Balai Bahasa Provinsi Kalimantan Tengah Suryanyahu, Anthony. 2005. “Sikap Bahasa dan Pilihan Bahasa Penutur Jati Bahasa Dayak Ngaju di Kota Palangka Raya”. Laporan Penelitian. Palangka Raya:Balai Bahasa Provinsi Kalimantan Tengah

11 Agustus, 2009

BAHASA DAYAK NGAJU: BAHASA KAUM HULU ATAU BAHASA KAUM MAJU?

Anthony Nyahu
Terminologi Ngaju yang melekat pada bahasa yang digunakan meluas di Kalimantan Tengah atau bahasa perhubungan antarsuku telah mengalamai ‘keterjebakan’. Mengapa “Bahasa Dayak Ngaju” atau “Bahasa Ngaju” lama menjadi stagnan dan kurang berkembang? Hal ini tidak terlepas dari terminologi “Ngaju” yang digunakan oleh para peneliti asing. Pada awalnya, mereka menyepakati penggunaan istilah tersebut sebagai ‘pengakuan’ masyarakat penuturnya. Di dalam dunia antropologi dikenal sebagai by native. Bahwa orang-orang Ngaju atau kelak menguat dengan nama Dayak Ngaju merupakan kesatuan kolektivitas etnik yang membedakannya dengan Ot Danum dan Melayu (lihat Schärer ; Jani Kuhnt-Saptodewo ). Diangkatnya istilah Basa Ngaju oleh Epple merupakan sebuah ‘label’ tanpa pretensi. Sejalan dengan itu, Riwut menyebutkan bahwa semua satuan guyup yang menggunakan bahasa-bahasa yang berbeda dengan Ot Danum, Maanyan-Dusun, dan Melayu adalah orang-orang yang termasuk dalam suku Ngaju atau suku Dayak Ngaju. Justru Hardeland hanya menyebutnya sebagai bahasa Dayak, padahal di dalam realitanya suku-suku Dayak tidak monolingual. Menurut Schärer, merupakan sebuah kekeliruan yang sangat fatal untuk mengklaim bahwa bahasa Dayak sebagai yang digunakan dalam kamusnya hanya mengangkat vokabuler dari Dayak Ngaju saja. Namun, perkembangan zaman terus melaju dengan pesat. Kebudayaan menjadi imbas terhadap perubahan itu. Tidak terkecuali perkembangan bahasa. Bahasa Dayak Ngaju yang dijadikan sebagai alat misi pekabaran Injil sejak diliterasikan tahun 1835. Hal ini berbeda dari penyebutan oleh Hardeland. Dan tentunya cukup tepat digunakan untuk membedakannya dengan bahasa-bahasa lain yang ada di Kalimantan Tengah. Bahasa-bahasa tersebut antara lain: Bahasa Dayak Maanyan, Dayak Ot Danum, dan Melayu Banjar. Schärer, yang menyatakan bahwa suku-suku yang Ngaju yang bermukim di bagian hulu sebagai “uplander”, kemungkinan, menurutnya dibuat untuk membedakan kelompok Ngaju dengan “Oloh Tumbang”, seperti Melayu-Muslim. Sekaligus juga membedakannya dengan orang-orang Ot Danum, sebuah suku yang menempati bagian pedalaman atau “headwaters” pada jantung Pulau Borneo. Parahnya, terminologi Ngaju sebagai “uplander” atau “Oloh Hulu” harus diperhadapkan sebagai upaya untuk membedakannya dengan “Oloh Tumbang”. Artinya, kata ‘Ngaju’ diperhadapkan dengan apa yang disebut Levi-Strauss sebagai binary opposition ‘Ngawa’. Jika benar kenyataan demikian, maka panjang umurlah kekacaubalauan terminologi identitas itu. Kata Ngaju di dalam nama Dayak Ngaju harus juga diperhadapkan atau dipasangkan dengan Dayak Ngawa. Dengan kata lain, ada paradigma geolinguistik Oloh Ngaju—Oloh Tumbang (Orang Hulu—Orang Muara). Apakah memang begitu kenyataannya?
Ngaju sebagai Identitas Kolektivitas Etnik
Jika kata Ngaju digunakan sebagai nomina atau kata benda, maka penempatan kata itu sebagai pelengkap kesatuan etnik yang membedakan dengan Dayak lainnya, sungguh patut dikatakan benar. Tetapi manakala dalam konsep awam dan kolokial, kata “ngaju” (tidak ditulis dengan n kapital), ia wajar diperhadapkan atau dipasangkan sebagai binary opposition dengan kata “ngawa”. Artinya, kedua kata tersebut berkelas nomina dan keduanya tidak akan mengalami kerancuan seperti asumsi sekarang. Jika kata ngaju diartikan secara etimologis sebagai padanan untuk “hulu”, dengan makna tunggal sebagai bagian atas; udik; ujung dari sungai saja, maka tidak sepenuhnya benar. Sebab, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata “hulu” juga bermakna sebagai… (5) permulaan; pangkal; awal. Sedangkan kata ngawa jika diartikan dalam bahasa Indonesia sebagai “hilir”, maka bermakna sebagai 1) bagian sungai sebelah muara; dan 2) daerah sepanjang bagian muara sungai . Artinya, kata ngawa sendiri tidak merujuk kepada muara dari sebuah sungai atau mulut sungai dalam konteks tumbang dan konsep sosio-ekologis orang Dayak. Dalam konteks geografis, masyarakat Dayak Ngaju mengenal aju—awa, ambu—iwa, hunjun—penda, baun—likut, pambelum—pambélép yang paralel dengan bagian agak ke hulu—bagian agak ke hilir, laut—darat, atas—bawah, depan—belakang, Timur--Barat. Aju—sebagai dasar kata ngaju--dalam konsep budaya orang Dayak Ngaju tidak secara mutlak dipandang sebagai bagian paling udik dari sebuah sungai. Kata aju bisa saja berarti “agak ke atas sedikit” dan bukan “udik atau pedalaman”. Karena dalam struktur populasi masyarakat sungai, secara realita masyarakat Dayak Ot Danumlah yang menempati posisi di paling hulu (bukan paling udik dari perspektif stigmatisasi budaya). Masyarakat Dayak Ngaju mayoritas bermukim di antara Suku Dayak Ot Danum dan Melayu Muslim yang disebut Scharer sebagai Oloh Tumbang. Dengan demikian, mereka secara populasi bermukim di daerah-daerah tengah dan hilir (bukan ‘muara’ atau mulut sungai) dari struktur sungai yang ada di Kalimantan Tengah. Secara ontologis, kata ngaju merupakan bentuk kolokial dari hong aju, yang artinya pada bagian yang mengarah mendekati hulu. Jadi, kata ngaju itu tidak serta merta sebagai udik atau pedalaman, mengingat secara geolinguistik ada komunitas tutur lain pada bagian hulu. Demikian juga tentang konsep ngawa yang didapati dari tuturan kolokial hong awa, yang berarti pada bagian mendekati hilir atau mendekati muara. Ia tidak secara langsung dapat disebut sebagai tumbang atau muara. Persoalannya adalah tentu sangat naif apabila mengacaubalaukan istilah ngaju dan ngawa untuk suatu pemahaman konsep budaya yang bukan berlatar sosio-ekologis sungai. Dari kacamata linguistik antropologis, label orang-orang Ngaju menunjukkan apa yang ditulis Riwut (1993) sebagai komunitas yang menuturkan bahasa selain Ot Danum dan Melayu. Populasi komunitas ini lintas sungai Kapuas, Kahayan, dan Katingan. Dalam perkembangan politik-misi, penyebarannya seolah sporadis. Meskipun berbeda secara bahasa, Ot Danum sesungguhnya masih dapat dikategorikan sebagai bagian dari orang Ngaju. Ini apabila dikaitkan dengan mitos penciptaan (creation myth) dan Tetek Tatum (Mitos Genealogis). Demikian pula di dalam konsep ke-Tuhanannya. Maka sangatlah naif rasanya jika sempitnya makna kata Ngaju dengan stereotipe ngaju (ditulis dengan n huruf kecil) sebagai makna tunggal hulu atau udik. Kecenderungan itu tidak berdasar ketika kita menoleh sejenak atas makna-makna yang lain dari kata “hulu”. Berkaitan dengan itu, terminologi Ngaju pada kata Dayak Ngaju akan terasa cocok jika di-redefinisikan sebagai “Suku Dayak yang Awal atau suku Dayak Asli yang menghuni Kalimantan Tengah”. Jika demikian kenyataannya, bagai mana dengan suku-suku Dayak yang lain? Apakah mereka bukan suku Dayak yang asli? Asli atau bukan, permulaan atau awal, semua tidak dapat dipisahkan dari mitos penciptaan (creation myth) yang menjadi mitos genealogis suku Dayak di Kalimantan Tengah. Menurut antropolog Dayak yang juga pakar Kaharingan, Marko Mahin , sejarah asal-usul apakah suku Dayak lainnya dikategorikan satu kolektivitas etnik dengan Dayak Ngaju harus dirunut dari mitos penciptaan ini. Apakah mereka satu nenek-moyang (ancestor) atau bukan, dapat dilihat dari Panaturan (Kitab Kaharingan) dan Tetek Tatum (Mitos Genealogis Dayak). Masyarakat Dayak Ot Danum, misalnya juga mengenal asal-usul leluhurnya seperti yang termaktub dalam Tetek Tatum.
Bahasa Dayak Ngaju: Masa Kini dan Mendatang
Dengan adanya pemikiran kembali makna tentang kata Ngaju (bukan n huruf kecil), tentu kita akan semakin sadar dalam penempatannya. Bahasa Dayak Ngaju tentu bukanlah bahasa kaum hulu/udik. Maka sangat wajar jika para linguis asing (utamanya dalam misi sebagai misionaris) mengangkat Bahasa Dayak Ngaju sebagai bahasa pertama di Kalimantan Tengah yang diliterasikan. Terlepas dari hal-hal di luar linguistik dan antropologi, para linguis itu sangat berjasa dalam meletakkan dasar-dasar struktural bahasa Dayak Ngaju. Hal ini masuk akal mengingat suku Dayak Ngaju merupakan suku yang paling banyak subnya di Kalimantan Tengah. Sebagai suku mayor, maka ia wajar dituturkan oleh penutur yang mayoritas, dan dalam perkembangannya mampu menjadi lingua franca di Kalimantan Tengah. Ia bukanlah bahasa kaum udik/hulu, mengingat para penuturnya adalah kaum terdidik (cerdik-pandai) baik sejak zaman zending maupun masa kini. Mereka ini pula yang muncul di depan—aju; maju—sebagai para pemimpin pergerakan yang menentang penjajah, para birokrat, para pemuka, para politisi, dan lainnya. Akan sangat ironis jika di masa kini munculnya stigma bahwa bahasa Dayak Ngaju dianggap bahasa orang udik/hulu. Ia seolah menjadi bahasa yang tidak bergengsi, dengan demikian, ia tidak lagi dijadikan sebagai bahasa ibu. Ia dipandang hanya dituturkan oleh kaum inferior; kaum udik. Padahal, kalau kita sejenak membaca sedikit sejarah kehidupan suku Dayak di Kalimantan Tengah, maju-mundurnya entitas etnis Dayak di Kalimantan Tengah tidak terlepas dari orang-orang yang bersuku Dayak Ngaju, atau Oloh Ngaju. Pun, untuk menjadi bagian integral dari Indonesia, Oloh Ngaju telah menunjukkan kiprahnya, dengan tidak mengecilkan peran suku-suku lain, tentunya. Terlebih lagi, kebanggaan atas identitas dan lambang jati diri masyarakat Dayak Ngaju kian meredup saja. Masyarakat Dayak Ngaju menjadi semakin tinggi keterbukaannya menelan mentah-mentah bahasa daerah lain yang bukan bahasa ibu-nya. Orang Dayak Ngaju yang notabene menikah dengan sesamanya lebih senang mengajarkan bahasa nasional kepada anak-anaknya. Alih-alih sebagai bahasa yang bergengsi tinggi dan simbol bahasa kaum terdidik, bahasa ibu—bahasa Dayak Ngaju—dianggap bisa dipelajari dengan sendiri kelak. Jadi tidak harus diajarkan di lingkungan keluarga. Sebagai akibatnya, banyak remaja dari orang tua yang berasal dari orang Dayak Ngaju bahkan tidak mampu berbahasa ibu-nya sendiri! Memprihatinkan dan dilematis memang. Di pihak lain, sebagai generasi pelapis, generasi kini dituntut agar penguasaan bahasa daerah atau bahasa ibu menjadi suatu keharusan, selain bahasa nasional dan bahasa asing. Penguasaan bahasa daerah atau bahasa ibu bertujuan agar generasi masa kini tidak tercerabut dari akar budaya daerahnya sebagai identitas dan penguat jati dirinya di tengah masyarakat dan budayanya. Penguasaan bahasa nasional, yakni bahasa Indonesia dikuasai sebagai modal dalam komunikasi nasional dan pengembangan IPTEK, sedangkan penguasaan bahasa asing dalam kerangka penguasaan IPTEK, pergaulan di komunitas internasional dan global. Semestinya, ketiga bahasa tersebut dipergunakan sesuai dengan fungsi dan perannya masing-masing.
Bahasa Dayak Ngaju: Tantangan ke Depan dan Penanganannya
Sebagai sebuah bahasa, bahasa Dayak Ngaju dituntut selalu dinamis. Ia harus tanggap atas kemajuan zaman beriring dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Mau tidak mau, suka tidak suka, bahasa ini harus direvitalisasi. Jika masyarakat penuturnya masih menganggap penting, maka pemutakhiran dan pengayaan kosa katanya mutlak dilakukan. Dengan demikian, unsur-unsur serapan dari bahasa-bahasa daerah lainnya, atau dari bahasa Indonesia menjadi tak terhindarkan. Di samping itu, faktor lain yang tak kalah pentingnya adalah peninjauan kembali materi muatan lokal dengan kemasan yang menarik, misalnya dalam bentuk multimedia, pembelajaran di luar kelas dan lain-lain. Muatan filosofis dan bimbingan moral bagi peserta didik menjadi bagian penting selain penguasaan secara didaktis. Aneka pepatah-petitih dan bentuk-bentuk kearifan lokal dalam bersastra, misalnya perlu dipertimbangkan sebagai materi penunjang. Dalam beberapa dekade terakhir, aspek penelitian dan pengkajian bahasa Dayak Ngaju dari sisi mikrolinguistik seharusnya sudah sampai pada tahap perumusan kodifikasi, ortografi, kamus, dan tata bahasa. Ejaan bahasa Dayak Ngaju masih belum menemukan kata sepakat, terlebih menuju sebuah kebakuan. Agaknya, kongres bahasa ini memang harus menjadi prioritas untuk secepatnya dilaksanakan dan hendaknya menjadi perhatian para pakar, para peneliti, para praktisi, dan peminat bahasa di wilayah ini. Di dalam kongres itu kelak diharapkan juga dibahas strategi dan metode pengembangan dan pembinaannya, termasuk di dalamnya bagai mana menyiapkan para guru bidang studi bahasa Dayak Ngaju berikut infrastrukturnya di daerah ini. Dari sisi makrolinguistik, penelitian bahasa Dayak Ngaju juga harus selalu diaktualkan dengan melihat pola-pola dan strategi penelitian bahasa daerah lain di Indonesia. Kajian antropologi linguistik, misalnya menjadi lahan yang sangat minim disentuh. Demikian juga dalam hubungan bahasa dengan masyarakatnya atau sosiolinguistik, dan lain-lain. Di tengah arus modernisasi yang terus mendera, tantangan budaya, termasuk di dalamnya bahasa, menjadi bagian dari perubahan. Dinamika kemajuan IPTEK, arus informasi yang mengglobal, dan ketergerusan nilai dan perilaku sosial, menggiring masyarakat Dayak Ngaju kepada berbagai pilihan. Pilihan tersebut sangat banyak dan beragam. Tetap setia dengan status quo yang masih bertahan dengan gaya bahasa masa lalu atau rela menerima perubahan dan kekinian. Atau memilih sebuah konsekwensi paling mudah dengan mencampakkan bahasa ibu-nya dan menggantikannya dengan bahasa daerah lain, atau bahasa nasional saja. Pilihan terakhir, sepertinya telah dan sedang menggejala di tengah komunitas tutur bahasa Dayak Ngaju. Bahkan, sebagai lembaga yang selama ini mengawal dan merawat bahasa Dayak Ngaju sebagai alat pekabaran Injil, pihak Gereja Kalimantan Evangelis (GKE) mulai resah dengan semakin berkurangnya intensitas pemakaian bahasa ini sebagai pengantar kegiatan keagamaan . Makin sedikit para orang tua yang bisa berbahasa Dayak Ngaju dan makin sedikit pula bahasa ini diajarkan kepada anak-anak di lingkungan keluarga sebagai bahasa ibu. Agaknya, perhatian Pemerintah Daerah melalui kebijakan dijadikannya bahasa Dayak Ngaju sebagai muatan lokal di tingkat sekolah dasar belumlah dikatakan optimal. Tantangan yang lebih berat ke depan adalah bagai mana bahasa ini mampu mengakomodir kepentingan komunikasi masyarakat penuturnya. Kata kuncinya adalah bagai mana menjadikan bahasa ini menjadi bahasa yang memiliki daya ungkap yang kuat ditandai dengan kekayaan khasanah kosa katanya. Demikian pula halnya dengan penumbuhkembangkan publikasi baik cetak dan elektronik, berupa buku-buku bacaan, kamus, koran, buletin, majalah, dan jurnal berbahasa Dayak Ngaju. Hal ini tentu saja menggunakan ortografi dan tata bahasa yang disepakati semua pihak sebagai sebuah pedoman baku. Dan yang lebih penting lagi, citra bahasa ini sebagai bahasa kaum hulu akan lambat laun sirna. Dalam konteks pembinaan, misalnya publikasi elektronik, tersedianya program televisi dan radio berbahasa Dayak Ngaju yang memadai sehingga akan menumbuhkan kembali sikap positif masyarakat penuturnya di tengah pergaulan anekabahasa yang ada. Penanganan yang mementingkan satu aspek saja, misalnya, tidak akan menjamin apakah suatu bahasa akan didukung oleh masyarakat penuturnya. Strategi yang cenderung parsial, niscaya tidak akan mengentaskan persoalan. Bahasa Dayak Ngaju sangat jauh ketinggalan dan ditinggalkan, namun hal ini tidak akan menyurutkan langkah kita untuk duduk secara bersama-sama menguraikan benang kusut persoalan pengembangan dan revitalisasinya. Jika tidak dipikirkan langkah-langkah strategis dalam penangannya sejak saat ini, niscaya Bahasa Dayak Ngaju—dengan asumsi dua generasi ke depan—akan punah. Ia akan ditinggalkan, tergantikan oleh penetrasi bahasa-bahasa daerah lainnya dan mungkin juga sebagai akibat dari menguatnya prestise bahasa nasional. (Bersambung)